15 November 2013
KEBIJAKAN pangan pemerintah (KPP) merupakan paket kebijakan yang telah lama diterapkan banyak negara sebagai bagian dari perekonomian nasionalnya. Karenanya mutu KPP teramat tergantung kiblat perekonomian negara yang bersangkutan. Dogma standard KPP negara berkembang umumnya terjajah dogma konvensional teori pembangunan ekonomi yang mencirikan negara maju.
Sebagai makin dominannya sektor industri dan melemahnya sektor pangan, untuk menyebut sektor pangan-pertanian-pedesaan. Begitulah dogma Berkeley diimani di Indonesia. Kebeletnya RI menjadi negara maju mulai beberapa dekade lalu digenjot dengan industrialisasi melalui aneka proteksi. Sayangnya, pilihannya didominasi industri berbasis teknologi tinggi, tenaga kerja terdidik, padat modal, dan modal asing, yang kesemuanya berbasis impor. Akibatnya, pemanjaan sektor ekonomi berbasis import ini otomatis menempatkan pangan yang sangat domestik menjadi anak tiri.
Dalam pengembangan perekonomian nasional, pangan yang berbasis domestik dibangun vis a vis industri berbasis impor. Perhadapan pangan vs industri semakin memuncak ketika Bangsa Indonesia semakin mempertuhankan industrialisasi, meski berbasis asing. Kemajuan makroekonomi pembangunan dikampanyekan sangat meyakinkan, sampai dirumuskannya MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Menurut MP3EI, diproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh menuju pendapatan perkapita sebesar 5.300 Dolar AS tahun 2015, menjadi 9.000 Dolar AS, 2020, dan menjadi negara berpenghasilan tinggi dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar 14.900 Dolar AS, 2025. Itulah optimisme Indonesia menjadi bagian dari negara-negara kaya di dunia, high income countries. Konsekuensinya, suara ke sektor pangan semakin sumbang.
Sumbangnya suara para pemimpin RI terhadap sektor pangan mestinya tidak perlu berlebihan. Terutama, ketika sektor pangan kini menjadi sektor ekonomi paling seksi dalam keketatan rivalitas pemanfaatan sumberdaya dalam konflik 5-F: food-feed-fuel-fibre-finance. Kesumbangan terhadap sektor pangan ada benarnya pada saat teori ekonomi pembangunan berkembang di dunia barat abad lalu, ketika belum ada 5-F, lahan masih luas, pangan berlimpah ruah, penduduk dunia belum berjubel, dan industrialisasi adalah panglima ekonomi.
Kini, ketika semuanya sudah berubah, dan Republik Indonesia masih mendewa-dewakan sektor industri berbasis asing sertamerta menganaktirikan sektor pangannya yang domestik, maka mudah sekali diramalkan bahwa Republik ini akan masuk dalam ketersesatan peradaban yang dicirikan oleh tingginya pendapatan per kapita tetapi dalam kesenjangan perekonomian yang semakin menganga antar sektor, dan antar kelompok pelaku ekonomi. Seharusnya sudah mulai disadari kesalahan kiblat ini, karena hingar bingar makroekonomi nasional senantiasa akrab dengan lima kritik global (McKinsey, 2012) terhadap pertumbuhan perekonomian nasional, antara lain: (i) pertumbuhan yang tidak stabil; (ii) pertumbuhan yang terpusat di Jakarta, (iii) pertumbuhan berbasis eksport, (iv) dukungan sumberdaya alam, dan (iv) pertumbuhan berbasis tenaga kerja yang sangat tersedia, expanding workforce.
Para ekonomis nasional, bahkan termasuk ekonomis McKinsey, membantahnya meski sebenarnya membantah dalam keragu-raguan. Optimisme dalam pesimisme. Tidak seorangpun bisa membantah tentang instabilitas, terpusatnya pertumbuhan, sumberdaya alam dan expanding workforce. Semuanya sangat faktual. Sementara dominasi eksport dalam pertumbuhan diluruskan bahwa bukan eksport tetapi konsumsi. Bantahan ini tidak memadai, karena ternyata struktur konsumsi didominasi barang import.
Marilah kita lihat peran sektor pangan yang nyaris sepenuhnya berbasis domestik, andaikata tidak terjebak syahwat importasi para pemimpin negara. Potensi pangan yang potensial untuk mandiri ini tidak hanya akan mengarah kepada kemandirian pangan sebuah bangsa berdaulat. Akan tetapi sekaligus sektor pangan memiliki potensi bukan main untuk meluruskan perjalanan perekonomian nasional dan membersihkan diri dari lima mitos ekonomi dimaksud.
Dengan pengembangan ekonomi berbasis pangan, maka instabilitas pasti bisa diatasi karena melemahnya ketergantungan. Penyebaran pusat pertumbuhan pasti terjadi dengan prioritasi sektor pangan. Begitu pula ketergantungan konsumsi produk asing akan tergeser menjadi konsumsi domestik. Pada saat yang sama, prioritasi pangan dengan hilirisasi pangan dipastikan akan maningkatkan nilai tambah bagi sumberdaya alam dan tenaga kerja RI. Sumbangnya suara jajaran ekonomis Kabinet Indonesia Bersatu jilid II terhadap sektor pangan sungguh tidak beralasan, kecuali sekedar memenuhi syahwat jangka pendek menyongsong 2014. (*)
Prof Dr M Maksum Machfoedz
(Guru Besar Pengajar Sosek Agroindustri Fakultas Teknologi Pertanian UGM; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional, Ketua PBNU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2342/pangan-kiblat-perekonomian.kr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar