Selasa, 25 Maret 2014
EMOSI dan keyakinan agama masyarakat Indonesia sangat kental sehingga opini dan pilihan keberagamaan seseorang akan selalu berpengaruh ketika mengambil keputusan penting, termasuk dalam peristiwa pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Ketika seseorang memilih wakil rakyat dan pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres), sangat mungkin muncul pertimbangan afiliasi keagamaan seseorang. Jangankan di Indonesia yang masyarakatnya dikenal religius, di Amerikat Serikat yang pemerintahannya sekuler pun pengaruh Protestan masih sangat kuat dalam setiap pemilu.
Aspirasi dan emosi keagamaan setidaknya terekspresikan dalam empat domain, yaitu individual, komunal, kelembagaan, dan negara. Pada domain individual dan komunal, ekspresi keagamaan di Indonesia masih sangat kuat dan bahkan berkembang.
Tempat-tempat ibadah dan pengunjungnya terus bertambah jumlahnya. Namun, pada domain kelembagaan, terutama lembaga kepartaian, spirit dan identitas keagamaannya semakin mencair. Tentu saja lembaga partai politik mesti dibedakan dari lembaga sosial-keagamaan seperti halnya Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) yang jelas-jelas karakter dan jati dirinya memang penyebar dan pengayom kehidupan beragama.
Mencairnya simbol agama
Ketika simbol dan ekspresi keagamaan masuk ke wilayah publik, baik partai politik maupun negara, aspirasi satu agama akan bertemu atau mungkin berbenturan dengan aspirasi agama lain, mengingat ruang publik adalah ruang bersama yang sangat plural dan diatur dengan etika dan hukum positif sekalipun bisa saja sumbernya dari nilai-nilai agama.
Simbol dan kaidah agama yang dominan pada wilayah pribadi dan komunal ketika memasuki ruang publik dan negara mesti berkompromi dan taat pada dominasi hukum positif mengingat Indonesia bukanlah negara agama.
Mencairnya simbol-simbol agama pada lembaga partai politik disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena sikap kedewasaan dalam beragama dan berpolitik yang lebih mengedepankan substansi dan prestasi nyata mengingat ruang publik mestilah bersifat inklusif sehingga tidak memicu segregasi sosial berdasarkan sentimen etnis dan agama yang pada urutannya akan memperlemah kohesi bangsa.
Kedua, berdasarkan kalkulasi politik bahwa lembaga partai politik yang kental dengan jargon dan simbol agama ternyata selama ini semakin berkurang peminatnya. Oleh karena itu, akhir-akhir ini banyak partai
politik, yang semula eksklusif dengan ciri keagamaannya, membuka diri bagi pemeluk agama lain dan menonjolkan semangat nasionalisme dengan harapan akan semakin memikat warga negara lintas etnis dan agama.
Ketiga, partai politik tidak perlu menonjolkan ciri keagamaan secara eksklusif mengingat negara Indonesia menganut falsafah dan ideologi Pancasila yang menempatkan ketuhanan pada sila pertama.
Sampai hari ini, siapa pun yang terpilih menjadi presiden, apa pun asal partai politik dan etnisnya, pasti seorang Muslim yang juga setia pada Pancasila. Dengan demikian, tuntutan pada komitmen keberislaman seorang pemimpin dan politisi bukan terletak pada penampilan formal-simbolis keislamannya, tetapi lebih pada kualitas kepemimpinannya dan karya nyatanya dalam memajukan bangsa dan melayani rakyat.
Dalam kaitan ini, ekspresi dan komitmen keagamaan seseorang pada ranah publik dan negara diharapkan lebih substantif, fungsional, dan kontributif bagi upaya-upaya mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat. Adapun wacana keagamaan yang bersifat normatif-eskatologis biarlah itu bergerak pada wilayah individual-komunal.
Ruang publik dan jabatan kenegaraan yang diperebutkan banyak partai politik lebih memerlukan kualitas dan otoritas yang menjamin kesuksesan seseorang dalam melayani rakyat ketimbang simbol-simbol primordialisme etnis dan agama. Pernyataan ini tidak berarti anti agama dan mendukung paham sekularisme dalam sistem kepartaian di Indonesia, tetapi hanya ingin menekankan bahwa ekspresi keagamaan dalam ruang publik dan komunal itu berbeda.
Oleh karena itu, menjadi krusial ketika partai politik dan ormas keagamaan merebut ruang publik dengan mengedepankan semangat komunalisme keagamaan sehingga merusak kohesi dan kerukunan sosial yang dijaga dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Kepentingan bangsa
Tidak bisa dimungkiri bahwa banyak tokoh dan parpol yang berusaha menjaring dukungan massa selama masa kampanye dengan melekatkan jargon dan identitas keagamaan. Namun, ketika mereka telah masuk wilayah pemerintahan serta jabatan publik, loyalitas, dan etika yang mesti dikedepankan, hendaknya bersifat inklusif dengan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan agama dan kelompoknya.
Mereka mesti mampu membuktikan bahwa penghayatan dan komitmen keberagamaannya justru memperkuat agenda bangsa dan negara demi melindungi dan menyejahterakan rakyat. Spirit dan nilai-nilai ini telah dicontohkan oleh para pendiri bangsa, apa pun agama dan etnis mereka.
Sejauh ini sebagai warga negara, saya merasa bangga bangsa ini mampu melewati tikungan terjal yang mengancam keutuhan Indonesia. Proses demokratisasi berjalan dengan damai meskipun ongkosnya terlalu mahal.
Banyak politisi dan birokrat yang diharapkan mengawal
proses demokratisasi dan reformasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan efektif, justru mabuk kekuasaan dan jabatan.
Mereka telah mengubah konsep harga diri yang berdasarkan integritas dan kompetensi menjadi konsep yang dangkal, yaitu formula wani piro? Kamu berani membayar berapa?
Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140325kompas/#/7/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar