Tamat SLA lalu meninggalkan Desa, pergi ke Kota. Sebagian kuliah, sebagian mencari kerja. Di Kota digantungkan semua asa dan harapan. Jadilah di Kota, melimpah tenaga muda, dengan variasi yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan, yang sarjana dan hanya lulusan SLA. Akibatnya, Kota menjadi ajang perebutan kerja yang ketat. Lapangan kerja di buka sebanyak-banyaknya, tetap saja kurang. Karena permintaan akan kesempatan kerja selalu diatas kemampuan untuk menyediakan lapangan kerja. Kesenjangan antara Desa dan Kota semakin lebar. Kesenjangan yang tidak disadari akan menjadi bom waktu.
Desa yang ditinggalkan tenaga-tenaga muda makin lama makin terpuruk. Tenaga tua tidak akan menjawab akan kemajuan Desa. Kehancuran dan kematian Desa hanya menunggu waktu. Sawah-sawah produktif yang ditinggal tenaga-tenaga muda, perlahan tetapi pasti berpindah tangan pada pemilik modal. Sebagian menjadi lahan hunian baru, sebagian menjadi Pabrik. Lahan produktif makin menciut, akibatnya jelas, produktifitas beras makin menurun, sehingga masuk akal, jika Negara kita makin tergantung pada import beras dari Negara tetangga. Sedangkan lahan sawah yang berubah menjadi Pabrik, akan mengotori dan mencemari lahan-lahan di sekitarnya, yang pada gilirannya kelak akan mengurangi produktifitas bahan pangan juga.
Apa sebab Desa ditinggalkan oleh kaum muda?
Penyebabnya jelas, Desa tidak menjanjikan apa-apa. Lahan sawah yang di garap dengan biaya pupuk yang semakin mahal, harga bibit yang semakin mahal dan serangan hama yang semakin ganas, menyebabkan usaha pertanian sawah penuh resiko, jikapun panen berhasil, selisih harga jual gabah dan biaya produksi tidak berimbang. Profit yang diperoleh sangat kecil
Masalah belum berakhir setelah sawah di panen. Transportasi yang jelek, rusak parah ikut menjadi masalah tersendiri. Tengkulak membeli gabah dengan harga murah dengan alasan biaya transportasi yang tinggi, yang disebabkan jalan rusak parah. Itulah salah satu alasan mengapa tenaga-tenaga Desa berbondong-bondong menyerbu Kota.
Lalu apakah mereka yang ke Kota, memperoleh apa yang mereka harapkan, menjadi berlimpah secara materi, memperoleh jenjang karier yang bagus, lalu mereka menjadi “orang”? Jawab dari pertanyaan ini, sungguh mencengangkan, hampir seluruh dari mereka tidak memperoleh apa-apa.
Ketika di Desa, pemuda yang berumur delapan belas tahun hingga tiga puluh tahun, semua bisa mencangkul, bisa menanam padi, bisa mengolah lahan pertanian. Tetapi, ketika di Kota, dengan kisaran umur yang sama, tidak semuanya bisa jadi Tekhnisi, tidak semuanya bisa jadi Manager, tidak semuanya jadi Lawyer, jadi Akuntan dsbnya. Untuk menjadi yang disebut terakhir ini, membutuhkan pendidikan yang cukup, kecakapan dan keahlian yang cukup. Dan itu tidak semua dimiliki oleh mereka yang datang dari Desa. Kaum yang tersisih dalam persaingan ini, akhirnya masuk pada sektor–sektor informal, pedagang-pedagang asongan, kaki lima dan buruh Pabrik.
Secara ekonomi, penghasilan kaum tersisih ini, tidak menjanjikan. Buruh Pabrik hanya memperoleh gaji sesuai dengan upah minimum atau bahkan dibawah itu. Jadilah mereka kaum yang termarginalkan, yang pada gilirannya hanya menambah persoalan bagi Kota yang didatangi. Harapan perbaikan nasib tak terpenuhi, realita yang terjadi, hanya memindahkan kemiskinan dari Desa ke Kota.
Undang-undang solusi atau Bencana.
Ditengah rasa pesimis yang terjadi. Undang-undang Desa yang baru disyahkan membuka harapan baru. Undang-Undang Desa membuka kesempatan bagi mereka yang telah meninggalkan Desa untuk kembali. Dengan kisaran dana satu Milyard diharapkan Desa akan membuka lapangan kerja, sekaligus memberikan harapan baru untuk geliat perbaikan ekonomi yang lebih manjanjikan. Dasar perhitungannya sebagai berikut; Untuk menjalankan undang-undang Desa agar berjalan efektif, dibutuhkan tenaga penggerak yang memiliki kemampuan tertentu, apakah dalam tekhnik, ekonomi da trainer, tenga itu biasa disebut dengan fasilitastor. Jumlah fasilitator yang dibutuhkan, tidak sedikit, minimal sejumlah Desa yang ada di seluruh Indonesia. Jumlah Desa hingga tahun 2013 sesuai dengan data kemendagri sebanyak 81.253 Desa. Artinya , jika asumsinya perDesa tiga orang. Jika dilihat dari kondisi Desa dan jumlah dana yang akan digulirkan maka dibutuhkan perDesa tiga orang fasilitator, itu artinya jumlah yang dibutuhkan fasilitator berpendidikan setara S1 sebanyak 243.759 orang. Jika perkecamatan dibutuhkan empat fasilitator, sedangkan jumlah kecamatan berjumlah 6.793 maka jumlah fasilitator tingkat kecamatan berjumlah 27.172 orang jika perkabupaten dibutuhkan 6 orang, maka dibutuhkan fasilitator sebanyak 6 x 414 = 2.484 orang, jadi total fasilitator hingga kabupaten saja 29.819 orang. Belum lagi untuk mereka yang berada di Provinsi dengan segala fasilitas dan gaji yang tentunya akan berbeda dengan mereka yang berada di Desa, kecamatan dan Kabupaten. Jika asumsinya untuk setiap provinsi dibutuhkan 12 orang, sedangkan jumlah provinsi sebanyak 34 provinsi maka jumlah tenaga yang dibutuhkan untuk seluruh Provinsi di Indonesia sebanyak 34 x 12 = 408 orang. Maka total keseluruhan tenaga yang dibutuhkan untuk mengawal Undang-Undang Desa agar terlaksana dengan tujuan idealnya ketika Undang-Undang Desa ini dibentuk sebanyak 681.415 orang. Itu baru untuk tenaga-tenaga yang berklasifikasi sebagai tenaga fasilitator. Padahal dibawah fasilitator masih ada tenaga yang mengoleh kegiatan keseharian. Untuk setiap Desa dibutuhkan sebanyak 4 orang. Jika dikalikan dengan jumlah Desa yang ada, maka jumlah itu akan sebanyak 325.012 orang. Itu artinya. Total jumlah tenaga yang dibutuhkan sebanyak 1006.427 orang. Jumlah angka yang Fantastik.
Akibat positif dari UU Desa, akan kembalinya sekitar satu juta tenaga terdidik kembali ke Desa, yang selama ini hanya membuat persoalan di Kota. Tenaga mereka diharapkan akan membawa perubahan Desa menuju arah positif. Dengan perbaikan sarana transportasi di Desa, bertambahnya tenaga trampil, dan tumbuhnya sentra-sentra industry rumahan, maka Desa akan menjadi pemasok barang setengah jadi untuk kota. Ekonomi Desa akan menggeliat, yang pada gilirannya, kota tidak menjadi sesuatu yang menjadi “tujuan” pada tenaga-tenaga produktif.
Tetapi. Jika peluang usaha ini, tidak dapat ditangkap dengan baik oleh mereka, yang merupakan tenaga produktif. Tentunya dengan fasilitasi pemerintah daerah, maka sebuah bencana sedang menunggu. Pasal 16 ayat 3 dari Undang-Undang Desa itu, mnyebutkan bahwa kepala Desa akan bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitment. Itu artinya, kegagalan Kepala Desa mengelola dana demikian besar, akan berakhir pada kasus-kasus yang ditangani oleh KPK.
Masalahnya sekarang, Mau atau tidak kita menangkap peluang yang sudah di depan mata ini, atau kita akan terjerambab pada bencana yang berupa berbondongnya Kepala Desa menjadi penghuni Rutan KPK.
Masa Cerah Bangsa ini sudah di depan mata. Apakah ini, akan terlewati begitu saja. Jawabannya ada pada tekad semua anak bangsa untuk menjadikan bangsa ini sebuah bangsa besar atau sebaliknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar