25 Oktober 2013
Djoko Darmono, Pengamat Birokrasi Pemerintahan
JAKARTA (Suara Karya): Liberalisasi perdagangan mempersulit bangsa dalam membangun kemandirian ekonomi. Kondisi ini dikhawatirkan makin parah jika RUU Perdagangan gol menjadi undang-undang tanpa pembahasan kritis.
Menurut pengamat birokrasi pemerintahan Djoko Darmono, pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan berbagai hal menyangkut kepentingan nasional dalam membahas RUU Perdagangan. Apalagi kekhawatiran terhadap isi RUU itu sudah disampaikan berbagai kalangan.
"DPR dan pemerintah perlu berhati-hati. Jangan sampai melupakan tujuan utama regulasi yang dibuat, yaitu membangun perekonomian nasional yang kuat dan menyejahterakan masyarakat," kata Djoko di Jakarta, Kamis.
Selain itu, pelambatan perekonomian nasional harus dijadikan pertimbangan penting. Kalangan pelaku usaha, menurut dia, juga harus memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR sehingga kehadiran UU Perdagangan yang baru mampu memberikan kemaslahatan bersama.
"Kekhawatiran bahwa liberalisasi perdagangan merugikan pelaku usaha di dalam negeri harus dijawab pemerintah lewat UU Perdagangan," ujar Djoko.
Lebih jauh dia mengatakan, pemerintah dan DPR tidak perlu terburu-buru dalam mengegolkan RUU Perdagangan. Berbagai aspirasi publik harus dikaji dan diserap lebih dulu.
Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Surjadi, mengingatkan agar semangat RUU Perdagangan tidak proliberalisasi sekaligus tidak bertabrakan dengan undang-undang yang lain.
Surjadi yang ikut menyusun naskah akademik RUU Perdagangan itu mengatakan, sebelum membuat draf RUU, dia terlebih dahulu mewawancarai pejabat sejumlah ditjen di lingkungan Kementerian Perdagangan. Itu dilakukan untuk mengetahui fungsi dan tugas masing-masing institusi.
"Jadi, naskah akademik RUU Perdagangan merupakan gambaran umum tentang pengetahuan para dirjen di Kemendag mengenai fungsi masing-masing. Kami tidak boleh menambah atau menguranginya. Tugas kami menyusun secara akademik pemahaman mereka soal fungsi masing-masing," tutur Surjadi.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sendiri dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR berharap RUU Perdagangan rampung pada akhir tahun ini. "Kami harus bekerja maksimal sehingga sebelum akhir 2013 sudah bisa selesai. Tak perlu menunggu sampai awal 2014," ujarnya. Gita juga telah menindaklajuti daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Perdagangan yang disampaikan fraksi-fraksi di DPR.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik membeberkan RUU Perdagangan yang makin menegaskan praktik liberalisasi perdagangan di Indonesia, bukan melindungi kepentingan nasional. Itu terlihat dari beberapa pasal yang diadopsi langsung dari ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menurut Riza, pengalaman mengenai penerapan kawasan perdagangan bebas China-ASEAN (CAPTA) seharusnya dijadikan bahan pelajaran penting dalam penyusunan RUU Perdagangan. Karena itu, dia mendesak DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU Perdagangan. "Banyak pasal di dalam RUU Perdagangan belum mengatur peran negara dalam melindungi kepentingan nasional dari praktik perdagangan bebas, baik bilateral maupun multilateral," papar Riza.
Dia menambahkan, dengan mengadopsi langsung prinsip-prinsip liberalisasi ekonomi, RUU Perdagangan bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang dianut konstitusi negara. Kedaulatan ekonomi negara sama sekali dinafikan. "Draf RUU Perdagangan jelas bertabrakan dengan pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya," kata Riza.
Dia mencontohkan, di sektor pangan, impor pangan ternyata dampaknya buruk bagi petani dan nelayan kecil. Menurut dia, di sektor pangan, serangan impor pangan sejak tahun 2010 hingga 2012 menunjukkan peningkatan drastis, yaitu dari 11,7 miliar dolar AS hingga 17,2 miliar dolar AS. "Ini berdampak buruk bagi petani dan nelayan kecil," katanya.
Di sisi lain, pihaknya juga meminta pemerintah untuk tidak menjadikan RUU Perdagangan itu sebagai sarana untuk melegitimasi kerja sama perdagangan bebas, bilateral dan multilateral. Sebaliknya, kata dia, pemerintah dan DPR harus mengevaluasi penerapan berbagai perjanjian dagang yang telah dilakukan Indonesia selama ini. (Sabpri/A Choir)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=337336
Tidak ada komentar:
Posting Komentar