Senin, 29 Juni 2015
Tiap daerah memiliki budaya yang bergam dalam menyambut panen raya, seperti di Dayak ada budaya Yangahatan, Cembeng di Tegal, Arak pengantin di Cirebon, Mappadendang di Bugis, Wiwit di Sleman, tapi di Grobogan lebih tepatnya Budaya Gigit Jari saat panen raya. Sebagai rujukan harga beras di Jawa Tengah, panen raya Grobogan selalu berakhir lesu, bahkan tidak sedikit petani yang gulung tikar akhirnya harus merantau ke Ibu Kota untuk kerja sebagai buruh bangunan. Kejadian ini serupa dengan masyarakat Blora, Sragen, dan Klaten yang mayoritas penduduknya bertani.
Presiden Jokowi tahun ini akan mengeluarkan kebijakan untuk memberikan wewenang Bulog dalam memerankan dan mengendalikan harga beras maupun gabah di pasaran (Tempo edisi 22-28/6/15). Artinya petani tidak akan dipermainkan lagi oleh cukong-cukong yang bergentayangan.
Sistem tanam di Kabupaten Grobogan menggunakan irigasi dan tadah hujan. Untuk irigasi, petani memanfaatkan air dari Bendungan Kedung Ombo. Sedangkan wilayah yang tidak bisa menikmati air waduk, menggunakan sistem tadah hujan, wilayah ini berada di perbatasan Kabupaten Blora. Pemerintah pernah membangun waduk di Kabupaten Blora tapi sayangya tidak berfungsi maksimal karena tanah jenis kapur tidak mendukung keberadaan waduk.
Petani Grobogan dapat menanam tanamannya sebanyak 3 kali dalam setahun, yakni musim ketigo (kemarau) pada bulan Juni-Agustus. Pada musim ini, petani akan memanfaatkan lahannya dengan menanam kacang hijau, kedelai, dan jagung. Musim rendengan (peghujan) Oktober-Januari musim ini petani akan mengolah tanahnya dengan membajak menggunakan traktor. Limpasan air dari Waduk Kedong Ombo mulai turun ditambah air hujan akan menggemburkan lahan. Dalam musim ini, setelah empat bulan petani akan memanen padinya hingga tiba saatnya musim walikan (sisa musim penghujan) bulan Maret-Juni. Pada musim ini, hasil panen tidak sebanyak musim rendengan karena unsur hara dalam tanah sudah berkurang sehingga perlu diversifikasi lahan pada musim ketigo.
Rata-rata hasil panen petani Grobogan per satu hektar mencapai 3-4 ton. Jika terkena hama atau puso, petani hanya mendapatkan satu ton. Namun, sayang selama ini banyak petani dirugikan oleh para cukong yang gentayangan, dengan memainkan peran untuk menaik-turunkan harga sendiri. Kebutuhan petani untuk satu kali musim tanam sangat besar. Untuk lahan satu hektar, petani harus menyediakan benih sebanyak 25 kg seharga Rp 250.000, pengolahan lahan menggunakan traktor Rp 500.000, tamping galeng (merapikan pematang) Rp 400.000/musim, tandur/tanam: Rp 600.000, kebutuhan pupuk KCL/ZA: Rp 244.000/kwintal, pupuk Urea: Rp 184.000/kwintal, matun (membersihkan ilalang) Rp 300.000/musim, ngedos (panen) Rp 40.000/kwintal, bagi hasil utuk pengelola irigasi 70 kg gabah. Jika ditotal pengeluaran per hektar mencapai RP 4.000.000.
Kebanyakan petani mendapatkan modal dari bank, BPR, atau hutang tetangga. Panen musim ini harga gabah basah oleh pemerintah Rp Rp 4.500/kg. Di masyarakat dibeli Rp 4.200/kg. Jika panennya tiga ton, petani akan mendapatkan uang sebesar Rp 12.600.000, kecuali petani yang menyewa lahan, mereka masih memiliki beban untuk membayar uang sewa.
Era Orde Baru saat jayanya swasembada pangan, saat panen tiba petani lebih senang dengan memanen dan menimbunnya sendiri hingga setinggi atap karena mereka tidak ada tanggungan untuk bayar hutang di bank. Saat ini berbalik, petani sesegera menjual hasil panennya, agar cepat mendapatkan uang. Setelah mendapatkan uang tersebut, lantas petani harus menutup hutang-hutangnya.
Melihat data kebutuhan petani, pemerintah harus berani mengambil sikap, seperti memberikan jaminan atas harga gabah atau beras di pasaran. Dalam hal ini Bulog harus mendapatkan otoritas dalam pengendalian harga, termasuk mengendalikan harga dan ketersediaan pupuk.
Panen yang bersamaan membuat cukong leluasa untuk membeli atau tidak membeli hasil panen petani sehingga dengan mudah harga bisa berubah-ubah. Sedangkan Bulog berdalih persediaan beras masih tersedia, maka tidak perlu membeli beras dari petani. Desakan keuangan petani harus mengorbankan gabahnya meskipun harga turun drastis tidak sesuai ketetapan pemerintah. Jika saja Bulog mampu membeli semua hasil panen, tidak ada petani yang dirugikan.
Peranan Bulog
Sistem kapitalisme dalam dunia pertanian telah mencekik kehidupan petani. Beras sebagai bahan pokok warga negara Indonesia belum dapat menyejahterakan nasib para petani. Bahkan tidak sedikit petani yang merugi akhirnya mereka harus menjual lahannya. Yang paling diuntungkan adalah bank. Fenomena sekarang, aset bank daerah lebih banyak pada lahan pertanian.
Pemerintah daerah harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat perihal pengaduan. Nomor pengaduan dipegang langsung oleh kepala dinas, seperti apa yang dilakukan Gubernur Jateng. Hal ini untuk mendapatkan informasi adanya permainan harga dan pemerintah dapat segera melakukan sidak serta mencabut ijin usaha pengusaha pengelolaan gabah yang ketahuan mempermainkan harga di masyarakat.
Beras yang keluar dari Pulau Jawa harus mendapatkan ijin resmi dari pemerintah, dalam hal ini Bulog. Langkah ini betujuan agar tidak ada cukong yang menimbun beras di luar pulau hingga mengakibatkan ketidakstabilan kebutuhan.
Seperti yang dikisahkan masyarakat Sambas Kalimantan Barat, karena melambungnya harga beras dan kebutuhan lainnya yang tinggi, akhirnya mereka memutuskan untuk membeli beras dan barang lainnya dari Malaysia yang lebih murah melalui jalur darat menerobos hutan belantara dengan waktu tempuh delapan jam. Hal ini jangan sampai terjadi lagi karena sudah melanggar sistem perdagangan di Indonesia.
Setiawan Widiyoko
Putra daerah Grobogan
http://www.kompasiana.com/setiawan_wd/panen-raya-grobogan-lesu_55901beef392738518e25ef0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar