Selasa, 29 Oktober 2013

Ketahanan Pangan Sumbar Rapuh

29 Oktober 2013

Padang, Padek—Ketahanan pa­ngan di Sumbar dinilai rapuh. Se­jumlah kalangan menyebut data surplus pangan di daerah ini, belum berbanding lurus dengan realitas. Indikatornya, komoditas pangan rentan dimainkan spekulan di pa­saran. 

Karena itu, produksi pangan Sumbar yang diklaim surplus oleh pemerintah Sumbar, patut d­iper­tanyakan. Kecukupan pangan me­ragukan mengingat luas lahan per­tanian terus menyusut, sawah ber­peta merah masih luas dan tim penyuluhan tidak berfungsi.

Demikian pendapat peneliti dan pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian Unand, Agus Taher dan  Yonariza secara terpisah kemarin, dalam merefleksi Hari Pangan Se­dunia yang diperingati secara na­sional di Padang, esok lusa.

Rapuhnya ketahanan pangan Sumbar itu, tambah Agus Taher, diperparah lagi dengan tidak terj­a­ganya mutu pangan yang dihasilkan, mekanisme pasar dan lemahnya intervensi pemerintah. “Sebagai solusinya, pemda Sumbar perlu menyiapkan pelayanan publik dan penyuluhan guna mengontrol pro­duksi, distribusi dan fluktuasi harga pangan di Sumbar,” katanya.

Agus Taher berani mengo­reksi klaim ketahanan pangan oleh pemda Sumbar tidak sesuai realita. Pasalnya, pangan mudah langka dan harga tidak stabil. Indikasi lain, luas lahan perta­nian di Sumbar tidak bertam­bah. Sebaliknya, lahan terlantar alias sawah peta merah masih luas.

“Realitas di lapangan, peng­gu­naan bibit unggul tidak diba­rengi dengan pemupukan yang seimbang, sehingga mengurangi populasi. Sementara konsumsi beras per kapita tetap tinggi, masa tanam tidak terkontrol. Jarak tanam sangat dekat, pu­puk subsidi kurang sehingga petani kewalahan mendapat pupuk, ketersediaan air, fasilitas dan pengendalian hama serta beragam kondisi yang meng­ancam,” paparnya.

Dia mencontohkan pasar-pasar di Padang, sebagian besar diisi beras asal Palembang, Jawa Timur atau Thailand. Hanya 10 persen beras produksi Padang atau Sumbar.  “Makanya, kecu­kupan pangan meragukan,” kata Agus Taher.

Dari fenomena itulah dia mengaku kurang percaya de­ngan ketahanan pangan Sum­bar. Memiriskan lagi, semua kepala daerah seakan tidak menangkap realitas itu.

“Dulu ada padi sebatang, tapi kurang dioptimalkan. Hanya terpaku pada jargon pupuk organik, sehingga hasilnya tak maksimal. Gulmanya banyak sehingga produksi menurun. Jika ini tidak segera dibenahi, pangan Sumbar akan semakin terancam,” tukasnya.

Poin terpenting, menurut­nya, menghidupkan kembali penyuluhan. Merujuk kepada 10 pilar pertanian di Thailand, penyuluhan ditempatkan pada poin nomor dua. “Ini yang hilang sejak lama, setelah jatuhnya Orde Baru. Segala bentuk pe­nyu­luhan hingga ke kenagarian perlu dihi­dupkan lagi untuk memacu pro­duktivitas,” usulnya.

Yonariza menambahkan, data statistik ketahanan pangan kurang sedikit dari kebutuhan. Pangan Sumbar yang surplus adalah beras. Faktor ini dipicu oleh penyeragaman pangan secara nasional. Sebut saja pera­li­han pangan di daerah timur seperti Maluku ataupun Menta­wai, dari sagu, jagung atau gan­dum, semua beralih pada beras.

“Pangan Sumbar yang ku­rang saat ini, jagung untuk pakan ter­­nak di Payakumbuh. Kebu­tu­han sekitar 1 juat ton, semen­tara yang diproduksi baru 700 ton. Ko­­moditi lain seperti telur atau­pun daging surplus,” kata profe­sor yang juga Ketua Juru­san So­sial Ekonomi Pertanian Unand itu.

Dia tidak menampik ketaha­nan pangan masih rapuh meng­ingat harga pangan mudah fluk­tuatif karena langka di pasaran. “Ini lantaran tidak adanya peren­canaan tanam oleh petani. Sifat­nya masih individu. Alhasil, ketika cabai mahal, petani se­mua­nya menanam cabai. Seba­lik­nya, ketika harga murah, tidak ada petani yang menanam,” paparnya.

“Di sinilah peran pemerintah dalam menentukan masa ta­nam. Jadi petani tahu kapan memulai menanam dan berapa luas tanam. Saat mereka ke pasar, mereka mendapat infor­masi. Jadi petani ataupun peda­gang dapat mengambil kepu­tusan. Keberpihakan pemerin­tah pada pertanian itu penting,” jelasnya.

Dia juga mengkritisi meka­nisme dan intervensi pasar yang diambil pemerintah sering me­ru­­gikan petani. Seperti mem­buka peluang impor. “Memang, di satu sisi konsumen diuntung­kan, namun di sisi lain pangan lokal terancam,” tegasnya.

Begitu juga program ban­tuan pemerintah pada petani, dinilainya sering tidak sampai pada petani. Kalaupun sampai, biaya transportasi lebih besar dari bantuan. “Bantuan Rp 1, biaya mengantarkannya Rp 3,” sindirnya.

Karena itu, kata Yonariza, meski telah surplus bukan berar­ti telah tercapai ketahanan pa­ngan. “Pola konsumsi kita masih dijajah. Kita lebih memilih pa­ngan impor ketimbang bahan yang terbuat dari ubi atau sagu. Mestinya mengarah pada keta­hanan pangan dan kemandirian pangan yang harus diciptakan. Bagaimana masyarakat berdau­lat dan tidak dijajah pola kon­sumsi pangan,” katanya.

Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar (KMSS), Khalid Saifullah menilai, selama ini pemerintah cenderung menem­puh cara instan dalam mewu­judkan kedaulatan pangan. Semakin tersingkirnya benih-benih lokal, pemaksaan penggu­naan benih-benih luar, pemak­saan penggunaan obat-obatan dan pupuk kimia, semakin ber­ku­rangnya areal pertanian, le­mah­nya perlindungan terha­dap petani, adalah ancaman ketaha­nan pangan di masa mendatang.

Jika pemerintah serius me­wujudkan kedaulatan pangan, KMSS mengusulkan 5 agenda. Pertama, pemerintah harus melaksanakan janji performa agraria agar terjadi keadilan penguasaan ruang. Kedua, pe­nga­kuan hak-hak petani atas komponen pertanian dan men­jamin keberlangsungan dan ketersediaannya. Ketiga, adanya pengakuan pengetahuan lokal petani dan melindungi keber­lang­sungannya sebagai metode menuju kedaulatan pangan.

Keempat, mendukung per­ta­nian dan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada terca­painya kedaulatan pangan di mana petani sebagai pameran utama. Kelima, menghentikan pencemaran, pengrusakan ter­ha­dap air, kesuburan tanah dan lingkungan secara keseluruhan dan menghukum pencemar serta perusak lingkungan.

Cabai Naik 10%

Dari pantauan Padang Eks­pres di pasar-pasar tradi­sional Padang, kemarin, stok sembako relatif stabil. Beras, tepung terigu, gula, minyak curah, dan kacang-kacangan masih stabil, baik harga maupun stoknya.

Haji Mardi, pemilik toko grosir sembako di Jalan Bela­kangolo, mengatakan, stok beras dan kebutuhan pokok masih stabil. Hanya gula yang sepekan ini mengalami penurunan sebe­sar 10 persen. “Harga gula sebe­lumnya Rp 12.500 ribu per kilogram, turun menjadi Rp 12 ribu per kilogram,” ujarnya.

Begitu juga beras, relatif stabil. Kebutuhan beras Sumbar masih mampu dipenuhi dari beras lokal. “Stok beras aman, kami biasanya langsung mem­be­li ke heler. Kualitas nomor sa­tu masih beras anak daro,” ujarnya.

Untuk stok “barang mudo” seperti bawang merah, bawang putih, cabai, dan tomat, hanya cabai yang naik 10 persen karena stok terbatas. Disinyalir karena berkurangnya hasil panen cabai di daerah produsen cabai, yakni Pulau Jawa dan Curup, Kerinci, Medan, dan Bengkulu.

Sebagian besar pedagang cabai di Padang mengandalkan pasokan cabai dari luar Sumbar.

Pemilik grosir  barang mudo “Usaha Muda” Ujang, menga­ta­kan, tren kenaikan harga cabai su­dah berlangsung sejak sebulan la­lu. “Stok cabai lokal terbatas, be­lum bisa diandalkan untuk m­e­menuhi kebutuhan,” tutur­nya.  (cr1/cr6)

http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=48138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar