Senin, 3 Maret 2014
”MENGHASILKAN apa yang bisa dijual, dan bukan menjual apa yang bisa dihasilkan”. Itulah paradigma baru strategi pertanian yang seharusnya kita bangun.
Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST 2013) Jateng memberi gambaran ada kekhawatiran dalam 10-20 tahun mendatang, usaha tani ditinggalkan oleh tenaga potensialnya jika tidak ada perubahan mendasar strategi pembangunan pertanian.
Migrasi dari sektor pertanian ke sektor lain dan perkotaan makin besar (SM, 22/1/14). Gambaran ini sangat masuk akal. Karena itu, perlu paradigma baru pengelolaan pertanian, selama kita masih berkeyakinan sektor pertanian jadi tumpuan hidup bagi banyak rumah tangga usaha tani (RUTP).
Dengan penguasaan lahan sawah ratarata 1.771,81 m2 per RTUP dan sebagian besar, sekitar 77,7% adalah petani gurem, apa yang diharapkan dari pengelolaan usaha tani? Anggap saja, petani menanam padi dan produksi rata-rata 10 ton gabah basah per hektare tiap panen. Bila setahun tiga kali panen dan harga saat ini sekitar Rp 3.700 / kg , penerimaan kotor RTUP per bulan rata-rata Rp 1,5 juta.
Masih jauh di bawah Rp 2 juta per bulan sebagaimana diangankan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Masuk akal pula bila generasi muda memilih migrasi ke kota dengan penghasilan yang jauh memberi harapan ketimbang menjalankan usaha tani di desa, dan mereka baru kembali ke desa menjelang tua.
Andai Rp 2 juta dianggap pendapatan yang layak, diperlukan pemikiran, usaha, dan langkah besar, serta kebijakan jitu dan ìtidak biasaî untuk membawa RTUP ke arah pendapatan yang layak tersebut. Perubahan paradigma tersebut menuntut revolusi cara pandang, dari petani sebagai produsen menjadi petani sebagai pengusaha.
Perubahan ini tentu mempunyai implikasi terhadap kebijakan pemerintah dan cara pengelolaan usaha tani. Selama ini, selaras dengan kebijakan swasembada beras, kebijakan pertanian diarahkan meningkatkan produktivitas produksi, khususnya beras. Kebijakan itu tidak salah, tetapi tak cukup untuk mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan RTUP.
Apalagi pemerintah selalu mengendalikan kenaikan harga beras. Lebih dari itu, jika harga beras tinggi pun lebih banyak menguntungkan tengkulak dan pedagang ketimbang petani.
Cara pandang kebijakan ini mendasarkan pada asumsi petani s u b s i s t e m , yakni petani berproduksi untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Saat ini asumsi tersebut sudah tidak relevan. Inti cara pandang petani sebagai pengusaha adalah produksi dihasilkan atas dasar kebutuhan pasar. Ini suatu konsep. Petani lebih berorientasi pada apa yang dibutuhkan pasar bukan apa yang bisa dan biasa mereka hasilkan.
Artinya, komoditas apa dan berapa banyak yang harus dihasilkan petani, bergantung pada apa dan berapa banyak kebutuhan pasar. Petani tak hanya menghasilkan beras sebagai komoditas, tetapi beragam komoditas yang diperlukan pasar.
Penguatan Kapasitas
Visi besar yang akan dicapai adalah menjadikan petani mampu menghasilkan produk-produk berkualitas dan terkait langsung dengan kebutuhan pasar.
Implikasi cara berpikir ini sangat luas. Bukan hanya petani yang harus berubah melainkan juga perencana bidang pertanian, penyuluh, pendamping bidang pertanian, juga pakar pertanian dan pemasaran, dan tentu saja pemerintah dalam memformulasi kebijakan.
Ini semua menyangkut agen-agen perubahan pada semua lini dalam rantai usaha pertanian, dari input, proses produksi, pasar, dan aspek-aspek kelembagaannya.
Karena itu perlu desain besar. Yang perlu disadari sejak awal adalah langkah besar ini adalah politik pembangunan jangka panjang, sehingga selain memerlukan konsep, desain, dan peta jalan yang jelas, juga tidak bisa menuntut segera mendapatkan keuntungan politis. Untuk mencapai tujuan besar tersebut perlu penguatan kapasitas, desain kelembagaan yang tepat ,dan dukungan kebijakan pemerintah.
Bagi petani, ada banyak sebab mengapa mereka miskin. Di samping penguasaan lahan yang sangat kecil, juga harga produk yang rendah, tidak cukup akses pada lembaga keuangan dan permodalan, harga input yang mahal, infrastruktur yang tidak memadai, keterbatasan dukungan kelembagaan.
Selain itu, kurangnya dukungan riset dan alih pengetahuan, serta kurangnya pengetahuan dan tiadanya dukungan pasar yang cukup. Penguatan kapasitas petani; sangat memerlukan kemampuan terkait pengelolaan usaha ataupun kelembagaan melalui kelompok tani dan jejaring terkaitnya. Tidak kalah penting juga penguatan kapasitas pendamping dan penyuluh bidang pertanian.
Mereka diharapkan tidak hanya berkualitas akademik cukup, tapi juga mempunyai pengalaman memadai baik dalam teknik produksi, maupun pemasaran dan membangun jejaring. Jejaring ini mempunyai fungsi sangat strategis sebagai modal sosial petani dalam hubungannya dengan pemangku kepentingan.
Itulah PR besar kita saat ini, khususnya pemerintah, termasuk Pemprov Jateng, bila punya atensi terhadap pembangunan pertanian. Pertanyaannya adalah siapa berperan apa, dan dari mana memulai, bukan lagi kapan harus memulai karena saat inilah waktunya.
Pemprov sudah saatnya menyusun desain besar, sementara menunggu selesainya desain besar tersebut langkah praktis bisa dilakukan dengan meng-install penyuluh dan pendamping pertanian dengan mendasarkan paradigma baru tersebut. (10)
– FX Sugiyanto, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/03/03/254205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar