Kamis, 10 Oktober 2013

Kesalahan data BPS bikin Indonesia rajin impor

10 Oktober 2013

Presiden juga mengakui masih ada timpang tindih antara kebijakan sektoral dan mementingkan beberapa sektor, namun tidak mengacu pada kepentingan nasional.

HIMPUNAN Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menuding pemerintah tidak pernah memiliki data statistik pertanian yang akurat. Akibatnya, kebijakan pertanian yang dibuat tidak tepat sasaran.

Sekretaris HIPMI Sari Pramono mencontohkan, data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi padi mencapai sebesar 68,9 juta ton gabah atau setara 37 juta ton beras.

Sementara, dia menghitung konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia sebesar 27 juta ton. Jika asumsinya konsumsi beras per kapita sebesar 113,5 kilogram.

Dengan demikian, menurutnya, seharusnya sudah terjadi swasembada beras di Indonesia, "Tetapi data tersebut ternyata over estimate 9 persen-10 persen. Akibatnya, Bulog tetap mengimpor beras," tuturnya.

Atas dasar itu, Sari menekankan perlunya memperbaiki akurasi data pertanian. "Sejatinya persoalan data tidak menimbulkan polemik, jika sensusnya dilakukan dengan baik menggunakan metodologi yang benar," pungkasnya.

BPS sebagai pemberi data menolak jika hanya pihaknya yang disalahkan. Pasalnya, dalam pengumpulan data pertanian selama ini, BPS juga bersama pihak Kementerian Pertanian.

"Selama ini BPS memberi data jika produktivitas sektor pertanian tinggi dan data ini cukup akurat," ujarnya saat dihubungi merdeka.com di Jakarta, Rabu (9/10) malam.

BPS juga terus berkomitmen untuk memperbarui koleksi data miliknya. Saat ini, BPS mempunyai program bernama Sensus Pertanian. Program ini dipercaya membawa banyak keuntungan bagi sektor pertanian.

Suryamin menyebut, melalui program ini, bantuan pemerintah untuk para petani dalam meningkatkan produktivitasnya akan lebih tepat sasaran. "Kondisi riil pertanian akan terdata melalui program ini," ucapnya.

Selain itu, program ini juga mendorong terwujudnya swasembada pangan yang selama ini dicita-citakan Indonesia. "Ini akan memaksimalkan peran petani oleh pemerintah," imbuhnya.

Kondisi pertanian Indonesia saat ini memang bisa dibilang tragis. Sebagai negara agraris, petani Indonesia justru hidup di bawah garis kemiskinan. 60 persen angka kemiskinan justru didominasi oleh petani yang tersebar di pedesaan.

Kondisi ini, salah satunya, dikarenakan para petani kehilangan lahan garapannya. Tercatat setidaknya 100.000 hektare lahan pertanian beralih fungsi setiap tahunnya. Ini membuat para petani banyak yang melarikan diri mencari mata pencarian lain.

Selain itu, biaya produksi sektor pertanian sangat tinggi karena bebasnya peredaran para tengkulak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para tengkulak selama ini memainkan harga beli hasil tani hingga harga jual pupuk maupun bibit.

Kondisi ini menjadi ironi. Sebab, pemimpin negara kita justru seorang doktor di bidang pertanian.

Ya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mana adalah jebolan Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB) dinilai sejumlah kalangan telah gagal dalam mensejahterakan para petani.

Politikus Partai Amanat Nasional Alvin Lie, dalam kunjungannya ke redaksi merdeka.com, berujar bahwa kepintaran SBY ternyata tidak bisa bisa membawa perubahan pada sektor yang merupakan bidang keahliannya.

Maka tak heran, berkaca dari semua faktor tersebut, Indonesia menjadi pelaku setia impor pangan di dunia. Sampai kapan Indonesia seperti ini? Apakah swasembada pangan hanya mimpi?

Lagi-lagi, Presiden SBY mengatakan bahwa swasembada pangan tidaklah mudah. SBY mengakui, masalah kebijakan pangan nasional tidak pernah tuntas dilakukan. Kondisi ini diperparah dengan adanya fluktuasi harga dan kenaikan yang tidak wajar di pasar domestik maupun internasional.

Tidak hanya itu, Presiden juga mengakui masih ada timpang tindih antara kebijakan sektoral dan mementingkan beberapa sektor, namun tidak mengacu pada kepentingan nasional.

"Tidak hanya lahan, biaya pertanian, tata niaga, posisi kita seperti apa, apa serius dengan kemandirian pangan itu, apa yang akan dilakukan pemerintah dengan menyusun kebijakan sehingga tuntas?" ujar SBY saat menggelar jumpa pers usai rapat kabinet di Kementerian Pertanian, Senin (6/7/2012).

Untuk meningkatkan ketahanan pangan, pemerintah melihat produksi pangan dan kebutuhan konsumsi yang sudah ada masih cukup. Tapi di sisi lain, pemerintah tetap membuka keran impor untuk lima komoditas utama.

http://www.atjehpost.com/meukat_read/2013/10/10/68594/0/7/Kesalahan-data-BPS-bikin-Indonesia-rajin-impor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar