Kamis, 12 November 2015
(KOMPAS/PRIYOMBODO) Pemerintah akhirnya melanggar komitmen untuk tidak impor beras tahun ini. Oktober lalu (21/10/2015) Presiden Jokowi menyatakan impor beras dari Thailand dan Vietnam untuk menutup perkiraan defisit cadangan Bulog. Wapres Jusuf Kalla kemudian (26/10/2015) kemudian menegaskan kuota impor itu berkisar 1.0-1.5 juta ton dan dilakukan secara bertahap mulai November 2015. Impor tahap pertama sebanyak 27,065 ton sudah tiba di Tanjung Priok tangal 7 November lalu. Dengan keputusan impor itu pemerintah telah mengingkari sendiri komitmen kedaulatan pangan nasional yang sedang ditegakkannya. Timbul pertanyaan, ada kekuatan apa sebenarnya di belakang keputusan itu. Lalu, ke depan, adakah langkah dapat diambil untuk terbebas dari impor beras? Motif Easy Money Data status perberasan nasional 2015 sebenarnya mengindikasikan surplus sehingga tak perlu impor. Kendati diterpa kemarau panjang akibat El-Nino, berdasar angka ramalan BPS, produksi padi 2015 diperkirakan masih bisa mencapai angka 75.2 juta ton GKP atau setara 40.58 ton beras. Karena konsumsi beras nasional ditaksir 35.45 juta ton, maka terdapat surplus 5.13 juta ton. Dengan asumsi data BPS valid, maka keputusan impor itu tampaknya bukanlah rentetan dampak El-Nino. Kuat dugaan bahwa kekuatan di balik keputusan itu adalah resistensi jaringan “Mafia Impor Beras” (MIB). Motif utamanya adalah perolehan big easy money berupa fee impor. Bayangkan, jika besaran fee impor Rp 1.0 milyar per 1,000 ton, maka dari impor beras 1.0 juta ton akan diperoleh total fee Rp 1 triliun. Demi fee maha-besar itu jaringan MIB akan melakukan siasat apapun untuk memaksakan impor beras. Siasat yang yang lazim dilakukan, pertama, menciptakan defisit fiktif dalam neraca perberasan nasional melalui manipulasi data status perberasan dan/atau rekayasa kelangkaan beras di pasaran. Atau, kedua, menciptakan defisit riil melalui rekayasa kendala produksi, misalnya kelambatan pasokan benih/pupuk/pestisida, yang menyebabkan penurunan produktivitas secara signifikan. Resistensi jaringan MIB itu sangat liat, sulit dipatahkan. Sebabnya, di dalam jaringan itu berperan juga birokrat dan politisi lapis-atas, demi kepentingan ekonomi-politik masing-masing. Sedikitnya ada dua indikasi peran birokrat/politisi, langsung atau tidak langsung, dalam jaringan MIB itu. Pertama, kontradiksi data status beras nasional antar institusi pemerintah khususnya Bulog/BUMN dan Kementan yang kerap terjadi. Tahun 2015 misalnya, data Kementan mengindikasikan surplus beras sehingga tak perlu impor. Sebaliknya data Bulog mengindikasikan defisit sehingga harus impor beras. Kedua, penetapan harga pembelian gabah/beras oleh pemerintah/Bulog (HPP) yang jauh di bawah harga pasaran. Inpres Perberasan No. 5/2015 misalnya menetapkan HPP beras Rp 7,300/kg, padahal harga pasaran berkisar Rp 8,000-10,000/kg. Akibatnya Bulog tak mampu menyerap beras petani, sehingga target cadangan beras pemerintah tak tercapai. Solusinya, impor beras murah dari negara tetangga. Meredam Resistensi Titik kekuatan resistensi jaringan MIB sebenarnya adalah fasilitasi impor beras, langsung atau tidak langsung, dari UU Pangan No. 18/2012 dan Inpres Perberasan No. 5/2015. Jadi, langkah paling efektif untuk meredam resistensi jaringan itu adalah revisi mendasar untuk menjadikan UU dan Inpres tersebut berwatak kedaulatan pangan atau anti-impor beras khususnya. Kongkritnya, pertama, syarat kondisional impor beras pada Pasal 36 UU Pangan No. 18/2012 harus direvisi karena sangat berorientasi ketahanan pangan. Berdasar pasal itu, impor beras otomatis terbuka bagi jaringan MIB hanya dengan pengumuman angka defisit neraca beras nasional oleh menteri/ lembaga yang berwewenang. Untuk menangkal impor, UU Pangan itu harus direorientasikan pada kedaulatan pangan, dengan mensubordinasikan Bagian Kelima (ketentuan impor pangan) kepada Bagian Ketujuh (ketentuan krisis pangan). Dengan begitu keputusan impor beras tidak didasarkan pada syarat kondisional angka defisit neraca pangan, melainkan pada syarat kondisional krisis pangan nasional, yang penetapannya langsung di tangan presiden. Syarat kondisional krisis pangan akan mengunci langkah jaringan MIB dan pemerintah sekaligus. Di satu pihak jaringan MIB mustahil merekayasa kondisi krisis pangan untuk justifikasi impor. Di lain pihak, demi stabilitas ekonomi dan politik, pemerintah akan melakukan apapun untuk mencegah krisis pangan. Kedua, penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dalam Inpres Perberasan No. 5/2015 sebagai batas atas harga pembelian gabah/beras oleh Bulog juga berorientasi ketahanan pangan. Ketentuan itu menyebabkan Bulog terkendala membeli gabah/beras apabila harganya di atas HPP, mengingat anggaran komersilnya terbatas. Fakta inilah yang selalu menjadi dasar bagi Bulog berikut jaringannya untuk impor beras. Agar berorientasi kedaulatan pangan, maka HPP pada Inpres itu harus ditetapkan sebagai harga dasar pembelian Bulog. Dengan begitu, acuan kerja Bulog bukan lagi HPP melainkan target cadangan beras pemerintah. Berapapun targetnya, Bulog harus memenuhinya melalui pembelian gabah/beras petani sesuai harga pasar. Selisih kemahalan atas pembelian itu adalah biaya kedaulatan pangan nasional yang harus ditanggung pemerintah. Ketiga, mengikuti revisi UU Pangan dan Inpres Perberasan itu, Bulog sebaiknya ditetapkan sebagai badan penyangga kedaulatan pangan nasional. Untuk menjalankan fungsi itu Bulog lalu diserahi tanggungjawab pengelolaan “kebun padi nasional” dengan pendekatan kemitraan. Luas tanamnya ditargetkan 1.0 juta ha/ tahun, untuk menghasilkan pasokan cadangan beras pemerintah sedikitnya 4.0 juta ton. Dengan menempuh tiga langkah tersebut, diharapkan bangsa ini akan terbebas dari permainan jaringan MIB dan perangkap impor beras.(*)
Felix Tani
http://www.kompasiana.com/mtf3lix5tr/resistensi-mafia-impor-beras_5643eca1a8afbd8f100dcd81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar