INILAHCOM, Jakarta - Fenomena degradasi lahan atau berkurangnya luas tanah yang dapat untuk produksi hasil pangan, baik itu dari pertanian maupun perkebunan, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga telah menjadi sorotan di tingkat global.
Hal itu terindikasi, antara lain dari Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon yang meminta dunia untuk mengatasi permasalahan degradasi lahan dan desertifikasi serta segera menumbuhkan lahan yang subur untuk mengamankan pangan pada masa mendatang.
"Degradasi lahan dan desertifikasi melemahkan hak asasi manusia, dimulai dengan hak atas pangan," kata Sekjen PBB dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (20/6).
Ban Ki-moon mengingatkan bahwa hampir satu miliar orang di seluruh dunia kini kekurangan nutrisi yang cukup. Mereka yang tinggal di daerah yang terdegradasi yang menerima dampak terparah.
Situasi itu, kata dia, bisa diperparah bila degradasi lahan sebagaimana diproyeksikan akan mengurangi 12 persen produksi pangan global pada tahun 2035, serta berdampak pada penurunan sumber air baku. "Dalam jangka waktu 10 tahun, dua dari tiga orang di dunia dapat hidup dalam keadaan yang kekurangan air," katanya.
Sekjen PBB juga mengemukakan bahwa degradasi lahan dan penggunaan tanah yang tidak semestinya juga mengakibatkan pengeluaran seperempat gas rumah kaca di bumi.
Sebagaimana diketahui, perubahan iklim dan penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, khususunya dalam pertanian, berkontribusi pada menurunnya sumber air baku segar di semua kawasan di dunia sehingga produksi pangan global diproyeksikan menurun 2 persen setiap dekade.
Untuk itu, lanjut dia, dunia juga mesti mengubah haluannya dan mulai mengamankan setiap hektare lahan yang dapat untuk menyediakan makanan dan air baku segar. "Kita mesti menghindari mendegradasi lebih banyak lahan dan pada saat yang bersamaan, merehabilitasi semua lahan yang terdegradasi semampu kita," kata Ban Ki-moon.
Dengan demikian, barulah dunia dinilai dapat membuat langkah cepat untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang merupakan tantangan bagi pembangunan berkelanjutan.
Sebelumnya, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Putera Parthama mengatakan bahwa penerapan ilmu dan teknologi menjadi solusi untuk pembangunan infrastruktur yang mengedepankan prinsip kelestarian dan ramah lingkungan di sektor kehutanan.
"Tidak ada cara selain penggunaan teknologi untuk tujuan tersebut," kata Putera Parthama melalui keterangan tertulis.
Ia mencontohkan pembangunan terowongan bawah tanah untuk membangun jalan yang menembus kawasan taman nasional bisa dilakukan dengan membangun jalan layang.
Pembangan infrastruktur jalan dengan pola seperti itu, kata dia, bisa melindungi kawasan konservasi dari akses terbuka yang berpotensi memicu perambahan.
Putera mengakui bahwa pembangunan infrastruktur sangat dibutuhkan demi mendukung pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, kalaupun pembangunan infrastruktur dengan terpaksa membuka hutan, pembukaan hutan harus seminimal mungkin.
Selain itu, kata dia, investasi kehutanan pada umumnya sudah memenuhi asas kelestarian dalam membangun infrastrukturnya. Industri bubur kayu dan kertas, misalnya, memanfaatkan hutan tanaman dan ikut menjaga keanekaragaman hayati yang ada di konsesinya.
Kritik Pembukaan Lahan Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dalam sejumlah kesempatan juga mengkritik program pembukaan lahan pertanian dalam skala besar seperti yang akan dijalankan pemerintah di kawasan Merauke, Papua, dan daerah lainnya di Republik Indonesia.
"Walhi sangat mengkhawatirkan dinamika yang berkembang dalam agenda pengelolaan sumber daya alam yang akan dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK, antara lain pembukaan lahan pertanian dalam skala besar, seperti yang akan dijalankan di Merauke Papua dan propinsi lain di Indonesia," kata Direktur Walhi Abetnego Tarigan.
Sebagaimana diketahui, proyek di Merauke yang disebut MIFEE direncanakan seluas 2,5 juta hektare hingga 2030 pada masa Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan pada masa Presiden Joko Widodo proyek tersebut dinilai semakin ambisius dengan target pembukaan 1,2 juta hektare hanya dalam jangka waktu tiga tahun.
Walhi menilai bahwa proyek atas nama krisis pangan dan energi global ini, justru membuat rakyat semakin tidak berdaulat memenuhi pangan.
"Selain tidak menjawab problem pangan di Indonesia, kami menilai proyek pangan dan energi besar-besaran di Merauke akan semakin menghancurkan hutan di Papua," katanya.
Ia mengemukakan bahwa perubahan luasan area moratorium di Papua terus terjadi hingga mencapai 101.478 hektar dan penurunan terbesar terjadi pada wilayah hutan primer seluas 407.426 hektar.
Walhi berpandangan proyek tersebut tidak lebih hanya akal-akalan bagi korporasi untuk mendapatkan tanah secara murah melalui modus "Land Banking" (bank tanah).
Kepala Pusat Studi Bencana Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Euis Sunarti menyebutkan alih fungsi lahan pertanian, baik itu kawasan hutan maupun pertanian padi, memicu terjadinya bencana alam yang berdampak pada kerugian masyarakat.
"Alih fungsi lahan pertanian ada kaitannya dengan bencana. Terjadinya penyerobotan lahan pertanian, itu sudah menjadi bencana," katanya di Bogor, Jumat (5/6).
Profesor Euis menyebutkan contoh kasus bencana asap di Provinsi Riau yang disebabkan alih fungsi lahan pertanian (hutan) secara ilegal. Praktik membeli tanah di bawah tangan, membuka lahan dengan cara membakar untuk mengurangi biaya, telah berdampak luas pada masyarakat yang terkena risiko bencana kabut asap.
Ketangguhan Bangsa Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan mengatakan bahwa kedaulatan pangan sebuah negara, baik itu berasal dari darat maupun lautan, merupakan hal yang penting guna menunjang ketangguhan dari bangsa bersangkutan.
"Ketangguhan suatu negara dapat dilihat apakah negara itu mampu berdaulat dalam hal pangan," kata Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (28/5).
Untuk itu, dia menyatakan sedih bila Indonesia hanya menjadi pengimpor beras yang menjadi makanan pokoknya, padahal bangsa ini mampu untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Ia mengemukakan bahwa pihaknya bakal mengeluarkan kebijakan yang mengutamakan terbentuknya ruang-ruang untuk publik, antara lain guna mendukung kedaulatan pangan tersebut.
Kebijakan itu, antara lain dengan menyiapkan regulasi guna melakukan tindakan preventif dalam menanggulangi pembakaran lahan dan menindak perusahaan pembakar lahan.
"Apabila ada perusahaan yang memiliki 40.000 hektare lahan dan mereka membakar 15.000 hektare di antaranya, lahan yang dibakar tersebut akan kami ambil," kata Ferry Mursyidan Baldan saat menghadiri pembahasan mengenai El-Nino serta kebakaran hutan di Gedung Manggala Wanabakti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (17/6).
Dalam kesempatan tersebut, dia juga meminta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk memberi data curah hujan di Pulau Jawa bagian selatan.
Hal itu, kata dia, untuk mengantisipasi daerah-daerah yang rawan longsor sehingga dapat disiapkan lahan untuk relokasi masyarakat.
Ferry juga meminta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) untuk melakukan "overlay" peta dengan kementerian yang dipimpinnya. "'Overlay' peta tersebut nantinya mencakup tiga hal, yaitu asap, titik api, dan lahan yang bekas terbakar," katanya.
Dengan demikian, diharapkan dapat terwujud upaya mencari penyebab terjadinya kebakaran lahan, dan sekaligus dapat dilanjutkan dengan menata kembali lahan di berbagai daerah guna benar-benar mewujudkan kedaulatan pangan di Tanah Air. [tar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar