Selasa, 09 Februari 2016

Krisis Beras, Menjelang Mei 1998

Selasa, 9 Februari 2016

Memasuki Februari 1998, masyarakat Indonesia, terutama kelas bawah, merasa khawatir beras akan hilang dari peredaran di pasar. Indonesia di ambang krisis beras.

Beras dalam dunia politik dan ekonomi di Indonesia adalah barang magis. Beberapa pengamat sosial politik dalam dan luar negeri memperkirakan, krisis beras menjadi salah faktor penentu jatuhnya Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.

Kekhawatiran masyarakat atas krisis beras di awal Februari 1998 membuat Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi Kabinet Pembangunan VI Hartarto Sastrosoenarto serta Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) Beddu Amang dipanggil Presiden Soeharto ke tempat kediamannya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta.

Seusai bertemu Soeharto, kedua pejabat pemerintah itu bertemu dengan para wartawan di ruang wartawan yang ada di ruang depan rumah kediaman keluarga Soeharto. Kepada wartawan, Hartarto dan Beddu Amang membantah bahwa stok beras di Bulog sudah habis. Hartarto minta kepada para wartawan agar ikut membuat masyarakat tenang dan memberitakan bahwa persediaan beras masih cukup, kalau tidak cukup agar segera impor dari luar negeri.

Menurut Beddu Amang waktu itu, stok beras masih cukup besar, sampai akhir Maret 1998 masih tersedia 1,5 juta ton hingga 1,7 juta ton. Beddu Amang juga mengatakan tahun 1997 sudah mengimpor beras 1,95 juta ton dan masih terus berjalan sampai Maret 1998.

Kabulog juga menekankan, pihak swasta diperkenankan untuk mengimpor beras dengan bebas. "Seperti nanti impor gula juga bebas, juga kedelai (bebas) seperti tepung terigu," ujar Beddu Amang.

Ketika itu, para wartawan mengatakan, beras hilang dari pasar dan kalau ada pun harganya akan tinggi sekali. "Karena itulah, Bapak Presiden memanggil kami ke sini. Kami diminta untuk menegaskan bahwa stok beras tetap tanggung jawab kami melalui Bulog," kata Hartarto ketika itu.

Swasembada

Swasembada beras adalah kebanggaan Pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an. Soeharto mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang swasembada pangan ini.

Beras melimpah, membuat stabilitas politik Indonesia cukup mantap sehingga Soeharto berani bereksperimen membentuk sistem pemerintahan dengan dua partai dan satu golongan karya. Setelah itu, menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi masyarakat.

Namun, menjelang memasuki 1998, krisis beras semakin menjadi-jadi. Pada saat bersamaan, nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat naik turun tidak karuan dengan kisaran dari Rp 12.500 per dollar AS sampai Rp 13.250 per dollar AS.

Saat itu, krisis keuangan dan ekonomi memuncak menjadi krisis multidimensional. Maka, pada 21 Mei 1998, Soeharto yang dipandang masih menguasai militer dan Golkar melepaskan jabatannya sebagai presiden.

Setelah Soeharto lengser, Indonesia memasuki masa reformasi. Kini pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mencanangkan swasembada beras. Namun, dalam perjalanan untuk berswasembada beras itu, sempat terjadi impor. Tentu impor beras itu berdasarkan pemikiran yang realistis setelah melihat lapangan.

Selamat menggapai swasembada beras, ya, Pak. (J OSDAR)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160209kompas/#/2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar