Rabu, 26 Maret 2014
Di Akhir Maret 2014 ini hampir semua petani di wilayah Kota Metro menikmati masa panen. Masa menikmati hasil kerja keras mereka. Padi menguning dengan bulir-bulir padi yang bernas.
Dan alhamdulillah, ucapan syukur yang selalu diucapkan para petani tatkala jerih payahnya selama tiga bulan berbuah hasil. Hasil yang ditunggu-tunggu atas kerja keras demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan yang tentu saja tak dapat ditunda kewajibannya.
Hamparan padi yang telah menguning dan deru mesin tleser rakitan sendiri turut menghiasi senyum sumringah petani yang kini tinggal memetik buah kesabaran tatkala selama masa tanam harus bergumul dengan masalah hama yang menghantui tanaman padi mereka. Bahkan hampir setiap masa tanam mereka selalu berjuang bertahan dari serangan hama. Hingga ada di antara mereka yang harus gagal panen karena serangan yang bertubi-tubi. Tak hanya hama tikus, walang sangit dan serangga lain turut menghiasi hamparan tanaman satu-satunya sebagai penopang hidup mereka.
Tapi jangan sebut mereka sebagai petani, jika segala macam risiko pekerjaan tak mampu mereka hadapi dengan ketekukan dan kesabaran. Karena meskipun hama berjibun mengerubuti tanaman mereka, toh bagi para petani ini pantang ‘tuk berputus asa apalagi berpangku tangan menerima keadaan.
Meskipun akibat dari serangan hama tersebut, tatkala masa panen saat sekarang, jika dihitung-hitung justru hanya dapat mengembalikan modal mereka. Dalam bahasa mereka disebut “balek modal “. Tenaga dan waktu tak lagi dihitung karena hasil panen mereka hanya cukup menutup tunggakan kelompok tani dan toko obat-obatan yang telah dihutang dahulu tatkala mereka mulai menanam padi.
Di sisi lain dari perihnya perjuangan petani adalah tatkala hasil panen sudah ditangan ternyata ketika dijual pun harganya selalu murah. Berbeda sekali tatkala mereka tak memiliki segantang pun gabah, harga dipabrik dan agen justru naik setinggi langit. Maka wajar saja mereka sulit sekali meningkatkan taraf hidup mereka.
Contoh kecil tatkala musim kemarau dan petani dalam masa tanam, harga gabah basah di tangan tengkulak bisa mencapai Rp.5.000 dan harga gabah kering giling bisa mencapai Rp. 6.500 sedangkan saat panen seperti saat ini, harga gabah mereka turun menjadi Rp 3.200 bahkan hanya bisa sampai Rp 3.500 dan gabah kering giling mencapai Rp. 4.200 s.d Rp 4.500. Sangat murah sekali.
Meskipun harga tersebut tidak dapat memberikan keuntungan bagi kerja keras mereka, namun karena hasil panen itulah satu-satunya, maka mau tidak mau rasa syukur itulah yang mendorong mereka untuk tetap bersemangat mengelola tanah pertanian mereka.
Maka tak jarang karena harga hasil panen yang tak sebanding dengan pengeluaran modal, maka yang terjadi setiap tahun hutang pun bertambah alias minus. Gali lobang tutup lobang adalah kata yang pantas buat para pejuang pangan ini.
Namun anehnya adalah, tatkala harga petani tatkala panen cukup murah tapi ternyata beras import masih saja menghiasi kantung-kantung toko sembako. Beras import yang juga selalu menuai cibiran dari para petani karena dampak dari import beras ini merusak nilai jual padi dan beras mereka. Para petani sendiri menjual dengan harga yang tak pantas,tapi beras-beras asing justru masuk tanpa dibatasi. Dampaknya semakin beras import bebas masuk ke dalam negeri, maka tidak ada harapan lagi harga gabah petani akan terdongkrak naik. Justru akan semakin tergilas beras-beras import yang juga menjadi penyebab rusaknya harga di tingkat petani.
Pertanyaan yang sampai saat inibelum terjawab adalah kenapa ketika beras langkapun harga hasil panen mereka selalu saja murah? Sedangkan biaya-biaya modal seperti pupuk, obat-obatan dan biaya pengolahan juga tidak lagi murah? Ditambah lagi hama tikus yang selalu merusak hamparan padi mereka.
Sebuah ironi, tatkala para petani menghendaki harga mereka dapat menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang tinggi, ternyata juga sulit menemui kata keberuntungan jika dihitung dari besarnya modal yang harus mereka keluarkan.
Ketika mereka menjual gabah-gabah mereka seperti tak berharga, tapi tatkala ingin membeli di saat paceklik harga di tingkat tengkulak sudah tak terbendung lagi.
Kondisi ini memang menjadi gambaran bahwa hakekatnya kerja keras petani tak sebanding dengan hasil yang mereka dapatkan. Dan tak sebanding pula tatkala harga pembelian beras tatkala musim paceklik tiba. Ketika mereka harus menabung gabah-gabah mereka untuk tiga bulan menanti masa panen kembali, hasil panen mereka sudah habis terjual demi mengembalikan modal “ngutang” yang mereka lakukan karena semakin mahalnya harga pupuk dan obat-obatan.
http://regional.kompasiana.com/2014/03/26/panen-raya-dan-catatan-fluktuasi-harga-gabah-petani-642086.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar