22 Oktober 2013
JAKARTA, (PRLM).- Kalau RUU Perdagangan ini dibiarkan lolos begitu saja maka sama dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi bangsa ini kepada asing. Apalagi konsep perlindungannya semu, yaitu hanya ketika terjadi kelangkaan dan harga-harga barang kebutuhan pokok naik, pemerintah baru turun tangan.
“Tak ada perlindungan jangka panjang, karena tergantung pada kasus kelangkaan dan harga-harga naik," kata pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noersy dalam diskusi ‘RUU Perdagangan’ bersama Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Arya Bima dan pengajar fakultas ekonomi UI Surjadi di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (22/10/13).
Noersy menegaskan, naskah akdemik RUU Perdagangan usulan Kemendag RI yang disampaikan ke DPR RI neoliberal, hanya untuk kepentingan asing, dan tak ada usaha untuk menciptakan kedaulatan ekonomi bangsa. Apalagi ada 29 UU yang terkait dengan RUU Perdagangan ini, dan itu sama sekali tidak disinggung, sehingga seolah-olah RUU ini berdiri sendiri, dan tak terkait dengan UU yang lain.
“Jadi, DIM (daftar inventarisasi masalah) RUU itu bukan untuk menegakkan konstitusi, karena tidak disusun berdasarkan kekeluargaan. Maka wajar kalau naskah RUU ini tunduk pada pasar bebas dunia atau WTO, karena WTO memang tak pernah menyinggung kedaulatan ekonomi, melainkan hanya ketahanan ekonomi. Di mana Indonesia merupakan pasar potensial asing,” jelasnya.
Dia mencurigai konsep utama RUU Perdagangan ini lebih tunduk pada World Trade Organization (WTO). "Dilihat dari naskah akademiknya, jelas RUU ini sangat neolib, termasuk framenya, maka hasilnya sudah pasti neolib," terangnya.
Lihat saja, dalam pasal 5 naskah akademik RUU ini dijelaskan bahwa sedikitnya ada 29 UU yang berkaitan. "Artinya, disini pemerintah hanya melihat pandangannya sebagai single variabel. Padahal, banyak sekali yang perlu dibedah rumusannya," ujarnya.
Kalau RUU ini dibiarkan lolos begitu saja maka sama dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi bangsa ini kepada asing. Apalagi konsep perlindungannya semu, yaitu hanya ketika terjadi kelangkaan dan harga-harga barang kebutuhan pokok naik, pemerintah baru turun tangan. “Tak ada perlindungan jangka panjang, karena tergantung pada kasus kelangkaan dan harga-harga naik, bagaimana?” katanya mempertanyakan.
Globalisasi memang suatu keniscayaan, tapi jangan terjebak pada globalisme di mana semua kepentingan asing dan global menggerogoti kedaulatan ekonomi, kedaulatan, pangan, dan kedaulatan bangsa ini. Sehingga Indonesia akan tergantung kepada asing, impor, dan terus menumpuk utang luar negeri. “Transaksi elektronik dari kartu kredit, ATM dan sebagainya, ternyata semua milik asing yaitu visa dan master card. Jadi, tak ada yang berbasis kekuatan nasional,” tambah Ichsanuddin.
RUU ini tidak mengadopsi sistem pembayaran berbasis nasional. Namun kalau RUU ini pada akhirnya lolos, dalam pendekatan globalisme, jelas bangsa ini akan terjerat.
Noorsy mendesak DPR agar mengembalikan RUU ini kepada pemerintah. "Kembalikan kepada pemerintah," tegasnya sambil menyarakan agar DPR bisa mendorong BPK untuk melakukan audit semua perjanjian perdagangan luar negeri. "Dengan audit perjanjian perdagangan ini, maka kita bisa menentukan dimana posisi kita sesungguhnya di APEC," ungkapnya
Selain itu dalam berbagai kebijakan ekonominya, Amerika Serikat tak pernah menyinggung geopolitik, mengapa? “Karena itulah kepentingan Amerika, agar bisa menguasai pasar Indonensia. Untuk itu dalam penyediaan barang dagangannya, yang terpenting cepat (speed), kuat (stamina), dan tepat (akurat). Jadi, RUU Perdagangan ini ahistoris karena kerangka berpikir ke depannya salah, maka perlu semua perjanjian perdagangan internasional itu diaudit,” ujarnya.
Dengan demikian katanya, siapapun presidennya di 2014 mendatang, tak akan bisa memperbaiki perekonomian bangsa ini, karena semua UU-nya menggilas. “Semua UU nya neolib, dan sulit bisa memperbaiki satu per satu dari 29 UU khususnya yang terkait dengan UU Perdagangan ini,” pungkasnya. (A-109/A-108)***
http://www.pikiran-rakyat.com/node/255885
Tidak ada komentar:
Posting Komentar