Minggu, 16 Maret 2014
Dengan menerapkan sistem pertanian organik yang memperhatikan pranata mangsa, produktivitas padi lokal bisa mencapai 8 ton per hektare.
Biasanya koperasi simpan-pinjam berkutat pada permasalahan perekonomian. Namun, sebuah lembaga keuangan di Bantul, Yogyakarta, turut mendesiminasikan teknologi pertanian yang bersumber kearifan lokal.
Sebagian warga Dusun Dowaluh, Desa Sumber Batian, Kecamatan Trirenggo, Kabupaten Bantul, Jawa Tengah, lebih memilih menutup pintu rumah selama seharian. Kalau pun mereka ingin keluar rumah harus sembunyi-sembunyi. Apa sebab?
Usut punya usut, warga yang sebagian besar bermata pencaharian petani itu malu dengan para tetangganya lantaran berurusan dengan bank plecit alias rentenir. Mereka malu ribut dengan rentenir karena tidak mampu bayar utang.
"Kemarin pinjam kepada rentenir, keesokan harinya sudah harus bayar kalau tidak ingin bunganya berlipat ganda," cerita tokoh masyarakat Dusun Dowaluh, Hery Astono, di Koperasi KSP Credit Union (CU) Tyas Manunggal, Bantul, Selasa (11/3).
Segelintir petani terpaksa berhubungan dengan rentenir karena kurangnya kepercayaan berutang dengan keluarga, tetangga, dan lembaga keuangan berbadan hukum. Rentenir merupakan jalan terakhir bagi mereka untuk menambal kebutuhan harian karena minim pengetahuan maupun keterampilan.
Secara umum, petani yang terbelit utang dengan rentenir berpenghasilan lebih kecil ketimbang pengeluaran. Biasanya pascapanen mereka menghambur-hamburkan uang untuk keperluan konsumtif, tapi menjelang musim tanam mulai kelabakan cari utangan.
Lebih runyam lagi, mereka banyak menganggur di sela musim tanam hingga panen arena hanya bisa bertani padi. Praktis, usaha pertanian mereka tidak bisa berkelanjutan.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Hery melontarkan gagasan inovasi sosial dengan membangun Koperasi KSP CU Tyas Manunggal. Uniknya, lembaga keuangan ini tidak sekadar melayani simpan-pinjam, tapi membekali para anggotanya dengan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bidang pekerjaannya untuk mencapai kesejahteraan.
Para anggota dengan bidang dan minat tertentu dikelompokkan dalam sebuah fokus grup simbiosis (FGS) difasilitasi koordinator yang kompeten. "Sejauh ini sudah terbentuk FGS pertanian organik dan peternakan puyuh," terang Hery yang juga menjadi Ketua Koperasi KSP CU Tyas Manunggal.
Setiap bidang usaha dalam kedua FGS tersebut dirancang sedemikian rupa, dari hulu sampai hilir, agar bersinergi sehingga saling memberikan kontribusi. Penataan hulu-hilir tergambar adanya pemberdayaan anggota sesuai dengan bidang keahliannya.
Kebetulan Hery dianggap kompeten dalam bidang pertanian organik padi mulai dari persiapan lahan, pembibitan, pemupukan, penanaman, panen, hingga pemasaran produk organik.
Pupuk Organik
Ihwal persiapan lahan, tanah ditaburi pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Menariknya, pupuk organik tersebut diproduksi oleh anggota koperasi yang umumnya perempuan. Hery memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan kepada para perempuan cara memproduksi pupuk dengan formula yang bersumber dari kearifan lokal.
Salah satu anggota koperasi yang akrab disapa Sugila mengatakan beruntung bisa belajar dan mempraktikkan produksi pupuk organik bersama teman-teman perempuannya. Perempuan berusia 50 tahun ini memanfaatkan waktu senggang di antara musim tanam hingga panen agar tidak menganggur.
"Kalau menganggur bisa kelaparan karena tidak punya uang untuk makan harian," ujar Sugila yang enggan berhubungan dengan rentenir untuk mencukupi kebutuhan harian keluarganya. Setelah bergabung dengan koperasi, dua tahun lalu, kini dia mengaku berpenghasilan 30 ribu hingga 40 ribu rupiah per hari dari memproduksi pupuk organik ini.
Untuk mendapatkan upah harian itu, Sugila bekerja mulai pagi hingga sore hari memproduksi pupuk organik dengan formula decomposer tetes tebu 0,4 liter per ton, urine kelinci, buah-buah busuk, dan air sumur. Decomposer itu kemudian disiramkan bahan baku utama pupuk organik berupa onggokan kotoran sapi 1 ton, tanah di sekitar rumpun bambu (mengandung bakteri) 1 ton, delomit (unsur kalsium) 25 kilogram, dan kotoran puyuh 15 kilogram.
Kotoran puyuh yang digunakan dalam formula pupuk organik tersebut dipasok dari FGS peternakan puyuh dengan banderol 18 ribu rupiah per 25 kilogram. Anggota FGS peternakan puyuh, Valentina Suryani, mengatakan ketersediaan kotoran puyuh untuk memasok produksi pupuk organik sangat berlimpah mengingat jumlah burung puyuh yang diternak sebanyak 1.500 ekor.
Formula pupuk organik, kata koordinator FGS pertanian organik padi, Mulyono, cocok untuk benih lokal yang dikembangkan anggota koperasi. Benih lokal itu antara lain jasmin, menthik wangi, mentik susu, somali, dan genjah rantai. "Setiap bibit lokal tersebut memiliki keunggulan tersendiri," ujar dia.
Sebagai contoh, benih jasmin dan mentik wangi dapat diproduksi setiap musim dengan cita rasa pulen dan beraroma. Benih mentik susu masa produksi panjang (120 hari), tapi memiliki cita rasa pulen dan harum, sementara benih somali hanya bisa ditanam pada musim kedua, dipanen Juli hingga Agustus.
Mulyono menuturkan petani yang menjadi anggota koperasi bisa menggunakan benih lokal untuk pembibitan, tapi harus mengembalikan sesuai dengan penggunaanya pada waktu panen kepada koperasi. "Bibit lokal tidak dijual karena tidak bersertifikat, jadi dipinjamkan kepada anggota," ucap dia.
"Pranata Mangsa"
Moyono menyarankan kepada anggotanya ketika menanam bibit lokal tersebut untuk memperhatikan pranata mangsa atau ketentuan musim sehingga peluang keberhasilan panen semakin besar. Pranata mangsa adalah sistem penanggalan warisan leluhur petani Jawa yang terkait dengan musim.
Sebagai contoh, untuk menyebar benih padi disarankan musim keenam (kenem/naya) pada 10 November hingga 22 Desember. Lebih terperinci lagi, padi golongan satu berumur 90 hari disarankan menanam pada 20–30 November, sedangkan padi golongan kedua pada 20–31 Desember. Ciri-ciri pada musim tersebut burung belibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair.
Adapun masa panen, menurut pranata mangsa, dimulai pada musim kesepuluh (srawana) mulai 19 April hingga 11 Mei. Ciri-ciri pada musim tersebut burung-burung memberi makan anaknya dan buah kapas mulai merekah. "Dengan menerapkan sistem pertanian organik yang memperhatikan pranata mangsa, produktivitas padi lokal bisa mencapai 8 ton per hektare," klaim Mulyono.
Setelah panen, kata Mulyono, proses pengolahan gabah menggunakan teknik tertentu agar bulir-bulir tidak rusak. Bulir-bulir padi dengan kualitas super dijual petani mulai dari harga 11 ribu–15 ribu rupiah per kilogram. Harga beras tersebut bergantung pada jenis padi lokal yang digunakan bibitnya. Selain itu, beras dijual lebih murah kepada anggota koperasi ketimbang konsumen biasa.
Pengusaha nasi bakar, Purwaningsih, setiap hari tidak kurang membeli beras organik jenis menthik wangi, genjangrante, dan menthik susu total sekitar 5 kilogram. Anggota koperasi ini mengolah beras organik ini menjadi nasi uduk, lalu ditambahkan ikan tuna segar sebagai lauk.
Nasi uduk dan lauk itu kemudian dibungkus daun pisang untuk dikukus. Setelah itu dibakar dan dihidangkan selagi panas dengan harga tujuh ratus rupiah per bungkus. Nasi bakar ini dijual di beberapa outlet di wilayah Bantul.
Sebagian dari penghasilan Purwaningsih berjualan nasi bakar itu kemudian ditabung di koperasi. Pada sisi lain, dia juga sempat meminjam uang 25 juta rupiah di koperasi untuk mengembangkan usaha yang dirintisnya dua tahun lalu.
Nah, simpanan dan pinjaman anggota di koperasi ini ditata sedemikian rupa mulai dari bidang di hulu hingga hilir secara adil. Simbiosis mutualisme inilah motor yang digunakan Koperasi KSP CU Tyas Manunggal untuk meningkatkan kesejahteraan para petani secara bekelanjutan. agung wredho
http://koran-jakarta.com/?8060-inovasi-pertanian-bersumber-kearifan-lokal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar