4 November 2013
Kala sekian banyak orang geleng-geleng kepala karena tingkah tengkulak dan rentenir, Erna Wahyuti, pemilik CV. Rhino Manufacture Indonesia justru menemukan pasar ekspor gula semut ke Belanda. Pasar tersebut diperolehnya melalui seorang kawan yang kebetulan memiliki seorang kawan Wong Londo. Setelah pengiriman sampel produk sejak dua tahun silam, barulah Wong Londo itu berniat serius untuk berdagang di negerinya.
Begitulah pengakuan wanita asal Bogor yang sejak 1998 menggeluti bisnis gula semut ini, ekspor sebanyak 1 ton dalam sebulan itu baru akan dimulai bulan depan dengan formula 90% gula semut dan 10% jahe, kayu manis, dan merica yang telah dikemas rapi dengan berat 30 gram/sachet. Berkat penetrasi pasar baru tersebut, kantong Erna kian tebal. Karena keuntungannya berlipat-lipat. Menurut hitungannya, biaya produksi gula semut yang hendak diekspor tersebut hanya Rp1.800,- per sachet. Sedangkan di negeri Kincir Angin itu, berat yang sama dihargai 1,3 Euro.
Nasib Pengrajin Gula Tidak Semanis Gula Yang Dihasilkan
Erna Wahyuti (kanan)
Nasib Pengrajin Gula Tidak Semanis Gula Yang Dihasilkan
Semula Erna mengandalkan pasokan gula semut dari Cilongok, Banyumas dan Cilacap. Namun gara-gara ada problem dengan tengkulak dan rentenir, maka kini Erna mantap memilih pasokan gula semut dari Kedai Halimun asal Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Lebak dan Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi. Pada awalnya pula, Erna hanya melayani pasar lokal. Itu pun terbatas hanya untuk industri rumahan, seperti industri minuman dan kue.
Potensi dan problem
Tentu kita sering mendengar ada pepatah yang mengatakan nasib pengrajin gula tidak semanis gula yang dihasilkan. Erna Wahyuti pun mengamininya. Bahkan faktanya lebih miris lagi, pengrajin gula semut menempati gubuk sederhana tanpa penerangan dan sanitasi yang memadai. “Keterbatasan pengetahuan dan ketidakmampuan mengakses pasar menyebabkan pengrajin gula tergantung tengkulak dan tidak mampu menentukan harga produk,“ tandas wanita berkaca mata kami temui pada akhir acara Temu Bisnis “Memperluas Aksesibilitas Komunitas Desa Hutan” dalam rangka Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 2009 di Bulaksumur UGM, Yogyakarta (14/01/2009). Gejala yang sama juga terjadi pada pengrajin gula kelapa. Keterbatasan modal dan aksesibilitas pasar menggiring pengrajin gula kelapa memasuki sistem ijon atau jeratan para rentenir.
Gula semut atau palm sugar merupakan gula merah versi serbuk/kristal yang dihasilkan oleh pepohonan keluarga palma (Arecaceae). Gula semut adalah sebagian dari produk turunan yang dihasilkan dari pohon aren dan kelapa. Penamaan gula semut karena bentuknya menyerupai sarang semut di tanah. Gula semut memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan gula merah versi cetakan. Beberapa keunggulan gula semut adalah aroma yang khas, umur penyimpanan yang panjang dengan kadar air 2-3%, mudah larut dalam air dingin/panas, pengemasan yang praktis dalam kantong dan mudah dikombinasikan dengan bahan lain pada industri pengolahan makanan dan minuman.
Bahan baku gula semut adalah nira yang berasal dari pohon kelapa dan pohon aren. Nira aren dan nira kelapa mempunyai perbedaan dalam hal warna, aroma, rasa, dan kadar kotorannya. Nira aren berasa lebih manis, lebih jernih, dan lebih segar, dan jumlah padatan yang terlarut nira aren lebih rendah daripada nira kelapa.
Kelapa (Cocos nusifera) yang termasukd alam genus Cocos telah dibudidayakan secara intensif oleh masyarakat pedesaan, baik di wilayah pesisir hingga dataran rendah dengan ketinggian 1000 meter dpl. Kelapa dinamakan pula pohon serba-guna karena hampir semua bagian kelapa dapat dimanfaatkan. Walaupun demikian gula kelapa hanya dihasilkan dari daerah-daerah tertentu yang mengkhususkan penanaman pohon kelapa untuk tidak menghasilkan butir kelapa.
Jawa Tengah memiliki lima kabupaten sebagai sentra industri gula dari pohon kelapa, yaitu Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen (Mas Barling Cakeb). “Kelima kabupaten itu mampu memroduksi gula cetakan dan gula semut dengan kapasitas produksi sekitar 145 ribu ton per tahun. Produksi terbesar berasal dari Kabupaten Banyumas, yang mencapai 45 ribu ton per tahun,“ terangnya. Dan menyerap tenaga kerja lebih dari 37 ribu pada 18.056 unit usaha gula kelapa.
Industri gula kelapa memiliki potensi yang luar biasa dan mampu menyerap ribuan tenaga kerja, namun masih didapatkan beberapa persoalan antara lain: 1) Pengolahan gula kelapa menggunakan kayu bakar yang tidak diketahui asal-usulnya; 2) Pengunaan peralatan memasak sederhana yang kurang memenuhi persyaratan kriteria sanitasi makanan; 3) Keterbatasan modal menyebabkan ketergantungan pada rentenir dan tengkulak (sistem ijon); 4) Tidak dimilikinya akses pasar sehingga petani tidak mampu menentukan harga produk.
Aren (Arenga pinnata) yang termasuk pada genus Arenga ini belum dibudidayakan secara intensif. Aren juga dinamakan tumbuhan serba-guna terpenting setelah kelapa. “Aren tersebar di pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua,“ terangnya. Ada anggapan bahwa aren termasuk kategori tanaman hutan yang tumbuh secara alami dapat dijumpai di tebing pinggir sungai, di lereng gunung atau bukit, dan di dalam hutan. Umumnya aren tidak memerlukan pemeliharaan khusus, karena dapat tumbuh pada tanah liat, berlumpur, dan berpasir pada ketinggian antara 9-2000 meter dpl.
Pohon aren tersebar di 14 provinsi, seperti Papua, Maluku, Maluku Utara, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bengkulu, Kalimantan Selatan, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Provinsi Banten memiliki tumbuhan aren seluas 1.951 ha, yang produktif seluas 1.404 ha. Produksi gula aren di Provinsi Banten 1.217 ton per bulan dan melibatkan 13000 orang pengrajin, dengan sentranya kabupaten Lebak dan Pandeglang.
“Komoditi aren masih diusahakan dalam skala kecil sebagai industri rumah tangga,“ ujar Erna. Pohon-pohon aren yang dieksploitasi pada umumnya berada di lereng dan lembah yang tidak ditanam secara terencana. Lokasi yang jauh dari pemukiman dan sebaran yang tidak teratur serta bercampur dengan vegetasi lain menyebabkan produktifitas sadapan nira yang rendah per satuan luasnya. Selain itu, pohon aren juga dimanfaatkan buahnya sebagai kolang-kaling, ijuk, lidi, dan batangnya sebagai kayu perkakas.
Pola pemasaran gula yang semula dilakukan di pasar tradisional setempat mengalami perubahan sejak munculnya para pedagang atau tengkulak di lokasi produksi. “Seperti halnya yang terjadi di Banyumas, para pengrajin gula menerima uang muka sebagai jaminan mendapat pasokan gula aren. Jalinan hubungan antarpengrajin dan tengkulak merupakan kontrak-kontrak kerjasama tidak tertulis dan hanya didasarkan saling percaya,“ tandasnya. Penggunaan uang muka tidak hanya untuk biaya produksi tetapi juga untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ketergantungan petani gula kepada tengkulak menyebabkan petani tidak dapat menentukan harga produk.
Permasalahan lainnya adalah kebutuhan kayu bakar dalam pengolahan gula. Kebutuhan kayu bakar yang tinggi akan menimbulkan tekanan terhadap hutan yang ada di sekitarnya. RMI The Indonesian Institute For Forest and Environment(2008) telah menganalisis kebutuhan kayu bakar untuk memasak gula aren sebagai berikut: setiap kali produksi petani aren mengolah nira memerlukan waktu selama 2-3 hari yang menggunakan satu pikul kayu bakar (0,125 m3) setara dengan tiga pohon yang harganya Rp20 ribu. Jika dalam suatu sentra industri terdapat 500 pengrajin gula aren, maka jumlah kayu bakar selama setahun adalah: 500 x 0,125 m3 x 365/2 = 11.406 m3 atau setara dengan 273.750 batang pohon yang ditebang.
“Waktu membakar satu pohon kayu sangat cepat hanya dengan hitungan hari, sedangkan waktu untuk menumbuhkan tanaman hingga berkayu sangat lambat memerlukan waktu lima tahun,“ ujarnya. Kebutuhan kayu bakar yang tinggi akan menimbulkan tekanan terhadap hutan di sekitarnya. Apalagi para pengrajin gula tidak pernah menyediakan kebun energi dan asal-susul kayu bakar tidak pernah diketahui. Jika di dapur pengrajin gula ditemukan tumpukan kayu pinus, maka anggapan di atas adalah benar adanya.
Pengusahaan Gula secara Berkelanjutan
Usaha gula semut kelapa atau aren tergolong sebagai pertanian subsisten atau agribisnis yang paling primitif. Sebagain besar produk budidaya kelapa atau aren dijual atau ditukar untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Proses pengolahan gula yakni memasak nira menggunakan kayu bakar dan peralatan masaknya juga sederhana. Faktor produksi gula yang memerlukan dana untuk pengadaan kayu bakar dan tenaga kerja. Bahan baku nira diperoleh dari hasil penyadapan kebun kelapa dan tumbuhan aren yang ada di lereng, lembah, dan pinggiran sungai. Namun jika kegiatan menyadap nira, memasak gula hingga memasarkan produk dilakukan oleh tenaga kerja keluarga (<4 orang), maka pengeluaran untuk ongkos tenaga kerja sebenarnya identik dengan biaya hidup keluarga. Modal usaha dan kayu bakar merupakan faktor penting untuk menangani permasalahan gula rakyat.
Persoalan yang dihadapi pengrajin gula memerlukan perubahan secara struktural. Perubahan struktural adalah perubahan usaha pertanian subsisten dengan produktifitas rendah menjadi usaha dengan produktifitas tinggi dan mampu meningkatkan kesejahteraan. Peningkatan produktifitas dan kesejahteraan saja akan menimbulkan eksternalitas karena kerusakan hutan di sekitar tidak diperhitungkan.
Untuk memadukan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat digunakan konsep pertanian berkelanjutan. Keterkaitan kepentingan ekonomi dengan lingkungan adalah penggunaan sumberdaya secara efisien untuk mendapatkan produktifitas yang tinggi tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Karena sebenarnya masyarakat yang sejahtera akan mempertahakan sumberdaya alam dan lingkungan secara lestari.
Beberapa cara dapat ditempuh untuk membangun usaha gula rakyat secara berkelanjutan, antara lain:
1) Pengembangan sumber energi alternatif
Kebutuhan kayu bakar dalam pengolahan gula telah menimbulkan tekanan terhadap hutan sekitarnya. Membangun sumber energi alternatif dari limbah pertanian dan peternakan memenuhi prinsip keterkaitan kepentingan ekonomi dengan lingkungan dimana penggunaan sumberdaya secara efisien tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Pengadaan energi alternatif ini mengadopsi pengalaman Desa Bai’anying di Kabupaten Kaiyang, Guizhou, China yang kemudian menjadi tenar dengan nama Ekonomi Sirkulasi a la Negeri Tirai Bambu itu.
Pertama-tama yang dilakukan masyarakat adalah memproduksi pakan ternak dari jerami dan limbah pertanian. Pakan ternak dikonsumsi oleh ternak di unit peternakan dan kotoran ternak kemudian diolah menjadi gas methan. Hasil gas methan selanjutnya didistribusikan kepada masyarakat desa sebagai sumber energi untuk memasak, pemanasan ruang, dan penerangan. Sisa-sisa bahan pembuatan gas methan digunakan sebagai pupuk pertanian. Pemanfaatan gas methan selain menghemat sejumlah besar energi batu bara juga mampu menghindari kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan.
2) Bantuan modal usaha
Peningkatan produktifitas usaha gula sangat memerlukan bantuan modal agar mampu menghasilkan surplus usaha. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan kesejahteraan dan distribusi keadilan secara merata sesuai dengan prinsip berkelanjutan. Perhatian terhadap permodalan layak mendapat prioritas dalam pengembangan usaha gula rakyat.
“Masih banyak bank di Indonesia yang mengambil sikap terlalu hati-hati dalam penyaluran kredit untuk usaha mikro, kecil, dan mengenah (UMKM), dan akibatnya layanan perbankan belum banyak menjangkau UMKM. Aturan perbankan berbelit-belit yang justru menghambat UMKM untuk mendapatkan kredit bank,“ tandasnya. Padahal sejak 1990 pemerintah mewajibkan setiap bank mampu menyalurkan Kredit Usaha Kecil sekitar 20% dari total kredit. Namun penyaluran kredit dari bank untuk UMKM tidak pernah mencapai target.
Sebenarnya pemerintah bisa berkaca pada keberhasilan upaya pengentasan kemiskinan yang dipelopori oleh Prof. Dr. Muhammad Yunus, seorang Guru Besar Ekonomi di Universitas Chittagong, Bangladesh. Perain hadiah Nobel Perdamaian 2006 ini mendirikan Grameen Bank untuk mendukung mekanisme pemberian kredit bagi penduduk miskin dan pengembaliannya. Sasaran pemberian kredit adalah kelompok masyarakat termiskin, buta huruf, dan tidak memiliki lahan di wilayah pedesaan Bangladesh. Keistimewaan lainnya adalah pemberian kredit tidak untuk tujuan konsumtif dengan suku bunga sama dengan pasar. Mekanisme pelepasan uang mengikuti kebiasaan rentenir, seperti menjaring nasabah secara door to door, pengumpulan uang mingguan dengan banyak petugas, tidak ada agunan dan tanpa prosedur yang bertele-tele. Untuk mendisiplinkan peminjaman dibentuk kelompok untuk setiap 5 orang peminjam. Bila ada anggota kelompok yang menunggak, maka anggota lain yang mengangsur cicilan.
3) Kemitraan usaha
Jalinan kemitraan akan menghasilkan alih keterampilan di bidang pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan penggunaan teknologi baru. Kemitraan dapat terjalin antarpelaku usaha mikro dan antara pelaku usaha mikro dengan usaha besar. Bermitra untuk tujuan agribisnis dan agroindustri mampu mendatangkan investasi perusahaan besar ke desa dan menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Kemitraan ini harus mampu dilaksanakan dengan dasar keadilan dan kesejahteraan bagi masing-masing petani.
Kemitraan agrobisnis telah ada di beberapa sentra gula, antara lain KSU Sukajaya di Desa di Desa Cijaku, Lebak; Wali Usaha “Anugerah Mekar” di Desa Cikadu, Cibeber, Lebak; Kedai Halimun di Desa Mekarsari, Cibeber, Lebak dan Desa Sinaresmi, Cisolok, Sukabumi; Yayasan Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya Lingkungan Hidup (LPPSLH) di Purwokerto, dan sebagainya.
“Sejauh ini produk gula rakyat tidak mampu bersaing karena pengemasan produk yang seadanya dengan daun aren/kelapa dan karung plastik bekas. Sejak hadirnya mitra agribisnis, produk gula dapat tampil lebih baik sehingga layak diperdagangkan di kota dan supermarket atau bahkan diekspor ke negara lain,“ ungkap Erna. Sulawesi Utara pun telah dikembangkan sebagai sentra gula, tepatnya di Kabupaten Tomohon.
Pabrik gula terbesar di Indonesia ini telah menciptakan lapangan kerja baru, memberdayakan petani gula aren, membangkitkan pertumbuhan ekonomi, dan menambah devisa Negara. Bahkan di masa mendatang pemerintah merencanakan pengembangan agroindustri gula aren dengan membangun 10 pabrik baru di seluruh Indonesia.
Namun demikian, perlu diwaspadai ada kelemahan agribisnis dan agroindustri, petani diperlakukan hanya sebagai tenaga kerja bukan sebagai produsen yang berdaulat. Konsep yang mengikuti perkembangan dunia dan didominasi oleh perusahaan multinasional ini bertumpu pada paham “pertanian tanpa petani”. Dengan begitu, perusahaan akan menguasai benih, sarana pertanian, bahkan lahan dan pemasaran. Semoga ini tidak terjadi.
http://www.mekarsari.info/2013/11/nasib-pengrajin-gula-tidak-semanis-gula-yang-dihasilkan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar