Senin, 10 Maret 2014
Tahun ini bukan hanya tahun politik, tapi juga tahun pembuktian terwujudnya sejumlah target politik pemerintahan SBY-Budionoyang sudah di ambang senja.
Salah satu target itu adalah surplus beras 10 juta ton. Maklum, hingga kini beras masih memiliki nilai politis sebagai tolak ukur keberhasilan pemerintah di bidang pangan.
Di atas kertas, pencapaian target ambisius ini sangat ditentukan olehakurasi data yang digunakan dalam perhitungan surplus. Pendek kata, tercapai atau tidaknya target ini membutuhkan justifikasi data statistik.
Data pokok yang digunakan dalam perhitungan surplus beras adalah data produksi padi yang dikonversi ke beras dan data konsumsi beras. Soal akurasi, kedua data ini kerap menuai kritikan dari banyak kalangan.
Data produksi padi ditengarai over-estimated atau lebih tinggi dari angka yang sebenarnya. Akibatnya, disasosiasi antara produksi, stok, dan harga beras di pasarkerap terjadi.
Pada 2011, misalnya, data menunjukkan produksi beras cukup melimpah. Namun, pada saat yang sama, Bulog mengalami kesulitan dalam pengadaan beras, dan harga beras di pasar merangkak naik karena kekurangan suplai. Impor beras sepanjang 2011 bahkan nyaris 3 juta ton. Padahal, surplus ditaksir mencapai 4 juta ton.
Sementara itu, angka konsumsi beras nasional sebesar 139 kilogram per kapita per tahun, selain dianggap ketinggian, asal-usulnya juga dipertanyakan. Sejumlah kalangan bahkan menganggap angka ini merupakan hasil kesepakatan politis,ketimbang hasil hitung-hitungan ilmiah.
Pada awal bulan ini (3 Maret), BPS telah merilis angka sementara produksi padi pada 2013. BPS melaporkan, produksi padi pada tahun lalu mencapai 71,3 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 40,6 juta ton beras. Menurut kalkulasi pemerintah, angka ini menunjukkan surplus beras mencapai 7 juta ton pada 2013. Itu artinya, target surplus 10 juta ton kemungkinan bakal sulit diwujudkan.
Menariknya, bila menggunakan angka konsumsi beras terbaru hasil survei BPS pada 2012, yakni sebesar 114 kilogram per kapita per tahun, surplus beras pada tahun lalu ternyata nyaris menembus 12 juta ton.
Artinya, pencapaiaan target surplus beras 10 juta ton telah berhasil direngkuh. Tapi, mengapa tak ada pernyataan resmi dari pemerintah bahwa target ambisius ini telah tercapai?
Tentu janggal, dan kejanggalan ini membuktikan, data produksi memang over-estimateddan perlu dikoreksi. Karena itu, perbaikan data produksi sebagai pijakan justifikasi pencapaian target surplus mutlak dilakukan. Bila tidak, surplus hanya angka-angka di atas kertas.
Telah lama diketahui, kelemahan utama dalam perhitungan produksi padi adalah pengumpulan data luas panen yang tidak didasarkan pada survei statistik. Metode yang lazim digunakan adalah pandangan mata atau eye estimate. Dalam prakteknya, petugas hanya datang ke sawah yang tanaman padinya siap dipanen kemudian memperkirakan luasnya. Masih mending petugas datang ke sawah, bagaimana kalau perkiraan luas panen dilakukan di atas meja?
Karena itu, mengingat pentingnya akurasi data produksi padi/beras dalam perumusan kebijakan, pengumpulan data luas panen mesti segera dibenahi dan didasarkan pada survei statistik. Misalnya, dengan memanfaatkan data citra satelit resolusi tinggi. Teknologi dan sumberdayanya sudah tersedia, yang dibutuhkan hanya komitmen dan keseriusan pemerintah. (*)
Kadir Ruslan
Penulis adalah pemerhati data pertanian dan bekerja di Badan Pusat Statistik
http://m.kompasiana.com/post/read/637310/1/akurasi-data-surplus-beras.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar