TEMPO.CO, Jakarta - Pernah melakukan swasembada, bahkan ekspor pada 1984, kini Indonesia justru dirundung persoalan beras. Urusan komoditas pangan ini tak pernah beres.
Dari ongkos produksi yang dinilai terlalu mahal, perbedaan angka panen, hingga penentuan perlu-tidaknya impor, yang menimbulkan kegaduhan.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman, misalnya, selalu berkeras bahwa pasokan beras dalam negeri aman. ”Belum perlu impor,” katanya saat ditemui dalam dua kesempatan berbeda di Kulon Progo dan Hotel Aston Yogyakarta kepada Pribadi Wicaksono, pekan lalu. (Baca selengkapnya di Majalah Tempo, edisi Senin 9 November 2015).
Benarkah pemerintah meminta Bulog mengimpor 1 juta ton beras dari Vietnam?
Itu kan katanya, dan beras itu (untuk) cadangan. Cadangan tidak akan diturunkan jika pemain inti tidak cedera atau bermasalah.
Cadangan impor beras dari Vietnam memang ada, tapi belum dikirim. Toh, di beberapa daerah sekarang sudah turun hujan. Harga beras di Cipinang juga turun, terakhir Rp 8.700 per kilogram untuk jenis medium. Pasokan ke Cipinang juga bertambah. Biasanya 2,500 - 3,000 ton, Senin lalu hingga 5.000 ton.
Kenapa kita kalah bersaing dengan Thailand dan Vietnam?
Persoalan utamanya masih seputar cara swasembada. Ada beberapa hal yang mempengaruhi, seperti infrastruktur, biaya produksi, indeks pertanaman, rantai pasokan, dan kebijakan pengendalian impor itu sendiri. Itu sebabnya kami melakukan efisiensi untuk mempercepat swasembada.
Hasil swasembada pangan terlihat dari beberapa indikator. Misalnya, tahun ini El Nino cukup dahsyat, tapi kita tak sampai mengimpor karena produktivitas petani tak terganggu. Tidak seperti 1998, yang harus mengimpor hingga 7,1 juta ton. Padahal indeks saat itu El Nino 1,9, sekarang mencapai 2,3.
Dengan populasi 252 juta jiwa, Indonesia seharusnya sudah mengimpor 9 juta ton beras. Tapi buat apa dilakukan karena memang belum perlu impor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar