Ratusan warga Semin, Nguntoronadi, Wonogiri menggalakkan program ”tiwulisasi” atau mengonsumsi tiwul setiap Senin dan Kamis. Konsumsi ini bisa menghemat 1 - 1,5 kilogram beras per keluarga tiap minggu. Upaya penyuluh pertanian yang menggalakkan konsumsi tiwul itu patut diapresiasi, mengingat kondisi lapangan dan situasi ekonomi daerah itu mengharuskan mengambil pilihan tersebut. Tiwulisasi menjadi bermanfaat sebagai sarana kemandirian pangan.
Yang mengherankan justru komentar pejabat pemerintah yang menganggap keberhasilan makan tiwul secara massal itu sebagai sesuatu yang luar biasa. Apa pun istilahnya, apakah mandiri pangan, daulat pangan, atau yang lainnya, tiwulisasi tadi harus dilihat lebih jelas sebab dan alasannya. Bagaimanapun, posisi beras sebagai makanan pokok tidak tergantikan oleh lainnya. Pertanyaannya, mengapa harus makan tiwul dan bukannya beras sebagai makanan pokok?
Konsep ketahanan pangan, terutama beras, biasanya diidentikkan dengan peningkatan produksi dan ketersediaan pangan. Padahal bisa saja terjadi situasi: pangan tersedia, tetapi rumah tangga tidak mampu mengakses. Hal ini karena keterbatasan sumber daya ekonomi, meliputi tingkat pendapatan, kesempatan kerja, dan sumber daya lain. Jadi ketidakmampuan warga mengonsumsi beras bukan sekadar karena langka, tetapi juga karena mereka tidak mampu membeli.
Ketahanan pangan memiliki beberapa unsur, di antaranya orientasi pada rumah tangga dan individu, setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses. Penekanannya pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi, dan sosial. Juga berorientasi pada pemenuhan gizi, ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Sudahkah semua unsur ini terpenuhi dalam ketahanan atau kedaulatan pangan di Desa Semin seperti dipuji oleh Gubernur Ganjar Pranowo?
Dalam konteks tiwulisasi, tentu alasannya bukan persoalan menghemat beras dalam rangka mencapai target surplus beras. Secara riil, ketidakmampuan keluarga-keluarga membeli beras dalam jumlah cukup yang mendorong pentingnya diversifikasi pangan. Maka menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan pangan, terutama beras dengan harga terjangkau. Dari sisi warga, pemerintah perlu memfasilitasi agar mereka menjadi sumber daya manusia yang memiliki daya beli.
Yang kita tekankan, jangan sampai ”sukses” warga makan tiwul itu menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan. Pemerintah justru harus menjamin warga mampu membeli beras yang memiliki kandungan kalori lebih besar ketimbang tiwul. Jika sekadar romantisme wisata kuliner, bolehlah tiwul menjadi makanan alternatif. Namun jangan kembali seperti zaman penjajahan Jepang, yang karena miskin, warga menjadikan tiwul sebagai makanan pokok pengganti beras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar