Banyak yang memberi pernyataan sinis ketika sejumlah menteri mau mengambil cuti untuk berkampanye. Misalnya, tidak masalah menteri cuti karena negara selama ini "autopilot". Dengan kata lain, negara berjalan sendiri tanpa dikelola.
Menjelang kampanye banyak menteri, kepala daerah, dan pejabat mengambil cuti untuk menjadi juru kampanye partai-partai yang menaungi mereka.
Kampanya sendiri secara resmi akan diawali dengan "ikrar" damai hari ini di Monas. Minggu (16/2) kampanye mulai bergulir. Begitu banyak gubernur, bupati, atau wali kota yang diusung partai politik sehingga mereka terikat kerja dengan induknya itu walau sesungguhnya setelah mereka terpilih seorang pejabat seharusnya menjadi milik umum.
Gubernur, bupati, wali kota, atau menteri setelah menjabat seharusnya melepaskan diri dari atribut-atribut kepartaian.
Mereka bukan lagi wakil apalagi milik partai, tapi sebagai pelayan masyarakat.
Status ini seharusnya disadari dan menjadi konsekuensi maju sebagai pejabat. Hanya, sayang banyak pejabat yang bukan negarawan sehingga mereka belum bisa menjadi pelayan semua lapisan.
Status pejabat tetap hanya status, tidak dipahami, disadari, dan dikonsekueni sebagai abdi masyarakat.
Mereka masih merasa milik partai. Saat menjadi pejabat, kadang-kadang mereka malah banyak bekerja untuk partai dengan mengumpulkan uang untuk memasukkan dana ke lumbung partai. Pejabat dari partai sering mengutamakan kepentingan induknya.
Padahal, kalau mereka benar-benar pejabat yang negarawan seharusnya menghapus partai dari hatinya dan mengganti dengan pelayanan masyarakat.
Para pejabat tidak bisa 100 persen menjadi pelayan warga karena harus tetap membagi konsentrasi ke partai. Sikap mendua ini lantaran mereka takut tidak didukung lagi pada masa kedua (untuk pejabat yang baru naik tahun pertama).
Sedang bagi mereka yang sudah naik pada periode kedua, khawatir tak didukung untuk jabatan lebih tinggi lagi.
Sikap mendua mulai tampak ketika menteri-menteri, gubernur-gubernur, para bupati, wali kota, dan pejabat lain ramai-ramai mengambil cuti untuk menjadi juru kampanye. Selama itu, maka negara ditinggalkan.
Pelayanan warga dinomorduakan karena harus mengutamakan partai. Maka, sebentar lagi negara memasuki masa vakum karena para pejabatnya cuti untuk mendulang suara.
Hal ini harus menjadi bahan pencermatan para pemilih. Saat kampanye tentu para cutiawan itu akan mendengungkan pelayanan-pelayanan kepada masyarakat.
Warga tahu benar bahwa itu tidak serius karena pada saat yang sama dia sebagai pejabat yang sedang menomorduakan pelayanan karena tidak ada di kantor, tetapi di lapangan sepak bola untuk kampanye.
Masa vakum harus menjadi refleksi masyarakat untuk benar-benar memikirkan ulang apakah orang yang seharusnya bekerja di kantor untuk melayani masyarakat, tetapi malah kampanye, harus dipilih lagi?
Benarkah (partai) tokoh demikian yang pantas dicoblos (kembali)? Ke depan, memang harus dibuat aturan agar tokoh dari partai tidak boleh menjabat di partai ketika terpilih menjadi pejabat publik.
Harus ada ketentuan yang secara otomatis, begitu terpilih menjadi pejabat publik, dengan sendirinya seseorang itu lepas 100 persen dari partai.
Dia baru boleh bersinggungan kembali dengan (eks) partainya saat sudah tidak menjabat lagi. Selama mereka menjabat tidak boleh bersentuhan dengan partai apalagi harus meninggalkan pekerjaan hanya untuk menjadi juru kampanye.
Cara ini mungkin juga dapat mengikis kongkalikong menteri-menteri atau pejabat publik lainnya bermain untuk memasok dana ke partai. Sistem ini mudah-mudahan menghilangkan beban pejabat atas keharusan mengumpulkan dana untuk partai.
Meski belum terbukti, banyak kasus yang mendikasikan bahwa ada cara-cara partai memanfaatkan kadernya yang menjadi menteri atau pejabat publik lainnya dengan wewenangnya agar mengumpulkan dana untuk partai. Jadi, kunci memperbaiki negeri ini, salah satunya, melepaskan seluruh pejabat publik dari atribut partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar