18 November 2013
KOMPAS.com - Nilai tukar rupiah kembali mencatatkan rekor terendah baru minggu lalu (Rabu, 13/11/2013) dalam hampir lima tahun terakhir. Mengantisipasi tekanan terhadap rupiah lebih lanjut, sehari sebelumnya, Bank Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Kenaikan BI Rate yang cukup kerap—lima kali dalam lima bulan terakhir yang totalnya 175 basis poin—merupakan salah satu pertanda pembenahan sektor riil mandul.
Kebijakan fiskal bisa dikatakan tidak membantu sama sekali, bahkan dalam beberapa hal kontraproduktif. Pemerintah lebih memilih jalan pintas dengan penuh kesadaran: pertumbuhan ekonomi dikorbankan!
Dalam pertemuan tahunan perbankan minggu lalu, Gubernur Bank Indonesia mengimbau perbankan untuk menahan laju kredit dan tidak jorjoran menaikkan suku bunga untuk menyerap dana masyarakat. Dengan alasan meredam pemburukan akun semasa (current account), Bank Indonesia menargetkan pertumbuhan kredit tahun depan di kisaran 15 persen-17 persen, jauh lebih rendah ketimbang pertumbuhan kredit bulan September lalu sebesar 23,1 persen.
Menteri Keuangan pun telah berulang kali mengatakan pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan bakal terus tertekan, bahkan hampir pasti di bawah 6 persen pada tahun 2014. Tak ayal, tingkat pengangguran pada Agustus 2013 naik, baik dibandingkan Agustus 2012 maupun Februari 2013, menjadi 6,25 persen.
Semua petinggi penentu kebijakan ekonomi mengambinghitamkan ketidakpastian ekonomi dunia dan rencana pemotongan stimulus oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) sebagai biang keladi pemburukan ekonomi Indonesia. Padahal, sumber masalah lebih banyak berasal dari dalam negeri, terutama kegagalan pemerintah menghadirkan pertumbuhan berkualitas. Pertumbuhan sektor penghasil barang terus melambat. Yang paling kentara adalah sektor industri manufaktur, dari tingkat tertingginya pada triwulan III-2012 sebesar 6,4 persen menjadi hanya 4,9 persen pada triwulan III-2013.
Pembenahan infrastruktur tak kunjung menampakkan hasil nyata, bahkan dalam banyak hal memburuk. Ranking komponen infrastruktur dalam indeks kinerja logistik melorot dari peringkat ke-69 pada tahun 2010 menjadi ke-84 pada tahun 2012. Pemadaman listrik semakin kerap. Kemacetan menggila. Kondisi bandara bertambah semrawut. Alih-alih menawarkan penyelesaian menyeluruh, pemerintah pusat malahan menumpahkan kesalahan kepada pemerintah daerah. Alih-alih menyuntikkan dana lebih berarti dari anggaran negara (APBN), pemerintah justru kian mengandalkan swasta dengan mengedepankan skema private-public partnership, sedangkan alokasi dana untuk subsidi energi terus menggelembung, tahun ini dan tahun depan diperkirakan naik lagi menjadi sekitar Rp 350 triliun.
Pertumbuhan ekonomi yang semakin tidak berkualitaslah yang menjadi biang keladi dari pemburukan kinerja ekonomi Indonesia, bukan faktor eksternal. Bukanlah pertumbuhan ekonomi dunia mulai membaik? Bukankah pertumbuhan perdagangan dunia tahun ini lebih tinggi ketimbang tahun lalu?
Di tengah ketidakpastian kebijakan The Fed tentang pemotongan stimulus, bukankah selama ini arus modal asing yang masuk ke Indonesia selalu positif dalam jumlah yang tergolong lumayan besar? Bahkan, pada triwulan III-2013, investasi asing langsung neto triwulan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, sebesar 5,1 miliar dollar AS. Dalam sembilan bulan terakhir (Januari-September), investasi asing langsung sudah mencapai 12,8 miliar dollar AS, hampir menyamai keseluruhan tahun lalu sebesar 14 miliar dollar AS.
Investasi portofolio juga tak bisa dikatakan jeblok. Selama Januari-September 2013, arus neto investasi portofolio mencapai 8 miliar dollar AS, hanya sedikit di bawah keseluruhan tahun lalu sebesar 9,2 miliar dollar AS. Investasi portofolio paling buruk terjadi pada triwulan IV-2012, tetapi itu pun masih positif walaupun kecil sebesar 190 juta dollar AS.
Jadi, peningkatan defisit neraca pembayaran pada triwulan III-2013 menjadi 2,6 miliar dollar AS—dari 2,5 miliar dollar AS pada triwulan sebelumnya—sehingga terus menekan rupiah lebih disebabkan oleh tekanan pada akun semasa.
Janganlah pemburukan neraca pembayaran ditumpahkan pada ekspansi perekonomian yang dipandang terlalu cepat sebagaimana disinyalir Gubernur Bank Indonesia dalam pidatonya minggu lalu. Gubernur BI justru harus lebih yakin dengan ucapannya sendiri pada acara yang sama: “… struktur produksi yang terbentuk dalam satu dekade terakhir lambat laun terasa semakin ketinggalan zaman (obsolete)”. Itulah wujud senyata-nyatanya dari pertumbuhan tidak berkualitas.
Pertumbuhan yang tak berkualitas itulah yang menjadi penyebab utama pemburukan akun semasa sejak tahun 2012. Telaahan struktur akun semasa lebih rinci akan sampai pada kesimpulan itu. Penyumbang positif terbesar akun semasa selama puluhan tahun adalah surplus transaksi perdagangan nonmigas.
Selama kurun waktu 2008-2011, surplus transaksi perdagangan nonmigas naik pesat, dari 15,1 miliar dollar AS tahun 2008 menjadi 35,4 miliar dollar AS tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 anjlok menjadi hanya 13,8 miliar dollar AS, lebih rendah daripada tahun 2008. Pemburukan masih berlanjut tahun ini. Selama Januari-September 2013 surplus transaksi perdagangan nonmigas tercatat 8,9 miliar dollar AS, lebih rendah daripada periode yang sama tahun lalu sebesar 10,6 miliar dollar AS.
Transaksi perdagangan minyak pun kian parah. Tahun 2009 defisit perdagangan minyak baru 4 miliar dollar AS. Tahun 2010 naik menjadi 8,7 miliar dollar AS, lalu naik dua kali lipat lebih menjadi 17,5 miliar dollar AS setahun berikutnya, dan terus naik menjadi 20,4 miliar dollar AS tahun 2012. Selama Januari-September tahun ini kenaikan terus berlanjut dibandingkan periode yang sama tahun lalu, masing-masing 17,5 miliar dollar AS dan 14,8 miliar dollar AS. Pada triwulan III-2013 sekalipun, kenaikan masih terjadi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama tahun lalu.
Penguasa sudah benar-benar terjangkit penyakit kronis sebagaimana pepatah ”gajah di pelupuk mata tak kelihatan, kuman di seberang lautan tampak nyata”.
Jangan cuma perbanyak doa. Bekerja keraslah dengan patut.
(Faisal Basri, Ekonom)
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/18/0745238/Ekonomi.Perbanyak.Doa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar