Senin, 29 Februari 2016

Rantai Pasok Beras Bermasalah

Senin, 29 Februari 2016

Distribusi Melalui Tujuh hingga Sembilan Tangan

JAKARTA, KOMPAS — Rantai pasok beras dari daerah penghasil ke pasar-pasar kota besar dikuasai para perantara. Kondisi ini menyebabkan perbedaan harga di petani dan konsumen sangat besar. Pemodal memanfaatkan situasi ini.

Petani tidak mendapatkan untung besar, sementara konsumen harus membayar mahal beras. Kesulitan modal bagi petani menjadi penyebab perdagangan beras dikuasai para perantara.

Kondisi ini diketahui setelah Kompas melakukan perjalanan di sejumlah daerah dan mengikuti alur perdagangan beras, pekan lalu, dan mengonfirmasi ke sejumlah kalangan, Minggu (28/2).

Di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, misalnya, alur perdagangan beras sangat panjang, mulai dari petani, penebas, pedagang proses atau pemilik penggilingan kecil, pengepul, pedagang besar, pasar beras, pedagang kecil, hingga ke konsumen.

Akibatnya, disparitas harga gabah dan beras medium mulai dari petani sampai ke konsumen pada awal tahun ini cukup tinggi, yaitu rata-rata Rp 6.200 per kilogram. Dari hasil penjualan gabah kering panen (GKP) musim tanam pertama, petani mendapat Rp 3.800 per kg, sementara harga beras medium di konsumen di atas Rp 10.000 per kg.

”Pada tahun ini, kami tidak untung sama sekali. Kami membeli GKP petani Rp 3.700 per kg. Namun, beras kami dibeli pengepul Rp 7.100 per kg, di bawah harga pembelian pemerintah (HPP), yaitu Rp 7.300 per kg,” kata Wandi (56), pemilik penggilingan kecil di Desa Tambirejo, Kecamatan Gajah, Demak.

Keuntungan terbesar diperoleh pedagang pemilik penggilingan besar karena memotong alur pedagang proses dan pengepul. Dalam hal ini, peran penebas cukup besar. Mereka memberikan informasi kepada para pedagang pemilik penggilingan besar. Mereka juga menebas padi petani sebelum panen dengan memberikan uang muka kepada petani Rp 2 juta-Rp 4 juta per hektar.

content

”Modalnya dari kami sendiri dan ada yang dari pedagang rekanan kami dari Cirebon, Karawang, dan Indramayu. Kami biasanya menyiapkan tenaga panen borongan,” kata Sugito (50), penebas asal Kecamatan Karanganyar, Demak.

Sementara Darsono (45), pemilik penggilingan padi di Desa Bakung Kulon, Kecamatan Jamblang, mengaku membeli gabah kering giling dari pengepul di sejumlah daerah, terutama Demak dan Kuningan (Jawa Barat), rata-rata Rp 5.000-Rp 5.500 per kg. Harga tersebut sudah termasuk biaya transportasi. Kalau sudah menjadi beras dan dijual di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, harganya menjadi Rp 9.500 per kg untuk beras kualitas II dan Rp 10.000 per kg untuk kualitas I. ”Ketika masuk ke pasar tersebut, saya biasanya membayar Rp 100.000 per truk ke perantara-perantara pedagang di pasar induk,” katanya.

Sangat kuat

Keadaan yang tidak berbeda jauh terjadi di Jawa Timur. Selama ini, penebas atau pengepul menguasai dan menentukan harga gabah saat panen. Peran mereka sangat kuat sehingga perpindahan beras dari petani ke konsumen sangat panjang.

Ketua Paguyuban Pedagang Beras Bendulmerisi Surabaya, Jawa Timur, Sudarno mengatakan, ketergantungan petani pada penebas sangat besar. Petani mengikuti harga yang diminta penebas karena petani membutuhkan biaya untuk panen serta modal untuk musim tanam berikutnya.

Selama ini, penebas menerapkan sistem borongan. Jadi, hanya dengan melihat dari jauh langsung menetapkan harga total hasil produksi, misalnya Rp 20 juta. Tanpa perlu ditimbang, jadi benar-benar seperti berjudi. Dengan cara ini, petani tak lagi repot membiayai proses panen karena itu menjadi tanggung jawab penebas. Biasanya, penebas menaikkan harga Rp 200 hingga Rp 400 per kg ketika menjual beras kepada pedagang.

Suprapto, Ketua Asosiasi Pengusaha Beras dan Padi Sidoarjo, mengatakan, gabah yang dibeli dari petani tidak pernah ditahan setelah diproses, tetapi langsung dijual kepada pedagang. ”Buat apa menyimpan gabah meski sudah diproses melalui mesin pengering canggih dengan kadar air benar-benar rendah. Begitu digiling langsung ke pedagang, tanpa lewat distributor,” katanya.

Petani yang rata-rata penyewa lahan, memilih menjual gabah saat panen karena sudah terjerat tengkulak. Fasilitas sarana pengering berupa terpal plastik dari pemerintah tidak menjamin petani mau menjemur sendiri gabahnya karena tidak memiliki tempat penyimpanan.

Di Makassar, perilaku para perantara dan spekulan juga muncul. Sekretaris Kelompok Tani Nelayan Andalan Sulawesi Selatan M Asri mengatakan, mahalnya harga beras dipicu spekulan atau pedagang yang kadang-kadang menyimpan beras.

Pemodal besar

Jaringan rantai pasokan pedagang dan pemilik penggilingan yang kuat menyebabkan Perum Bulog kesulitan menyerap beras petani. Jaringan rantai distribusi tersebut membentuk harga pasar yang pada tahun ini di atas HPP sehingga semakin menyulitkan Perum Bulog. Kondisi ini semakin rumit karena ada pemodal besar yang menguasai pembelian dari petani, mengolah beras, dan memasarkan langsung ke pusat penjualan.

Badan Pusat Statistik mencatat, alur distribusi beras dari produsen ke konsumen akhir untuk seluruh Indonesia rata-rata melibatkan dua-sembilan fungsi kelembagaan perdagangan.

Kepala BPS Suryamin mengatakan, alur distribusi terpanjang berada di DKI Jakarta. Pola perdagangannya mencapai tujuh rantai dengan delapan mediator atau kelembagaan. ”Rantai perdagangan seperti itu dapat menyebabkan harga di tingkat konsumen akhir terlalu tinggi,” katanya.

Suryamin menambahkan, untuk margin perdagangan dan pengangkutan beras mencapai 10,42 persen. Dengan margin itu, rata-rata pelaku perdagangan beras mendapatkan keuntungan 10,42 persen dari nilai pembelian. (HEN/IKI/LAS/REN/LAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160229kompas/#/1/

Nasionalisme dan Kedaulatan Pangan

Senin, 29 Februari 2016



SATUHARAPAN.COM - Ketika berlangsung  World Food Summit di Roma (1996), dengan yakin para delegasi pemerintah menyatakan bahwa pada  tahun 2015 kelaparan di bumi ini akan berkurang setengahnya. Namun, tahun 2015 sudah dilewati, data terkini menunjukkan alih-alih mengalami penurunan, angka penderita kelaparan terus mengalami pemuaian.

Globalisasi perdagangan pangan yang dikemas dalam bungkus “neoliberal” kapitalistik telah menorehkan cacatan memprihatinkan tentang bisnis perut ini. Negara-negara miskin dunia menjadi pengimpor pangan bersih. Artinya ada ratusan negara tidak bisa  mengakses pangan secara baik karena tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk memproduksi pangannya sendiri.

Dalam upaya mengatasi masalah kelaparan dan akses pangan ini, PBB melalui FAO memperkenalkan istilah “ketahanan pangan” (food security) dengan harapan setiap saat, semua orang dapat mengakses pangan dalam jumlah yang cukup dan dapat diterima secara budaya. Namun, konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Ketahanan pangan juga mengabaikan praktik ekspor produk pangan murah. Praktik ini dibiarkan bahkan didorong atas nama perdagangan bebas yang disokong oleh negara-negara maju yang memberikan subsidi penuh kepada petaninya.



Kegagalan ketahanan pangan

Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 – diamandemen menjadi UU No. 18 Tahun 2012 – tentang Pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa "Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara  FAO (1996) meredefinisi ketahanan pangan sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan (preferensi) pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat.

Namun, tragedi kelaparan di tengah masyarakat dunia (termasuk di Indonesia) hingga saat ini belum bisa diatasi dengan baik lewat simtem ketahanan pangan yang dikembangkan. Kekekerasan terhadap hak atas pangan masih berlangsung di sejumlah negara bahkan bertambah buruk di tengah zaman yang semakin maju teknologinya ini. India adalah negeri dengan jumlah penderita kelaparan tertinggi didunia, disusul Tiongkok. Sekitar 60% dari total penderita kelaparan di seluruh dunia berada di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri-negeri Sub-Sahara dan Afrika sebesar 24%, serta Amerika Latin dan Karibia 6%. Setiap tahun orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta. Juga setiap tahunnya 36 juta rakyat meninggal dunia karena kelaparan dan gizi buruk.

Kegagalan mengatasi kelaparan tidaklah mengherankan sebab ketahanan pangan hanya sebatas pernyataan di atas kertas semata. Pelaksanaan dan tanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan kerapkali dialihkan dari urusan negara menjadi urusan pasar.  Prinsip dan strategi neoliberal dijalankan untuk mencapai tujuan ketahanan pangan. Praktik ketahanan pangan yang dimainkan oleh International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO) pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan raksasa yang terlibat dalam perdagangan dan investasi agribisnis pangan.

Kebijakan perdagangan neoliberal ini menekankan bahwa mengimpor pangan murah adalah jalan terbaik bagi negara-negara miskin untuk mencapai ketahanan pangan dari pada memproduksi pangannya sendiri. Bank Dunia bahkan menegaskan bahwa perdagangan bebas sangat penting bagi ketahanan pangan agar pemanfaatan sumber daya di dunia lebih efesien.



Hak atas pangan

Seiring dengan itu, masalah ketahanan pangan  masih merupakan hal yang kompleks bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi, dan konsumsi mempunyai efek multidimensi. Ketahanan pangan tidak hanya terkait pangan, tetapi lebih merupakan masalah keamanan. Ketahanan pangan menjadi prasyarat untuk tercapainya ketahanan politik dan ketahanan ekonomi yang akan bermuara pada ketahanan negara dan kedaulatan bangsa. Presiden AS George W Bush dalam suatu pidatonya dihadapan sejumlah petaninya pada 2001 menyebutkan “Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation subject to international pressure....!” (Sibuea, 2010).

Pangan sangat penting bagi kehidupan. Karenanya, hak atas pangan merupakan perluasan dari hak asasi manusia paling mendasar untuk hidup. Paradigma hak atas pangan mendorong berbagai gerakan masyarakat sipil, termasuk petani, untuk menentukan sendiri konsep pemenuhan pangannya yang berbasis sumber daya lokal. Organisasi petani internasional La Via Campesina melihat hak atas pangan dari perspektif kedaulatan pangan (food sovereignty), yaitu sebagai hak seluruh rakyat, bangsa dan negara untuk menentukan kebijakan petanian dan pangannya sendiri tanpa campur tangan negera lain.

Konsep kedaulatan pangan telah berkembang sedemikian rupa melampaui ruang  ketahanan pangan (food security) yang lebih dikenal sebelumnya, yang hanya bertujuan untuk memastikan produksi pangan dalam jumlah yang cukup dengan tidak memperdulikan jenis, di mana, seberapa besar skala dan bagaimana produksi pangan tersebut. Kedaulatan pangan melampaui wacana tentang hak pada umumnya. Ia adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan secara mandiri. Ia berseberangan dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan pemilik modal besar di bidang pangan yang merusak sistem produksi pangan rakyat (lokal) melalui perdagangan bebas.

Lahirnya pendekatan kedaulatan pangan dalam perspektif pemenuhan pangan berbasis sumber daya lokal juga  didorong oleh kenyataan bahwa  hak atas pangan semakin terabaikan oleh negara. Komunitas lokal di berbagai daerah di Tanah Air semakin kerap terancam kelaparan dan termarjinalisasi sebagai akibat liberalisasi perdagangan. Banjir impor pangan murah dari luar negeri – khususnya dari China dan Malaysia –  telah membuat usaha kecil bidang pangan dari jutaan komunitas lokal kian terpuruk.

Untuk itu, ada hal penting yang patut dikaji di awal tahun 2016 ini. Dalam dikusi awal tahun 2016 yang diselengerakan Persekutuan Intelegensia Sinar Kasih (PISKA) beberapa waktu lalu di Jakarta terungkap keraguan publik. Setelah satu tahun pemerintahan presiden Jokowi, pembangunan politik pangan nasional semakin tidak jelas arahnya. Keraguan ini bisa dipahami karena masih tingginya ketergantungan kita terhadap pangan impor.

Di tengah kemajuan teknologi pangan, produk pangan olahan berbasis sumber daya lokal seharusnya bisa hadir sejajar dengan produk pangan impor. Produk olahan singkong misalnya tidak lagi dianggap sebagai lambang  kemiskinan. Singkong yang sudah lama dikenal masyarakat dalam berbagai bentuk makanan olahan,   sentuhan teknologi pangan di dalamnya harus dimaksimalkan untuk mengatrol citranya di mata masyarakat dan sekaligus dimaknai sebagai kebangkitan nasionalisme pangan.

Masyarakat Batak Toba memiliki budaya makan  lokal berbasis singkong untuk menyiasati  mahalnya harga beras di masa penjajahan Belanda. Mengonsumi ubi singkong rebus sebagai makanan "pembuka" menjadi pilihan yang amat popular saat itu. Pola konsumsi ini dikenal  “manggadong” untuk menyebut mengonsumsi ubi rebus sebelum makan nasi (Sibuea, 2014).

Sayangnya, berbagai  budaya  makan lokal yang dikenal sejak berabad-abad silam secara perlahan mulai terpinggirkan karena pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi budaya makan berbasis kearifan lokal.

Dengan penguasaan ilmu dan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi pangan.  Harga pun  mereka atur sedemikai rupa. Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food capitalism. Lantas, sampai kapan perut rakyat Indonesia dijajah pangan impor?


Posman Sibuea
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser).

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/nasionalisme-dan-kedaulatan-pangan

Jumat, 26 Februari 2016

Beli beras petani, Bulog tetap gunakan HPP lama

Kamis, 25 Februari 2016

PALU. Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Sulawesi Tengah tetap akan menggunakan standar harga pembelian pemerintah (HPP) membeli beras petani pada musim panen 2016 ini.

"Hingga kini belum ada HPP beras baru yang ditetapkan pemerintah," kata Kepala Bidang Pelayanan Publik Bulog setempat, Abdul Gani Kanae di Palu, Kamis.

Ia mengatakan HPP beras lama sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang harga beras pembelian oleh Bulog ditetapkan sebesar Rp 7.300/kg.

Sepanjang belum ada HPP baru, tentu Bulog di daerah, termasuk di Sulteng masih mengacu kepada HPP 2015 dalam membeli beras petani.

Menurut dia, sedikit akan menyulitkan Bulog untuk membeli produksi petani yang selama ini banyak diserap para pedagang dari luar daerah.

Apalagi, kata dia, harga beras di tingkat produsen saat ini masih jauh diatas HPP, meski sudah turun.

Sekarang harga beras di penggilingan-penggilingan padi di wilayah Sulteng masih di atas HPP yakni berkisar Rp 8.500-Rp 9.000/kg.

Sebelumnya harga beras di tingkat produsen mencapai Rp 9.500/kg.

Dengan HPP lama ditetapkan pemerintah Rp 7.300/kg, Bulog akan sulit bersaing dengan pedagang luar membeli beras petani.

"Tapi kita tetap optimistis bisa membeli beras petani pada panen musim tanam pertama yang akan berlangsung sekitar April 2016," katanya.

Pada musim panen (MP) 2016 ini, Bulog Sulteng menargetkan pembelian beras di daerah itu sebanyak 42.000 ton yang terdiri 40.000 ton PSO dan 2.000 ton komersil.

Kebutuhan penyaluran di Sulteng setiap tahunnya mencapai sekitar 40.000 ton.

Kamis, 25 Februari 2016

Gubernur NTB dan Perlawanan Terhadap Beras Impor

Kamis, 25 Februari 2016
Gubernur NTB dan Perlawanan Terhadap Beras Impor

mataram -Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) NTBTGBZainulMajdi (43) berbicara keras di depan PresidenJokoWidodo (Jokowi) saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN). Dia mengkritik Bulog dan menolak masuknya beras impor di wilayahnya. Penolakan yang muncul karena bertentangan dengan kondisi masyarakat di NTB.
TGB yang merupakan kepanjangan dari Tuan Guru Bajang memberikan sambutan dalam acara HPN 9 Februari 2016 lalu di Mandalika, NTB. Hadir dalam acara itu, sejumlah insan pers sampai Jokowi dan ibu negara Iriana. Saat memberi sambutan, TGB tak hanya menceritakan sejumlah perbaikan di NTB, namun juga mengkritik kinerja Bulog. Menurutnya, Bulog tak menyerap dengan sempurna produksi pangan di NTB, namun di sisi lain, lembaga pengatur urusan pangan tersebut malah merekomendasikan impor.
Karena itu, sampai saat ini, dia menolak bila ada beras impor yang masuk ke NTB. Alasannya jelas, produksi beras di NTB surplus setiap tahunnya, sehingga beras impor tidak diperlukan.
"Kami menolak, karena produksi lokal cukup. Setiap tahun itu surplus lebih dari 600 ribu ton. Seharusnya itu diserap oleh Bulog," tegasnya kepada detikFinance saat berbincang di rumah dinas di Mataram, NTB, Rabu (24/2/2016).
Saat panen raya, kata TGB, seharusnya Bulog menyerap semua hasil petani. Harganya pun masih dalam rentang yang wajar dan sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP). Dengan demikian, ketika sedang tidak panen, maka stok tersebut bisa dipakai, tidak perlu impor.
"Saya selalu bilang, berhentilah menggunakan dalih kurang stok untuk kemudian mengimpor," paparnya.
Pria yang menghabiskan S1, S2 dan S3 di Universitas Al Azhar Kairo ini menyebut ada sejumlah upaya untuk memasukkan beras impor ke NTB. Caranya, menjadikan pelabuhan NTB untuk pintu masuk beras ke NTT. Lalu karena tak diberi izin, kini ada upaya masuk lewat Surabaya, namun tetap ditolak TGB.
Akibat larangan beras impor masuk ke NTB, muncul isu raskin yang belum terdistribusikan. Menyiasati hal ini, Zainul mengirim surat pada Kepala Bulog dan Menteri Pertanian agar membeli beras hasil dari petani. Dia yakin, ada stok cukup banyak di bulan Februari ini, dan bisa memenuhi kebutuhan msayarakat.
"Memang ada masalah harga sedikit, tapi itu bisa di-adjust. Kenapa membeli harga lebih mahal sedikit untuk rakyat tidak mau, tapi buat petani negara lain mau?" Cetusnya.
(mad/ang)

http://finance.detik.com/read/2016/02/25/111123/3150688/4/gubernur-ntb-dan-perlawanan-terhadap-beras-impor

Rabu, 24 Februari 2016

Soekarwo Minta Bulog Beli GKG, Bukan GKP Dari Petani

Rabu, 24 Februari 2016

Bisnis.com, SURABAYA - Gubernur Jawa Timur Soekarwo meminta Bulog membeli gabah kering giling, bukan gabah kering panen, agar petani mendapat nilai tambah lebih besar.

Permintaan itu disampaikan Soekarwo saat menghadiri penandatanganan nota kesepahaman (MoU) ketahanan pangan antara Perum Bulog Divisi Regional Jatim dengan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Rabu (24/2/2016).

Dalam hitungannya, penyerapan dalam bentuk GKG akan memberi nilai tambah 16% kepada petani meskipun secara volume menyusut 5%.

"Jangan ada truk-truk masuk ke sawah membeli gabah kering panen," ungkap Soekarwo.

Pada 2015, Jatim memproduksi 13 juta ton GKG setara 8,5 juta ton beras.

Dengan kebutuhan 3,5 juta ton, maka Jatim surplus beras 4,9 juta ton.

http://industri.bisnis.com/read/20160224/99/522238/soekarwo-minta-bulog-beli-gkg-bukan-gkp-dari-petani

Selasa, 23 Februari 2016

Harga Gabah Petani Temanggung Merosot

Selasa, 23 Februari 2016

BENCANA banjir di sejumlah daerah membuat kualitas gabah petani memburuk. Walhasil, harga jual gabah merosot. Seperti di Temanggung, Jawa Tengah, sudah tiga hari terakhir harga gabah kering panen (GKP) hanya berkisar Rp3.000-Rp4.000 per kilogram. Padahal, tiga pekan lalu, GKP masih di kisaran Rp4.700 per kg. "Merosotnya harga gabah disebabkan kualitas kurang bagus.

Kebanyakan padi dipanen dini lantaran terkena banjir atau rusak kena angin," ujar pengelola usaha penggi-lingan padi di Kecamatan Temanggung, Siti, 40, Senin (22/2). Dia menambahkan tingginya curah hujan juga menyebabkan proses penjemuran berlangsung lebih lama.

"Untuk pasokan cenderung normal, antara 2 ton hingga 3 ton tiap satu kali pembelian. Namun, jarang panas menghambat proses penjemuran sehingga kebanyakan gabah menumpuk di selepan," ujar dia. Harga gabah yang terus merosot, menurut Siti, tidak berpengaruh pada harga beras. Saat ini beras di selepan dijual dengan harga Rp9.000 per kg. Ketua Himpunan Kerukun-an Tani Indonesia (HKTI) Jawa Tengah, Tulus Budiono, menjelaskan, musim hujan yang bersamaan dengan terjadinya panen membuat kadar air gabah tinggi mencapai di atas 30%. Menurut dia, harga gabah yang mendekati Rp3.000 per kg mestinya tidak menjadi persoalan dan dia meyakini petani bisa memahami.

Rastra premium

Tulus juga menepis anggapan turunnya harga gabah disebabkan ada beras impor yang dibagikan, yaitu yang berupa beras untuk kesejah-teraan rakyat (rastra) bagi rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM). Sebab, lanjut dia, rastra yang dibagikan itu menggunakan sisa stok tahun lalu dari Bulog. Namun, dia mengakui, beras rastra yang dibagikan saat ini ialah kualitas premium dan akhirnya dikonsumsi sendiri oleh penerima. Dampaknya tingkat pembelian beras oleh masyarakat jadi berkurang sehingga harga beras pun kini menjadi lebih murah.

"Guliran rastra premium untuk seluruh RTS kebetulan bersamaan dengan awal panen, tetapi penurunan harga pembelian pemerintah (HPP) lebih disebabkan gabah panenan petani terjadi pada musim hujan," ungkap dia. Bulog, papar Tulus, akan menyerap gabah petani mulai bulan depan. Saat ini Bulog mempersiapkan pembiayaan dan kontrak tender dengan mitra kerja. Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Sukabumi, Jawa Barat, Sudrajat, berharap Bulog Subdivisi Regional Cianjur bisa menyerap beras petani lebih banyak karena produktivitas padi mencapai 180 ribu ton per tahun.

Kepala Bulog Subdivisi Regional Cianjur Drajat Sudrajat menargetkan bisa menyerap beras dari petani sebanyak 25 ribu ton padatahun ini, atau lebih banyak daripada tahun lalu, 18 ribu ton. Sebanyak 15 ribu ton beras impor asal Thailand tiba di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak tiga hari terakhir. "Pembongkaran dari kapal membutuhkan waktu sekitar dua pekan," kata Kabid Pelayanan Publik Bulog Divre NTT, Minggus Foes. (TS/WJ/BB/PO/N-2)

http://www.mediaindonesia.com/news/read/30111/harga-gabah-petani-temanggung-merosot/2016-02-23

Senin, 22 Februari 2016

DPR Minta Mafia Beras Dibongkar

Sabtu, 20 Februari 2016


JAKARTA (HN) - Melimpahnya stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) per 17 Februari 2016 sebesar 53.145 ton melonjak 138% dibandingkan periode Februari 2015, cukup mengagetkan banyak pihak. Hal tersebut dikarenakan saat ini baru saja berakhir musim paceklik Januari 2016. Fenomena ini bahkan tidak hanya terjadi di PICB namun juga terjadi di enam pasar sentra beras di DKI,Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.

Dalam menyikapai kasus ini, anggota Komisi IV DPR Al Muzzammil Yusuf mengatakan bahwa kejadian seperti ini bisa jadi merupakan permainan para mafia beras yang selama ini melakukan penimbunan beras dan kemudian melemparnya ke pasar menjelang memasuki panen.

"Ini bisa jadi ulah mafia beras yang memang menimbun beras dan melempar ke pasar menjelang panen," ujarnya, Jumat (19/2).

Kata politikus PKS ini, perbuatan yang menimbun beras dan mempermaikan harga seperti inilah yang paling merusak cita-cita bangsa untuk membangun kedaulatan pangan dalam negeri.

"Mentan, Bulog, KPPU dan kepolisian harus membongkarnya. Kalau tidak dibongkar akan terus berulang seperti ini," ungkap Muzzammil.

Dia juga meminta kepada BPS untuk turun melihat ke pasar, sehingga data ke depan bisa lebih akurat lagi. "Data jangan hanya jadi permainan angka tanpa fakta. Itu bisa menggagalkan program kedaulatan pangan kita,"  pungkasnya


Jumat, 19 Februari 2016

Petani Kecewa atas Kebijakan HPP Beras

Kamis, 18 Februari 2016


JAKARTA (HN) - Keputusan pemerintah mengenai harga pembelian pemerintah (HPP) beras yang tidak mengalami kenaikan pada tahun 2016 disesalkan petani. Padahal HPP ini sudah berlaku selama tiga tahun terakhir. Kondisi ini membuat petani mendapatkan untung yang kecil, dibandingkan pedagang atau tengkulak.

"Kami cukup kecewa karena pemerintah tidak menaikkan HPP beras. Kami berharap ada kenaikan di tingkat petani tapi tidak ada kenaikan ditingkat konsumen," ujar Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih kepada HARIAN NASIONAL, di Jakarta, Rabu (17/2).

Ia mengatakan, sebetulnya petani telah menghitung kenaikan yang harusnya terjadi pada HPP. Setidaknya berkisar 15 persen atau Rp 1.095 per kilogram. Jika pada 2015 HPP beras sebesar Rp 7.300 per kilogram maka pada 2016 HPP Rp 8.395 per kilogram.

"Kalau HPP naik 15 persen maka petani akan memiliki untung yang lebih besar. Sehingga lebih semangat dalam menanam padi. Kalau sekarang untung sangat tipis, justru kenaikan banyak di pedagang.

Mereka menjual sampai Rp 10 ribu lebih per kilogram," ucapnya.
Tidak hanya itu, ia juga mengatakan, aspirasi mengenai HPP sesuai daerah pun belum didengar. Padahal hal itu bisa menjadi pertimbangan ongkos produksi sesuai kebutuhan.

"Aspirasi kami mengenai HPP per daerah juga belum didengar. Padahal itu akan mempermudah petani menentukan untung sesuai dengan kebutuhannya. Masing-masing daerah kan beda kondisinya," katanya.

Untuk kenaikan HPP pada 2016 menurut Henry, seharunya bisa dibarengi dengan pencegahan fluktuasi harga. Hal ini juga bisa berlaku hingga lima tahun ke depan.

"Jadi lebih baik naik HPP, tapi tidak boleh ada kenaikan ditingkat konsumen dengan flukuatif. Itu perlu diatur, dan pedagang tidak boleh ambil untung lebih dari 30 persen," kata Henry.

Hingga saat ini, harga HPP Rp 7.300 tidak terlalu memberi manfaat. Badan Urusan Logistik (Bulog) tidak serta merta menyerap beras langsung dari petani.

"Bulog itu, meski harga HPP beras Rp 7.300 tetap beli lebih dari itu. Karena belinya ke pengepul bukan pada petani langsung," katanya.
Untuk menstimulasi penyerapan tidak hanya dibutuhkan HPP yang murah. Tapi pembenahan dua hal pokok pada Bulog. Pertama adalah harga yang bagus dari pemerintah. Kedua yakni infrastruktur yang mencukupi bagi Bulog.

"Selama ini Bulog tidak akan bisa menyerap beras karena harga pengepul lain masih lebih tinggi dari Bulog. Petani lebih memilih jual ke pengepul. Kedua, harus diperbaiki infrastruktur Bulog supaya gudangnya muat banyak," ucap Henry.

Diketahui, pemerintah menyatakan HPP Gabah dan Beras Tahun 2016 tidak mengalami perubahan sesuai Inpres No 5 Tahun 2015. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution keputusan ini untuk stabilisasi harga beras dan menjaga pasokan.

"Dalam rangka menjaga pasokan dan stabilisasi harga beras, melindungi tingkat pendapatan petani, pengamanan Cadangan Beras Pemerintah, dan penyaluran beras untuk keperluan masyarakat, harga gabah dan harga beras tetap," katanya dalam keterangan tertulis.

Beberapa ketetapan yang dirilis pada bisa digunakan sebagai acuan para pemangku kepentingan. Beberapa harga tersebut adalah Gabah Kering Panen Harga Gabah Kering Panen (GKP) di penggilingan ditetapkan sebesar Rp 3.750 per kilogram di penggilingan. Kedua Gabang Kering Giling Harga Gabah Kering Giling (GKG) di gudang BULOG ditetapkan sebesar Rp 4.600 per kilogram. Beras
HPP dalam negeri ditetapkan sebesar Rp 7.300 per kilogram di gudang Perum Bulog.

"Dengan demikian, Inpres No. 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah dinyatakan masih tetap berlaku dan agar menjadi pedoman oleh stakeholder terkait," ucap Darmin.

Rabu, 17 Februari 2016

Pemerintah Pastikan HPP Gabah Dan Beras Tetap

Selasa, 16 Februari 2016

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memastikan harga pembelian pemerintah (HPP) atas gabah dan beras tahun ini tidak akan direvisi.

Fakta ini berkebalikan dengan pendapat para pengamat yang meminta HPP beras disesuaikan dengan tingkat kenaikan inflasi.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam keterangan pers menyampaikan HPP gabah dan beras tidak akan mengalami perubahan dan masih akan mengacu pada Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras oleh Pemerintah.

“Dalam rangka menjaga pasokan dan stabilisasi harga beras, melindungi tingkat pendapatan petani, pengamanan Cadangan Beras Pemerintah, dan penyaluran beras untuk keperluan masyarakat, harga gabah dan harga beras tetap,” kata Darmin, Selasa (16/2/2016).

Selama ini, kalangan pengamat menilai HPP gabah dan beras seharusnya naik untuk mempermudah Perum Bulog menyerap produksi petani.

Saat ini, Bulog kerap kalah dengan para pedagang perantara yang membeli produksi petani dengan harga yang lebih tinggi dari HPP.

Adapun dalam Inpres Nomor 5 tahun 2015, diatur HPP gabah kering panen (GKP) yaitu sebesar Rp3.750 per kilogram, HPP GKG sebesar Rp4.600, dan HPP beras sebesar Rp7.300 per kilogram.

http://industri.bisnis.com/read/20160216/99/519557/pemerintah-pastikan-hpp-gabah-dan-beras-tetap

Belajar Swasembada Pangan dari Kasepuhan Cipta Gelar Banten Kidul

KAMI tinggal di rumah pasangan Yoyo Yogasmana dan Umi Kusumawati. Bangunannya panggung, terbuat dari kayu dan bambu. Sebuah pohon kukuk (sejenis labu) ditanam di halaman depan, seperti menyambut siapa saja yang datang.

Di bagian belakang, di seberang dapur bertungku, ada beranda tempat Yoyo menyimpan aneka alat musik. Beranda itu menghadap kebun sayur, buah, dan bunga yang menjadi ‘laboratorium’ Umi.

Yoyo adalah seniman pertunjukan kelahiran Tasikmalaya yang telah melalangbuana di panggung-panggung internasional seperti Jepang dan Kanada. Rekaman pertunjukannya bertabur di youtube. Sedangkan Umi berasal dari Solo yang sebelumnya tinggal di Bali, dan pernah bekerja di lembaga internasional. Keluarganya menjalankan bisnis rumah makan. Yoyo memutuskan menetap dan menikah di Ciptagelar sejak 2007.

“Oleh Baris Kolot (para penasihat adat) kami disebut sebagai ‘kerbau yang kembali ke kandang’,” kenang Yoyo.
Sistem kepercayaan di Kasepuhan Ciptagelar memang tak mengenal konsep pribumi dan pendatang. Mereka yakin leluhur manusia sejatinya satu, dan semua (pernah) berpusat atau berasal dari kasepuhan. Termasuk berbagai ras yang ada di muka bumi. Entah kulit putih-hitam, mata lebar-sipit, rambut lurus-keriting, atau sawo matang-kuning langsat.

Karenanya, warga kasepuhan yang memahami tatanan adat, tak pernah melihat pasangan Yoyo dan Umi sebagai pendatang. Oleh pemimpin adat, Ugi Sugriana Rakasiwi alias Abah Ugi,Yoyo bahkan mendapat tugas sebagai ‘jurubicara’ kasepuhan. Sebagai mediator antara kasepuhan dan para tamu yang datang. Ia juga mengelola radio dan televisi komunitas yang diberi nama Ciga TV.

Dia adalah Menteri Komunikasi dan Informatika bagi kasepuhan.

“Tak semua orang mudah memahami adat kami. Sebab orang datang dari latar belakang yang berbeda dan tak semua siap membuka pikiran. Bila hal itu disampaikan dengan cara yang kurang tepat, bisa menimbulkan salah persepsi,” papar Yoyo.

Orang mengenal mereka sebagai penganut Sunda Wiwitan. Meski Yoyo tak terlalu tertarik membahas identitas. Di rumah ini, agama atau kepercayaan bukan persoalan. Umi, masih mempertahankan keyakinannya sebagai penganut Katolik dan sesekali ke gereja bila sedang bepergian.

imah gedeDi sebelah Imah Gede juga ada mushala, dan ada yayasan Taman Pendidikan Al Quran yang menyatu dengan bangunan sekolah dasar. Bahkan acara kenduri adat seperti Tutup Nyambut (upacara penanda masa berakhirnya tanam padi) atau Haraka Huma (syukuran pada hasil ladang non-padi) juga membaca Al Fatihah.

Di sisi lain, konsep ‘Dewi Sri’ juga dikenal sebagai bagian dari sistem kepercayaan dalam bercocok tanam padi. Leluhur juga dihormati sebagai salah satu sumber petunjuk melalui medium Abah Ugi, berdampingan dengan sistem astronomi yang digunakan sebagai kalender bercocok tanam.

Sulit menyebut Ciptagelar sebagai kampung yang serba mistis, sebab di saat yang sama mereka punya panel surya (solar cell) dan tidak menggantungkan penerangan dari PLN karena memiliki turbin mikrohidro sendiri.

Melihat Abah Ugi disanjung dan dihormati sedemikian rupa (di mana orang harus berjalan di atas lutut sebelum menghadapnya di rumah utama), sulit bagi kami memberi label ‘feodal’ karena yang dihadapi adalah seorang pemuda berusia 29 tahun yang telah mendesain sendiri turbin berkapasitas 9.750 watt.

(baca: Energi dari Gunung Halimun – The Geo Times)

http://geotimes.co.id/kebijakan/lingkungan/14043-energi-dari-gunung-halimun.html

Menyebut mereka sebagai masyarakat tradisional juga kurang tepat, karena kami lebih banyak mendapatkan informasi tentang serba-serbi sistem aerodinamika kamera terbang (drone) dari Abah Ugi, ketimbang dari internet.

Bahwa dalam sistem pertanian mereka pantang menggunakan traktor dan hanya memperbolehkan menanam padi setahun sekali, bukan berarti ketinggalan teknologi dan menolak mekanisasi atau intensifikasi. Faktanya, justru sistem itu yang membuat mereka mampu berswasembada beras dan memiliki ketahanan pangan dua tahun lebih unggul dari Republik Indonesia.

Artikel yang pernah dimuat majalah The Geo Times ini akan menutup catatan perjalanan kami di Ciptagelar. Perjalanan yang kami rencanakan hanya tiga hari, dan molor menjadi lima hari.

Saat berpamitan, Yoyo Yogasmana menitipkan benih buah kukuk dan labu untuk disampaikan kepada masyarakat adat berikutnya yang kami kunjungi: Sedulur Sikep (Samin) di JawaTengah.

Sedangkan Abah Ugi memberi kami lima stiker bertulis: “Kesatuan Adat Banten Kidul, Kasepuhan Ciptagelar”. Tepat di tengahnya terdapat gambar yang menjadi alasan kami datang ke sini: lumbung padi.

Tiga Rahasia Swasembada ala Abah

lumbung cipta gelar28 lumbung padi berjajar membentuk formasi seperti benteng yang diletakkan lebih tinggi dari areal permukiman. Jajaran lumbung ini sekaligus menjadi pembatas antara areal persawahan dan perkampungan. Di bawah jajaran lumbung itu, ada yang tertua dan terbesar yang diberi nama ‘Jimat’. Di sana tersimpan ribuan ikat padi dan sekitar 175 bibit varietas lokal yang telah dikembangkan selama 640 tahun lebih.

Tak berlebihan bila jajaran lumbung yang kecil ibarat barisan serdadu yang menjadi tameng pemimpinnya. Sebab itulah pesan yang hendak disampaikan lewat tata letak bangunan di Kasepuhan Ciptagelar: pertahanan dan ketahanan pangan.

Kasepuhan Ciptagelar adalah bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul. Secara administrasi, letaknya di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, atau sekitar 28 kilometer dari lokasi wisata Pelabuhan Ratu, di pantai selatan pulau Jawa. Pada ketinggian 1.100 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut inilah, sistem pertanian tepat guna yang dibungkus aneka mitos dan adat, diterapkan.

Hasilnya, bisa dibandingkan lewat kepingan informasi ini: Indonesia memiliki 600 gudang beras Bulog di seluruh Nusantara. Kasepuhan Ciptagelar memiliki 8.000 lumbung padi. Cadangan beras Indonesia rata-rata hanya cukup untuk delapan bulan atau paling lama satu tahun. Cadangan beras di Ciptagelar cukup sampai tiga tahun. Cadangan beras Indonesia juga dipenuhi dari impor, sedangkan adat di Ciptagelar justru melarang menjadikan beras sebagai komoditas yang diperjual-belikan.

Terakhir, rata-rata lahan pertanian di Indonesia memanen padi setahun dua kali dengan sebagian di antaranya menerapkan sistem pertanian modern, lengkap dengan subsidi benih dan pupuk. Sedangkan adat di Ciptagelar hanya mengizinkan setahun sekali dan melarang menggunakan traktor. Pupuk kimia, hanya digunakan satu kali di lokasi tertentu yang tanahnya dianggap kurang mendukung pertumbuhan dan kekuatan akar padi.

Tentu perbedaannya ada di skala. Lumbung beras di Bulog untuk mengamankan perut 230 juta jiwa, sedangkan lumbung di Ciptagelar menjaga ketahanan pangan 29.000 warga kasepuhan.  Satu gudang Bulog mengawal 383.000 perut orang. Sedangkan satu lumbung di Ciptagelar menjaga pangan 3.600 jiwa.

Namun esensinya bukan soal skala.

Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), bila seluruh daratan di Indonesia digabung, luasnya mencapai 180 juta hektar. Dari daratan seluas itu, yang digunakan untuk sawah tanaman pangan hanya 8,1 juta hektar atau tak lebih dari lima persennya. Namun di Ciptagelar, areal tanaman pangan mencapai 30 persen, dengan tetap membiarkan sisanya menjadi hutan yang juga mampu menjaga pasokan air untuk menghidupkan lebih dari 10 turbin mikrohidro yang listriknya menerangi 6.000 rumah.

Tiga Rahasia

bercocok tanam di cipta gelar“Dulu kita (bangsa Indonesia) mengirim beras ke luar negeri. Sekarang kita yang dikirimi beras dari luar negeri. Jadi kalau mereka paceklik, pasti mendahulukan kebutuhan sendiri. Jadi kita bisa kelaparan,” tutur Abah Ugi, mengurai dengan sederhana konsep ketahanan pangan.

Nama lengkapnya Ugi Sugriana Rakasiwi. Usianya baru 29 tahun. Tujuh tahun lalu, ia harus menggantikan kedudukan almarhum ayahnya, Abah Anom, sebagai pemimpin kasepuhan.Tapi di tangan pemuda itulah sistem pertanian berbasis adat, berkiblat.

“Warga Abah belum bisa tanam padi, kalau Abah belum tanam.”

Ia tak menganggap itu sebagai keistimewaan, melainkan tanggung jawab sosial yang tinggi. Karena itu berarti Ugi harus menguasai ilmu astronomi yang telah diwariskan turun temurun selama ratusan tahun. Setidaknya sejak kasepuhan mengenal upacara adat perayaan padi bernama Seren Taun yang dimulai sejak 1368.

“Kami melihat bintang Kidang dan Kerti. Mereka hanya lewat setahun tiga kali. Bila posisinya sudah lurus, berarti itu waktunya menanam padi,” terangnya.

Menurutnya, posisi bintang itu tak hanya menandai datangnya musim hujan, juga terkait dengan siklus hidup hama.

“Karena kami hanya menanam padi setahun sekali, maka habitat hama tidak cukup punya banyak bahan makanan untuk berkembang biak sepanjang tahun. Berbeda bila kita menanam setahun dua kali. Hama tanaman dengan mudah beregenerasi untuk menyerang padi di musim tanam berikutnya.”

Itulah rahasia pertama swasembada ala Ciptagelar. Rahasia kedua adalah larangan adat menjual gabah atau beras hasil panen.

Pasangan Yoyo Yogasmana dan Umi Kusumawati telah bersiap di depan hidangan di dapur rumahnya yang berlantai kayu beralas bambu. Anak angkatnya, Jamang, masih sibuk menyelesaikan editing video untuk televisi komunitas, Ciga TV. Sejurus kemudian, Jamang menyusul bersila dilantai dapur, di depan tungku yang masih menyisakan bara.

“Mengapa beras hasil panen tak boleh dijual. Lalu dari mana mendapatkan uang?” tanya kami.

“Di sini, bertani itu bukan mata pencaharian. Bertani adalah kehidupan. Bagaimana mungkin kami menjual kehidupan,” jawab Yoyo singkat dan filosofis.

Setelah itu, ia pun menjelaskan bahwa pangan adalah komoditas utama yang harus dijaga ketersediaannya, terutama untuk komunitas yang memilih hidup terpencil seperti Kasepuhan Ciptagelar. Adapun tentang sumber keuangan, warga Ciptagelar masih memiliki enam bulan di luar musim padi untuk menanam aneka tanaman yang dapat diperjual-belikan seperti sayur mayur, buah-buahan, atau palawija. Di luar itu, warga juga sedang giat menanam kopi yang kini sedang dikembangkan Abah Ugi.

“Soal pangan kami sudah cukup. Sekarang bagaimana meningkatkan taraf ekonomi. Karena itu Abah sedang mengembangkan kopi Ciptagelar, sebab tanah di ketinggian ini cocok,”paparnya.

Dengan adanya larangan adat menjual beras, tak heran bila stok beras di lumbung-lumbung warga Ciptagelar tak pernah surut. Satu lumbung kecil dapat menampung 500 ikat padi, yang cukup menghidupi satu keluarga kecil selama setahun.

“Bagaimana bila semua orang menerapkan sistem larangan ini? Tidakkah ini akan menyulitkan mereka yang tidak punya tanah dan tak bisa bertani?” kejar kami.

“Bagus bila semua orang menerapkan larangan ini. Itu artinya, semua orang akan kembali ke basis kehidupan: bertani. Itu artinya semua orang akan menanam. Sebab yang mau hidup, harus mau menanam untuk makan,” tandas Yoyo, sembari memasukkan suapan beras merah ke mulutnya. Hasil sawah sendiri.

Dengan cara pandang seperti ini, warga Ciptagelar tak menempatkan uang sebagai alat tukar utama dalam sistem ekonominya. Sebab, dalam sistem ini, pemilik uang yang banyak, tak berarti dapat membeli beras. Tak dapat membeli kehidupan. Implikasinya, kehidupan sosial menjadi lebih egaliter tanpa struktur dominasi yang ditentukan oleh modal.

Rahasia Ketiga

Resep terakhir swa sembada ala Ciptagelar adalah sistem kepemilikan tanah bersama. Setiap keluarga rata-rata memiliki lahan garapan sendiri. Tapi tanah ini tak dapat diperjual-belikan sebab statusnya bukan hak milik pribadi.  Tak ada sertifikat. Mereka hanya menggunakan untuk keperluan pertanian sistem sawah atau ladang (huma).

Meski begitu, lahan bisa berpindah tangan ke sesama warga kasepuhan dengan sejumlah uang pengganti sebagai kompensasi merawat tanah dan tanaman yang ada di atasnya.

Dengan kepemilikan tanah garapan secara kolektif, setiap keluarga tak menentukan sendiri-sendiri kalender tanamnya.

“Kami menanam serentak, merawat bersama, dan memanen bersama. Lalu merayakannya di Seren Taun. Itulah mengapa tidak ada hama penyakit, dan akhirnya bisa swasembada,” pungkas Abah Ugi.

Hujan tak turun hari itu. Padahal tiga hari terakhir tak pernah reda. Warga sedang punya hajat kenduri Haraka Huma. Ini adalah kenduri untuk menandai berakhirnya musim tanam. Artinya, tak boleh lagi adayang melakukan aktivitas menanam padi.

Semua orang kini bisa lebih bersantai di rumah. Abah Ugi meneruskan rekaman lagu yang dinyanyikan istrinya, sedangkan Yoyo, Umi, dan Jamang mengurus Ciga TV.

Menanam dan panen setahun sekali, dengan batas periode tanam yang ditandai dengan makan bersama,tapi tetap bisa mencadangkan beras hingga tiga tahun. Memang semudah itulah hidup di Ciptagelar.

Senin, 15 Februari 2016

Pemerintah diminta kerek harga pembelian beras

Minggu, 14 Februari 2016

JAKARTA. Petani terus menyuarakan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras dan gabah pada tahun 2015. Kenaikan HPP mendesak dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Bila tidak, maka jumlah petani yang akan jatuh miskin bisa lebih dari satu juta jiwa.

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa megatakan bila pemerintah tidak ingin mereview HPP maka akan menyengsarakan petani. Ia mengatakan, idealnya harga GKP di level petani minimal Rp 4.000 per kg. Sedang di HPP hanya Rp 3.700 per kg. "HPP merupakan satu-satunya instrumen yang dapat melindungi petani," ujar Andreas kepada KONTAN, Minggu (14/2).

Bila HPP tidak jadi dinaikkan tahun ini, sudah pasti para petani akan jatuh miskin lagi. Berdasarkan kajian AB2TI, sejak pemerintahan Jokowi sampai sekarang ada hampir satu juta petani yang jatuh miskin akibat kebijakan pangan yang tidak pro pada petani. "Pada enam bulan pertama saja pemerintahan sekarang sudah ada 570.000 petani yang jatuh miskin," tutur Andreas.

Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti mengaku Bulog kerap kesulitan membeli gabah dan beras dari petani sesuai HPP. Untuk itu, BUMN Pangan ini meminta agar diberikan fleksibilitas HPP mengikuti harga pasar demi mengejar target pengadaan beras tahun ini sebanyak 3,9 juta ton.

Kemtan enggan naikkan harga pembelian beras

Minggu, 14 Februari 2016


JAKARTA. Kementerian Pertanian (Kemtan) memberi sinyal tidak akan mengusulkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras tahun 2016. Sebab harga gabah dan beras di tingkat petani saat ini masih tinggi. Kemtan enggan mendorong kenaikan HPP karena berpotensi mengerek inflasi.

Berdasarkan Inpres no 5/2015 tanggal 17 Maret 2015 harga Gabah Kering Panen (GKP) Rp 3.700 per kilogram (kg) di petani dan Rp.3.750 per kg di penggilingan. sementara harga gabah kering giling (GKG) Rp 4.600 per kg di petani dan Rp 4.650 per kg di Gudang Perum Bulog serta Beras Rp. 7.300 per kg di gudang Bulog.

Sekretaris Jenderal Kemtan Hari Priyono mengatakan Presiden Joko Widodo telah mengatakan sampai saat ini, belum ada perubahan HPP. Pernyataan presiden tersebut berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas). "Tahun ini belum ada keputusan revisi HPP. Yang jelas sekarang ini, tidak ada perubahan tentang HPP, tapi apakah tahun ini tidak ada perubahan HPP saya belum berani beri statement seperti itu," ujar Hari akhir pekan lalu.

Menurut Hari, sampai saat ini, Kemtan masih mereview komponen-komponen yang ada dalam hpp seperti biaya angkutan dan ongkos produksi. Nah bila nantinya ditemukan di dalam komponen-komponen pendukung HPP ini ada kenaikan biaya, maka ada potensi mereview kembali HPP. Tapi sejauh ini, Kemtan menilai belum ada urgensi mereview untuk kenaikan HPP.

Sabtu, 13 Februari 2016

Kami Minta Tak Ada Impor Beras dan Jagung

Jumat, 12 Februari 2016

Nusa Tenggara Barat atau NTB, jadi tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional 2016. Di Kawasan khusus pariwisata Mandalika, puncak acara HPN 2016 dilangsungkan Selasa (9/2). Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta beberapa menteri kabinet, hadir langsung.


Wartawan Koran Jakarta, berkesempatan mewawancarai Gubernur NTB, TGH Muhammad Zainul Majdi di Lombok. Berikut petikan wawancaranya.

NTB, jadi tuan rumah HPN 2016. Apa pengaruhnya?

Tentu sangat berpengaruh. Tamu banyak yang datang dan ini menggerakan roda perekonomian, terutama pariwisata.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, apa saja yang sudah dicapai?

Pada 2015, perekonomian di NTB tumbuh dengan baik. Pertumbuhan perekonomian, dengan seizin Allah dan ikhtiar seluruh masyarakat NTB, bisa tumbuh 21 persen. Ini pertumbuhan tertinggi dibanding provinsi di seluruh Indonesia.

Dampaknya kepada tingkat kemiskinan?

Seiring pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat kemiskinan dalam satu tahun juga turun menjadi 0,65 persen. Tingkat kedalaman kemiskinan atau keparahan kemiskinan juga menurun.

Di saat yang sama gini ratio atau ketimpangan juga turun, dari Maret ke September turun dari 0,37 persen menjadi 0,29 persen. Itu gini ratio terendah di Indonesia.

Saya optimistis, dengan kebijakan dari pemerintah yang tegas, terutama dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur di seluruh penjuru Indonesia, termasuk di NTB, harapan kami di NTB setelah di bangun kawasan Mandlika, demikian pula pengembangan global hub di Lombok Utara dan pengembangan Samota di Sumbawa di kembangkan dengan baik, saya yakin pertumbuhan di NTB akan meningkat lagi.

Kalau soal produksi pangan?

Beberapa hal yang berpengaruh di NTB pada 2015 harga produksi pangan terjaga dengan baik. Petani bisa menikmati hasil dari produksi pertaniannya dengan baik. Saya minta, kalau bisa tak ada impor beras.

NTB itu mampu menghasilkan sekitar 1,3 juta ton beras. Dan 700 ribu ton itu dikonsumsi dalam daerah. Dan 600 ribu ton jadi movement nasional diserap Bulog dan perdagangan antar daerah.

Tapi apa problemnya?

Problemnya, Bulog sampai sekarang belum mampu menyerap secara maksimal hasil produksi pertanian. Hasil produksi jagung di NTB misalnya, pada 2015 pertumbuhannya tertinggi di Indonesia, dari 760 ribu ton jadi satu juta 10 ribu ton, atau naik juta naik 26 persen.

Kabarnya NTB sudah bisa mengekspor jagung?

Ya, sekitar 150 ribu diekspor langsung dari pelabuhan di Sumbawa

Anda saat berpidato mengkritik rencana Bulog mengimpor jagung atau membeli jagung impor. Kenapa?

Ya, kami dengar ada rencana Bulog beli jagung impor dengan harga 3.000 rupiah per kilogram. Ah, kalau 3.000 rupiah itu digunakan Bulog misalnya untuk membeli jagung petani kami saat panen raya dulu, itu petani akan jauh lebih sejahtera.

Saya masih ingat, saat bapak Presiden hadir di Festival Tambora. Beliau menyampaikan, Bulog akan menyerap jagung dengan harga 2.500 rupiah. Tapi, apa yang instruksi bapak Presiden belum dilaksanakan oleh Bulog di NTB. Terpaksa saya harus sampaikan.

Masyarakat di NTB banyak mengeluh, bahkan menjerit, saat panen raya harga produksi mereka jatuh, bahkan sampai 1.600 rupiah per kilogram.

Tiba-tiba ini saya dengar Bulog mau impor jagung dengan harga 3.000 rupiah. Kalau saja 3.000 rupiah untuk petani dalam negeri saya yakin itu meningkatkan kesejahteraan petani. NTB selain pertanian juga ditopang pariwisata.

Apa saja yang sudah dan akan dikembangkan?

Ya pertumbuhan ekonomi di NTB semakin baik, salah satunya ditopang oleh pariwisata yang pengembangannya semakin baik. Saya yakin, apabila kawasan Mandalika berkembang baik dan 12 dari 15 destinasi yang sedang dikembangkan juga berkembang dengan baik, NTB akan memberi kontribusi bagi nasional.

Saya optimistis, berapapun target yang diberikan Menteri Pariwisata, bisa dipenuhi. Tahun 2016 target naik 50 persen dari 1 juta wisatawan asing menjadi 1,5 juta wisatawan asing. Insya Allah bila di support dengan baik itu tercapai.

Saya juga berharap, urat nadi logistik, seperti misalnya jalan nasional dari pelabuhan Lembar ke Kayangan bisa dibuat by pass, saya optimistis bisa men-double-kan pertumbuhan.

Pertumbuhan UMKM bagaimana?

UMKM juga menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Saya ilustrasikan, KUR misalnya yang ditargetkan 1 triliun untuk NTB, baru satu bulan, bulan Januari, sudah terserap 20 persen. Bila ini berjalan baik, bulan kelima target bisa tercapai.

Karena itu kemarin saya minta target KUR untuk NTB di tingkatkan. Ini akan menumbuhkan para wirausahawan dan anak muda bekerja lebih keras lagi. Implementasi dana desa juga berjalan baik, bahkan mempengaruhi ekonomi di desa. Dan gini ratio di desa juga menurun.  agus supriyatna/AR-3

http://www.koran-jakarta.com/kami-minta-tak-ada-impor-beras-dan-jagung/

Kamis, 11 Februari 2016

Keterlambatan HPP Beras Diduga akibat Ulah Mafia

Rabu, 10 Februari 2016

JAKARTA – Harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras seharusnya ditetapkan dan dikeluarkan pemerintah pada Desember 2015. Namun terlambat karena hingga kini masih berada di Kementerian Koordinasi (Kemenko) Perekonomian. Wakil Ketua Komisi IV DPR, Firman Subagyo menuding keterlambatan Impres HPP dan harga dasar gabah/beras yang selalu molor itu disengaja oleh mafia dan kartel agar memuluskan impor beras. “Memang disengaja supaya impor beras. Ini permainan mafia pangan dan para kartel,” ujar Firman di Jakarta, Selasa (9/2). Dia menilai kementerian terkait pangan dan Bulog lambam karena belum menetapkan HPP dan harga dasar gabah/- beras untuk musim tanam 2016. Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog), Djarot Kusumayakti menyatakan, tidak lama lagi pemerintah segera mengeluarkan HPP 2016 dan harga dasar gabah/beras “Saya sudah sampaikan ke Pak Menko Perekonomian dan akan segera dikeluarkan HPP gabah 2016,” tegasnya. Lebih Fleksibel Perum Bulog sendiri mengusulkan kepada pemerintah agar pengaturan HPP2016 lebih fleksibel menyesuaikan harga gabah dan beras di tingkat petani. Usulan tersebut didorong oleh kendala HPP yang selalu di bawah harga pasar pascaditetapkan setiap tahun, sehingga memengaruhi upaya pengadaan gabah/beras oleh BUMN tersebut. HPP itu, menurut Djarot, ditetapkan oleh kementerian teknis menyesuaikan dengan kondisi harga di pasar setelah melewati serangkaian penghitungan dan pengkajian, salah satunya mempertimbangkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Selain penetapan HPP, lanjut dia, perlu juga diterapkan harga dasar gabah/beras sebagai harga terendah yang berlaku di tingkat petani. Namun Djarot tidak mau menanggapi tudingan Firman Subagyo bahwa diduga ada mafia beras di balik lambatnya penetapan HPP. “Maaf saya tidak punya kompetensi untuk membahas atau menilai yang seperti ini,” tuturnya. Sementara itu, Kordinator Nasional LSM Protanikita, Bonang mengatakan, petani sudah sulit percaya terhadap janji-janji pemerintah. ‘’Mestinya kalau pemerintah memang memperhatikan petani, harga pembelian beras pemerintah itu sudah terbit pada akhir 2015, agar petani tenang karena ada jaminan harga dari pemerintah,’’katanya. Bonang mengingatkan, tahun lalu pemerintah mengeluarkan HPP sudah akhir bulan Maret, di saat petani sudah hampir selesai panen (MT 1). “Fakta itu jelas bahwa pemerintah kurang berpihak kepada petani lokal. Sekarang impor pangan malah merajalela. Ironis, ketahanan pangan berbasis impor,” tegas dia. (di-69)

Selasa, 09 Februari 2016

GUBERNUR NTB TERPAKSA MELAPORKAN INI DI HADAPAN PRESIDEN JOKOWI

SELASA, 09 FEBRUARI 2016

RMOL. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH M. Zainul Majdi meminta kepada Presiden RI Joko Widodo memerintahkan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menyerap hasil panen jagung para petani NTB. Pasalnya, pada tahun 2016 produksi jagung di NTB meningkat 26 persen, mencapai 1 juta ton lebih

"Hanya saja harga di saat panen jatuh. Ini membuat warga kami terus protes," kata Zainul di depan Presiden Jokowi saat menghadiri Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Pantai Kuta, Lombok Tengah, NTB, Selasa (9/2).

Zainul juga menyayangkan adanya rencana pemerintah untuk melakukan impor jagung di tengah produksi jagung petani yang melimpah. Apalagi harga jagung impor yang akan dibeli mencapai Rp 3.000 per kilogram. Padahal, harga jagung di NTB kurang dari Rp 2.000 per kilogram.

"Jika dana membeli jagung impor digunakan untuk membeli jagung petani, maka akan membantu petani jagung di NTB," ujarnya.

Zainul juga melaporkan, instruksi Presiden Jokowi kepada Bulog untuk bisa menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) jagung dan meminta Bulog menyerap jagung petani, saat menghadiri perayaan Tambora Menyapa Dunia 2015 lalu, belum dilakukan oleg Bulog.

"Ini terpaksa kami laporkan pak Presiden. Karena masyarakat kami sudah lama menjerit," tukasnya. [rus]

Krisis Beras, Menjelang Mei 1998

Selasa, 9 Februari 2016

Memasuki Februari 1998, masyarakat Indonesia, terutama kelas bawah, merasa khawatir beras akan hilang dari peredaran di pasar. Indonesia di ambang krisis beras.

Beras dalam dunia politik dan ekonomi di Indonesia adalah barang magis. Beberapa pengamat sosial politik dalam dan luar negeri memperkirakan, krisis beras menjadi salah faktor penentu jatuhnya Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.

Kekhawatiran masyarakat atas krisis beras di awal Februari 1998 membuat Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi Kabinet Pembangunan VI Hartarto Sastrosoenarto serta Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) Beddu Amang dipanggil Presiden Soeharto ke tempat kediamannya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta.

Seusai bertemu Soeharto, kedua pejabat pemerintah itu bertemu dengan para wartawan di ruang wartawan yang ada di ruang depan rumah kediaman keluarga Soeharto. Kepada wartawan, Hartarto dan Beddu Amang membantah bahwa stok beras di Bulog sudah habis. Hartarto minta kepada para wartawan agar ikut membuat masyarakat tenang dan memberitakan bahwa persediaan beras masih cukup, kalau tidak cukup agar segera impor dari luar negeri.

Menurut Beddu Amang waktu itu, stok beras masih cukup besar, sampai akhir Maret 1998 masih tersedia 1,5 juta ton hingga 1,7 juta ton. Beddu Amang juga mengatakan tahun 1997 sudah mengimpor beras 1,95 juta ton dan masih terus berjalan sampai Maret 1998.

Kabulog juga menekankan, pihak swasta diperkenankan untuk mengimpor beras dengan bebas. "Seperti nanti impor gula juga bebas, juga kedelai (bebas) seperti tepung terigu," ujar Beddu Amang.

Ketika itu, para wartawan mengatakan, beras hilang dari pasar dan kalau ada pun harganya akan tinggi sekali. "Karena itulah, Bapak Presiden memanggil kami ke sini. Kami diminta untuk menegaskan bahwa stok beras tetap tanggung jawab kami melalui Bulog," kata Hartarto ketika itu.

Swasembada

Swasembada beras adalah kebanggaan Pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an. Soeharto mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang swasembada pangan ini.

Beras melimpah, membuat stabilitas politik Indonesia cukup mantap sehingga Soeharto berani bereksperimen membentuk sistem pemerintahan dengan dua partai dan satu golongan karya. Setelah itu, menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi masyarakat.

Namun, menjelang memasuki 1998, krisis beras semakin menjadi-jadi. Pada saat bersamaan, nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat naik turun tidak karuan dengan kisaran dari Rp 12.500 per dollar AS sampai Rp 13.250 per dollar AS.

Saat itu, krisis keuangan dan ekonomi memuncak menjadi krisis multidimensional. Maka, pada 21 Mei 1998, Soeharto yang dipandang masih menguasai militer dan Golkar melepaskan jabatannya sebagai presiden.

Setelah Soeharto lengser, Indonesia memasuki masa reformasi. Kini pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mencanangkan swasembada beras. Namun, dalam perjalanan untuk berswasembada beras itu, sempat terjadi impor. Tentu impor beras itu berdasarkan pemikiran yang realistis setelah melihat lapangan.

Selamat menggapai swasembada beras, ya, Pak. (J OSDAR)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160209kompas/#/2/

Senin, 08 Februari 2016

Kebijakan Pemerintah Dituding Justru Tumbuh-Suburkan Kartel

Minggu, 7 Februari 2016

JAKARTA, KOMPAS.com – Fluktuasi harga pangan dinilai menjadi penyebab utama penurunan daya beli masyarakat, yang berujung pada makin melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia di 2015 hanya mampu tumbuh 4,79 persen. Jumlah tersebut merupakan yang terendah dalam enam tahun terakhir.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mencontohkan, harga beras yang terus merangkak naik disebabkan regulasi pemerintah yang tidak tepat. Misal, harga dasar gabah yang tiap tahun terus mengalami kenaikan.

“Sementara kenaikan harga dasar itu kan yang menikmati pedagang, bukan petani,” ucap Enny, ketika dihubungi kompas.com, Jakarta, Minggu (07/02/2016).

Enny menambahkan, kebijakan pemerintah seperti mekanisme impor dengan sistem kuota juga menjadi penyebab tumbuh-suburnya kartel. Selain itu, Enny juga menyoroti kebijakan perunggasan yang justru menyebabkan terjadinya integrasi vertikal.

“Kartel bahan pangan itu justru tumbuh subur karena berbagai regulasi pemerintah. Sehingga, sesungguhnya kebijakan pemerintahnya yang mengebabkan fluktuasi harga,” sambung Enny.

Dia mengatakan, seharusnya pemerintah hadir ketika melihat tata niaga pangan kurang efektif. Salah satunya bisa melalui badan penyangga pangan, Perum Bulog.

Masalahnya, peran Perum Bulog saat ini belum maksimal, lantaran dibebani dua tugas yakni profit dan non-profit.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/02/07/180027826/Kebijakan.Pemerintah.Dituding.Justru.Tumbuh-Suburkan.Kartel

Sabtu, 06 Februari 2016

Usut Potensi Tindak Pidana Pembelian Jagung Ilegal

Sabtu 6 Februari 2016

Sektor pangan hancur akibat ulah pedagang importir yang dibekingi pemerintah. Pembelian jagung impor ilegal tidak cerminkan ekonomi kerakyatan.

JAKARTA. – Aparat penegak hukum, seperti polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diharapkan bertindak proaktif untuk menyelidiki potensi tindak pidana dan kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang oknum pejabat negara dalam kasus pembebasan jagung impor ilegal.

Aparat juga diminta menelisik peralihan kepemilikan jagung impor ilegal dari beberapa importir ke Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Anggota Pokjasus Dewan Ketahanan Pangan, Ahmad Yakub, menilai sikap kementerian pertanian (kementan) yang ngotot melindungi panen petani jagung dari impor pantas mendapat apresiasi.

Sebaliknya, upaya hukum keras meski dikenakan bagi kementerian perdagangan (kemendag) dan Bulog yang justru memfasilitasi, bahkan membeli barang ilegal. “PR kita kan rantai perdagangan pangan yang dikuasai para importir, kenapa kemendag dan Bulog justru menjadi beking mereka?” kata Yakub saat dihubungi, Jumat (5/2).

Dikabarkan, pemerintah memutuskan untuk membebaskan 445 ribu ton jagung impor ilegal yang ditahan di sejumlah pelabuhan itu. Kemudian, kemendag menugaskan Bulog untuk membelinya guna dijual ke peternak yang membutuhkan pakan ternak.

Padahal, kementan sebelumnya mengaku konsisten tidak akan membebaskan jagung impor ilegal yang ditahan tersebut karena bertentangan dengan Permen No 57 Tahun 2015 yang menyebutkan impor jagung pakan ternak harus melalui rekomendasi kementan.

Sebelumnya, Pemerhati pertanian dari Aliansi Petani Indonesia, Ferry Widodo, mengatakan kalau menteri perdagangan memerintahkan Bulog membeli jagung impor ilegal tersebut berarti bisa dikatakan melanggar aturan.

“Keputusan itu berpotensi korupsi, karena membeli barang yang seharusnya tidak dibeli. Bulog juga tidak boleh mengeluarkan uang serupiah pun untuk membeli jagung impor ilegal tersebut. Kalau ada instruksi membeli itu berpotensi korupsi,” kata Ferry.

Menurut Yakub, hancurnya pangan nasional karena pengusaha pangan berwatak pedagang yang hanya mencari untung jangka pendek.

Industri bidang pangan hancur oleh para pedagang importir yang dibekingi aparat pemerintah. Padahal, petani menjadi penanggung risiko terbesar dalam rantai pangan nasional. Kalau produksi surplus harga hancur, kalau gagal panen kerugian mereka tak ada asuransi.

Dan, yang berwenang serta memiliki kekuasaan untuk memperbaiki hal tersebut adalah kemendag dan kementerian BUMN.

Semaksimal apapun kementan bekerja akan percuma kalau pasar dikuasai para importir dan spekulan. “KPPU telah mengumumkan 12 perusahaan internasional dan nasional yg melakukan kartel pangan. Kerja harus dimulai dari menghukum pelaku kartel ini,” kata Yakub.

Merusak Ekonomi

Pengamat ekonomi dari Unair Surabaya, Amalia Rizki, mengatakan pembelian jagung impor ilegal oleh Bulog sama sekali tidak mencerminkan semangat ekonomi kerakyatan. “Barang ilegal yang merusak kehidupan ekonomi petani malah dibeli, pakai uang rakyat pula.

Kita adalah negara yang mayoritas rakyatnya ada di desa, semangat agraris harus dibangkitkan kembali, jadi semestinya anggaran yang ada digunakan untuk itu,” ujar dia.

Amalia menilai kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir oknum baik itu importir ataupun pejabat terkait. Jargon pemerintahan bersih berwibawa tak ada artinya bila dugaan masyarakat atas praktik semacam ini masih berlaku. YK/SB/ers/

http://www.koran-jakarta.com/usut-potensi-tindak-pidana-pembelian-jagung-ilegal/

Anak Buah Prabowo Anggap Dua Kementerian Ini Paling Parah

Jumat, 05 Februari 2016
Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo. Foto: dok jpnn

JAKARTA - Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo mengatakan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan ditegaskan keputusan impor beras dan jagung merupakan cara terakhir untuk mengatasi kekurangan kebutuhan beras dan jagung dalam negeri.

"Soal impor beras dan jagung ini ada aturan mainnya. Intinya impor merupakan jalan terakhir, bukan prioritas," kata Edhy Prabowo, di Jakarta, Jumat (5/2).

Tapi dua kementerian yang punya kewenangan soal impor ini pemahamannya malah terbalik. "Impor yang jadi prioritas dan tidak pernah punya ikhtiar untuk menghentikan impor beras dan jagung dengan cara meningkatkan produksi petani Indonesia," tegasnya.

Jadi lanjut politikus Partai Gerindra ini, yang bermasalah itu bukan di level petaninya, tapi di tataran pengambil keputusan. "Mindset pengambil keputusan di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan yang harus dirubah terlebih dahulu," tegasnya.

Sudahlah mindset keliru tentang pangan ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, keadaan semakin lebih parah karena dua kementerian tersebut tidak pernah bisa berkoordinasi.

"Mentan dan Mendag tidak pernah bisa berkoordinasi soal komoditi pangan ini. Akibatnya penjaga kebutuhan pangan rakyat tidak lagi di pemerintah, tapi sudah di pedagang dan kartel sangat berkuasa," jelasnya.

Mestinya kalau tetap akan ada impor pangan karena alasan produk petani tidak mencukupi, mestinya kata Edhy, impor dilakoni oleh BUMN dalam hal ini Bulog. "Bukan mekanisme pasar apalagi kartel," pungkasnya.(fas/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2016/02/05/355023/Anak-Buah-Prabowo-Anggap-Dua-Kementerian-Ini-Paling-Parah-

Jumat, 05 Februari 2016

Kutu Dalam Beras

Jumat, 05 Februari 2016

Lindungi Rakyat Tani NTB

DAHULU Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal karena suburnya lahan pertanian dan melimpahnya hasil produksi Rakyat Tani, terutama beras. Karena itu, maka tak salah jika sejak lama NTB ditetapkan pemerintah pusat sebagai daerah lumbung pangan nasional yang memasok kebutuhan beras bagi sebagian kawasan Indonesia timur, bahkan Pulau Jawa.

Hidup diatas lahan yang subur dengan hasil produksi yang melimpah, mestinya mampu membuat Rakyat Tani NTB sejahtera. Tapi apa mau dikata? Faktanya, daerah yang dahulu dikenal dengan sebutan Gogo Rancah, Bumi Gora dan berbagai istilah kebanggaan itu, kini tengah menangis karena mengalami krisis pangan (beras-red) yang sudah masuk kategori membahayakan.

Keadaan ini tentu saja membuat publik bingung. Bagaimana mungkin daerah lumbung pangan nasional bisa mengalami krisis beras? Adakah yang salah dengan manajemen pengelolaan pertanian dan perberasan di NTB?

Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB menyuguhkan data, bahwa produksi padi pada tahun 2015 mengalami surplus hingga 2,3 juta ton dari target sebanyak 2,1 juta ton. Jika benar terjadi surplus produksi, lalu kenapa bisa terjadi krisis?

Usut punya usut, krisis pangan yang terjadi saat ini tidak terlepas dari amburadulnya kinerja pengadaan beras pada Perum Bulog Divisi Regional (Divre) NTB. Ya, pada musim panen raya tahun 2015, Bulog Divre NTB hanya mampu memenuhi sekitar 60 persen dari total target pengadaan Public Service Obligation (PSO). Hal sama juga terjadi pada pembelian gabah dalam program Upaya Khusus (Upsus) yang hanya sekitar 60 persen dari target sebanyak 100 ribu ton.

Alhasil, stok beras yang terdapat di gudang Bulog NTB di akhir 2015 hanya tersisa 9.000 ton, dan pada awal Februari 2016 ini tinggal tersisa 2.000 ton saja, karena 7.000 ton disalurkan untuk kebutuhan Beras Pra Sejahtera (Rasta). Dalam hal ini, tidaklah berlebihan jika publik beranggapan, bahwa amburadulnya kinerja pengadaan beras Bulog NTB menjadi biang keladi krisis yang terjadi.

Benarkah rendahnya kualitas beras produksi Rayat Tani lokal yang membuat Bulog NTB tidak mampu memenuhi target pengadaan? Pertanyaan itu tentu saja harus dijawab dengan nurani, bukan dengan akrobatik angka yang kerap menyesatkan. Jika memang kualitas yang menjadi alasan, lalu kenapa Bulog Jatim bisa membeli lebih dari target pengadaan? Apakah semua beras yang dibeli itu memenuhi standar Inpres Perberasan? Tentu tidak, karena beras yang dikirim Bulog Jatim ke sejumlah daerah banyak ditemukan tidak sesuai standar mutu, baik derajat sosoh, butir patah, maupun menir-nya.

Lalu apa sebenarnya yang membuat Bulog NTB tidak sanggup memenuhi target pengadaan beras di tahun 2015? Persoalannya ada pada cara berpikir para pejabat di Bulog Divre NTB dan jajaran. Jika memang berniat mendukung program peningkatan kesejahteraan Rakyat Tani, tentu alasan klasik tidak akan digunakan untuk mendukung logika terbalik.

Kemudian apa yang terjadi di daerah subur dengan hasil pertanian yang melimpah (NTB-red) saat ini? Badan Pusat Statistik (BPS) NTB melansir, meningkatnya angka kemiskinan di NTB lebih disebabkan karena harga beras yang melambung tinggi hingga mencapai Rp12 ribu/Kg. Bukankah ini akibat dari ketidakpahaman pemerintah (Perum Bulog) dalam memaknai arti negeri Gemah ripah loh jinawi yang sesungghnya?

Miris memang, tapi itulah fakta yang harus dihadapi Rakyat Tani NTB saat ini. Pasar mereka akan segera dirampas paksa oleh Perum Bulog dengan memasukkan Beras Rasta sebanyak 7.000 ton dari Jatim.

Tidak ada yang salah dengan program suplai beras dari daerah surplus ke daerah yang minim produksi (Movenas). Tapi ketika beras dari daerah lain disuplai ke daerah yang selama ini menjadi lumbung pangan nasional, terlebih disaat produksi beras Rakyat Tani lokal melimpah, maka itu yang tidak bisa diterima akal sehat.

Mendapati fakta yang mencengangkan ini, tentu saja membuat publik bertanya- tanya, “ada apa dibalik tidak tercapainya target pengadaan beras Perum Bulog Divre NTB? Benarkah ada pemufakatan jahat dari sekelompok oknum yang hendak merampas pasar Rakyat Tani lokal?  Ataukah ini ada kaitannya dengan “program” impor beras besar-besaran di tahun 2015 dan 2016? Dan adakah kaitannya semua persoalan ini dengan jaringan mafia yang salama ini menjadi kutu bagi beras produksi Rakyat Tani lokal?”

Apapun dalihnya, yang pasti, publik mendesak Presiden dan Meneg BUMN segera mencopot semua pejabat Perum Bulog yang menyebabkan kelangkaan pangan di NTB. Sebab jika tidak, maka bukan tidak mungkin Presiden dan jajaran terkait akan dianggap sebagai pihak yang hendak memiskinkan Rakyat Tani NTB. Rakyat Tani lokal harus dilindungi dari “pemufakatan jahat” semua pihak yang hendak memiskinkan dan merampas pasar mereka secara pelan tapi pasti. ***

Oleh: Danil’s
Penulis adalah: Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), dan Pemred Barak Online Group

http://beritabarak.blogspot.co.id/2016/02/kutu-dalam-beras.html#more

Beli Jagung Impor Ilegal, Negara Legalkan Penyelundupan

Jumat 5 Februari 2016

Keputusan membeli barang impor ilegal melanggar aturan dan berpotensi korupsi.
Presiden mesti punya penasihat hukum yang kuat agar tidak dimanfaatkan pembantunya.

JAKARTA. – Barang ilegal, seperti jagung impor yang tidak dilengkapi dokumen yang harus disita oleh negara kemudian dimusnahkan. Apabila negara, melalui Bulog, kemudian membeli barang ilegal itu sama saja melegalkan penyelundupan.

Jika pemerintah memutuskan untuk menggunakannya demi kepentingan peternak dalam negeri maka semestinya jagung impor ilegal itu tidak bisa dibeli tapi dibagikan gratis kepada peternak.

Pemerhati pertanian dari Aliansi Petani Indonesia (API), Ferry Widodo, mengatakan kalau kemudian menteri perdagangan memerintahkan Bulog membeli jagung impor ilegal tersebut berarti bisa dikatakan melanggar aturan.

“Keputusan itu berpotensi korupsi, karena membeli barang yang seharusnya tidak dibeli. Bulog juga tidak boleh mengeluarkan uang serupiah pun untuk membeli jagung impor ilegal tersebut. Kalau ada instruksi membeli itu berpotensi korupsi,” kata Ferry saat dihubungi, Kamis (4/2).

Menurut Ferry, rekomendasi persetujuan membeli jagung dari luar negeri harus sebelum impor bukan barang yang sudah masuk. Bukan hanya jagung tapi untuk semua barang. Pokoknya harus disita, bukan pula direekspor karena kejahatan sudah terjadi.

“Kalau sudah tertangkap lucu kan kalau kemudian dibeli oleh negara. Kalau pelanggaran hukum sudah terjadi harus diproses hukum, harus jalan, yaitu penyitaan,” katanya.

DPR, sebelumnya juga dikabarkan menolak keras langkah pemerintah membeli jagung impor ilegal yang selama ini tertahan di beberapa pelabuhan. Keputusan Kementerian Perdagangan (kemendag) menugaskan Bulog untuk membeli jagung impor ilegal tersebut dinilai bertentangan dengan aturan yang berlaku.

Sebagaimana dikabarkan pemerintah memutuskan untuk membebaskan 445 ribu ton jagung impor ilegal yang ditahan di sejumlah pelabuhan itu.

Kemudian, kemendag menugaskan Bulog untuk membelinya guna dijual ke peternak yang membutuhkan pakan ternak.

Sebelumnya, kementan mengaku konsisten tidak akan membebaskan jagung-jagung yang ditahan tersebut karena bertentangan dengan Permen No 57 Tahun 2015 yang menyebutkan impor jagung pakan ternak harus melalui rekomendasi kementan.

Selain itu, imbuh Ferry, tindakan Bulog membeli jagung impor ilegal juga menjadi tanggung jawab menteri perdagangan dan menteri BUMN.

“Kerena mereka membiarkan Bulog menyalahgunakan anggaran negara untuk membeli jagung impor ilegal. Untuk memahami ini, Presiden Jokowi mesti mempunyai penasihat di bidang hukum yang kuat agar tidak selalu dimanfaatkan pembantu-pembantunya.”

Penggunaan dana APBN untuk membeli jagung impor ilegal itu dinilai mesti menjadi objek audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, penggunaan anggaran negara oleh Bulog tersebut belum mendapatkan persetujuan DPR dan berpotensi tidak sesuai dengan peruntukan.

Amanat UU

Agar persoalan pangan tidak berlarut-larut, Ferry meminta Presiden segera melaksanakan amanat UU Pangan mengenai pembentukan Badan Pangan Nasional.

Dengan badan tersebut akan jelas terlihat simpul-simpul yang dibiarkan ruwet sehingga memuluskan kebijakan impor.

DPR semestinya proaktif untuk meminta pemerintah menaati perintah UU karena tenggat waktu pembentukan badan pangan sebagaimana perintah UU Pangan sudah terlewat.

“Biar tidak bisa alasan lagi barang tidak ada padahal karena mendag dan Bulog gagal atau tidak mau menyerap beras petani karena tidak ada rente. Impor pangan ini rente yang sangat besar, nilainya puluhan triliun rupiah, dan dampaknya lebih mengerikan dari korupsi,” kata Ferry.

Menanggapi gelojak harga jagung di pasar dalam negeri, Menteri Pertanian Amran Sulaiman meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan stok jagung saat ini karena stok jagung di gudang Bulog mencapai hampir setengah juta ton.

“Bahkan akan ada tambahan stok jagung pada masa panen di Februari-April 2016 sebesar 4 juta ton,” tegas Amran.

Mentan menjelaskan gejolak harga jagung yang terjadi disebabkan adanya rantai pasokan yang masih terlalu tinggi. Untuk itu, ia akan menata struktur pasar yang menyebabkan disparitas harga yang justru tidak dinikmati petani. “Semua ini kita lakukan untuk memperkuat peternak dan petani. Kita ingin membangun struktur pasar baru”, ujarnya.

Amran juga menyindir perilaku pengusaha yang doyan impor pangan. Bagi Mentan, semua itu hanya akan melemahkan petani lokal dan memperkuat petani luar negeri. Menurut dia, karut marut dalam pengelolaan jagung di dalam negeri akibat adanya salah kelola. YK/SB/ers/WP

http://www.koran-jakarta.com/beli-jagung-impor-ilegal-negara-legalkan-penyelundupan/

Kamis, 04 Februari 2016

Kinerja Lembaga Pangan Dinilai Buruk

JAKARTA – Kinerja kementerian dan lembaga yang membidangi pangan, khususnya dalam pengamanan harga dasar gabah atau beras dinilai buruk. ‘’Kementerian Perdagangan, Pertanian, dan Perum Bulog lamban dalam mengambil keputusan,’’ tutur Viva Yoga Mauladi, pimpinan Komisi IV DPR, kemarin.

Ia menanggapi kementerian dan lembaga yang belum menetapkan harga dasar gabah dan beras untuk musim tanam 2016. ‘’Mereka lamban dalam menetapkan harga dasar, seharusnya sudah ditetapkan Desember 2015,” imbuh dia. Akibatnya, lanjut politikus PAN itu, petani padi akan terusmenerus menjadi korban dan hidupnya tetap miskin.

Untuk mengatasi persoalan stok nasional 2016, kata dia, pemerintah harus berkomitmen membantu petani dengan menjamin harga dasar gabah dan beras Kinerja yang buruk sudah terjadi tahun lalu.

Harga dasar yang rendah membuat Bulog gagal menyerap gabah dan beras petani, sehingga terpaksa impor 2,5 juta ton dari Veitnam, Thailand, dan Pakistan.

Rahman Sabon, Ketua Umum Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia (APT2PHI) menyatakan saat kunjungan kerja ke Ngawi dan Sragen, tanaman padi di sana menggembirakan. Panen Maret-Mei 2016, kata dia, sangat bagus apabila ditopang oleh komitmen pemerintah melindungi petani dengan harga dasar gabah.

Gagal Lagi

Dia menyayangkan, hingga sekarang harga dasar itu belum ditetapkan oleh pemerintah. Kalau ditetapkan pada musim tanam ini, akan berakibat buruk pada penyerapan Bulog. Ada kemungkinan dana pengadaan gabah dan beras Bulog baru akan disetujui Februari ini, sehingga pencairan baru dilakukan pada akhir Maret.

‘’Efektif penggunaan anggaran diperkirakan baru bisa digunakan pertengahan April 2016. Padahal panen raya berakhir Maret,’’ujar dia. Jika demikian, menurut dia, Bulog gagal lagi menyerap beras dan gabah petani untuk cadangan stok nasional. Akhirnya, pemerintah harus menguras devisa untuk impor beras.

“Kasihan Presiden Joko Widodo yang punya komitnen tulus merealisasikan Nawacita untuk kesejahteraan rakyat dan petani. Swasembada untuk ketahanan dan kemandirian pangan jadi terhambat,” kata Bonang, Koordinator Nasional LSM Protanikita.

Dia menyarankan kepada pemerintah, agar kenaikan harga dasar gabah dan beras dapat dinikmati petani pada musim panen raya Maret-Mei 2016, ditetapkan dengan patokan 14% di atas FOB harga beras luar negeri. Selain itu, memperhatikan biaya produksi dan inflasi.

Pemerintah harus membuat petani padi menikmati panen tahun ini, apalagi pasar bebas ASEAN telah berlaku. “Kebijakan mesti bertujuan menolong petani padi, penggilingan padi, dan pedagang pangan UKM. Jangan sampai hanya dinikmati oleh para pedagang, importir, dan pencari rente,’’tandas dia.(di-29)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kinerja-lembaga-pangan-dinilai-buruk/

RIZAL RAMLI: KEBIJAKAN PERANCIS BUNUH PETANI SAWIT INDONESIA

KAMIS, 04 FEBRUARI 2016

RMOL. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli menentang kebijakan Pemerintah Perancis menerapkan pajak progresif untuk produksi minyak kelapa sawit.

Menurut dia, kebijakan Perancis itu akan mematikan industri sawit Indonesia.

"Itu akan mematikan sumber kehidupan 2 juta petani kecil sawit Indonesia dengan area lahan kurang dari 2 hektar," kata Rizal dalam siaran pers yang diterima redaksi beberapa saat lalu, Rabu (3/2).

Kebijakan Perancis kata mantan Menko Perekonomian era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid itu, juga mengancam kehidupan 16 juta orang Indonesia yang menggantungkan hidup dari kepala sawit. Saat ini kata dia, nilai ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 19 milliar dolar AS.

Tak hanya itu, mantan kepala Bulog itu menegaskan kebijakan Perancis bertentangan dengan Amsterdam Declaration in Support of a Fully Sustainable Palm Oil Supply Chain by 2020. Kebijakan itu juga melanggar ketentuan WTO dan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994.

Dalam aturan itu, UU suatu negara tidak boleh diskriminatif terhadap impor produk sejenis. Seperti diketahui, dalam rancangan amandemen Undang-Undang Nomor 367 tentang Keanekaragaman Hayati yang berlaku di Perancis, pajak progresif untuk produksi sawit, termasuk dari Indonesia, akan dimulai pada 2017.

Pada tahun tersebut, proyek sawit dikenakan pajak 300 Euro per ton. Pada 2018 nanti, pajaknya naik menjadi 500 Euro per ton, kemudian naik lagi menjadi 700 Euro per ton pada 2019, lalu menjadi 900 Euro per ton pada 2020.

"Kebijakan itu aneh karena pajak tersebut tidak berlaku pada biji rapa, bunga matahari, dan kedelai atau minyak nabati yang diproduksi di Perancis," demikian kata Menko Rizal.[dem]

http://www.rmol.co/read/2016/02/04/234612/Rizal-Ramli:-Kebijakan-Perancis-Bunuh-Petani-Sawit-Indonesia-

BPK Mesti Audit Dana APBN untuk Beli Jagung Impor Ilegal

Kamis, 4 Februari 2016

Kalau DPR tolak keputusan mendag, berarti pembelian itu penyalahgunaan wewenang. Wajar jika muncul dugaan ada main mata antara importir dan oknum pembuat kebijakan.

JAKARTA. – Penggunaan dana APBN untuk membeli jagung impor ilegal yang tertahan di beberapa pelabuhan mesti menjadi objek audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sebab, penggunaan anggaran negara oleh Bulog tersebut belum mendapatkan persetujuan DPR dan berpotensi tidak sesuai dengan peruntukan.

Sebagaimana dikabarkan pemerintah memutuskan untuk membebaskan 445 ribu ton jagung impor ilegal yang sebelumnya ditahan di beberapa pelabuhan.

Langkah tersebut dilakukan usai kementerian perdagangan (kemendag) menggelar pertemuan dengan Bulog, asosiasi industri terkait, serta importir jagung. Kemudian, kemendag menugaskan Bulog untuk membelinya guna dijual ke peternak yang membutuhkan pakan ternak.

Padahal, kementerian pertanian (kementan) mengaku bakal konsisten tidak akan membebaskan jagung ilegal yang ditahan tersebut karena bertentangan dengan Permen No 57 Tahun 2015 yang menyebutkan impor jagung pakan ternak harus melalui rekomendasi kementan.

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, M Nafik, mengungkapkan sangat layak bila BPK melakukan audit investigasi penggunaan anggaran negara oleh Bulog untuk membeli jagung impor ilegal tersebut.

“Hal ini bisa menjadi preseden buruk, karena Bulog dijadikan penadah dan melegalisasi barang ilegal. Apapun yang ilegal jangan pernah diamankan karena akan merusak pasar, merusak perekonomian. BPK sangat perlu menelusuri penggunaan anggarannya, karena mengapa sampai bisa barang ilegal dibeli. Wajar kalau orang menduga ada main mata antara importir dan oknum pembuat kebijakan,” tegas dia saat dihubungi, Rabu (3/2).

Nafik menambahkan bukan tidak mungkin sejak awal proses impor jagung dengan dokumen tidak sah itu telah diskenariokan untuk diserap Bulog.

“Sangat mungkin dicurigai sebagai modus, dengan alasan sedang butuh tapi semuanya telah direkayasa sebelumnya. Orang yang merusak pasar harus dihukum, maka BPK dan aparat harus bertindak,” papar dia.

Salah Gunakan Wewenang

Sebelumnya, DPR menolak keras langkah pemerintah membeli jagung impor ilegal itu. Keputusan kemendag yang menugaskan Bulog untuk membeli jagung tersebut dinilai bertentangan dengan aturan yang berlaku.

Penolakan itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI dengan kementan, Bulog, dan Asosiasi Pengusaha Industri Perunggasan di Jakarta, Selasa (2/1).

Sedangkan pengamat ekonomi dari UII Yogyakarta, Hudiyanto, berpendapat keputusan menteri perdagangan yang membebaskan jagung impor ilegal keluar dari pelabuhan kemudian memerintahkan Bulog untuk membelinya mesti dipertanggungjawabkan ke publik.

“DPR mesti proaktif menanyakannya ke mendag dan Bulog. Kalau DPR saja sudah tidak setuju dengan keputusan mendag itu berarti ada penyalahgunaan wewenang,” ujar dia. Menurut Hudiyanto, seharusnya pemerintah tidak boleh kalah oleh desakan importir.

Pemerintah juga harus konsisten menata kemandirian pangan dengan berbagai risiko yang akan dihadapai. “Kalau belum apa-apa sudah menyerah oleh desakan importir, ini sama saja membiarkan Indonesia masuk dalam perangkap permainan mafia importir.

Lalu, siapa yang melindungi petani dan peternak dalam negeri?” tukas dia. Ia pun menilai miskoordinasi antarmenteri terkait pangan, seperti pada kasus jagung impor ilegal itu, tidak bisa hanya dipandang sebagai mismanajemen.

Akan tetapi, harus dilihat lebih jauh ke belakang bahwa hal tersebut dipelihara sekian lama untuk kompensasi bagi oknum pengambil kebijakan pemburu rente. “Ini anomali dalam proses ekonomi.

Inilah pekerjaan rumah bagi kedaulatan pangan, yakni berhadapan dengan pemburu rente yang diuntungkan dengan dalih pasar bebas,” tegas Hudiyanto.

Sementara itu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman kembali menegaskan kepada Bulog untuk memprioritaskan pelayanan kepada petani dan peternak kecil.

“Saya minta kepada Perum Bulog untuk layani dulu petani dan peternak kecil. Baru layani pemain besar. Enggak perlu itu syarat NPWP, petani mana tahu itu NPWP. Enggak usah ribetribet, kalau ada yang dipersulit lapor saya,” kata Mentan di Jember, Jawa Timur, Rabu.

Amran juga mempersilakan peternak untuk menghubungi Bulog terdekat apabila membutuhkan jagung pakan ternak. Ia menjamin jagung pakan tersedia dengan harga yang terjangkau. “Bulog menjadi pengendali sehingga peternak kecil bisa mengambil jagung dengan harga di bawah 4.000 rupiah per kilogram,’’ papar dia.  SB/YK/SM/ers/WP

http://www.koran-jakarta.com/bpk-mesti-audit-dana-apbn-untuk-beli-jagung-impor-ilegal/

Rabu, 03 Februari 2016

DPR Tolak Pembelian Jagung Impor Ilegal oleh Pemerintah

Rabu 3 Februari 2016

Kebijakan Pangan I Langkah Pemerintah Mempertegas Sikap Mental Dagang

Membeli jagung impor ilegal sama halnya pemerintah tunduk pada importir nakal.
Pembelian jagung impor ilegal oleh negara dorong importir melakukan rekayasa impor.

JAKARTA. – DPR menolak keras langkah pemerintah membeli jagung impor ilegal yang selama ini tertahan di beberapa pelabuhan. Keputusan Kementerian Perdagangan (kemendag) yang menugaskan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk membeli jagung impor tanpa dokumen yang sah tersebut dinilai bertentangan dengan aturan yang berlaku.

Penolakan tersebut disampaikan sejumlah anggota Komisi IV DPR RI dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama dengan Kementerian Pertanian (kementan), Bulog, dan Asosiasi Pengusaha Industri Perunggasan di Jakarta, Selasa (2/1).

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hermanto, menegaskan dengan sikap seperti ini berarti selama ini gejolak kenaikan harga pakan dan pangan benar-benar sengaja diciptkan dengan catatan agar pada titik tertentu pemerintah membeli jagung ilegal yang ditahan tersebut. “Langkah ini mempertegas sikap pemerintah yang bermental dagang.

Tidak berpikir apakah suatu barang itu illegal atau tidak, yang penting ada,” tegas dia saat RDP itu. Sebagaimana dikabarkan pemerintah memutuskan untuk membebaskan 445 ribu ton jagung impor ilegal yang sebelumnya ditahan di beberapa pelabuhan.

Langkah tersebut dilakukan seusai kemendag menggelar pertemuan dengan Bulog, asosiasi industri terkait, serta importir jagung. Kemudian, kemendag menugaskan Bulog untuk membelinya guna dijual ke peternak yang membutuhkan pakan ternak.

Sebelumnya, kementan mengaku konsisten tidak akan membebaskan jagung-jagung yang ditahan tersebut karena bertentangan dengan Permen No 57 Tahun 2015 yang menyebutkan impor jagung pakan ternak harus melalui rekomendasi kementan.

Menurut Hermanto, semestinya pemerintah konsisten dengan aturan yang ada. “Jika ada produk yang masuk dan tidak sesuai dengan ketentuan maka pemerintah tidak diperbolehkan membelinya dengan alasan apapun, termasuk dalam hal gejolak harga pakan dan pangan yang terjadi saat ini,” lanjut dia.

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Unpad Bandung, Ina Primiani, menilai keputusan pemerintah membeli jagung impor ilegal itu bisa menjadi preseden buruk karena mendorong importir untuk melakukan rekayasa impor.

“Ini akan menjadi presenden buruk. Importir bisa seenaknya melanggar aturan. Toh jika barangnya ditahan, negara melalui Bulog akan membelinya,” ungkap dia. Menurut dia, barang impor ilegal tidak boleh dijual-belikan tetapi harus dimusnahkan.

“Ini ada apa? Barang ilegal kok bisa dijual-belikan. Seharusnya dimusnahkan. Apapun alasannya,” tegas dia. Oleh karena itu, Ina menduga ada kepentingan tertentu yang menyandera pemerintah sehingga kondisi tidak lazim seperti itu bisa terjadi.

Informasi Berbeda

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi, menyebutkan selama ini pemerintah menyampaikan informasi yang berbeda-beda terhadap masyarakat. Ada pejabat yang menyebutkan jagung impor yang ditahan itu dipastikan ilegal. Di sisi lain, ada juga pejabat yang berpendapat lain.

“Hal itulah yang mengakibatkan kegaduhan ini berlarut- larut dan semakin sulit diredakan. Padahal, mestinya pemerintah berbicara dahulu di internalnya baru mengeluarkan pernyataan, supaya kompak isinya,” tukas dia.

Menurut Viva, pemerintah perlu memahami apabila jagung yang ditahan itu disebut ilegal maka konsekuensinya tidak boleh dibeli oleh pemerintah, karena ketika membelinya sama halnya pemerintah mengakui dan tunduk pada importir nakal.

Dalam aturannya, hanya ada dua pilihan yang bisa ditempuh pemerintah apabila ada komoditas ilegal yang masuk yakni melakukan ekspor kembali atau menyitanya.

“Jika jagung itu benar- benar ilegal artinya tindakan pemerintah membeli jagung ilegal itu tidak benar. Itu melawan aturan yang ada,” ungkap dia.

Informasi yang tidak jelas juga muncul pada komoditas beras. Angka Ramalan (Aram) II dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang produksi beras nasional pada 2015 mencapai 74,99 juta ton gabah kering giling atau setara 43 juta ton beras, sedangkan asumsi konsumsi beras nasional sebanyak 33 juta ton, sehingga diperkirkan ada surplus 10 juta ton.

Tapi, pada kenyataannya pemerintah masih mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam dan Thailand untuk stok Bulog pada awal 2016. Menanggapi hal itu, pengamat pertanian dari Undip Semarang, Anang Legowo, mengatakan sebaiknya pemerintah satu suara untuk meningkatkan produksi beras nasional.

“Jangan mudah mengumbar impor beras hanya untuk kepentingan jangka pendek. Sebaiknya tugaskan Bulog membeli gabah petani dengan harga yang menguntungkan,” jelas dia. SB/YK/SM/ers/WP

http://www.koran-jakarta.com/dpr-tolak-pembelian-jagung-impor-ilegal-oleh-pemerintah/

Selasa, 02 Februari 2016

Pemerintah Dinilai Lamban Tetapkan Harga Gabah

Senin,1 Februari 2016

JAKARTA, suaramerdeka.com - Kinerja kabinet yang membidangi pangan khususnya dalam pengamanan harga dasar gabah atau beras dinilai buruk. Pasalnya, Kementerian Perdagangan, Pertanian dan Bulog lamban dalam mengambil keputusan.

“Kemendag,Kementan dan Bulog , sangat lamban dalam menetapkan harga dasar, harusnya sudah ditetapkan sejak Desember 2015, akhirnya petani padi terus-terusan menjadi korban dan hidupnya tetap melarat,” ujar Kordinator Nasional LSM Protanikita, Bonang di Jakarta, Senin (1/2).

Buruknya kinerja Kemendag, Kementan dan Bulog, yang dinilai merugikan bagi petani, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, karena membawa misi untuk kepentingan publik. Menurut Bonang, untuk mengatasi stok nasional  tahun 2016 ini, pemerintah harus tegas berkomitmen dalam membantu petani dengan  menjamin harga dasar.

Hal senada juga disampaikan Ketum Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikulura Indonesia (APT2PHI) Rahman Sabon. Dia yang sempat berkunjung ke Ngawi dan Sragen untuk melihat keberhasilan tanaman padi, menyayangkan pemerintah belum menetapkan harga dasar gabah hingga sekarang.

(A Adib/CN41/SMNetwork)

http://berita.suaramerdeka.com/pemerintah-dinilai-lamban-tetapkan-harga-gabah/

Senin, 01 Februari 2016

Lumbung Pangan Nasional Kok Krisis Beras

Senin, 1 Februari 2016
F-LAPSUS-1

Bulog NTB berencana mendatangkan 7 ribu ton beras dari Jawa Timur untuk memenuhi kebutuhan stok beras yang menipis. Petani memprotes kebutusan ini karena gabah di tingkat petani masih banyak (Sudirman/Radar Lombok)

MATARAM – Provinsi Nusa Tenggara Barat sejak puluhan tahun silam sudah identik sebagai daerah lumbung pangan nasional.

Memiliki lahan yang subur dan produksi padi yang melimpah menjadikan Provinsi NTB ditunjuk sebagai salah satu dari sebagian kecil daerah di Indonesia menjadi lumbung pangan nasional. Sebutan yang identik sebagai daerah lumbung pangan nasional menjadi penghasil padi untuk memenuhi suplay kebutuhan manusia sebagian penduduk di Indonesia ini cukup berat. Karena, status sebagai lumbung pangan tersebut daerah harus secara konsisten berhasil memproduksi gabah sesuai target bahkan surplus, dan masyarakat di dalam daerah tersebut seharusnya sejahtera dan tidak kesulitan mendapatkan beras apalagi sampai mahal harganya.

Identitas sebagai daerah lumbung pangan nasional mulai merisihkan daerah yang dikenal dengan Gogo Rancah Lumbung Pangan Nasionl ini. Bagaimana tidak sebagai daerah yang selalu mengklaim diri produksi gabah (padi) surplus setiap tahunnya, justru sekarang ini sedang mengalami krisis stok beras.

Amburadulnya manajemen stok beras, pembelian gabah petani oleh Perum Bulog Divisi Regional NTB yang jauh dibawah target menjadi salah satu biang kerok Provinsi NTB yang saat sekarang ini dalam keadaan kritis stok beras. Data Perum Bulog Divre NTB menyebut, stok yang ada di gudang mereka hanya 9 ribu ton itu bisa bertahan sampai awal Februari 2016. Jumlah 9 ribu ton itu akan terpangkas dan tersisa sebanyak 2 ribu ton, karena sebanyak 7 ribu ton dari stok beras yang tersedia di gudang Bulog NTB disalurkan untuk program beras miskin (raskin) yang sudah mulai disalurkan pertengahan Januari 2016. ''Karena stok di  gudang Bulog menipis, maka Bulog Pusat memasok ke NTB untuk antisipasi terjadinya kenaikan inflasi,” terang  Kepala Perum Bulog Divre NTB, W Kuswinhartomo.

Kondisi stok beras yang ada di NTB saat ini masa –massa kritis. Hal tersebut disebabkan Perum Bulog NTB pada tahun 2015 tidak mampu memenuhi target serapan pembelian gabah petani di saat sedang musim panen raya. Perum Bulog NTB untuk pengadaan pembelian gabah petani di program PSO hanya mampu memenuhi di kisaran angka 60 persen. Begitu juga untuk target pembelian gabah petani dalam program upaya khusus (Upsus) dari target 100 ribu ton untuk beras Komersil Perum Bulog NTB hanya mampu menyerap di bawah angka 60 persen.

Rendahnya serapan pembelian gabah petani oleh Perum Bulog Divre NTB pada tahun 2015 lalu, menjadi salah satu dari beberapa penyebab kondisi kritis ketersediaan beras di NTB saat ini. Gabah petani tak bisa terserap Bulog NTB berdalih gabah petani sebagian besar tidak sesuai standar kualitas pembelian Bulog. Ironisnya, gabah petani yang ditolak untuk dibeli oleh Perum Bulog NTB justru dibeli oleh Bulog Bali dan Bulog Jawa Timur (Jatim) yang juga ikut datang ke NTB untuk membeli gabah produksi petani di Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok.

Sangat tidak masuk akal jika, Bulog NTB menolak gabah petani untuk dibeli dengan dalih tidak sesuai standar kualitas pembelian Bulog, sementara Bulog Jatim dan Bulog Bali justru membeli gabah yang disebut tidak sesuai standar tersebut. Padahal, jika mengacu pada standar kualitas pembelian, maka seluruh Bulog di Indonesia sama, tapi kenapa justru Bulog Bali dan Jatim membeli gabah petan yang dianggap tidak standar oleh Bulog NTB tersebut.

Karena kondisi stok yang dalam kritis, kemudian Perum Bulog akan mendatangkan beras pengadaan dalam negeri sebanyak 7 ribu ton dari Provinsi Jawa Timur (Jatim) yang akan didatangkan pada awal Februari 2016 ini. Namun, rencana Bulog NTB tersebut langsung ditentang oleh Gubernur NTB, TGH Muhammad Zainul Majdi. Gubernur NTB menolak keras kebijakan Bulog NTB yang akan memasok beras dari Jatim sebanyak 7 ribu ton tersebut. Kebijakan yang memasok beras dari luar NTB itu akan merugikan petani di NTB di saat kondisi gabah petani masih melimpah.

Pengamat Pertanian dari Universitas Mataram (Unram), Prof. H. Lalu Wiresapta Karyadi menilai sangat ironis NTB yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional justru kritis beras. Kondisi tersebut sangat memalukan disaat bersamaan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB mengklaim produksi surplus dimana prduksi padi mencapai 2,3 juta ton dari target tahun 2015 untuk produksi sebanyak 2,1 juta ton.

“Sangat ironi dengan klaim sebagai lumbung pangan, tapi untuk mencukupi kebutuhan dalam daerah harus mendatangkan dari luar NTB,” sindir Prof Lalu Wiresapta.

Kondisi stok beras yang kritis serta adanya beras dari Jatim masuk ke NTB di awal Februari ini sebanyak 7 ribu ton menampar muka dari SKPD teknis rumpun hijau baik itu Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura (TPH) NTB, Badan Ketahanan Pangan (BKP) NTB dan Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh) Provinsi NTB.

Pasalnya selama ini SKPD teknis terkait seperti Dinas Pertanian dan TPH NTB selalu mengklaim telah berhasil meningkatkan produksi gabah petani, begitu juga BKP NTB mengklaim kondisi lumbung pangan masyarakat aman sementara Bakorluh NTB menyebut penyuluh berhasil mendampingi petani  sehingga produksi gabah petani meningkat. Tapi disaat bersamaan, harga beras ‘meroket’ tinggi hingga mencapai Rp 12 ribu/kg dan sekarang lagi mengejutkan Bulog NTB akan memasok beras dari Jawa Timur dengan dalih stok cadangan beras di NTB sudah mulai menipis hanya sampai bulan Februari.

Di satu sisi lagi yang bertolak belakang dengan klaim SKPD teknis di NTB yang menangani bidang pertanian itu, dimana sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB yang melansir angka kemiskinan di NTB meningkat naik disebabkan karena harga beras yang melambung tinggi. Bahkan faktor harga beras yang tinggi itu menjadi penyebab utama penduduk NTB semakin banyak.

Padahal, seharusnya sebagai daerah lumbung pangan seperti diklaim instansi terkait produksi surplus itu tidak akan mungkin beras itu menjadi faktor utama naiknya angka kemiskinan di NTB. Tapi justru penyumbang bertambahnya angka kemiskinan di NTB disebabkan oleh harga beras yang sangat mahal.

Sebagai daerah yang selalu di dengungkan oleh pemerintah daerah menjadi lumbung pangan nasional dengan produksi gabah petani terus melonjak naik, tapi disatu sisi ketersediaan untuk stok pangan daerah tidak bisa diantisipasi. Namun justru mendatangkan dari luar daerah yang merupakan pembeli dari gabah petani asal NTB. “Apakah ini hanya merek slogan saja sebagai lumbung pangan,ataukan SKPD teknis terkaitu tidak menyampaikan data akurat tentang luas areal panen namun hanya data ABS (asal bapak senang) saja ? ,” tandas Sapta.

Sapta juga mengkritik keras kebijakan Perum Bulog Divre NTB yang sebelumnya tahun 2015 gagal memenuhi target pembelian gabah petani dari target 100 ribu ton namun hanya mampu mencapai dibawah angka 60 persen. Ujug-ujugnya Perum Bulog NTB dengan dalih stok beras di NTB hanya sampai Februari kemudian mengambil sikap untuk mendatangkan beras dari Jatim yang tidak menutup kemungkinan beras yang akan didatangkan itu adalah beras asal NTB juga. Karena tak sedikit pula, gabah petani yang ditolak dibeli oleh Bulog NTB dengan dalih tidak sesuai standar pembelian, namun justru gabah yang ditolak oleh Bulog NTB itu dibeli oleh Bulog dari Bali dan Jawa Timur. Hal tersebut dinilai tidak masuk akal, Bulog NTB menolak beli gabah petani dengan alasan tak sesuai standar,tapi justru Bulog Bali dan Jatim justru membeli gabah yang ditolak oleh Bulog NTB. “Bisa jadi ini ada permainan jaringan mengenai Bulog NTB tidak mau membeli gabah petani dengan dalih kualitas tidak sesuai standar bulog,” ujar Sapta.

Kuswin  mengaku jika kebijakan pasokan beras dari Jatim itu merupakan perintah dari Bulog pusat karena melihat kondisi stok cadangan beras di gudang Bulog NTB yang kurang. Jika beras dari Jatim tidak jadi masuk ke NTB maka akan dikhawatirkan berdampak terhadap tekanan inflasi. Karena kondisi stok yang menipis, maka akan bisa berakibat pada kenaikan harga beras yang cukup tinggi.

“Karena stok di  gudang Bulog menipis, maka Bulog Pusat memasok ke NTB untuk antisipasi terjadinya kenaikan inflasi,” terang Kuswin.

Kuswin membantah jika kebijakan untuk mendatangkan beras asal Jatim sebanyak 7 ribu ton itu inisiasi Bulog Divre NTB. Tapi kebijakan itu murni dari Bulog Pusat yang melihat kondisi stok yang tersedia di NTB hanya sampai Februari 2016, sementara saat ini di NTB belum mulai musim panen secara merata.

Bulog pusat mengelola stok beras secara nasional, manakala ada daerah yang kondisinya kurang, maka cadangan stok pengadaan dalam negeri itu, akan dipasok ke daerah yang kurang. Kebijakan itu sering dilakukan NTB,dimana saat daerah lain mengalami kekurangn stok cadangan beras, maka NTB menyuplai untuk kebutuhan daerah yang kurang seperti ke NTT, Bali dan beberapa daerah lainnya.(cr-luk)

http://www.radarlombok.co.id/lumbungan-pangan-nasional-kok-krisis-beras.html