Kamis, 10 Oktober 2013

Hidup dan Tinggal di Gubuk Sawah

10 Oktober 2013

TAK memiliki rumah dan tempat tinggal memaksa Tasrip (37) dan keluarganya hidup memprihatinkan. Setiap hari, mereka tidur, makan, mandi, dan melakukan berbagai aktivitas lain di tengah sawah, di dalam gubuk yang menyerupai tenda berukuran sekitar 1,5 meter x 3 meter. Sawah tersebut terletak di Desa Karangsari, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Tenda itu terbuat dari belahan bambu yang ditata melengkung. Pada bagian atas tenda dipasang anyaman bambu yang ditutup plastik. Bagian samping ditutup plastik putih, yang sebagian sudah sobek.

Pada bagian pojok tenda disekat dengan terpal dan dijadikan sebagai dapur. Di sebelahnya terdapat terpal dan kasur tipis sebagai tempat tidur keluarga. Tenda itu terletak di tengah sawah, berjarak sekitar dua kilometer dari Desa Rancawuluh. Jalan masuk menuju tenda itu hanya jalan tanggul, di antara tanaman bawang merah.

”Sudah setahun kami tinggal di sini,” kata ayah dua anak itu saat ditemui sedang makan siang di tenda, Rabu (18/9). Nasi, ikan asin, dan sambal menjadi santapan enak dan mengenyangkan bagi mereka. Tak ada piring keramik. Hanya piring berbahan logam yang digunakan untuk tempat makanan.

Tasrip tinggal bersama istrinya, Sri Asih (35), dan anak keduanya, Andi Siswantoro (13). Anak pertamanya, Nur Amiyati (17), merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai pelayan warteg sejak sebulan lalu.

Bagi Tasrip dan keluarganya, tinggal di tenda di tengah sawah bukan pilihan hidup. Kemiskinanlah yang memaksa mereka memilih kehidupan seperti itu.

Sebelumnya, keluarga itu tinggal di rumah orangtua Sri di Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang. Namun, sejak setahun lalu orangtua Sri meninggal dunia. Rumah peninggalan orangtua dibagi-bagi dengan saudara Sri lainnya. ”Orangtua juga miskin, jadi dapatnya tidak seberapa. Untuk makan saja tak cukup,” katanya.

Tasrip dan keluarganya tidak bisa tinggal di rumah orangtua. Orangtua Tarsip juga miskin dan memiliki enam anak. Rumah peninggalan orangtua ditempati adik bungsunya.

Akibatnya, kemiskinan yang berlangsung turun-temurun itu membawa Tasrip pada nasibnya saat ini. Selain harus tinggal di tenda tengah sawah, kedua anaknya juga tidak bisa mengenyam pendidikan. Nur Amiyati hanya lulus SD dan Andi putus sekolah saat kelas III SD.
Bagi hasil

Keluarga itu tinggal di tengah sawah atas bantuan Waid, warga Desa Kluwut, Kecamatan Bulakamba. Waid menyewa sawah seluas dua bau (13.300 meter persegi) di Desa Karangsari dan memercayai Tasrip bersama keluarga untuk merawat tanaman bawang merah di atas sawah itu. Namun, luas sawah yang ditanami hanya sekitar setengah bau (3.300 meter persegi) karena ketersediaan air terbatas.

Saat panen, Tasrip mendapat bagi hasil dari penjualan bawang merah. ”Pembagiannya satu bagian untuk kami dan sembilan bagian untuk majikan,” kata Sri.

Saat panen lalu, Tasrip mendapat bagian uang Rp 2,5 juta. Uang itu harus cukup digunakan untuk hidup sekitar enam bulan. Pekan lalu, dia kembali memanen bawang merah, tetapi belum mendapat bagi hasil.

Kadang, Tasrip dimintai tolong pemilik sawah lain untuk menjadi buruh harian dengan upah Rp 30.000 hingga Rp 40.000 per hari. Namun, tambahan pekerjaan itu tidak selalu diperoleh setiap sepekan sekali.

Dari hasil menjadi buruh pemelihara tanaman bawang merah, Tasrip masih sangat sulit untuk bisa membeli ataupun menyewa rumah. Untuk makan sehari-hari pun pas-pasan. Tidak jarang, dia harus utang beras kepada majikan. Lauk untuk makan juga seadanya. ”Kadang dikasih ikan asin dan kangkung oleh majikan. Kalau tidak ada lauk, makan dengan bawang merah goreng,” ujar Sri.

Setiap hari, mereka mandi menggunakan air sungai yang dialirkan untuk menyiram tanaman bawang merah. Untuk kebutuhan minum, Tasrip mengambil air dari sumur bor, berjarak sekitar 0,5 kilometer dari tempat tinggal mereka.

Pada siang hari, mereka harus beradu dengan panas terik sinar matahari. Setiap malam, mereka yang hanya menggunakan penerangan lampu minyak tanah harus bertahan dalam embusan angin yang dingin, di antara suara-suara binatang sawah.

”Tidak ada pilihan lain bagi kami,” kata Tasrip. Dia tidak tahu akan sampai kapan tinggal dan menetap di sawah karena dia pun belum tahu kapan bisa membeli atau menyewa rumah layak untuk keluarganya. Saat nanti Waid tak lagi menyewa sawah di tempat tersebut, dia pun akan pindah dan tinggal mengikuti lokasi sawah Waid yang baru.

Selama ini, warga sekitar sering membantu Tasrip dengan memberi bantuan makanan. Begitu pula saudara-saudara Tasrip lainnya. (WIE)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/131010kompas/#/21/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar