Kamis, 13 Maret 2014
Sosialisasi gencar Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/ kota, provinsi, dan pusat, hakikatnya menyasar dua wilayah, yakni para pemilih dan calon anggota legislatif sekaligus partai-partai politik. Rakyat sebagai pemilik suara didorong untuk menggunakan hak pilih secara rasional dan cerdas, sedangkan calon-calon wakil rakyat dan parpol dididik mematuhi aturan main. Orientasinya, agar pemilu terselenggara secara berkualitas untuk mencapai Indonesia yang lebih baik.
Pemikiran normatif itu banyak menghadapi paradoks. Ketika rakyat didorong menggunakan hak pilihnya secara cerdas, apakah para caleg juga menampilkan diri secara cerdas? Ketika rakyat dididik menjadi pemilih rasional, sudahkah para caleg menciptakan kondisi-kondisi yang merasionalkan sikap pemilih? Ketika fenomena politik uang menjadi warna yang menghegemoni setiap pemilu, siapa yang harus proaktif melawan penyakit akut ini: rakyat atau calon wakilnya?
Pendidikan politik terkait kecerdasan dan kerasionalan memilih menciptakan lingkaran tak berujung pangkal. Entah sudah sejak kapan politik uang menjadi ”menu wajib” dalam setiap pengambilan keputusan untuk memilih orang dan hal-hal strategis lainnya, termasuk pilihan kepala desa, di DPR, dan DPRD. Masyarakat terkondisi oleh ”syarat” dalam menentukan pilihan sebagai ”kontraprestasi wajib”. Ola uwik, ola oblos, itu guyon yang telah menjadi semboyan simbolik.
Kerja keras KPU dan elemen-elemen masyarakat untuk meningkatkan partisipasi pemilih kiranya perlu dibarengi dengan mindset yang determinatif. Kuantitas jangan menjadi ukuran kesuksesan sosialisasi. Yang lebih penting bagaimana menciptakan relasi timbal-balik yang mendidik rakyat dan politikus. Kampanye ”terima uangnya, belum tentu pilih orangnya” perlu dibarengi dengan visi kualitatif. Kalau perlu ”terima uangnya, tetapi tidak memilih siapa pun”. Mengapa?
Rakyat sebenarnya punya posisi tawar untuk mendidik caleg. Kita harus berani ”mengerjai” caleg agar sadar uang bukan penentu, sehingga para politikus akan berhitung, karena kucuran duitnya tidak berbayar dengan keterpilihan. Kalau perlu korbankan satu pemilu dengan tingkat partisipasi publik yang rendah, tetapi mendapatkan pendidikan politik yang kuat. Dan, pemilu berikutnyalah yang diharapkan diwarnai oleh partisipasi para pemilih dan caleg cerdas.
Kisah caleg yang ndukun, mengandalkan kekuatan uang, lemah dalam menyosialisasikan program untuk rakyat; adalah warna-warni yang makin menunjukkan pencalegan lebih mirip job fair, ajang mencari kerja. Bagaimana bicara tentang pendewasaan politik untuk rakyat? Maka mari, kita -- rakyat -- yang beramai-ramai mendididik calon wakilnya dengan mulai berpikir rasional, untuk menentukan siapa saja yang layak kita ”bawa” ke gedung-gedung perwakilan rakyat.
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/03/13/255395
Tidak ada komentar:
Posting Komentar