9 November 2013
NUSA DUA, KOMPAS —Volume alokasi pupuk bersubsidi untuk para petani pada tahun 2014 bakal berkurang 1,8 juta ton, dari 9,5 juta ton pada 2013 menjadi 7,7 juta ton. Penurunan subsidi kepada petani terjadi akibat pengaruh depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar AS.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan, Kamis (7/11) malam, di Nusa Dua, Bali, dalam rangka forum Asosiasi Industri Pupuk Internasional, mengatakan, pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 mengalokasikan anggaran subsidi pupuk Rp 21 triliun.
Subsidi sebanyak Rp 18 triliun untuk pupuk urea, NPK, SP-36, ZA, dan organik. Sisanya sebanyak Rp 3 triliun untuk mencicil utang pemerintah kepada produsen pupuk yang belum terbayar dengan nilai total Rp 12 triliun.
Rusman mengakui bahwa dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang terdepresiasi sekitar 15 persen, memungkinkan volume pupuk yang bisa disubsidi berkurang. Pada 2013 dengan total anggaran subsidi Rp 18 triliun, masih bisa untuk memenuhi pengadaan pupuk bersubsidi sebanyak 9,5 juta ton. Sekarang, dengan nilai yang sama, volume pupuk yang bisa disubsidi hanya 7,7 juta ton.
Pada tahun 2014, situasi ini tak akan membuat semua pihak senang. Penurunan volume pupuk bersubsidi akan berdampak realisasi penyaluran pupuk bersubsidi yang lebih rendah kepada petani dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Aplikasi pupuk yang kurang akan berdampak pada produktivitas tanaman pangan, yang kemudian berdampak pada produksi pangan.
Rusman mengatakan, sebenarnya ada dua pilihan terkait subsidi pupuk. Pertama, alokasi anggaran subsidi pupuk tetap seperti yang sudah diputuskan dalam APBN 2014, tetapi risikonya akan terjadi pengurangan volume pupuk bersubsidi bagi petani. Pada saat yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkeinginan agar surplus produksi beras 2014 sebesar 10 juta ton.
Pilihan kedua, tetap mempertahankan volume pupuk bersubsidi dengan memanfaatkan alokasi dana subsidi dan cicilan pembayaran utang kepada produsen pupuk. ”Kekurangan pembayaran pemerintah kepada produsen pupuk dibayarkan pada tahun-tahun berikutnya,” ujar Rusman.
Risikonya akan berat bagi produsen pupuk. Tunggakan pembayaran pupuk bersubsidi oleh pemerintah sekarang mencapai Rp 12 triliun, ini akan mengganggu kinerja perusahaan. Perusahaan tidak bisa melakukan ekspansi atau pengembangan dan investasi.
Rusman mengatakan, Kementerian Pertanian akan mengupayakan opsi kedua. Oleh karena itu ia akan berusaha meyakinkan kepada berbagai pihak.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Udhoro Kasih Anggoro dalam kesempatan terpisah mengatakan, sekarang ini petani rata-rata hanya mampu membiayai per hektar usaha taninya Rp 4 juta. Dalam rekomendasi teknis, mestinya Rp 7 juta.
Rendahnya biaya produksi padi yang dikeluarkan petani akibat petani tidak memiliki dana cukup untuk membeli sarana produksi, termasuk pupuk. (MAS)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/131109kompas/#/19/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar