MATARAM – Provinsi Nusa Tenggara Barat sejak puluhan tahun silam sudah identik sebagai daerah lumbung pangan nasional.
Memiliki lahan yang subur dan produksi padi yang melimpah menjadikan Provinsi NTB ditunjuk sebagai salah satu dari sebagian kecil daerah di Indonesia menjadi lumbung pangan nasional. Sebutan yang identik sebagai daerah lumbung pangan nasional menjadi penghasil padi untuk memenuhi suplay kebutuhan manusia sebagian penduduk di Indonesia ini cukup berat. Karena, status sebagai lumbung pangan tersebut daerah harus secara konsisten berhasil memproduksi gabah sesuai target bahkan surplus, dan masyarakat di dalam daerah tersebut seharusnya sejahtera dan tidak kesulitan mendapatkan beras apalagi sampai mahal harganya.
Identitas sebagai daerah lumbung pangan nasional mulai merisihkan daerah yang dikenal dengan Gogo Rancah Lumbung Pangan Nasionl ini. Bagaimana tidak sebagai daerah yang selalu mengklaim diri produksi gabah (padi) surplus setiap tahunnya, justru sekarang ini sedang mengalami krisis stok beras.
Amburadulnya manajemen stok beras, pembelian gabah petani oleh Perum Bulog Divisi Regional NTB yang jauh dibawah target menjadi salah satu biang kerok Provinsi NTB yang saat sekarang ini dalam keadaan kritis stok beras. Data Perum Bulog Divre NTB menyebut, stok yang ada di gudang mereka hanya 9 ribu ton itu bisa bertahan sampai awal Februari 2016. Jumlah 9 ribu ton itu akan terpangkas dan tersisa sebanyak 2 ribu ton, karena sebanyak 7 ribu ton dari stok beras yang tersedia di gudang Bulog NTB disalurkan untuk program beras miskin (raskin) yang sudah mulai disalurkan pertengahan Januari 2016. ''Karena stok di gudang Bulog menipis, maka Bulog Pusat memasok ke NTB untuk antisipasi terjadinya kenaikan inflasi,” terang Kepala Perum Bulog Divre NTB, W Kuswinhartomo.
Kondisi stok beras yang ada di NTB saat ini masa –massa kritis. Hal tersebut disebabkan Perum Bulog NTB pada tahun 2015 tidak mampu memenuhi target serapan pembelian gabah petani di saat sedang musim panen raya. Perum Bulog NTB untuk pengadaan pembelian gabah petani di program PSO hanya mampu memenuhi di kisaran angka 60 persen. Begitu juga untuk target pembelian gabah petani dalam program upaya khusus (Upsus) dari target 100 ribu ton untuk beras Komersil Perum Bulog NTB hanya mampu menyerap di bawah angka 60 persen.
Rendahnya serapan pembelian gabah petani oleh Perum Bulog Divre NTB pada tahun 2015 lalu, menjadi salah satu dari beberapa penyebab kondisi kritis ketersediaan beras di NTB saat ini. Gabah petani tak bisa terserap Bulog NTB berdalih gabah petani sebagian besar tidak sesuai standar kualitas pembelian Bulog. Ironisnya, gabah petani yang ditolak untuk dibeli oleh Perum Bulog NTB justru dibeli oleh Bulog Bali dan Bulog Jawa Timur (Jatim) yang juga ikut datang ke NTB untuk membeli gabah produksi petani di Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok.
Sangat tidak masuk akal jika, Bulog NTB menolak gabah petani untuk dibeli dengan dalih tidak sesuai standar kualitas pembelian Bulog, sementara Bulog Jatim dan Bulog Bali justru membeli gabah yang disebut tidak sesuai standar tersebut. Padahal, jika mengacu pada standar kualitas pembelian, maka seluruh Bulog di Indonesia sama, tapi kenapa justru Bulog Bali dan Jatim membeli gabah petan yang dianggap tidak standar oleh Bulog NTB tersebut.
Karena kondisi stok yang dalam kritis, kemudian Perum Bulog akan mendatangkan beras pengadaan dalam negeri sebanyak 7 ribu ton dari Provinsi Jawa Timur (Jatim) yang akan didatangkan pada awal Februari 2016 ini. Namun, rencana Bulog NTB tersebut langsung ditentang oleh Gubernur NTB, TGH Muhammad Zainul Majdi. Gubernur NTB menolak keras kebijakan Bulog NTB yang akan memasok beras dari Jatim sebanyak 7 ribu ton tersebut. Kebijakan yang memasok beras dari luar NTB itu akan merugikan petani di NTB di saat kondisi gabah petani masih melimpah.
Pengamat Pertanian dari Universitas Mataram (Unram), Prof. H. Lalu Wiresapta Karyadi menilai sangat ironis NTB yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional justru kritis beras. Kondisi tersebut sangat memalukan disaat bersamaan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB mengklaim produksi surplus dimana prduksi padi mencapai 2,3 juta ton dari target tahun 2015 untuk produksi sebanyak 2,1 juta ton.
“Sangat ironi dengan klaim sebagai lumbung pangan, tapi untuk mencukupi kebutuhan dalam daerah harus mendatangkan dari luar NTB,” sindir Prof Lalu Wiresapta.
Kondisi stok beras yang kritis serta adanya beras dari Jatim masuk ke NTB di awal Februari ini sebanyak 7 ribu ton menampar muka dari SKPD teknis rumpun hijau baik itu Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura (TPH) NTB, Badan Ketahanan Pangan (BKP) NTB dan Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh) Provinsi NTB.
Pasalnya selama ini SKPD teknis terkait seperti Dinas Pertanian dan TPH NTB selalu mengklaim telah berhasil meningkatkan produksi gabah petani, begitu juga BKP NTB mengklaim kondisi lumbung pangan masyarakat aman sementara Bakorluh NTB menyebut penyuluh berhasil mendampingi petani sehingga produksi gabah petani meningkat. Tapi disaat bersamaan, harga beras ‘meroket’ tinggi hingga mencapai Rp 12 ribu/kg dan sekarang lagi mengejutkan Bulog NTB akan memasok beras dari Jawa Timur dengan dalih stok cadangan beras di NTB sudah mulai menipis hanya sampai bulan Februari.
Di satu sisi lagi yang bertolak belakang dengan klaim SKPD teknis di NTB yang menangani bidang pertanian itu, dimana sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB yang melansir angka kemiskinan di NTB meningkat naik disebabkan karena harga beras yang melambung tinggi. Bahkan faktor harga beras yang tinggi itu menjadi penyebab utama penduduk NTB semakin banyak.
Padahal, seharusnya sebagai daerah lumbung pangan seperti diklaim instansi terkait produksi surplus itu tidak akan mungkin beras itu menjadi faktor utama naiknya angka kemiskinan di NTB. Tapi justru penyumbang bertambahnya angka kemiskinan di NTB disebabkan oleh harga beras yang sangat mahal.
Sebagai daerah yang selalu di dengungkan oleh pemerintah daerah menjadi lumbung pangan nasional dengan produksi gabah petani terus melonjak naik, tapi disatu sisi ketersediaan untuk stok pangan daerah tidak bisa diantisipasi. Namun justru mendatangkan dari luar daerah yang merupakan pembeli dari gabah petani asal NTB. “Apakah ini hanya merek slogan saja sebagai lumbung pangan,ataukan SKPD teknis terkaitu tidak menyampaikan data akurat tentang luas areal panen namun hanya data ABS (asal bapak senang) saja ? ,” tandas Sapta.
Sapta juga mengkritik keras kebijakan Perum Bulog Divre NTB yang sebelumnya tahun 2015 gagal memenuhi target pembelian gabah petani dari target 100 ribu ton namun hanya mampu mencapai dibawah angka 60 persen. Ujug-ujugnya Perum Bulog NTB dengan dalih stok beras di NTB hanya sampai Februari kemudian mengambil sikap untuk mendatangkan beras dari Jatim yang tidak menutup kemungkinan beras yang akan didatangkan itu adalah beras asal NTB juga. Karena tak sedikit pula, gabah petani yang ditolak dibeli oleh Bulog NTB dengan dalih tidak sesuai standar pembelian, namun justru gabah yang ditolak oleh Bulog NTB itu dibeli oleh Bulog dari Bali dan Jawa Timur. Hal tersebut dinilai tidak masuk akal, Bulog NTB menolak beli gabah petani dengan alasan tak sesuai standar,tapi justru Bulog Bali dan Jatim justru membeli gabah yang ditolak oleh Bulog NTB. “Bisa jadi ini ada permainan jaringan mengenai Bulog NTB tidak mau membeli gabah petani dengan dalih kualitas tidak sesuai standar bulog,” ujar Sapta.
Kuswin mengaku jika kebijakan pasokan beras dari Jatim itu merupakan perintah dari Bulog pusat karena melihat kondisi stok cadangan beras di gudang Bulog NTB yang kurang. Jika beras dari Jatim tidak jadi masuk ke NTB maka akan dikhawatirkan berdampak terhadap tekanan inflasi. Karena kondisi stok yang menipis, maka akan bisa berakibat pada kenaikan harga beras yang cukup tinggi.
“Karena stok di gudang Bulog menipis, maka Bulog Pusat memasok ke NTB untuk antisipasi terjadinya kenaikan inflasi,” terang Kuswin.
Kuswin membantah jika kebijakan untuk mendatangkan beras asal Jatim sebanyak 7 ribu ton itu inisiasi Bulog Divre NTB. Tapi kebijakan itu murni dari Bulog Pusat yang melihat kondisi stok yang tersedia di NTB hanya sampai Februari 2016, sementara saat ini di NTB belum mulai musim panen secara merata.
Bulog pusat mengelola stok beras secara nasional, manakala ada daerah yang kondisinya kurang, maka cadangan stok pengadaan dalam negeri itu, akan dipasok ke daerah yang kurang. Kebijakan itu sering dilakukan NTB,dimana saat daerah lain mengalami kekurangn stok cadangan beras, maka NTB menyuplai untuk kebutuhan daerah yang kurang seperti ke NTT, Bali dan beberapa daerah lainnya.(cr-luk)
http://www.radarlombok.co.id/lumbungan-pangan-nasional-kok-krisis-beras.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar