Jumat, 14 Maret 2014
Jagat politik Tanah Air makin menggeliat. Maklum, pemilu legislatif tinggal sekitar tiga minggu lagi. Setelah itu, pertarungan tokoh yang sesungguhnya di pemilu presiden yang akan digelar sekitar Juli 2014. Publik seakan-akan tak sabar, ingin mengetahui kepastian Joko Widodo alias Jokowi dicalonkan.
Berkali-kali Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, menegaskan bahwa capres PDIP akan diumumkan setelah pemilu legislatif. Sejumlah elite partai berlambang banteng moncong putih juga seragam menyatakan hal itu. Tetapi, publik tetap saja tak sabar, ingin nama Jokowi segera diumumkan Megawati sebagai capres.
Alternatif nama selain Jokowi seakan-akan tersingkir oleh waktu, juga pemberitaan hasil survei yang sangat gencar. Hampir semua lembaga survei yang melakukan jajak pendapat menempatkan Jokowi sebagai figur dengan tingkat elektabilitas paling tinggi dibandingkan tokoh yang sudah menyatakan atau mendeklarasikan diri sebagai capres.
Semua orang sudah paham bahwa politik itu dinamis. Politik itu cair dan mengikuti arus perubahan yang bergerak bukan lagi berdasarkan bulan, tapi hari. Bahkan, saat ini, pergerakan politik itu–khususnya dalam hal pencapresan–bergerak berdasarkan jam. Karena itu, dalam setiap saat, peristiwa politik bisa terjadi.
Menanti Jokowi sama dengan menanti Megawati. Ketua umum PDIP yang menjadi presiden kelima RI itu bisa dikatakan sebagai tokoh yang sangat hati-hati dan memiliki kesabaran sangat tinggi. Ketokohan dan karisma Megawati, ditambah hak prerogatif yang diberikan kongres kepadanya untuk menentukan capres PDIP, membuat dirinya sebagai orang yang paling menentukan.
Apa kata Megawati, dalam kaitan pencapresan ini, itulah keputusan politik. Keputusan politik sementara mengumumkan capres PDIP setelah pemilu legislatif. Sekali lagi, karena politik itu dinamis, bukan tidak mungkin pengumuman capres akan dilakukan sebelum pemilu legislatif.
Dinamika penantian Jokowi semakin terasa. Kamis (13/3) malam, petinggi PDIP berkumpul di Kantor DPP di Lenteng Agung. Puluhan tamu, tepatnya para pengusaha, juga berada di sana. Puluhan wartawan juga sudah siap berada di kawasan Lenteng Agung itu, menanti keputusan politik Megawati.
Restu Megawati kepada Jokowi sudah diberikan meski secara eksplisit tidak diungkapkan. Dalam budaya politik di Tanah Air, khususnya budaya politik Jawa yang mengitari Megawati, ketika Jokowi sudah dibawa-bawa ke sejumlah tempat dan terakhir dibawa berziarah ke makam Soekarno, presiden pertama RI yang juga ayahanda Megawati, maka restu itu semakin bulat.
Simbolisme makam dan ziarah ini menandakan bahwa secara pribadi Megawati sudah mengikhlaskan Jokowi. Lalu, dia pun mencoba “meminta restu” dari ayahandanya akan langkah politik yang akan diputuskannya. Jadi, dengan melihat aktivitas Megawati dan Jokowi, kita bisa menyimpulkan bahwa pengumuman capres Jokowi oleh Megawati hanya menunggu waktu.
Munculnya figur Jokowi, jika kita kaitkan dengan kepemimpinan saat ini, merupakan antitesis dari model kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang elitis, santun, hati-hati, dan cenderung membiarkan masalah tanpa keputusan yang cepat.
Model kepemimpinan Jokowi yang diterapkan di Solo, dan kini di Jakarta, dibaca dan dimaknai publik sebagai model kepemimpinan yang egaliter, mengutamakan masyarakat kecil, tidak basa basi atau tidak mengutamakan citra.
Tampilnya Jokowi sebagai sosok baru pemimpin yang diharapkan masyarakat sesungguhnya menjadi pertanda bagi para calon pemimpin lain bahwa rakyat saat ini menginginkan pemimpin yang benar-benar mau bekerja untuk rakyat. Pemimpin tidak perlu punya predikat ganteng ataupun sangat pintar. Pemimpin yang diharapkan rakyat adalah pemimpin yang mau bersusah-susah menyelesaikan persoalan rakyat, bukan memberikan janji yang terus membuat mereka tak percaya.
Keluguan, kesederhanaan, dan kejujuran yang diperlihatkan Jokowi selama memimpin Solo dan Jakarta dibaca publik sebagai kesetiaan seorang pemimpin kepada rakyatnya. Situasi antitesis kemunculan Jokowi, ditambah pemberitaan yang gencar, survei yang terus-menerus yang menyebutkan Jokowi paling tinggi elektabilitasnya, seakan-akan tak terbendung.
Jadi, media memang berperan sangat penting, bahkan sangat utama, dalam mengusung sosok Jokowi. Kadang media lupa, bahkan terlena menyanjung Jokowi. Lihat saja pemberitaan mengenai Jakarta. Kalau kita objektif, banyak hal yang ditonjolkan Jokowi dan media, tetapi masih banyak juga hal yang tak tersentuh, tak tergarap, diabaikan, dilupakan. Dalam hubungan ini, mestinya media juga ikut berperan dalam mendidik mayarakat agar hitam-putih dan positif-negatif Jokowi diketahui sehingga, ketika pilihan sudah dijatuhkan, tidak merasa tertipu.
Sebagai contoh, lihat saja kebijakan soal monorel yang terus memberi kesempatan kepada PT Jakarta Monorail yang notabene tidak mampu. Juga program kampung deret yang tersendat serta penataan pedagang kaki lima (PKL) yang tidak komprehensif. Banyak tempat yang dekat dari Balaikota, seperti kawasan Sabang, yang kotor, bau, dan trotoarnya dipakai PKL, tidak dibereskan.
Juga di kawasan Manggarai. Hanya beberapa meter dari terminal terpadu yang akan diresmikan, kekumuhan dibiarkan, PKL bebas menggunakan trotoar dan badan jalan. Nah, media hanya melihat terminal.
Kita mendukung munculnya Jokowi, tetapi kita harus memberikan gambaran yang nyata dan objektif, sisi kelebihan dan kelemahan Jokowi. Kelemahan dan kekurangan dari kepemimpinan Jokowi harus bisa ditutupi oleh calon wakil presiden yang mampu bekerja dan fokus pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan sekelompok orang atau kelompok pengusaha saja. Jadi, kita nantikan saja apakah restu Megawati akan diwujudkan dalam bentuk deklarasi Jokowi.
http://www.koran-jakarta.com/?7952-menanti%20jokowi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar