Rabu, 22 Juni 2016

Kebijakan Pangan Realistis

Rabu, 22 Juni 2016

Audit BPK: Data Produksi Padi Tidak Akuntabel
Menteri Perdagangan  Thomas Trikasih Lembong (kiri) mengunjungi harian Kompas di Jakarta, Selasa (21/6). Dalam kunjungan ini, Thomas diterima Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.

Menteri Perdagangan  Thomas Trikasih Lembong (kiri) mengunjungi harian Kompas di Jakarta, Selasa (21/6). Dalam kunjungan ini, Thomas diterima Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.
KOMPAS/PRIYOMBODO

JAKARTA, KOMPAS — Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menegaskan, kebijakan pangan nasional kini lebih realistis dari yang sebelumnya sistem kuota. Yang terpenting bagaimana membangun kapasitas produksi pangan nasional agar efisien dan berdaya saing.

Hal itu diungkapkan Menteri Perdagangan, Selasa (21/6), di Jakarta saat berkunjung ke Kompas. "Membangun kapasitas produksi harus mulai dari dalam diri. Membangun kapasitas berhubungan dengan investasi," ujarnya.

Investasi tidak selalu dalam bentuk modal. Pedagang kaki lima berinvestasi dengan keringat. Ibu rumah tangga berinvestasi dengan waktu, yang lain berinvestasi dengan modal.

Thomas mengatakan, berbagai kebijakan proteksionis hanya akan membelit diri sendiri. "Kita tidak bisa impor bahan baku, barang modal, dan lain-lain sehingga industri tidak berkembang," katanya.

Masalah utama kita sekarang ada di sisi pasokan (supply side). Dengan segala bentuk larangan membuat pasokan tidak berkembang. Kebijakan larangan juga menciptakan berbagai bentuk penyimpangan.

Thomas mencontohkan, naiknya harga daging sapi tidak lepas dari kebijakan kuota impor sapi bakalan dan daging sapi pertengahan tahun sebelumnya. Juga adanya larangan swasta mengimpor daging sapi untuk pasar umum.

Dengan sistem kuota, izin impor daging sapi diberikan kepada tiga perusahaan BUMN, seperti Perum Bulog, PT Berdikari, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Dua perusahaan BUMN, yaitu Perum Bulog dan PT PPI, tidak bisa menjalankan impor dengan baik. Daging impor busuk. Hanya tinggal PT Berdikari. "Kalau hanya satu perusahaan, berpotensi terjadi penyimpangan," katanya.

Akhirnya diputuskan impor sapi dan daging sapi dibuka untuk umum. Swasta boleh mengimpor. Tidak ada lagi pembatasan kuota.

Thomas mengakui, impor akan menggerus produksi dalam negeri karena itu impor lebih diarahkan di luar barang-barang konsumtif.

Data tidak akuntabel

Dalam diskusi bertema "Kebijakan Pangan Nasional: Pengadaan Dalam Negeri Vs Impor" yang diselenggarakan Badan Pemeriksa Keuangan, Thomas mengungkapkan keyakinannya bahwa Indonesia akan mampu mewujudkan swasembada pangan seperti beras.

Dari aspek internal, sepanjang hidupnya dia belum pernah melihat ada kebijakan internal untuk mendukung pencapaian swasembada pangan seperti yang dilakukan oleh pemerintahan sekarang yang sifatnya mendasar.

Kebijakan itu di antaranya membangun 60 bendung/waduk di seluruh Indonesia. Belum lagi pembangunan jaringan irigasi dan sarana produksi pertanian. Anggaran pertanian juga meningkat besar.

Anggota IV BPK, Rizal Djalil, mengatakan, dari sisi politik dan politik anggaran, kebijakan pembangunan pertanian/pangan Indonesia sudah selesai. Apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat kampanye sudah dilakukan.

Anggaran Kementerian Pertanian naik 129 persen dari Rp 14 triliun tahun 2014 menjadi Rp 32,7 triliun. Itu di luar anggaran subsidi pupuk Rp 39 triliun.

Secara khusus BPK menyoroti soal data produksi padi yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Data produksi padi merupakan hasil perkalian luas panen dan produktivitas, yang merupakan hasil perhitungan Badan Pusat Statistik dengan Kementerian Pertanian beserta dinas pertanian di daerah.

"Ada conflict of interest dalam diri petugas KCD (kantor cabang dinas) karena di satu sisi mereka diberi target produksi, pada saat yang sama mereka menghitung luas panen," katanya.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam diskusi menyayangkan sikap yang percaya data kemiskinan dan inflasi BPS, tetapi tidak percaya data kenaikan produksi padi BPS. (MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160622kompas/#/18/

Sabtu, 18 Juni 2016

Petani Keluhkan Harga Gabah Bulog

Sabtu,18 Juni 2016

SRAGEN – Para petani di Bumi Sukowati mengeluhkan rendahnya harga beras dari Bulog. Selain itu, mereka juga kesulitan memasok gabah lantaran sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.

Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno kemarin mengatakan, selama ini harga Bulog lebih rendah daripada harga pasar, petani lebih memilih melemparkan gabahnya ke mekanisme pasar. Wajar apabila penyerapan gabah Bulog di Sragen masih rendah. “Harga pembelian pemerintah (HPP) itu harus disesuaikan minimal 2 kali setahun. Kalau harga pasar lebih tinggi, petani pasti memilih yang lebih tinggi. Kami lihat Pemerintah tidak berpihak kepada petani,” ujarnya.

Selain terkait HPP, pihaknya menyayangkan sejumlah persyaratan yang dibebankan petani dalam setiap gabah yang disetorkan. Salah satunya yakni terkait kriteria kekeringan gabah hingga sistem pembayaran yang dirasa menyulitkan petani. “Bulog itu punya kriteria yang harus dipenuhi dan itu tidak bisa dipenuhi petani. Sistem petani tidak mempunyai mesin pengeringan. Pembayarannya lewat bank, itu bagi petani ribet,” paparnya.

Dirinya lebih setuju, apabila Bulog menjalankan mekanisme jemput bola ke lapangan langsung. Selain langsung menyerap gabah petani, perputaran uang langsung dilakukan di muka tidak menunggu proses administrasi yang berbelit-belit. “Jadi barang dilihat, harganya berapa ditimbang langsung dibayar. Bagi petani ini lebih cepat,”kata dia.

Suratno mengungkapkan keuntungan yang didapatkan petani saat ini tidaklah banyak. Bahkan dari sekitar 3.000 meter persegi lahan pertaniannya hanya menghasilkan keuntungan sekali panen Rp 2 juta – Rp 4 juta. Daripada menjual ke Bulog dengan persyaratan tertentu, kata dia, ia tentu lebih memilih menjualnya ke pasar. “Kalau dari Bulog, sekarang harganya paling Rp 7.300/kg, kalau di pasar harga IR itu bisa mencapai Rp 7.800-8.900/kg,” kata dia.

Sementara itu, seorang petani Nglorog Sragen, Sugeng Riyanto (40) mengaku pesimistis Bulog mau membeli gabah dari petani saat musim panen kali ini. Pasalnya Bulog diketahui hanya mau membeli dengan gabah kualitas bagus. Dirinya memilih menjual gabahnya ke pasar lantaran lebih mudah dan harganya relatif lebih mahal.

Sesuai Mekanisme

Sementara itu, Kepala Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Subdivisi Regional (Kasubdivre) III Surakarta, Rizal menegaskan pembelian gabah dari petani dilakukan sesuai dengan mekanisme. “Silakan kalau mau setor. Harga di kita sesuai ketentuan Rp 7.300/kg. Tidak ada yang susah, sesuai mekanisme saja,” katanya.

Sebagaiamana diberitakan, penyerapan gabah dari petani yang dilakukan oleh Bulog Subdivisi Regional (Subdivre) III Surakarta di Bumi Sukowati diketahui masih rendah. Dari target penyerapan 65.- 970 ton gabah kering giling (GKG) yang harus dipasok, baru 36 persen atau sekitar 23.749 ton yang sudah terpenuhi. (shd-68)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/petani-keluhkan-harga-gabah-bulog/

Jumat, 17 Juni 2016

Belajar dari Harga Pangan

Jum'at, 17 Juni 2016

Harga bahan makanan yang tak kunjung turun, meskipun pemerintah melakukan sejumlah upaya, mendorong kita mencari akar masalah.

Pemerintah sebelumnya menginginkan harga gula, bawang merah, minyak goreng, daging ayam dan telur, serta daging sapi harus turun dari harga sebelum bulan puasa, bukan sekadar stabil.

Harga-harga bahan makanan tersebut tak banyak bergerak turun meskipun dilakukan berbagai upaya. Daging beku diimpor dengan penunjukan langsung importir selain Bulog. Operasi pasar terus dilakukan di berbagai tempat.

Sejumlah peternak dan pengusaha daging sapi rakyat mengatakan, apabila dipaksa menurunkan harga sesuai keinginan pemerintah, mereka akan rugi karena di bawah biaya produksi.

Dari perkembangan tersebut, kita dapat belajar satu hal, yaitu mengenali struktur biaya dan harga setiap komoditas menjadi penting untuk pengambilan kebijakan.

Harga terbentuk karena biaya produksi yang melekat pada komoditas, misalnya biaya bibit, pupuk dan pestisida pada tanaman pangan, atau harga pakan serta anakan sapi dan ayam. Harga juga dibentuk oleh biaya di luar komoditas, seperti biaya gudang, penyusutan, musim tanam, nilai tukar rupiah, dan kebijakan pemerintah.

Setiap komoditas memiliki struktur biaya khas. Bawang merah, misalnya, susut bobotnya cukup tinggi, sekitar 30 persen, dan tidak tahan lama tanpa penyimpanan suhu rendah. Jika ditambah ongkos transportasi, selisih menjadi cukup tinggi antara harga di konsumen dan di petani.

Nilai tukar rupiah sangat menentukan harga daging dan telur ayam karena 70 persen biaya produksi ditentukan harga pakan yang separuhnya adalah jagung dan sebagian besar masih impor. Sementara induk untuk anak ayam (DOC) seluruhnya diimpor.

Begitu pula daging sapi. Pemerintah ingin segera berswasembada, tetapi peternakan dalam negeri yang sebagian besar diusahakan rakyat belum mampu memenuhi kebutuhan. Pemerintah menetapkan kuota impor sapi bakalan setiap tiga bulanan, menyebabkan Indonesia harus membeli mahal dari Australia sebagai sumber utama sapi impor kita. Negara itu memilih menjual sapinya ke negara lain yang membuat kontrak jangka panjang karena lebih memberikan kepastian pasar.

Agar tahun depan kita tidak kembali menghadapi kerepotan yang sama bila bulan puasa dan Lebaran tiba, perencanaan jangka panjang menjadi penting.

Kita mengharap pemerintah dapat arif dan bijaksana berdialog dengan para pemangku kepentingan, dari petani, peternak, pengusaha, hingga pedagang, agar bersama menjaga ketersediaan pangan dengan harga yang dapat diterima masyarakat dan pemangku kepentingan.

Kamis, 16 Juni 2016

Riset Mutasi Sorgum Batan Diakui Dunia

Kamis,16 Juni 2016
Pemulia tanaman Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR Batan), Soeranto Human, memeriksa pertumbuhan sorgum dari kultur jaringan di Laboratorium Kultur Jaringan PAIR Batan, Rabu (15/6), di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Sorgum dalam tabung-tabung itu sudah diradiasi dengan sinar gama menggunakan beragam dosis penyinaran.

Pemulia tanaman Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR Batan), Soeranto Human, memeriksa pertumbuhan sorgum dari kultur jaringan di Laboratorium Kultur Jaringan PAIR Batan, Rabu (15/6), di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Sorgum dalam tabung-tabung itu sudah diradiasi dengan sinar gama menggunakan beragam dosis penyinaran.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

JAKARTA, KOMPAS — Dunia mengakui pemuliaan mutasi tanaman oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional atau Batan sebagai kontribusi bagi riset pangan dunia. Salah satu riset yang diakui adalah pemuliaan mutasi sorgum.

Batan pun menjadi mitra Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) melalui Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture untuk memajukan riset sorgum sejumlah negara. "Kami (Batan) menjadi pusat pelatihan. Fasilitas kami dinilai lengkap, mulai laboratorium terstandar, gudang penyimpanan, hingga lahan uji coba," ujar pemulia tanaman pada Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Batan, Soeranto Human, Rabu (15/6), di Jakarta.

Kelompok pemuliaan tanaman PAIR Batan memperoleh Outstanding Achievement Award Joint FAO/IAEA Programme: Nuclear Techniques in Food and Agriculture, 2014. Terkait sorgum, peneliti Batan merekayasa materi genetik varietas asal Tiongkok, Zhengzu, untuk dapat varietas dengan sifat diinginkan.

Biji sorgum diradiasi dengan sinar gama pada dosis 300 Gray di iradiator gama di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Riset menghasilkan tiga varietas sorgum tahan kekeringan: Pahat (Pangan Sehat) yang dilepas 2013 serta Samurai (Sorgum Mutan Radiasi) 1 dan Samurai 2 tahun 2014.

Soeranto mengatakan, varietas unggul untuk pangan adalah Pahat, sedangkan untuk gula dan bioetanol Samurai 1. Produktivitas varietas Pahat rata-rata 5,8 ton biji kering per hektar, sedangkan Zhengzu 2-3 ton biji kering per ha. Biji sorgum Pahat bisa dipanen pada usia tiga bulan, sedangkan varietas asalnya baru dipanen empat bulan.

Untuk varietas Samurai 1, kandungan brix (zat padat terlarut, salah satu komponen analisis gula) pada batang 17 persen, sedang varietas asalnya 10-11 persen. Potensi produksi bioetanol Samurai 1 1.148 liter per ha.

Melatih asing

Atas capaiannya, Batan melatih peneliti sejumlah negara meriset pemuliaan mutasi sorgum di Pasar Jumat, seperti Burkina Faso, Myanmar, dan Sri Lanka. Soeranto juga pernah dikirim ke Burkina Faso guna mendampingi riset di sana dan akan ke Mongolia untuk evaluasi pemuliaan.

Negara-negara tetangga di Asia Tenggara juga mulai melirik riset sorgum meski pangan pokok masih beras. "Sorgum tanaman yang bisa diandalkan di masa depan, saat kekeringan bertambah akibat perubahan iklim," ujarnya.

Kepala PAIR Batan Hendig Winarno menuturkan, Batan memang fokus mengembangkan tanaman untuk lahan dengan cekaman abiotik, seperti lahan kering dan masam, agar tak bersaing dengan pengembangan padi. "Potensi lahan kering dan lahan masam 25,3 juta hektar. Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur termasuk provinsi dengan lahan kering yang sangat luas," katanya.

Dengan demikian, petani bisa membudidayakan sorgum di lahan yang tak bisa ditanami padi. Pemanfaatan bisa untuk pangan, pakan ternak, gula, dan bioetanol. Tantangan kini, masyarakat belum biasa dengan sumber karbohidrat selain padi. (JOG)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160616kompas/#/14/

Rabu, 08 Juni 2016

BULOG BIKIN PETANI TERMISKINKAN SECARA SISTEMIK

SELASA, 07 JUNI 2016

IMPOR BAWANG-BERAS


RMOL. Rencana Pemerintah melalui Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) melakukan impor beras dan bawang merah dikritik Nawacita Watch. Alasan impor guna menstabilkan harga selama Ramadhan hingga lebaran dianggap tidak masuk akal.

Harga beras saat ini sedang mengalami kenaikan mencapai Rp 12.500 per kg sedangkan bawang merah Rp 41.000 per kg. Dengan adanya impor, harga yang diinginkan pemerintah untuk beras yaitu Rp 9.500 per kg dan bawang merah Rp 25.000 per kg.

Untuk mencapai harga itu, bawang merah akan diimpor 2.500 ton hingga 5.000 ton sedangkan untuk beras, Bulog sudah mengimpor per Februari 2016 sebanyak 900.000 ton dan total hingga Oktober sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam dan Thailand

Direktur Kajian Pangan dan Ekonomi Kerakyatan, Nawacita Watch, Tenri Ajeng menjelaskan bahwa Pemerintah terlalu tergesa-gesa. Kebijakan itu malah berpotensi membuat Pemerintah tidak dipercaya rakyat. Apalagi, beras baru saja melewati masa panen dan bawang sedang memasuki panen raya di bulan Juni-Juli.

Tenri menilai, Bulog gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga stabilisator stok dan harga pangan. Bulog hanya terlihat sebagai lembaga yang dominan menjalankan fungsi komersial yakni pencari keuntungan atau pemburu rente.

"Ini menguatkan Bulog mempunyai jaring laba-laba distribusi sehingga pasokan tidak langsung sampai ke pasar. Inilah yang menyebabkan stok dimainkan sehingga harga pangan tinggi," kata Tenri dalam diskusi bertajuk Membedah Optimalisisa Peran Bulog Sebagai Stabilitas Pasok dan Harga Pangan di Jakarta, Selasa (7/6).

Dia juga menilai, Bulog dengan mudah menjalankan posisinya sebagai operator akan mendeskreditkan petani yang merupakan ujung tombak untuk mengoptimalkan fungsinya. Bulog membuat petani akan semakin termiskinkan secara sistemik.

"Keempat, dengan surplus kedua komoditas ini, Bulog lebih merasionalisasi kepentingan pelaku usaha pencari keuntungan. Harusnya Bulog dengan segala persiapan infrastruktur sudah siap menampung surplus dan mendistribusikan stok bawang yang ada di gudang 1,2 juta ton dan beras 2 juta ton sehingga petani tidak merugi dan konsumen tidak terbebani biaya pangan yang mahal," jelasnya.

Tenri mengusulkan agar Bulog bisa menginventarisir problematika yang ada pada mata rantai produksi-sirkulasi-konsumsi. Ketiga mata rantai ini tidak boleh disikapi secara parsial, sehingga Bulog mampu membuatkan skema pengadaan stok dan stabilisasi harga ketika terjadi kelangkaan dan surplus pangan.

"Sehingga ketika terjadi surplus namun harga melonjak, itu bermasalah pada rantai distribusi yang terlalu panjang dan Bulog tidak menjalankan sepenuhnya mata rantai produksi-sirkulasi-konsumsi," tuturnya.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, stok beras dan bawang merah selama bulan Ramadhan hingga Lebaran melebihi kebutuhan. Stok beras tersebut mencapai 7.417.487 ton sedangkan kebutuhan hanya 5.626.400 ton, sehingga diperoleh surplusnya sebesar 1.791.087 ton. Untuk bawang merah, stoknya 251.513 ton dan kebutuhan hanya 175.642 ton sehingga surplusnya mencapai 75.871 ton.

Ketua Umum KTNA Nasional, Winarno Tohir mengungkapkan tingginya harga pangan akibat tingginya biaya distribusi yang mencapai 21 persen. Menurutnya ini mencerminkan belum efisiennya sistem distribusi. Ini berdampak pada gagalnya capaian produksi yang melimpah dan berulangnya carut marut stok dan harga pada setiap tradisi Ramadhan.

"Sedangkan untuk impor agar hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa saja. Sebab petani menginginkan harga stabil dan petani pun perlu mendapat jaminan harga,” pungkas Winarno. [sam]

Jokowi Terima Memo dari KEIN, Apa Isinya?

Selasa, 07 Juni 2016

Jakarta -Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kedatangan jajaran pengurus Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN). KEIN menyerahkan memo terkait perkembangan kondisi perekonomian terkini dan perbandingan dengan negara lain.

Memo tersebut merupakan hasil kajian strategis yang sudah dilakukan bersama kalangan dunia usaha, pengamat ekonomi, dan pihak berkepentingan lainnya. Termasuk juga hasil kunjungan ke beberapa negara.

"Kita buat memo kepada presiden sebagai laporan yang tentunya presiden akan menggunakan laporan kami kepada menteri terkait," ungkap Ketua KEIN, Soetrisno Bachir di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/6/2016).

Ada tiga hal yang menjadi substansi kajian, pertama yaitu upaya mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% yang seharusnya bisa direalisasikan setidaknya dalam dua tahun mendatang. Kedua, terkait suku bunga dan ketiga, terkait persoalan pangan.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta menambahkan target 7% bukanlah sebuah hal yang mustahil, walaupun perekonomian global berada dalam perlambatan. Ia mengambil contoh Filipina dan India yang bisa tumbuh di atas 7%.

"Kita sampaikan ke presiden langkah strategis mencapai pertumbuhan ekonomi 7%. Karena ini hal yang achievable, melalui kebijakan yang countercyclical," terang Arif.

Rekomendasi yang diberikan di antaranya adalah menjaga investasi setiap tahun rata-rata tumbuh 10%, ekspor tumbuh 3%, impor tumbuh minimal 2%, dan konsumsi tetap terjaga pada level 5%.

"Agar investasi bisa bergerak 10%, mengintegrasikan pembangunan infrastruktur secara masif, dengan mengikuti kebutuhan industri. Apa terkait infrastruktur transportasi, pelabuhan, sampai energi," jelasnya.

Terkait dengan suku bunga, Anggota KEIN Hendri Saparini mengatakan hal tersebut sangat dibutuhkan. Dalam pembangunan yang progresif, dibutuhkan dana dengan biaya bunga yang rendah.

Hendri menjelaskan, pada awal tahun sudah ada penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Suku bunga deposito sudah mulai turun, namun tidak untuk bunga kredit.

"Kita usulkan ke presiden untuk memberlakukan dan mendorong adanya perubahan dalam sistem moneter ini. Jadi kita sudah menyampaikan langkah apa yang harus dilakukan. Tidak perlu merubah aturan perundangan dan tidak mengintervensi pasar. Ini akan didiskusikan lebih dalam, sehingga tujuan kebijakan ini bisa maksimal," papar Hendri.

Ketiga adalah persoalan pangan. Anggota KEIN Benny Pasaribu menyatakan bahwa persoalan harga pangan yang melonjak saat lebaran memang disebabkan oleh persoalan tata niaga atau mata rantai distribusi di dalam negeri.

"Jadi kenaikan harga bahan pokok saat Ramadan ini merupakan puncak gunung es yang awalnya sebenarnya ada tata niaga yang begitu panjang, dan karena sistem logistik yang jauh dari apa yang kita butuhkan," ujar Benny.

Solusi kepada pemerintah adalah pemotongan rantai distribusi pada tata niaga perdagangan.

"Cukup dengan BUMN, misalnya Bulog dengan koperasi. Di setiap pasar ada koperasi pedagang pasar, di perkantoran juga ada koperasi karyawan, ini semua bisa dijadikan untuk memperpendek," paparnya.

Kemudian petani tidak boleh lagi bersentuhan dengan rentenir. Caranya adalah mendekatkan akses jasa keuangan dan memperbanyak penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).

"KUR untuk petani harus digelontorkan sehingga tak tergantung rentenir. Setiap petaninya harus anggota, dan kita minta badan hukumnya tidak PT tapi koperasi. Sehingga data tunggal bisa didapat dari satu sistem aplikasi, itu langsung ke sistem data yang dikelola BPS, tapi sistemnya disiapkan Telkom. Jadi tidak penanganan sepotong-sepotong lagi," tukasnya.
(mkl/feb)

http://finance.detik.com/read/2016/06/07/151528/3227399/4/jokowi-terima-memo-dari-kein-apa-isinya

Rabu, 01 Juni 2016

MENGGENAPI JANJI JOKOWI BERANTAS KARTEL IMPOR PANGAN

SELASA, 31 MEI 2016


SEMUA pihak tentu kecewa dengan publikasi Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyebut pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2015 hanya 4,92%. Nilai ini turun dari kuartal IV 2015 sebesar 5,02 % dan juga di bawah eskpetasi pemerintah yang menyebut pertumbuhan ekonomi 2016 akan di atas 5%. Karena terjadi penurunan di dua kuartal yang berurutan, secara teknis dapat dikatakan kita saat ini sedang berada dalam tahap awal economic slowdown.

Presiden Jokowi memandang bahwa solusi untuk memperbaiki kondisi ini terutama melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Pandangan yang tentu dapat dimaklumi karena Presiden memang belasan tahun menjabat selaku pemegang kuasa anggaran sebagai Walikota maupun Gubernur. Kebijakan penggunaan anggaran yang hemat dan tepat guna memang dapat membantu, tapi perlu diketahui sebenarnya belanja negara hanya menyumbang kurang dari 20% output perekonomian Indonesia.

Artinya sebanyak 80% output perekonomian kita disumbangkan sektor bisnis. Lalu apa kabar sektor bisnis Indonesia? Di dunia bisnis, berbagai rencana investasi asing ke dalam negeri yang bernilai besar ternyata belum terealisasi komitmennya. Hal ini menandakan, bahwa sebenarnya investor asing masih dalam posisi wait and see melihat kondisi perekonomian Indonesia. Bagi investor, tentu pertumbuhan ekonomi India dan Filipina yang di atas 7% jauh lebih menarik daripada Indonesia yang masih dikisaran 4-5%. Bila pertumbuhan ekonomi tak kunjung membaik dalam kuartal ke II 2016 nanti, trend ini dapat membalikkan persepsi dunia internasional terhadap Indonesia yang sudah sempat positif menjadi negatif. Perlu diketahui, trend positif ini terjadi terutama semenjak dilakukan reshuffle Kabinet sekitar delapan bulan lalu, saat Presiden memasukkan figur yang kemudian sukses membawa optimisme baru bagi investor asing (terutama di sektor pariwisata dan maritim), seperti Rizal Ramli.

Paket Kebijakan Deregulasi Tidak Nendang
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, berulang kali menyatakan resep yang manjur untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia adalah dengan melakukan deregulasi, deregulasi, dan deregulasi. Rumus yang -mau tidak mau- dipercaya juga oleh Presiden karena Darmin terus menerus merapal resep tersebut. Padahal menurut kami, fokus perhatian pemerintah pada deregulasi tidak akan terlalu berguna untuk memacu pertumbuhan ekonomi dalam waktu singkat. Hal ini karena situasi Indonesia sekarang jauh berbeda dari tahun 1970-an, yang ketika saat itu dilakukan deregulasi dampaknya mampu menurunkan tarif dari 70% ke 15%. Signifikannya dampak deregulasi pada tahun 1970-an, pada turunnya tarif secara drastis, berhasil menyebabkan dunia bisnis menjadi bergairah. Sedangkan Indonesia saat ini situasinya tarif sudah berada di kisaran 0-3%, sangat semipt ruang yang tersedia untuk penurunan tarif, maka deregulasi menjadi kurang signifikansinya.

Komponen lain dalam deregulasi, yaitu pembenahan perizinan juga dampaknya baru akan terasa pada periode menengah (3-5 tahun). Itupun dampak kemudahannya hanya terbatas bagi para pelaku bisnis skala kecil dan skala menengah saja. Sedangkan dampaknya bagi para pebisnis besar tidak akan terlalu besar (memang mereka seolah selalu memprotes masalah perizinan ini), karena dalam prakteknya para pebisnis besar ini sudah dapat dengan mudah membayar jasa biro hukum profesional untuk mengurus masalah perizinan mereka (hal yang sulit dilakukan oleh pelaku bisnis skala yang lebih kecil).

Usulan dari Rizal Ramli agar seluruh BUMN (kecuali sektor energi) melakukan revaluasi aset, yang seharusmya dapat menyelamatkan pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh Tim Ekonomi Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perekonomian dan jajarannya seperti Kementerian BUMN. Karena tidak jelasnya arahan dari Tim Ekonomi, akhirnya hanya sebagian saja BUMN yang melakukan revaluasi asetnya, itupun ternyata sudah berhasil menciptakan tambahan modal sebesar Rp 800 triliun. Menurut perhitungan Rizal Ramli, bila seluruh BUMN melakukan revaluasi asetnya, akan terjadi peningkatan modal hingga sebesar Rp 2500 triliun. Dengan peningkatan modal tersebut, BUMN-BUMN kita dapat melakukan pinjaman setidaknya sebesar Rp 1300 triliun (US$ 10 miliar) yang dapat digunakan untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur di luar Jawa yang terancam mangkrak karena kurangnya dana (seperti proyek kereta Sumatera dan Sulawesi). Aktivitas revaluasi ini juga akan memberikan banyak pekerjaan bagi perusahaan-perusahaan evaluator, notaris, hingga bank-bank investasi asing, yang mereka semua akan mengabarkan situasi ekonomi Indonesia yang sedang bergeliat membaik kepada investor asing. Sayang sekali, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh, sebenarnya hasil dari revaluasi asset ini sudah dapat kita saksikan di kuartal ke II 2016.  

Pembangunan insfrastruktur yang tampak menjadi program andalan Pemerintah, yang secara jor-joran sedang dilakukan di mana-mana menggunakan anggaran negara (yang terbatas), baru akan dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat sekitar 3 tahunan lagi. Tidak mungkin kita biarkan rakyat Indonesia menunggu hingga selama itu tanpa ada sedikitpun perbaikan-perbaikan dalam kehidupan mereka di jangka pendek. Jika dibiarkan dapat saja terjadi backfire. Karena sangat mungkin situasi ekonomi rakyat yang terus memburuk ini dimanfaatkan oleh para oposan dan petualang politik untuk semakin menajamkan konflik, sehingga krisis ekonomi bukan tidak mungkin dapat berkembang menjadi krisis sosial. Untuk mencegahnya skenario terburuk tersebut terjadi haruslah  dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama yang berada di level 80% berpendapatan menengah ke bawah.  Jadi harus ada terobosan di jangka pendek, karena ternyata 12 paket yang diluncurkan Tim Ekonomi Pemerintah tidak nendang! Alias gagal memperbaiki perekonomian sesuai target. Maka wajar bila akhirnya Presiden Jokowi dikabarkan kesal, dan berencana melakukan evaluasi untuk ke -12 paket kebijakan ini. Ya, logika sederhana saja, bila terdapat seorang pesakitan yang tak kunjung sembuh setelah 12 kali diberikan resep obat berbeda, apa gerangan artinya??

Kebijakan Nendang: Berantas Kartel Impor Pangan
Lalu, apakah kebijakan yang nendang? Yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat secepatntya? Jawabannya adalah dengan memberantas kartel impor pangan yang selama ini bergelayut dan menghisap daya beli rakyat Indonesia. Dengan mengubah sistem kuota ke sistem tarif, kartel impor pangan dapat diberantas. Pendapatan besar yang selama ini diterima oleh 8 taipan besar yang menguasai seluruh impor komoditi pangan akan berkurang, namun di sisi lain pendapatan rakyat banyak akan meningkat karena harga-harga pangan jatuh. Rakyat Indonesia akan memiliki uang lebih, sehingga daya beli meningkat yang akan akibatkan konsumsi rakyat pun meningkat. Meningkatnya konsumsi pada akhirnya akan menggerakkan kembali perekonomian secara keseluruhan.

Sebagai gambaran betapa besarnya pendapatan yang diperoleh kartel ini: Menteri Perdagangan Tom Lembong, dalam kesempatan tertutup, pernah bersaksi bahwa keuntungan yang diperoleh oleh para kartel impor suatu komoditi seperti bawang putih saja, dapat mencapai US$ 500 juta (Rp 6 triliun)! Sulit dibayangkan besar keuntungaqn para kartel di komoditi impor lainnya seperti misalnya daging sapi yang selisih harganya dengan harga di luar negeri mencapai 100%! Dengan melihat besarnya keuntungan, nilai sebesar Rp 1 triliun yang disisihkan oleh para kartel ini untuk menyuap birokrasi pemerintahan terkait, dari level terendah hingga pejabat eselon 1, untuk mengamankan system kuota impor ini terlihat kecil saja. Perlu diketahui, system ini sudah berlangsung bertahun-tahun sejak era Pemerintahan SBY, dan tak pernah luput dikritisi oleh Rizal Ramli.

Namun hambatan terbesar kita untuk memberantas kartel impor ternyata malah datang dari Menko Perekonomian Darmin- orang yang seharusnya kita harapkan untuk dapat memimpin pemberantasannya. Maklum saja, Menko Perekonomian kita ini berasal dari kalangan birokrat yang tidak mengerti bisnis, walaupun agak mengerti soal makro, tapi jelas bahwa sebenarnya ia tidak mengerti permasalahan. Seharusnya seorang Menteri Perekonomian mengerti cara untuk menciptakan keuntungan (create profit), menciptakan nilai (create value) yang dapat menggairahkan perekonomian rakyat. Namun yang paling penting, ternyata dia juga tidak memiliki keberanian untuk melakukan terobosan. Ya, seperti layaknya birokrat umumnya yang cenderung bermain aman demi menjaga posisi jabatannya. Jelas, Darmin adalah tipe orang yang menjabat untuk berkuasa saja, bukan untuk mengubah sesuatu system. Jadi seandainya pun Darmin mengerti permasalahan, belum tentu ia berani membongkar permasalahan tersebut ��"seperti yang diinginkan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya di Univ. Muhamaddiyah Jogjakarta (23/5/2016) mengenai keinginan Presiden agar para menterinya dapat menurunkan harga daging sapi hingga di bawah Rp 80 ribu sebelum lebaran 2016.  

Seharusnya, bila Pemerintahan berani melakukan kebijakan berantas kartel impor pangan, ini akan menjadi kebijakan yang nendang. Kebijakan yang dapat menggairahkan perekonomian rakyat, bahkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 6% di tahun 2016. Dan yang paling penting, sedikit kilas balik, ini akan menjadi penggenapan dari berbagai pidato Jokowi sejak 2014 hingga 2015 yang menjanjikan kepada rakyat untuk memberantas mafia (kartel) impor pangan.

OLEH: FAISAL MAHRAWA
*Penulis adalah Kaba Litbang RMOL

http://politik.rmol.co/read/2016/05/31/248350/Menggenapi-Janji-Jokowi-Berantas-Kartel-Impor-Pangan-