Masalah pangan dan ketahanan pangan memang sebuah harga mati bagi negeri ini. Pemerintah mendatang harus serius menanggapi masalah yang menyangkut isi perut yang supersensitif ini.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Ahmad Erani Yustika menekankan kedaulatan energi dan pangan. ”Ini harus diperjuangkan. Kita dalam ancaman besar untuk dua hal ini,” kata Erani.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta menyoroti berbagai kebijakan ekonomi yang dinilai terlalu liberal sehingga membuat pasar domestik kebanjiran produk impor. Produsen domestik pun kewalahan karena kehilangan daya saing akibat banyak barang jadi yang bebas bea masuk, sementara bahan baku produk serupa untuk diproses di dalam negeri dipungut bea.
Menurut Sofjan, persoalan utama saat ini adalah impor pangan dan energi yang begitu tinggi sehingga memicu defisit perdagangan. Karena itu, perlunya seorang yang profesional untuk posisi menteri pertanian.
Pengusaha yang bergerak di bidang perunggasan, Anton J Supit, menekankan pemerintah mendatang memperhatikan sektor pertanian, antara lain untuk menciptakan lapangan kerja.
”Sektor pertanian yang menyerap sekitar 40 juta tenaga kerja sudah sepatutnya mendapat perhatian serius. Jangan ada lagi kebijakan pertanian berorientasi jangka pendek demi kemandirian bangsa,” kata Anton.
Pengamat pasar modal dan keuangan Yanuar Rizky juga menekankan perlunya mendorong produksi pertanian lokal. Pemerintah belum mendesain insentif dan disinsentif fiskal untuk mendorong industrialisasi dan pertanian. ”Pemerintah memilih solusi jangka pendek dengan membuka keran impor untuk produk pangan ketimbang memberi insentif pajak bagi investor budidaya pertanian dan peternakan,” ujarnya.
Yanuar menegaskan, langkah itu akan mendorong perbankan menyalurkan kredit modal kerja kepada investor tersebut. Pemerintah memainkan instrumen fiskal dengan bijak karena berhasil mendorong sektor riil bergerak beriringan seperti semut yang mengangkat beban lebih besar daripada tubuhnya beramai-ramai.
”Kebijakan ini sukses memunculkan begitu banyak pengusaha sekelas makelar untuk mengimpor barang jadi, rebutan kuota, dan sebagainya. Coba pemerintah memberikan insentif pajak kepada investor dan pemodal yang membangun ketahanan pangan dan energi, tentu pengusaha berbondong-bondong mengembangkan sektor riil,” kata Yanuar.
Penekanan pengamat ekonomi berkaitan dengan ketahanan pangan ini karena situasi pertanian pangan nasional 2014 tidak akan berbeda jauh dari 2013 sekalipun cuaca atau iklim bersahabat. Apa yang akan tampak pada 2013 merupakan gambaran nyata 2014.
Bakal terjadi lonjakan produksi pangan yang signifikan tahun ini rasanya tidak mungkin. Malah sebaliknya bisa terjadi gangguan produksi pangan. Perubahan iklim global seperti kemarau lebih lama atau banjir bisa mengacaukan produksi pangan. Hama penyakit juga masih akan masif. Kalau terjadi, situasi pangan 2014 bisa lebih buruk.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, di Jakarta, mengatakan, pihaknya tak sungkan mengimpor bahan pangan begitu melihat ada gejala terjadi selisih antara ketersediaan bahan pangan kebutuhan.
Gita tidak mau bertaruh. Dengan segera akan memutuskan untuk impor guna memastikan stabilitas harga dan ketahanan pangan nasional. ”Impor untuk menutup gap antara ketersediaan pangan dan permintaan. Tetapi, produksi dalam negeri tetap menjadi prioritas,” katanya.
Sikap tegas Gita soal impor boleh jadi karena dia tidak akan mau ada masalah dengan pemilu. Pesta demokrasi itu harus dijamin keamanannya. Karena itu, perlu stabilitas harga pangan sebagai fondasi stabilitas politik, sosial, dan ekonomi.
Becermin dari 2013
Bagaimana situasi pangan tahun 2013? Sepanjang 2013 ataupun pada tahun-tahun sebelumnya, tidak terjadi perubahan fundamental dalam produksi pangan di dalam negeri.
Kalaupun sekarang ada surplus produksi beras nasional sehingga Indonesia tidak perlu impor beras tahun 2013, bukan berarti ketahanan beras nasional bisa dikatakan aman di tahun-tahun mendatang. Sama sekali tidak ada jaminan.
Swasembada beras nasional saat ini lebih karena kemampuan Perum Bulog dalam mengelola stok beras nasional. Perum Bulog mampu mencapai target pengadaan beras dan target stok beras akhir tahun minimal 2 juta ton.
Dengan stok yang kuat, kecenderungan pedagang berspekulasi rendah. Harga beras bisa dikendalikan dan relatif stabil. Dari aspek produksi, sekalipun ada peningkatan dan harus diapresiasi, produksi beras nasional tetap tidak mencapai target. Impor tidak terhindari.
Situasi itu akan menciptakan dilema bagi pemerintah. Impor salah karena disinsentif bagi petani, tak impor juga salah karena memaksa masyarakat beli bahan pangan dengan harga lebih tinggi.
Situasi seperti itu juga berlaku untuk komoditas gula, daging sapi, kedelai, jagung, singkong, ubi, teh, kopi, cokelat, dan banyak lagi jenis komoditas lainnya.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia Teguh Boediyana mengatakan, masalah kecilnya skala usaha
tani juga berlaku bagi peternak sapi.
Kesulitan mereka mendapatkan sumber pakan hijauan mengakibatkan peternak memelihara sapi dalam skala usaha yang kecil. Kadang satu kadang dua.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia Thomas Sembiring terang-terangan menyatakan, pola pemeliharaan sapi di Indonesia tidak berubah dari zaman Belanda sampai sekarang. Berbagai program yang ada sekadar bagi-bagi uang. Akibatnya, industri peternakan sapi Indonesia tidak tumbuh. Justru sebaliknya, populasi sapi potong berkurang 3,8 juta ekor dari target populasi 2013 dibanding hasil sensus sapi 2011.
Harga daging sapi lokal juga kalah bersaing dengan daging sapi impor. Untuk komoditas gula, skala usaha tani lebih baik. Kepemilikan lahan tebu petani tebu rata-rata di atas 1 hektar per rumah tangga petani.
Masalahnya ada pada buruknya kinerja pabrik gula. Di China, Brasil, dan negara produsen gula utama dunia, pabrik gulanya mampu menghasilkan gula dengan kadar rendemen di atas 10 persen. Indonesia hanya 6 persen sampai 7 persen.
Untuk menjaga agar petani tetap mau berproduksi, pemerintah menetapkan harga pokok produksi (HPP) yang besarnya melebihi harga gula di pasar dunia. Kenyataan itu tidak berhasil mendorong petani meningkatkan produktivitas.
Kedelai berbeda lagi. Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, petani di Indonesia sebagian menjadikan kedelai sebagai tanaman sambilan.
Selain sebagai tanaman sambilan, petani menanam kedelai karena kebiasaan saja. Sudah mekanistis. Bahkan, setelah dua kali tanam padi, musim tanam ketiga ditanami kedelai.
Dengan kondisi seperti itu, petani tidak begitu perlu meningkatkan produktivitas, karena itu untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Saat ini harga kedelai di tingkat petani bagus. Perum Bulog mendapat penugasan melakukan stabilisasi harga kedelai meski belum sepenuhnya mandat itu diberikan karena masih ada relaksasi impor.
Tidak menyentuh
Harus diakui bahwa komoditas beras Indonesia bisa swasembada, tetapi tidak untuk komoditas lainnya.
Peneliti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) Kementerian Pertanian, Mohamad Husein Sawit, mengatakan, pencapaian swasembada itu dilakukan dengan menyentuh aspek-aspek yang tidak mendasar.
Kebijakan pemerintah hanya fokus pada peningkatan produksi sesaat. Tidak dalam jangka panjang. Misalnya hanya fokus memberikan subsidi benih atau pupuk dengan nilai besar.
Satu-satunya peluang meningkatkan produksi pangan adalah melalui ekstensifikasi lahan di luar Jawa. Sayang, itu tidak dilakukan pemerintah sekarang. Kebijakan yang tidak sinkron baik di pusat maupun daerah membuat Indonesia gagal memetik peluang pertumbuhan ekonomi dari daya tarik pasar domestik di mata investor global. Pemerintahan
hasil pemilihan umum harus memiliki konsep ekonomi prorakyat dan membentuk tim ekonomi yang solid untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber
daya alam semata-mata demi keadilan sosial.
(HAM/LAS/MAS/BEN)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140108kompas/#/11/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar