Rabu, 30 April 2014

Pupuk Bersubsidi Dijual di Atas HET

Rabu, 30 April 2014

Paluta, (Analisa). Sejumlah pengurus kelompok tani (Koptan)  di wilayah Kecamatan Padang Bolak dan sekitarnya, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) menjerit.  Mereka mengeluh, karena pupuk subsidi dijual melebih harga HET oleh para pengecer.
Kondisi ini, tentu saja membuat para petani kelimpungan. Selain karena harus menebus pupuk yang harganya di atas harga normal, jaminan ketersediaan pupuk pun tidak mereka peroleh. Mereka kesulitan mendapatkan pupuk subsidi.
Hal tersebut ditegaskan Ketua KTNA Paluta Baginda Harahap kepada wartawan, Senin (28/4). “Pemkab sudah jelas membuat dasar aturan yang berkenaan dengan harga pupuk subsidi, tapi kenapa pupuk bersubsidi itu masih saja dijual di atas HET. Jadi apa guna peraturan bupati itu kalau tidak dipatuhi,” kata Baginda.
Menurutnya informasi yang dihimpun di lapangan, ternyata masih ada sejumlah kios pengecer pupuk yang membandel dan sengaja memainkan harga eceran. Padahal hal itu sangat memberatkan poktan. Pupuk Urea misalnya, di dalam peraturan Bupati Paluta jelas harganya Rp1.800 per kilogram tapi di saat poktan membelinya malah dibanderol dengan harga Rp2.600 per kilogram.
Keadaan itu membuat poktan merasa kecewa dan merasa dipermainkan. Padahal di saat sosialisasi tentang pupuk bersubsidi yang diadakan Pemkab melalui Ekbang dan Dinas Pertanian Paluta di Aula Hotel Mitra Indah Gunung Tua beberapa waktu lalu jelas sudah berapa harga eceran tertinggi untuk pupuk bersubsidi.
Baginda juga kecewa dengan kinerja yang dilakukan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Kabupaten Paluta. Ia meminta pemerintah untuk segera mencabut pupuk bersubsidi dari pemerintah agar para petani yang ada tidak berharap lagi dengan pupuk bersubsidi itu.
Dirinya juga mengungkapkan rasa kecewanya terhadap kinerja dari para distributor khususnya yang tidak pernah tepat waktu dalam mendistribusikan pupuk untuk wilayah Paluta sehingga target panen para petani tidak pernah tercapai akibat dari keterlambatan pemupukan.
Untuk Padang Bolak Julu, kata Baginda, distributor pupuk belum menyuplai pupuk sesuai kebutuhan petani. Padahal pihak distributor telah meminta sejumlah uang untuk pembayaran pupuk dari para petani.
“Mereka tidak mau menyuplai pupuk sesuai dengan kebutuhan petani di Kecamatan Padang Bolak Julu. Padahal mereka sudah meminta uangnya dari para petani,” ujarnya dengan nada kesal.
Sesuai dengan pantauannya di lapangan, pada kenyataannya yang menjadi pengecer pupuk rata-rata adalah pegawai dinas pertanian dan pegawai badan penyuluh serta ada juga dari pihak kepolisian.
Menurutnya hal ini yang menjadi salah satu penyebab tidak berfungsinya pengawasan di bidang penyaluran pupuk bersubsidi.
Sesuai Peraturan Bupati Paluta Nomor 1 tahun 2014 tentang alokasi kebutuhan dan HET pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian di Paluta tahun anggaran 2014 tercatat, harga pupuk bersubsidi itu sudah ditentukan harganya oleh Pemkab. Sehingga bagi distributor, penjual eceran maupun kios dilarang menjual pupuk bersubsidi di atas HET. (ong)
Sumber: analisadaily.com

http://apakabarsidimpuan.com/2014/04/pupuk-bersubsidi-dijual-di-atas-het/

Membangun Kedaulatan Pangan Nasional

Rabu, 30 April 2014

Meroketnya harga minyak dan semangat mondial untuk menjinakkan pemanasan global telah meningkatkan permintaan dunia terhadap minyak sawit mentah (CPO), jagung, gandum, tebu, dan bahan pangan lain untuk produksi biofuel.

Pada saat yang sama, seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan pangan dunia pun terus membengkak.Padahal stoknya dalam dasawarsa terakhir terus menurun. Bila pada 1999 persediaan pangan dapat memenuhi 120 hari kebutuhan dunia, pada 2010 hanya cukup untuk 50 hari. Untuk beras, situasinya malah lebih gawat.Kebutuhannya pada 2025 diperkirakan mencapai 800 juta ton,sedangkan kemampuan produksinya kurang dari 600 juta ton/tahun. Lebih besarnya kebutuhan ketimbang kemampuan suplai pangan dunia mengakibatkan harga-harga bahan pangan terus melambung.
Kenaikan harga pangan global bukan hanya mengakibatkan jumlah warga dunia yang kekurangan pangan dan penderita kelaparan meningkat, tetapi juga menyebabkan instabilitas ekonomi dan politik. Bayangkan, pada 2007 jumlah penduduk dunia yang kekurangan pangan sebanyak 923.000 jiwa, dan pada 2010 meningkat jadi 1,2 juta jiwa (FAO,2011).Dalam jangka panjang, kekurangan pangan, gizi buruk, dan kelaparan di suatu negara hanya akan meninggalkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan kurang produktif, alias generasi yang hilang (a lost generation).
Karena itu wajar bila Presiden SBY menekankan pentingnya bangsa ini membangun kedaulatan pangan di berbagai acara kenegaraan,mulai dari KTT ASEAN di Bali November lalu, dan terakhir pada penyerahan penghargaan pemerintah di bidang industri di Istana Negara, Kamis 5 Januari 2012. Bahkan Presiden RI pertama, Bung Karno saat berpidato pada acara peresmian Gedung Fakultas Pertanian IPB di Bogor pada 1952 membuat pernyataan profetis, ”pertanian dan pangan adalah masalah hidup-matinya sebuah bangsa.”
Pernyataan profetis tersebut diperkuat oleh hasil penelitian FAO (1998), bahwa suatu negara- bangsa dengan penduduk lebih besar dari 100 juta orang tidak mungkin bisa maju,makmur, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan potensi produksi tinggi, seharusnya Indonesia bisa menikmati berkah ekonomi (windfall profit) dari melonjaknya permintaan dan harga sejumlah komoditas pangan fenomenal itu. Sayang, sejak swasembada beras pada 1984 kita memandang sebelah mata sektor pertanian.Alih-alih meraup untung, yang kini kita hadapi justru petaka dan dilema.
Kita menjadi bangsa pengimpor bahan pangan nomor wahid di dunia. Setiap tahun kita mengimpor sedikitnya 1 juta ton beras (terbesar di dunia); 2 juta ton gula (terbesar kedua); 1,5 juta ton kedelai; 1,3 juta ton jagung; 5 juta ton gandum; dan 600.000 ekor sapi.Sungguh suatu ironi memilukan dan amat memalukan. Kerugian yang ditimbulkan akibat ketergantungan kita pada bahan pangan impor pun bukan alang-kepalang. Penghamburan devisa, menyengsarakan petani, sampai memandulkan sektor pertanian serta kelautan dan perikanan yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa.
Lebih mencemaskan lagi, negara- negara yang selama ini jadi tumpuan impor bahan pangan Indonesia seperti Thailand, Vietnam, dan Australia mulai menutup keran ekspornya demi menjaga ketahanan pangan nasional mereka di tengah ancaman global warming.
Suplai-Distribusi-Konsumsi
Belum terwujudnya kedaulatan pangan di Nusantara yang subur bak zamrud di khatulistiwa ini ditengarai karena salah urus baik pada tataran kebijakan makro (politik-ekonomi) maupun pada tataran teknis pembangunan ekonomi sumber daya alam (SDA), khususnya yang mencakup sektor pertanian,kehutanan,serta kelautan dan perikanan.
Pasalnya, potensi produksi berbagai komoditas pangan yang bisa diproduksi di sini (seperti beras, jagung,kedelai,gula,CPO, sayuran,buah-buahan,daging, telur, ikan, dan garam) sejatinya lebih besar ketimbang total kebutuhan nasional, bukan hanya untuk kebutuhan jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang secara berkelanjutan (Kementan, 2010; Kemenhut, 2008; dan DKP, 2003).
Karena itu,untuk mewujudkan kedaulatan pangan sekaligus menjadikan sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan dan perikanan (ekonomi SDA hayati) sebagai keunggulan kompetitif dan mesin pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi SDA hayati mesti diarahkan untuk mencapai empat tujuan. Pertama, menghasilkan sejumlah komoditas pangan beserta segenap produk hilirnya yang berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional (to feed Indonesia) maupun ekspor (to feed the world).
Kedua, meningkatkan kontribusi sektor SDA hayati terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.Ketiga,meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, produsen SDA hayati lain, dan pelaku usaha terkait. Keempat,memelihara daya dukung lingkungan dan kelestarian SDA hayati. Pada tataran teknis,kita harus meningkatkan produksi semua bahan pangan yang bisa dihasilkan di dalam negeri secara produktif, efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Ini dapat dilaksanakan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi spesies/ varietas usaha budi daya.
Program ekstensifikasi harus diprioritaskan di lahan-lahan kritis yang kini luasnya mencapai 11 juta hektare atau di kawasan hutan yang dapat dikonversi. Program food estate di Merauke dan daerah-daerah lain yang sudah dicanangkan pemerintah seyogianya cepat direalisasikan.Dengan catatan harus lebih prorakyat setempat dan ramah lingkungan. Selain itu,peningkatan produksi pangan juga bisa dipenuhi melalui optimalisasi dan peningkatan efisiensi usaha penangkapan sumber daya ikan (SDI) di laut maupun perairan umum darat secara ramah lingkungan sesuai dengan potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY) di tiap wilayah perairan.
Total MSY SDI laut sebesar 6,5 juta ton/tahun,dan tahun lalu telah dipanen sekitar 5 juta ton, sedangkan di perairan umum darat MSY SDI-nya sebesar 0,9 juta ton/tahun dan baru diproduksi sekitar 0,5 juta ton pada 2011. Pada saat yang sama,lahanlahan pertanian, perkebunan, dan perikanan yang subur serta produktif (kelas I) tidak boleh lagi dikonversi menjadi kawasan industri, permukiman, infrastruktur, dan peruntukan lainnya. Sebaliknya harus dijadikan sebagai lumbung pangan (food basket) nasional.
Seperti halnya diberlakukan di Jepang, Korea Selatan, AS, Belanda dan negara industri lain. Dengan begitu, selain sebagai produsen utama berbagai produk industri manufaktur, ICT, dan jenis industri lain, negara-negara maju tersebut mampu berswasembada pangan, bahkan eksportir bahan pangan utama dunia.Perlu dicatat,bahwaAS sebagai kampiun negara industri ternyata sekitar 50% dari keseluruhan ekspornya berupa komoditas dan produk pertanian dan pangan (WTO,2010). Indonesia juga perlu memperhatikan pentingnya nilai tambah.Tidak seperti Malaysia, Thailand dan negara-negara maju lain, selama ini kita mengekspor komoditas pertanian sebagian besar dalam keadaan mentah.
Contohnya 70% ekspor sawit Indonesia berupa CPO,sedangkan Malaysia 70% ekspor sawitnya berupa produk antara dan hilir seperti minyak goreng, mentega, sabun, cokelat,farmasi,dan kosmetik. Demikian juga halnya dengan rumput laut, 85% ekspor rumput laut karaginan Indonesia berupa rumput laut kering. Karena itu, dari sekarang kita harus memperkuat dan mengembangkan industri hilir di seluruh sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan agar kita memperoleh nilai tambah, penyediaan lapangan kerja, dan multiplier effects ekonomi yang lebih besar dan luas.
Politik-Ekonomi
Sederet jurus teknis di atas akan berhasil jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi SDA hayati. Sedikitnya ada sembilan kebijakan politik-ekonomi paling krusial untuk direalisasikan.
Pertama,menghentikan impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di tanah air, baik secara langsung maupun bertahap. Kedua, memperbesar porsi anggaran negara (APBN dan APBD) untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan daerah pedesaan, produksi benih unggul, pupuk organik dan anorganik, dan pakan berkualitas. Ketiga, produksi gas alam harus diprioritaskan untuk produksi pupuk ketimbang diekspor mentah seperti sekarang.
Keempat,penyediaan permodalan khusus untuk sektorsektor ekonomi SDA hayati, baik melalui lembaga perbankan maupun nonbank. Kelima, penguatan dan perluasan peran Bulog sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok. Keenam, pemerintah harus memberikan insentif, kemudahan, keamanan,dan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang berminat investasi di sektor pertanian, terutama pada usaha industri hulu dan industri hilir.Keenam,pencemaran lingkungan harus dikendalikan secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten.
Ketujuh, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global (global climate change). Kedelapan, penciptaan iklim usaha yang atraktif dan kondusif. Kesembilan, adalah kebijakan moneter (suku bunga, nilai tukar rupiah,dan pengendalian inflasi) yang berpihak kepada sektor-sektor ekonomi SDA hayati.
Dengan mengimplementasikan segenap kebijakan dan program teknikal dan politikekonomi di atas, yakinlah Indonesia tidak hanya mampu membangun kedaulatan pangan dalam waktu dekat (5 tahun), tapi juga mampu menjadi pengekspor sejumlah bahan pangan terbesar di dunia dan menjadikan ekonomi SDA hayati sebagai keunggulan kompetitif yang mengantarkan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, sejahtera, dan mandiri pada 2025, Insya Allah.

Rokhmin Dahuri
Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia Mentri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004 Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2014/04/30/membangun-kedaulatan-pangan-nasional-652672.html

Pemerintahan SBY Dianggap Gagal Wujudkan Kedaulatan Pangan

Selasa, 29 April 2014

Jakarta - Menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisi pangan Indonesia dianggap tidak kunjung membaik, bahkan terperosok ke dalam darurat pangan.

Menurut Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko, kegagalan SBY ditandai dengan menurunnya jumlah rumah tangga petani sebesar 5 juta rumah tangga (sensus pertanian 2013). Lalu lahan pangan menghilang sekitar 110.000 ha/tahun.

Selain itu, kata Tejo, meningkatnya impor pangan, menurunnya luasan produksi pangan rata-rata 110.000 ha, produksi pangan yang stagnan, dan meningkatnya jumlah penduduk, juga menjadi catatan dari kegagalan pemerintah.

"Pemerintah SBY juga tidak mempunyai kebijakan nasional untuk membangun kedaulatan pangan serta memberikan perlindungan bagi produsen pangan skala kecil," kata Tejo di Jakarta, Selasa (29/4).

Tejo mengatakan, kegagalan pemimpin negara ini mewujudkan kedaulatan pangan, berawal dari ketidakpahaman penyelenggara negara dan ketidaksinkronan antara Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014.

Ia menerangkan pernyataan di dalam RPJP adalah pertanian bersama pertambangan menjadi tulang punggung perekonomian bangsa.
Sayangnya, Tejo melanjutkan visi-misi Presiden yang berwujud RPJMN 2009-2014 hanya menempatkan pangan sebagai prioritas nomor 5.

"Akibatnya, memaksa eksekutif dan legislatif hanya bisa memberikan budget sekitar 6%-7% dari total APBN," ujar dia.

Tejo menjelaskan, alokasi anggaran tersebut sangat jauh dari apa yang disarankan Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan bahwa negara hendaknya menyisihkan 20% anggarannya untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya di tengah situasi pangan global yang bergejolak.
Prioritas rendah ini, aku dia, juga mengakibatkan lemahnya implementasi kebijakan pangan di lapangan.

"Perlindungan terhadap produsen pangan skala kecil yang meliputi lahan, sarana, prasarana serta tata niaganya sangat sedikit upayanya," ujar dia.

Tidak hanya dari sisi produsen saja, dari sisi konsumen juga tidak dibangun upaya yang sistematis dan serius sehingga mereka menjadi pelindung pertanian.

"Alih-alih membangun kedaulatan pangan, kebijakan pemerintahan SBY malah mengandalkan pangan impor dengan membuka kran impor sebesar-besarnya. Semestinya semua harus berbasis pada lokalitas dan produsen pangan skala kecil kita," ujar Tejo.

Di tempat yang sama, Koordinator Pokja Perikanan Abdul Halim menjelaskan sektor perikanan jiga tidak dianggap sebagai sumber produk pangan strategis, melainkan hanya difokuskan pada peningkatan produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Alih-alih masyarakat Indonesia mendapatkan sumber protein bermutu dari lokal, justru malah dipaksa menjadi penonton karena hasil tangkapan diekspor," ujar Abdul.

Ia mengatakan kebijakan tersebut menggerus bahan baku ikan yang pada akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor.

"Padahal jelas dalam UU nomor 45 tahun 2009 mengamanatkan untuk mengutamakan pasokan dalam negeri. Kebijakan seperti ini mustahil bisa mensejahterahkan nelayan," ucap Abdul.

http://www.beritasatu.com/ekonomi/181004-pemerintahan-sby-dianggap-gagal-wujudkan-kedaulatan-pangan.html

Pupuk Subsidi Di Jateng Menghilang

Selasa, 29 April 2014

Bisnis.com, SEMARANG--Pemerintah provinsi Jawa Tengah menyatakan wilayahnya masih mengalami kelangkaan pupub bersubsidi.

Plt Sekretaris Daerah Jateng Sri Puryono kelangkaan itu terjadi akibat pengurangan kuota 15% dari tahun lalu.

"Alokasi dari pusat tahun ini hanya 850.000 ton, itu pun berkurang 15% dari kuota yang ditentukan untuk Jawa Tengah itu," terangnya, Selasa (29/4/2014).

Menurut dia, kebutuhan pupuh Jateng mencapai 1 juta ton per tahun. Dengan pengurangan 15% dari kuota 850.000 ton secara otomatis berdampak pada distribusi di kalangan petani.

Upaya menekan persoalan kelangkaan pupuk bersubsidi, Sri Puryono menuturkan Pemprov Jateng siap melakukan pembenahan sistem distribusi dan mengefektifkan tim pengawas pupuk.

"Layanan kepada petani juga akan dilakukan dengan membuka posko pengaduan," lanjutnya.

Selain upaya pengaturan penyaluran, pihaknya juga meminta pemerintah pusat mengalokasikan pupuk bersubsidi sesuai kuota serta memenuhi kekurangan pupuk di Jateng.

Gubernur Ganjar Pranowo yakin pupuk bersubsidi sangat dibutuhkan petani untuk mendukung produksi dan produktivitas hasil pertanian.

"Atas laporan kelangkaan, pemprov meminta kabupaten/kota menyampaikan kekurangan pupuk biar semua bisa ditangani bersama."

http://semarang.bisnis.com/read/20140429/12/72771/pupuk-subsidi-di-jateng-menghilang

Selasa, 29 April 2014

Urbanisasi Bikin RI Kehilangan 8 Juta Petani

Selasa, 29 April 2014

Senin (31/03/14) sekumpulan petani yang sedang menggarap sawah dikejutkan kehadiran Jokowi (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Liputan6.com, Kuala Lumpur Pertumbuhan ekonomi yang cepat di Indonesia selama ini selalu dianggap sebagai kabar baik yang dapat berdampak positif bagi seluruh masyarakat di Tanah Air. Tak sepenuhnya benar, ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata bertahan di level 6% dapat memberikan dampak yang berbahaya bagi sektor pertanian di dalam nengeri.

Seperti dikutip dari Reuters, Senin (28/4/2014), perusahaan konsultasi dan analisa global McKinsey Global Institute (MGI) memprediksi jumlah petani di Indonesia dapat terus berkurang setiap tahunnya. Itu semua disebabkan pertumbuhan ekonomi yang memperkuat arus urbanisasi dan berdampak pada kemerosotan jumlah tenaga kerja lokal di desa-desa.

"Urbanisasi dapat menyebabkan penurunan jumlah petani di Indonesia hingga sekitar 8 juta jiwa," ungkap lembaga riset McKinsey & Co., dalam keterangan tertulisnya.

Sejauh ini, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terhitung cepat menyebabkan lebih banyak pengusaha membuka lowongan pekerjaan di luar sektor pertanian. Tak hanya itu, para pengusaha juga memperkecil selisih pendapatan antara pekerja di Indonesia dan negara tetangga.

Sebanyak 505 daerah di Ibukota telah menaikkan gaji buruh sebesar 11% tahun lalu. Kondisi tersebut membuat para pekerja merasa nyaman berprofesi di luar sekotr agrikultur.

Hingga saat ini, sektor pertanian berkonstribusi sekitar 15% dari total produk domestik bruto Indonesia. Sementara 35% dari total seluruh penduduk Indonesia bahkan menggantungkan dirinya pada sektor pertanian sebagai sumber pendapatan utamanya.

Para analis dari MGI juga memprediksi jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kota-kota besar dapat meningkat hingga 71% pada 2030 seiring dengan tingginya minat masyarakat untuk mencari peluang kerja lebih baik dan pendapatan yang lebih tinggi. Saat ini, jumlah penduduk desa yang memilih hijrah ke kota besar tercatat sebanyak 53% dari total populasi di Tanah Air.

Rendahnya tenaga kerja yang berminat menjadi petani juga dapat menyebabkan gangguan di sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia.


"Ini berbahaya bagi bisnis pertanian di Indonesia dan akan menjadi masalah dalam lima tahun ke depan jika pemerintah tidak berhati-hati," ungkap Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Wahyu Widodo.


Mentan dan Menko beda pendapat soal pencabutan subsidi pupuk

Selasa, 29 April 2014

Merdeka.com - Menteri Pertanian Suswono menilai subsidi pupuk bisa secara bertahap dicabut. Sebab, selama ini penyimpangan justru terjadi akibat disparitas harga antara pupuk subsidi dan non-subsidi.

Dalam APBN 2014, anggaran subsidi pupuk mencapai Rp 18 triliun. Suswono merasa, pemerintahan baru nanti sebaiknya mengalihkan dana sebesar itu untuk kepentingan strategis pertanian lainnya.

"Secara pribadi, saya sendiri mengatakan angka Rp 18 triliun jangan buat subsidi pupuk, subsidi pupuk biar saja harga pasar. Bagaimana Rp 18 triliun diberikan untuk kompensasi petani, perbaikan irigasi dan jaminan harga dan petani tidak dirugikan," ujarnya selepas rapat di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (29/4).

Kebutuhan pupuk secara umum di Indonesia mencapai 9,5 juta ton. Suswono meyakini non-subsidi bisa mencukupi permintaan. Belum lagi berkaca pada skema subsidi pupuk yang kerap gagal di negara lain. Mekanisme lebih tepat justru menjaga harga jual supaya stabil.

"Petani tidak senang harga pupuk fluktuasi, senangnya harga stabil. Mudah-mudahan pemerintah yang baru bisa terapkan ini. Negara-negara lain sudah melakukan (stabilitas harga) kok, kita nggak usah awasi terus karena disparitas harga tadi kalau masih pakai ," kata Mentan.

Ditemui terpisah, Menko Perekonomian Hatta Rajasa justru mengatakan bahwa skema subsidi pupuk tidak perlu diubah lagi. Kalaupun terjadi penyimpangan, perembesan, maupun dampak buruk lainnya akibat disparitas harga, sebaiknya mekanisme penyaluran yang diperbaiki.

"Kalaupun ada pembenahan harus kita lakukan. Jadi tidak (perlu dicabut)," kata Hatta.

Selain itu, subsidi pupuk adalah bagian dari sistem ketahanan pangan nasional, yang diamanatkan untuk selalu ada dalam APBN. Sehingga menko mengatakan format bantuan pemerintah itu akan tetap dipertahankan.

"Subsidi pangan selalu ada, baik menyangkut pupuk, benih," tegasnya.

http://www.merdeka.com/uang/mentan-dan-menko-beda-pendapat-soal-pencabutan-subsidi-pupuk.html

Senin, 28 April 2014

Bank Benih Dorong Petani Berdaulat Benih

Senin, 28 April 2014

KARANGANYAR (KRjogja.com)- Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) mendorong penggunaan benih pertanian mandiri dan mengurangi produk pabrikan nonorganik. Dengan mengadopsi metode kemandirian, petani diyakini mampu berdaulat atas benih dan mengelola tata niaga hasil pertanian mandiri.

Berdasarkan pendampingan ke petani di Karanganyar selama setahun terakhir, metode yang diterapkan terbukti mampu meningkatkan hasil panen padi jenis Indonesian Farmer (IF) 8 hingga 13,7 ton per hektare. “Potensi pertanian di Karanganyar sangat tinggi. Termasuk unggulan dari 51 kabupaten/kota di Indonesia. Kami berupaya meningkatkan peserta AB2TI, minimal 75 persen dari kabupaten ini,” ujar Ketua Umum AB2TI Dwi Andreas Santosa.

Dalam metode yang ditawarkannya, penggunaan benih nonorganik dari pemerintah maupun perusahaan kerap tidak sesuai dengan kebutuhan petani dan dapat merusak lingkungan beserta ekosistemnya. Disebutkan, standardisasi benih dari pemerintah merupakan materi campuran bahan kimia dengan pengaturan kaku. Inilah yang seringkali tidak menjamin keadilan bagi petani.

Untuk itu, lanjut Andreas, petani harus mampu mengolah benih pertanian sendiri. Selain agar tercipta kemandirian dan
kedaulatan pangan, petani tidak akan terganggu dengan kebijakan makro pemerintah tentang pertanian. Selain menggaet
keanggotaan di Karanganyar, organisasi yang bermarkas di Bogor, Jawa Barat ini juga akan menggandeng seluruh gabungan kelompok tani (Gapoktan) agar penyemaian nilai-nilai kesadaran petani meluas.

Petani di Kecamatan Kebakkramat yang menerapkan ilmu dan benih mandiri berhasil mempertahankan panenan dari serangan tikus dan meningkatkan kuantitas dan kualitas panen. “Klaim di Karanganyar, hasil panen padi 5,5 ton per hektare sekali panen itu sudah surplus. Kalau angka normal dari pusat itu sekitar 6-7 ton per hektare. Nah, kita bisa menghasilkan 13,7 ton per hektare,” ungkap salah satu pegiat di AB2TI Karanganyar, Donny Prabowo. (*-10)

http://krjogja.com/read/213921/bank-benih-dorong-petani-berdaulat-benih.kr

Ide Jokowi Lindungi Petani dari Para Tengkulak

Minggu, 27 April 2014

BOGOR, Baranews.co - Calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo menilai, peraturan menteri yang membahas tentang perdagangan hasil tani dan kebun harus segera diatur secara total. Hal tersebut, kata pria yang akrab disapa Jokowi itu, guna meminimalisir adanya permainan harga yang dilakukan para tengkulak atau kartel yang dapat merugikan para petani.

"Kita ngerti ada kartel. Peraturan menteri harus diatur total agar kesempatan mainkan harga bisa dihilangkan," kata Jokowi di acara penanaman padi yang bertajuk 'Kemandirian Pangan Bersama Rakyat' di Desa Tanjung Sari, Cariu, Bogor, Jawa Barat, Minggu (27/4/2014).

Tak hanya itu, Jokowi menilai sebagai lembaga yang menstabilkan harga pangan nasional, peran Badan Urusan Logistik (Bulog) harus diberikan secara lebih besar. "Peran bulog harus diberikan porsi lebih," tegas Jokowi.

Di sela-sela acara penanaman padi yang bertajuk 'Kemandirian Pangan Bersama Rakyat' itu, Jokowi berharap agar kedaulatan dan ketahanan pangan di Indonesia dapat terus bertambah.

"Ketahanan dan kedaulatan pangan dan setiap tahun tambah 3 juta dan siapkan pangan dan kemudian kita sampaikan dalam 5 tahun ini ada impor pangan beras, dan jagung," tambah Jokowi.

Mantan Walikota Solo itu juga menilai kebijakan-kebijakan yang menguntungkan petani terus diterapkan. Tak hanya itu, Jokowi berpendapat kebijakan-kebijakan tersebut untuk menyukseskan kedaulatan dan ketahanan pangan juga harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur pertanian yang baik.

"Infrastruktur dan pertanian dan bendungan sampai saluran harus dibenahi. Sawah baru dan kualitas air diawasi. Jangan sampai saluran dimasuki limbah industri," jelas Jokowi. (Hanz Jimenez Salim/liputan6/ff)

http://m.baranews.co/web/read/11507/ide.jokowi.lindungi.petani.dari.para.tengkulak#.U14L6eOSzME

Sabtu, 26 April 2014

Pupuk Bersubsidi Lari ke Mana?

Sabtu, 26 April 2014

MUNGKID (Krjogja.com) - Sejumlah pupuk bersubsidi di Kabupaten Magelang sulit diperoleh. Kondisi ini membuat petani harus pasrah memakai pupuk apa saja yang tersedia, atau membuat pupuk kandang sendiri.

Sodikin, salah seorang pengecer pupuk di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang mengatakan, kelangkaan pupuk saat ini terjadi pada urea, Phonska, ZA, dan Petroganik. Sebelumnya sempat langka pada akhir tahun 2013, namun kembali lancar pada Januari-Februari 2014. Sayang mulai Maret 2014 hingga sekarang, urea kembali menghilang di pasaran. Dalam dua bulan terakhir, hal serupa juga terjadi pada Petroganik.

Pada kondisi normal, pasokan urea yang ia terima mencapai delapan ton per bulan. “Padahal, pada pengalaman sebelumnya, saat urea langka, petani biasanya akan beralih pada Petroganik. Namun kini semua hilang,” katanya, Jumat (25/04/2014).

Hal serupa juga dirasakan oleh Siti Matonah, salah seorang pengecer pupuk di Kecamatan Muntilan. Kelangkaan urea yang terjadi saat ini, membuatnya terpaksa berkali-kali mengecewakan pembeli. “Karena sulit memastikan kapan menerima pasokan, banyak titipan uang untuk pemesanan urea terpaksa saya kembalikan kepada pelanggan,” ujarnya.

Keduanya berharap, pemerintah segera mengatasi kelangkaan pupuk kimia bersubsidi yang entah lari kemana. “Semoga saja pemerintah cepat merespon kelangkaan ini. Karena kalau dibiarkan, kami tidak tahu bagaimana kondisi tanaman kami kedepan,” pintanya. (Bag)

http://kr.co.id/read/213722/pupuk-bersubsidi-lari-ke-mana.kr

Menteri Pertanian Usul Subsidi Pupuk Dihapus

Jumat, 25 April 2014

TEMPO.CO, Surakarta - Menteri Pertanian Suswono gerah dengan banyaknya protes petani terkait dengan kelangkaan pupuk bersubsidi. Menanggapi protes itu, Suswono justru mengusulkan anggaran subsidi pupuk dihapus. (Baca: Pupuk Subsidi Langka, Dahlan Tak Mau Disalahkan)

"Anggaran subsidi sudah Rp 18 triliun, tapi tetap kurang. Bahkan pupuk subsidi tetap merembes ke sana-ke mari," kata Suswono di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 24 April 2014. Karena itu, dia menilai sebaiknya harga pupuk subsidi disesuaikan dengan harga pasar, yaitu di kisaran Rp 250 ribu per karung. (Baca: Politikus Alihkan Subsidi Pupuk untuk Kampanye)

Sebagai kompensasi, anggaran Rp 18 triliun dialihkan untuk kepentingan langsung petani. Misalnya, untuk perbaikan irigasi di berbagai daerah. Dia mengatakan, untuk memperbaiki seluruh irigasi, dibutuhkan anggaran Rp 21 triliun. "Kalau air lancar, petani bisa panen tiga kali setahun," ujarnya.

Dengan asumsi kepemilikan lahan pertanian rata-rata 1 hektare dan produktivitas 7 ton gabah kering per hektare, petani bisa mendapat Rp 28 juta per hektare per masa tanam. "Asumsinya, harga gabah kering Rp 4 ribu per kilogram," katanya.

Dari Rp 28 juta, dia memperkirakan biaya produksi hanya Rp 7 juta. Jadi, tiap masa tanam, petani mendapat keuntungan Rp 21 juta. "Kalau dibuat per bulan, tiap petani memperoleh Rp 5 juta per hektare," tuturnya.

Usulan lainnya, anggaran Rp 18 triliun digunakan untuk mengimpor bibit ternak, seperti sapi, yang diberikan ke petani. Lantas kotoran ternak dipakai untuk pupuk organik, sekaligus bisa mengembalikan kesuburan tanah. "Karena itu, lebih baik anggaran subsidi pupuk dihilangkan. Sebab, nyatanya dengan anggaran sebesar itu masih ada kelangkaan pupuk dan masih merembes," katanya.

http://www.tempo.co/read/news/2014/04/25/092573029/Menteri-Pertanian-Usul-Subsidi-Pupuk-Dihapus

Jumat, 25 April 2014

Pupuk Bersubsidi di Pandeglang Langka

Jumat, 25 April 2014

PANDEGLANG (Pos Kota) – Petani di wilayah Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, mengeluh karena pupuk bersubsidi langka di wilayah mereka. Kelangkaan pupuk ini sudah berlangsung sejak empat minggu yang lalu atau sejak petani mulai memasuki masa tanam kedua.
“Sudah beberapa minggu, pupuk bersubsidi di wilayah Cikeusik langka. Jenis pupuk yang langka menurut para petani adalah pupuk SP26 dan NPK Poska,” ungkap anggota DPRD Pandeglang, Muhadi, Kamis (24/4).
Politisi dapil Cikeusik ini mengatakan, memasuki masa tanam kedua pada tahun ini para petani sangat membutuhkan pupuk agar produksi padi tetap berjalan. “Sangat disayangkan sejak memasuki masa tanam empat pekan lalu para petani tidak kunjung mendapatkan pupuk bersubsidi,” katanya.
Kepala Bidang Sarana Prasarana dan Perlindungan Tanaman (SPPT) Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Pandeglang, Nasir mengakui, jika telah terjadi kelangkaan pupuk di Kecamatan Cikeusik.
Distanbun, ungkap dia, sudah berkoordinasi dengan PT Petrokimia Gersik dan PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) untuk menyediakan pupuk bersubsidi. Mekanisme penebusan pupuk bersubsidi harus sudah di
update beberepa pekan sebelum didistribusikan ke sejumlah agen.
“Di Kecamatan Cikeusik baru empat desa yang memasuki masa tanam dan kita sudah konfirmasi ke Petrokimia Gersik agar memperlancar distribusi pupuk bersubsidi,” ungkap Nasir.
Pihaknya menjamin, jika distribusi pupuk ke petani di Kabupaten Pandeglang pada tahun anggaran (TA) bisa berjalan lancar. Agara distribusi itu berjalan lancar minimal dua minggu sebelum dilakukan pemesanan via online, pihaknya sudah mempersiapkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
“Kita jamin distribusi pupuk berjalan lancar hingga akhir tahun. Untuk distribusi Mei dan Juni kita sudah update sejak 15 April lalu,” pungkasnya. (haryono)

http://poskotanews.com/2014/04/25/h-pupuk-bersubsi-di-pandeglang-langka/

Pupuk Langka, Petani Grobogan Panik

Jumat, 25 April 2014

GROBOGAN (KRjogja.com) – Petani di Grobogan panik lantaran kuatir produksi hasil panen padi mereka pada musim tanam kedua (MT-II) turun, menyusul tidak adanya pupuk urea bersubsidi di pasaran daerah itu. Padahal saat ini, puluhan ribu hektare tanaman padi sudah waktunya dilakukan pemupukan.

Akibatnya, harga pupuk di daerah itu tak terbendung antara Rp 1.750 - Rp 1.850, atau melebihi harga eceran tertinggi (HET) Rp 1.600 perkilogram. Menurut informasi, kelangkaan pupuk urea bersubsidi disebabkan terbatasnya pupuk di gudang lini tiga (gudang pupuk tingkat kabupaten) milik PT Pusri di Ngrombo Desa Depok.

“Jika ada stok, jumlahnya relatif kecil dibanding dengan kebutuhan petani,” ujar Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jateng Agus Eko Cahyono, Jumat (25/04/2014).

Menurut Eko kelangkaan pupuk di tingkat petani justru setelah Kementerian Perdagangan mengeluarkan SK Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013. Dimana isinya masalah pendistribusian pupuk tidak ditangani langsung oleh produsen, melainkan oleh PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). Jika kelangkaan tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan tanaman padi, yang bisa mengakibatkan menurunnnya produksi dan produktivitas hasil panen. Padahal Grobogan merupakan daerah andalan pangan Jateng karena setiap tahun daerah itu selalu surplus sekitar 150 ribu ton beras untuk membantu stok pangan nasional.

Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (Dipertan TPH) Grobogan Ir Edhy Sudaryanto MM mengakui kelangkaan pupuk di daerahnya. "Sejak empat tahun lalu, kebutuhan pupuk petani Grobogan selalu tercukupi. Tahun 2014 ini terjadi kelangkaan. Itupun berdasarkan SK Gubenur Jateng, jatah pupuk urea bersubsi petani Grobogan berkurang dari tahun lalu sebesar 72.485 ton menjadi 59.358 ton,” jelasnya. (Tas)

http://krjogja.com/read/213610/pupuk-langka-petani-grobogan-panik.kr

Kamis, 24 April 2014

Pupuk Subsidi Langka, Petani di Lamongan Menjerit

Kamis, 24 April 2014

Lamongan – Kelangkaan pupuk jenis urea dan ZA yang belakangan terjadi di Kabupaten Lamongan membuat sejumlah petani menjerit. Pasalnya, sejak mulai musim tanam padi ke-dua tahun ini keberadaan pupuk yang dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan padi yang usia tanamnya 2 hingga 3 minggu raib entah ke mana.
Sebut saja salah satunya yang terjadi di Kecamatan Sukodadi, Lamongan, hingga padi para petani berumur 12 hari warga masih kesulitan mencari pupuk. Hal itu, tak urung membuat para petani ketar-ketir dikarenakan takut tanaman padi mereka tak bisa tumbuh normal.
“Sejak awal tanam hingga hari ini kami masih belum menerima jatah pupuk subsidi baik Urea, SP maupun ZA dari pemerintah. Hal ini tentu saja membuat khawatir para petani,” ujar Sujam, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Plumpang, Sukodadi kepada deliknews.com, Rabu (23/04).
Parahnya, kalaupun ada pupuk subsidi yang dibutuhkan para petani, harganya sangat jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang telah dipatok pemerintah. Parahnya lagi, tak jarang para petani harus menitipkan uang terlebih dahulu ke para penjual pupuk untuk bisa memperoleh pupuk yang diinginkan.
“Rusak mas kalau begini caranya, masa pupuk urea yang mestinya harga HET hanya Rp95 ribu sekarang naik menjadi Rp145 ribu. Pupuk ZA juga demikian, harganya naik menjadi Rp130 ribu, ini khan namanya menyengsarakan petani,” katanya, geram.
Disamping itu, kata dia, banyak ketidak adilan yang terjadi terkait plot distribusi pupuk subsidi antara satu kecamatan dengan kecamatan lain. Ia mencontohkan adanya perbedaan yang tajam antara Kecamatan Sukodadi yang jatahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kecamatan lain yang notabene jumlah RDKK penerima pupuk subsidinya hampir sama.
Lebih lanjut, Sujam, mengaku mengendus adanya permainan curang pada tingkat distributor dan kios resmi pupuk sehingga keberadaan pupuk subsidi untuk kebutuhan petani beralih fungsi menjadi pupuk non subsidi. “Saya menduga ini pasti ada bandar besar yang menyelwengkan pupuk subsidi ini untuk kepentingan para pengusaha yang culas itu,” imbuhnya.
Sebagai ketua Gapoktan yang menjadi tumpuan para petani dalam hal pembagian pupuk subsidi di tingkat desa, ia menghimbau kepada pihak-pihak terkait agar segera menuntaskan urusan kelangkaan pupuk yang terjadi merata diseluruh Lamongan tersebut. Ia juga mengaskan, bahwa plot jatah pupuk subsidi tiap-tiap kecamatan agar segera ditinjau ulang lantaran ada ketidak adilan di dalamnya.
“Jika terus-terusan pupuk langka seperti ini, saya bertekad akan membuat pengaduan resmi soal ini kepada pihak terkait. Bahkan kalau perlu saya akan melakukan hearing dengan DPRD Lamongan atas hilangnya pupuk subsidi yan terjadi di sini,” pungkas pria yang juga aktivis salah satu parpol tersebut.

http://www.deliknews.com/2014/04/24/pupuk-subsidi-langka-petani-di-lamongan-menjerit/#.U1kTreOSzME

Pupuk Langka, Suswono Salahkan Dahlan Iskan

Kamis, 24 April 2014

TEMPO.CO, Surakarta - Para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pupuk bersubsidi rupanya saling melempar tanggung jawab dalam soal kelangkaan pupuk bersubsidi di tengah masyarakat. Pekan lalu, di Surakarta, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menolak disalahkan atas langkanya pupuk bersubsidi.

Dia menyebutkan Pupuk Indonesia hanyalah penyalur pupuk bersubsidi sesuai dengan rekomendasi Kementerian Pertanian. Secara terbuka dia menyalahkan rencana kebutuhan petani yang disetujui Kementerian Pertanian yang dia nilai tidak akurat.

Namun kini giliran Menteri Pertanian Suswono yang tak mau disalahkan. Menteri Suswono menyebut kelangkaan pupuk bersubsidi menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN.

“Bukan kami yang menentukan HPP (harga pokok penjualan),” katanya di Surakarta, Kamis, 24 April 2014. Menurut dia, anggaran subsidi pupuk tahun ini ditetapkan Rp 18 triliun. Namun karena HPP pupuk naik karena banyak komponen produksi pupuk yang masih diimpor, anggaran tersebut tidak mencukupi.

“Hanya bisa mensubsidi 7,6 juta ton pupuk. Padahal kebutuhannya 9,5 juta ton pupuk. Jadi pasti ada kelangkaan,” ucapnya.

Selain itu, dia menuding adanya distributor nakal. Dia mencurigai adanya distributor pupuk yang sengaja menahan stok sehingga pupuk terkesan langka. Kemudian ada pula distributor yang menjual pupuk bersubsidi dengan harga di atas ketentuan pemerintah. Dia juga menduga ada distributor yang menjual pupuk di luar wilayah yang sudah ditentukan.

“Jadi kalau mau protes, harusnya protes ke Kementerian Perdagangan. Jangan ke kami,” katanya. Dia mengklaim, Kementerian Pertanian tidak terlibat langsung dalam penyaluran pupuk subsidi. Sebab, tugas Kementerian Pertanian hanya mengalokasikan anggaran.

Selain itu, dia melanjutkan, protes juga bisa disampaikan ke Kementerian BUMN. Sebab, Kementerian BUMN yang bertugas menyalurkan pupuk bersubsidi.

Menurut dia, pemerintah akan berupaya mengatasi selisih kebutuhan pupuk sebanyak 2 juta ton itu. Salah satu caranya yakni mengajukan anggaran tambahan di APBN Perubahan 2014. Solusi lainnya adalah dengan mekanisme subsidi dibayar lewat anggaran tahun depan.

Kebutuhan Naik, Pupuk Langka

Kamis, 24 April 2014

MAGELANG- Pupuk bersubsidi di beberapa wilayah Kabupaten Magelang, sejak beberapa hari terakhir ini mengalami kelangkaan. Karena musim hujan belum berlalu, dimanfaatkan untuk menanam padi, sehingga terjadi peningkatan kebutuhan pupuk.

"Terutama di wilayah yang sedang menghadapi masa tanam pertama tahun ini," kata Masrur, Kabag Perekonomian Pemkab Magelang, kemarin.

Sementara alokasi pupuk bersubsidi tahun ini berkurang. Jatah pupuk urea pada 2013 mencapai 20.800 ton, tahun ini tinggal 6.833 ton. Pupuk SP36 tahun lalu 2.295 ton, 2014 menjadi 2.118 ton. "Alokasi pupuk ZAsemula 7.055 ton, tahun ini tinggal 4.342 ton, dan NPK tahun lalu masih 8.475 ton, sekarang dialokasikan 7.985 ton.

Untuk Petroganik menyusut dari 18.285 ton menjadi 13.998 ton," kata Soepriyono Poedji, Kasubag Produksi Daerah Bagian Perekonomian. Sebenarnya pemkab sudah membuat kebijakan, kekurangan urea di suatu wilayah bisa dicukupi dengan mengambil persediaan di kecamatan lain yang belum terserap. Tapi, sejauh ini belum ada permintaan dari petani melalui camat setempat.

Tersendat

Tetapi di lapangan, kalangan pengecer pupuk di sejumlah wilayah mengeluh kesulitan memperoleh pasokan pupuk bersubsidi. Baik pupuk jenis urea, ZA, Phonskamaupun organik.

Menurut Sodikin, pengecer pupuk di Kecamatan Sawangan, mulai Maret 2014 pasokan mulai tersendat. Padahal dalam kondisi normal, dia biasa menerima pasokan Urea hingga delapan ton/bulan. Bahkan pasokan dari distributor bisa datang kapan saja, saat dibutuhkan.

Siti Matonah, pengecer pupuk di Kecamatan Muntilan, mengeluhkan persoalan serupa. "Banyak petani yang sampai titip uang, terpaksa saya kembalikan. Karena sulit memastikan kapan pupuk datang," ungkapnya. Asnawi, petani Gondowangi, Sawangan, kreatif. Karena sulit mencari pupuk kimia dia kembali ke pupuk kandang.

"Saya terpaksa membeli pupuk jenis lain, karena urea yang saya butuhkan tak dijual di toko pertanian," tutur Sigit, petani Desa Ngadipuro, Kecamatan Dukun. (pr-28,48)

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/04/24/259627

Rabu, 23 April 2014

Pupuk Bersubsidi Langka

Rabu, 23 April 2014

MUNGKID—Sejumlah petani di Kabupaten Magelang mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi dalam beberapa bulan terakhir. Sehingga banyak petani yang harus kerja ekstra membuat pupuk sendiri.
Menurut Sodikin, salah seorang pengecer pupuk di Kecamatan Sawangan, mengatakan, kelangkaan pupuk saat ini terjadi pada urea, phonska, ZA, dan petroganik.
Setelah sebelumnya sempat langka pada akhir tahun 2013, menurut dia, pasokan urea akhirnya kembali lancar pada Januari-Februari 2014. Namun, mendadak pada Maret 2014 hingga sekarang, urea kembali menghilang di pasaran. Pada kondisi normal, pasokan urea yang diterima Sodikin mencapai delapan ton per bulan. Dalam dua bulan terakhir, hal serupa juga terjadi pada petroganik. ”Padahal, pada pengalaman sebelumnya, saat urea langka, petani biasanya akan beralih pada Petroganik,” ujarnya, kemarin.
Dia mengatakan dalam dua bulan ini, ZA dan phonska juga sulit diperoleh. Jika biasanya bisa kapan saja menambah pasokan, maka saat ini, pasokan baru diterima paling cepat dua minggu setelah meminta suplai pada distributor.
Hal serupa juga dirasakan oleh Siti Matonah, salah seorang pengecer pupuk di Kecamatan Muntilan. Kelangkaan urea yang terjadi saat ini, membuatnya terpaksa berkali-kali mengecewakan pembeli.
”Karena sulit memastikan kapan menerima pasokan, banyak titipan uang untuk pemesanan urea terpaksa saya kembalikan kepada pelanggan,” ujarnya. Menurutnya, kelangkaan urea ini sudah berlangsung sekitar enam bulan terakhir. Biasanya, saat kondisi normal, Matonah mengatakan, dirinya bisa menerima pasokan tiga hingga lima zak urea per hari. Satu zak berisi 50 kg urea. Namun, pada saat sekarang, untuk mendapatkan dua hingga tiga zak urea saja, dia bisa menunggu hingga tiga bulan.
Asnawi, salah seorang petani sayuran di Desa Gondowangi, Kecamatan Sawangan, mengatakan, setelah berbulan-bulan dipusingkan oleh kelangkaan urea, dia pun akhirnya memutuskan memakai pupuk kandang dari kotoran sapi. ”Di tengah kelangkaan pupuk seperti sekarang, saya khawatir harga urea nantinya juga melambung, dan makin tak terbeli. Saya pun akhirnya memutuskan memakai pupuk kandang saja,” ujarnya.
Baik dengan memakai pupuk kandang maupun pupuk kimia, Asnawi, mengatakan, dia tetap harus tetap memakai obat-obatan kimia untuk mengusir segala hama penyakit tanaman. Penggunaan obat-obatan tersebut tetap saja menguras biaya. Untuk 1.000 meter persegi tanaman cabai misalnya, dihabiskan biaya modal lebih dari Rp 3 juta. Namun, karena serangan begitu banyak hama, seringkali dirinya justru merugi.
Hal senada dirasakan petani di Temanggung. Keberadaan pupuk ZA yang sangat dibutuhkan petani menghilang di pasaran. Akibatnya, para petani terpaksa membeli pupuk pengganti berupa pupuk vertila yang harganya jauh di atas harga pupuk ZA.
Untuk memperoleh ZA sesuai kebutuhan, para petani harus mencari di luar kota, itupun persediaan belum tentu ada.
Sehingga untuk menghemat ongkos produksi, para petani terpaksa harus mengganti dengan jenis pupuk veritla yang harganya tinggi. ”Harganya lebih mahal, tetapi memang kami sangat butuh jadi kami beli,” kata Wuwuh, 33, petani tembakau di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung.
Untuk menanam 10 ribu batang tembakau, ia harus menghabiskan sebanyak tujuh kuintal pupuk ZA dan tiga kuintal pupuk vertila. Musim tanam yang baru saja dimulai membutuhkan pupuk sebagai penguat agar kualitas tembakau dapat optimal sehingga tahan terhadap penyakit tanaman. ”Sampai sekarang kami masih sulit mendapatkan,” akunya.
Sejauh ini, pihaknya hanya mampu mengumpulkan sebanyak 3,5 kuintal pupuk ZA yang diperoleh dari Parakan, Temanggung dan dari Kabupaten Wonosobo. Harganya juga naik dari harga biasanya. Sebelumnya, harga pupuk ZA Rp 87 ribu per sak, namun sejak kelangkaan naik menjadi Rp 95 ribu per sak kemasan 50 kilogram. (vie/zah/lis)


Pupuk Subsidi di Gresik Langka

Selasa, 22 April 2014

Gresik (beritajatim.com) - Mengatasi kelangkaan pupuk bersubsidi di wilayah Gresik. Bupati Sambari Halim Radianto meminta tambahan kuota ke PT Petrokimia Gresik.

Jatah pupuk subsidi untuk petani Gresik, selama musim tanam bulan April hingga September 2014 setelah mendapat tambahan. Masing-masing, pupuk urea 1221 ton dari kuota sebelumnya 1050 ton. Pupuk Phonska naik menjadi 1241 ton dari kuota semula 1059 ton.

"Saya kira jumlah ini cukup untuk kebutuhan petani pada musim tanam April sampai September 2014," kata Sambari Halim Radianto, Selasa (22/4/2014).

Sebelumnya, Bupati Gresik Sambari Halim Radianto mendatangi PT Petrokimia Gresik (PKG), meminta tambahan pupuk subsidi akibat adanya kelangkaan di kalangan petani.

Mengenai penambahan jumlah kuota pupuk tersebut bupati berharap kepada semua kelompok tani yang ada di Gresik untuk menebus jatah pupuk tersebut.

"Kalau jatahnya sudah ditambah, kami mohon semua petani melalui para ketua kelompok taninya untuk segera menebus. Karena kalau tidak ditebus, pada musim tanam yang akan datang akan dikurangi. Karena dianggap petani tidak butuh pupuk bersubsidi," tandas Sambari Halim Radianto. [dny/ted]

http://m.beritajatim.com/ekonomi/204839/pupuk_subsidi_di_gresik_langka.html#.U1cFhOOSzMF

Pupuk Bersubsidi Langka di Cirebon

Selasa, 22 April 2014

TEMPO.CO, Cirebon - Petani di Kabupaten Cirebon kesulitan mendapatkan pupuk NPK bersubsidi. Penyebabnya, pupuk tersebut hilang di pasaran. "Saya sudah berkeliling mencari pupuk NPK bersubsidi, tapi tidak ada satu kios pun yang menjual pupuk NPK bersubsidi, " kata Narita, petani asal Desa Girinata, Kecamatan Dukuhpuntang, Kabupaten Cirebon, Selasa, 22 April 2014.

Menurut dia, sejumlah kios yang didatanginya kebanyakan menjual pupuk NPK nonsubsidi. Harganya pun cukup mahal, yakni Rp 9 ribu per kilogram. Namun karena tidak ada pilihan, dia terpaksa menggunakan pupuk NPK nonsubsidi. "Itu pun belinya utang dulu dan dibayar saat panen," kata Narita. Dengan sistem pembelian utang, "Harganya menjadi Rp 11 ribu per kilogram."

Narita mengaku berutang hingga Rp 3,3 juta karena untuk satu hektare lahan dibutuhkan 300 kilogram pupuk NPK. Padahal, jika dia menggunakan pupuk NPK bersubsidi, uang yang dikeluarkan hanya Rp 690 ribu.

Hal yang sama diungkapkan petani asal Desa Cipanas, Kecamatan Dukuhpuntang, Solikun, 45 tahun. "Karena tak juga mendapatkan pupuk NPK bersubsidi, saya terpaksa menggunakan pupuk NPK nonsubsidi," katanya.

Solikun mengatakan dia tidak memiliki pilihan lain karena saat ini tengah mengejar masa tutup tanam. Kalau pemupukan ditunda-tunda, tanaman padinya terancam kekeringan. Sebab, masa panen diprediksi akan jatuh pada musim kemarau. Solikun hanya berharap agar nantinya harga gabah saat panen raya tidak jatuh. Dengan begitu, dia bisa menutup pengeluaran untuk pembelian pupuk NPK yang cukup besar.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Perkebunan Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Cirebon, Wasman, mengakui bahwa kuota pupuk NPK bersubsidi tahun ini tidak sesuai dengan kebutuhan petani. "Kuota NPK bersubsidi tahun ini hanya 18.384 ton. Padahal kebutuhan petani mencapai 47 ribu ton," kata Wasman. Ini berarti masih ada kekurangan sekitar 28.616 atau kira-kira 61 persen dari kebutuhan.

Tak hanya NPK, kebutuhan pupuk bersubsidi lainnya pun tidak sesuai dengan kuota. Misalnya pupuk SP36 yang kuotanya hanya 4.613 ton, padahal kebutuhannya mencapai 13 ribu ton. Juga pupuk ZA yang kuotanya hanya 8.880 ton dari kebutuhan yang mencapai 18 ribu ton serta pupuk organik yang alokasinya hanya 3.699 ton. Padahal kebutuhannya mencapai 58 ribu ton.

http://www.tempo.co/read/news/2014/04/22/058572430/Pupuk-Bersubsidi-Langka-di-Cirebon

Selasa, 22 April 2014

Petani Wonogiri Mulai Minati Pola Tanam Organik

Selasa, 22 April 2014

Wonogiri – Komunitas petani di wilayah Kabupaten Wonogiri bagian selatan kini mulai meminati pola tanam organik. Selain irit biaya, pola pertanian organik ini juga membuat hasil produksi meningkat.

Wardi, petani Dusun Pendem, Desa Sendangagung, Kecamatan Girowoyo mengaku mulai menanam jenis padi hitam (Black Rice) dengan pola tanam organik, beberapa kali masa tanam ini. Hasilnya, perbatang padi mampu menghasilkan 380 bulir sampai 400 bulir. Dibandingkan sebelum menerapkan pola organik, hasil bulir padi hanya sekitar dua pertiganya.

“Saya menggunakan pupuk organik dan penggunaan mikroba mulai sekitar tiga kali masa tanam yang lalu. Tanpa sedikitpun menggunakan pupuk kimiawi,“ kata Wardi.

Hal senada,diutarakan Widodo, petani dari Dusun Sanan, Desa Waru, Kecamatan Slogohimo yang menuturkan, semenjak menggunakan pola tanam organik, biaya operasional mengalami penyusutan. Dari semula Rp 2,5 juta dalam satu hektar, kini menjadi menjadi Rp 1,5 juta. Dirinya menanam padi jenis Merauke.

Selain pemupukan dengan pola organik, Widodo pun melakukan pengobatan dengan sistem alami, dimana dirinya memanfaatkan tumbuhan di sekitar desa. Saat ini hampir 50% warga masyarakat Desa Waru sudah beralih ke pola tanam organik.

“ Panenan jauh lebih meningkat. Dibandingkan sebelum menggunakan pola organik, dalam satu pathok mendapatkan, paling mendapatkan 15 sampai 20 karung atau sekitar 800 kilogram. Setelah  menggunakan pola organik menjadi, 70-an karung atau 2,8 ton,setelah itu tanahnya pun juga lebih mudah dicangkul, Mas, “ tutur Widodo.

Menurut Kepala Gudang Bulog 307 Wonogiri, Nugroho, pola tanam organik serta pemanfaatan mikroba terbukti mampu meningkatkan hasil produksi, sekaligus menurunkan biaya produksi. Dengan demikian, kesejahteraan juga diharapkan bertambah. Terlebih jika padi yang ditanam adalah kualitas bagus, seperti beras hitam dan varietas Merauke.

“Dengan pola seperti itu, akan beralih para petani menjadi berpikir modern. Jadi mengelola tanaman untuk mandapatkan penghasilan yang lebih baik, bukan hanya menyediakan ketersediaan pangan,yang jelas mereka juga dapat menjadi petani bisnis, “ terangnya.

http://www.timlo.net/baca/68719542856/petani-wonogiri-mulai-minati-pola-tanam-organik/

Pupuk Langka, Petani Gunakan Pupuk Seadanya

Senin, 21 April 2014

BOYOLALI - Dikarenakan pupuk langka di pasaran. Para petani terpaksa memupuk tanaman padinya dengan pupuk seadanya. Pupuk yang langka persediaannya di sejumlah pengecer pupuk di Boyolali yaitu jenis ZA dan urea.

Salah seorang petani Jembungan Banyudono, Sastro Suharjo, 55 tahun mengemukakan sebenarnya tanaman padi berumur 10 hingga 20 hari dipupuk dengan menggunakan pupuk urea, namun karena urea tidal tersedia, ia terpaksa memupuk dengan jenis pupuk Phosnka atau KCL.

Meski sebenarnya lanjut Sastro, pemberian pupuk phosnka pada umur pada 10 hingga 20 hari kurang tepat karena dengan seusia tanaman padi seumur 16 hari merupakan masa pertumbuhan dan bukan masa pembuahan dan paling tepat dipupuk urea.

“Ya, gimana lagi pupuk urea dan ZA tidak tersedia di toko maupun kios pertanian, kami telah berusaha berkeliling mencari urea dan ZA dimana – mana tidak ada dan yang ada hanya Phonksa, daripada tidak dipupuk sama sekali ya kami pupuk phonska daripada tidak dipupuk ,“ tegas Sastro.

Sebenarnya pupuk Phonska itu sangat tepat untuk padi berumur 40 hingga 50 hari saat tanaman padi akan berbuah/berbulir. Hal senada disampaikan petani Desa Ngaru – Aru, Marno Raharjo ( 50). Menurut Marno, pihaknya merasa kesulitan mencari pupuk urea dan ZA untuk memupuk tanaman jagungnya. Sehingga berusaha mencari jenis pupuk tersebut ke sejumlah pengecer pupuk resmi di wilayah Banyudono, namun hasilnya nihil alias tidak menemukan pupuk pupuk urea dan ZA satu sakpun.

Sementara terkait sulitnya petani mendapatkan pupuk bersubsidi pada Masa Tanam-2 (MT-2) pada bulan April ini, Pemkab Boyolali melalui Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) meminta distributor pupuk di Boyolali mencairkan jatah quota pupuk pada bulan berikutnya yakni kuota bulan Mei 2014 mendatang.

Kepala Distanbunhut Kabupaten Boyolali Bambang Purwadi, beberapa waktu yang lalu di kantornya menegaskan distributor pupuk di Boyolali telah mengajukan surat rekomendasi ke Distanbunhut untuk pencairan kuota pupuk bulan Mei 2014 mendatang.

“Kami telah menerima surat permohohonan rekomendasi dari distributor untuk pencairan pupuk bulan Mei 2014 dan kami menyetujuinya dengan pengajuan pencairan pupuk pada bulan Mei itu bisa mencukupi kebutuhan petani di Boyolali saat ini,“ tegas Bambang. Selanjutnya untuk quota pupuk pada bulan Mei bisa ditambah pengajuan pupuk pada bulan Juni mendatang dan seterusnya.

“Bulan Juni dan Juli 2014 nanti kuota distribusi akan kami evaluasi dan membuat RDKK dan jika memang pada semester dua pupuk kurang nantinya kami akan mengajukan tambahan kuota pupuk bersubsidi ke Gubernur Jawa Tengah,“ katanya. Dengan langkah pencairan kuota pupuk pada bulan berikutnya ini diharapkan kelangkaan pupuk di Boyolali tidak terjadi kelangkaan sekaligus kebutuhan pupuk petani terpenuhi secara optimal. (Humas Boyolali).

http://www.jatengprov.go.id/id/newsroom/pupuk-langka-petani-gunakan-pupuk-seadanya

Pupuk Langka Petani Padang Lawas Menjerit

Senin, 21 April 2014

Sibuhuan-andalas Masyarakat Kabupaten Padang Lawas (Palas) khususnya kalangan petani, sejak beberapa minggu terakhir  mengeluhkan tentang kelangkaan pupuk terutama pupuk bersubsidi. Sejumlah pengecer resmi pupuk bersubsidi ditemukan tidak memiliki stok dan ketersediaan pupuk bersubsidi.
Di sejumlah agen pengecer resmi, tidak didapatkan pupuk bersubsidi yang tersedia untuk dijual kepada petani, terutama pupuk jenis urea yang selain dibutuhkan petani tanaman pangan dan hortikultura juga masih diminati banyak kalangan pekebun kelapa sawit seperti di kawasan Hutarja Tinggi, kecamatan cakupan Palas yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Keterangan yang dihimpun andalas, Jumat (18/4) mengatakan, kelangkaan pupuk urea di Kecamatan Hutaraja Tinggi adalah ekses dari beralihnya perusahaan distributor pupuk urea bersubsidi dari yang sudah berpengalaman menjadi distributor khusus pupuk ke perusahaan yang tidak jelas visi dan tujuan dari perusahaan yang menjadi distributor khusus Kecamatan Hutaraja Tinggi, Kecamatan Aek Nabara Barumun dan Kecamatan Huristak berkedudukan di desa Aliaga, Kecamatan Hutaraja Tinggi.
Menurut sejumlah petani di Kecamatan Hutarajatinggi yang ditemui andalas mengungkapkan, ada dua kemungkinan terjadinya kelangkaan pupuk urea bersubsidi di kawasan tersebut. Pertama kemungkinan pasokan pupuk urea bersubsidi yang diperuntukkan untuk tiga Kecamatan (Hutaraja Tinggi, Aek Nabara Barumun dan Huristak) diduga diseludupkan ke daerah lain. Sedangkan kemungkinan kedua adalah tidak adanya kemampuan CV Maju Jaya Aliaga menjadi distributor yang benar-benar bertujuan mulia mendistribusikan pupuk secara baik dan benar untuk rakyat petani.
“Sepertinya Perusahaan CV Maju Jaya Aliaga hanya bernafsu besar tetapi tidak memiliki tenaga alias “Nafsu Besar Tenaga Nol” dalam memenuhi kebutuhan pupuk urea bersubsidi di tiga kecamatan tersebut,” kata mereka para petani pekebun kelapa sawit dan petani komoditi pertanian di Kecamatan Hutaraja Tinggi.
Dikatakan, tingginya kebutuhan pupuk urea bersubsidi di Kecamatan Hutaraja Tinggi adalah  akibat dari masyarakat di kecamatan ini dominan sebagai pekebun kelapa sawit. Perkiraan kebutuhan pupuk urea bersubsidi untuk Kecamatan Hutaraja Tinggi bisa mencapai 80 ton lebih setiap bulannya. Yang terpenuhi selama ini paling syukur 35 ton setiap bulannya.
Kepala Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Perkebunan Aliaga, Kecamatan Hutaraja Tinggi, Adam Malik Siregar yang dikonfirmasi andalas via telephon selular, Jum’at (18/4) membenarkan, terjadinya kelangkaan pupuk di wilayah Kecamatan Hutarajatinggi. Pasalnya, jatah pupuk untuk petani perkebunan pertahun hanya 190 ton dibagi untuk 31 desa. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan sangat minim dan sedikit.
“Tidak semua petani mendapatkan pupuk bersubsidi, karena terbatasnya jatah pertahun. Sehingga sulit  terbagi. Untuk mengatasi kelangkaan yang terjadi, kita telah mengajukan rencana kebutuhan pupuk bagi kalangan petani (RBKK) kepihak PT Pertani untuk penambahan jatah pupuk di Kecamatan Hutarajatinggi, tetapi sampai sasat ini belum ada jawaban,” pungkasnya. (ISN)

http://harianandalas.com/kanal-ekonomi/pupuk-langka-petani-padang-lawas-menjerit

Senin, 21 April 2014

Musim Tanam Padi, Pupuk Menghilang

Senin, 21 April 2014

KEBUMEN (KRjogja.com) - Ditengah persiapan petani memasuki musim tanam padi, pupuk justru menghilang dari pasar. Para pengecer pupuk di kota Kebumen, Kutowinangun, Gombong dan beberapa kota kecamatan di Kebumen, mengaku sejak awal April 2014 lalu mereka benar-benar tak memiliki persediaan pupuk.

"Sejak sebulan terakhir ini pupuk di toko kami kosong. Distributor belum memberitahu kapan pupuk datang," jelas Toni (30), pedagang eceran pupuk  di Jalan Kolopaking   Kebumen, di tokonya, Senin (21/04/2014).

Menurut Toni, di tengah-tengah kekosongan pupuk itu banyak petani yang datang ke tokonya dan menyatakan membutuhkan pupuk untuk musim tanam padi yang baru. Sejumlah pedagang eceran pupuk lainnya di Jalan Kolopaking Kebumen mengungkapkan hal yang sama. Tentu saja petani cemas mendapati kenyataan itu.

"Sekarang kami tengah mengolah tanah dan petani lainnya banyak yang sudah menyemai benih. Seusai bibit ditanam, pasti kami membutuhkan pupuk," ujar Ny Sukarsih (50), petani Desa Kemukus   Kecamatan Gombong   Kebumen.

Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian  Perdagangan dan Pengolahan Pasar (Disperindagpas) Kebumen,
Sri Wahyuroh SH, menegaskan bahwa dinasnya tak akan menutup mata terhadap permasalahan tersebut. (Dwi)

http://krjogja.com/read/213058/musim-tanam-padi-pupuk-menghilang.kr

Petani Bikin Pupuk Organik Sendiri

Senin, 21 April 2014

PUPUK SUBSIDI SULIT DIDAPAT
SRAGEN (KRjogja.com)- Memasuki musim tanam kedua, keberadaan pupuk urea di sejumlah wilayah Kabupaten Sragen mulai langka. Tidak hanya itu, pupuk urea yang sudah mendapat subsidi dari pemerintah harganya mencapai Rp 150 ribu persak, jauh melambung dari harga eceran tertinggi (HET) yang biasanya hanya sekitar Rp 90 ribu persak.

Kondisi ini membuat sebagian petani di Sragen mulai beralih menggunakan pupuk organik sampai kondisi kembali normal. Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno mengatakan, saat ini pupuk bersubsidi di sejumlah tempat memang mengalami kelangkaan. Kalaupun tersedia, harga jual di tingkat pengecer jauh melampaui HET.

Menurut Suratno, sejumlah kecamatan seperti Jenar, Tanon, Tangen, Sidoharjo, Kalijambe, dan Gemolong, harga jual pupuk urea sudah tembus hingga Rp 150 ribu persak ukuran 50 kilogram. Sementara untuk pupuk Phonska dengan HET Rp 115 ribu naik hingga Rp 140 ribu, pupuk ZA mencapai Rp 115 ribu dari HET Rp 70 ribu. Sedangkan SP 36 dengan HET Rp 105 ribu namun di pasaran meroket menjadi Rp 130 ribu. "Selain harga naik, stok pupuk sudah banyak berkurang. Kondisi ini tidak hanya terjadi di kios resmi tapi juga di sejumlah toko tidak resmi,” ujarnya di depan wartawan, Minggu (20/04/2014).

Suratno berharap pemerintah segera mengambil langkah cepat untuk mengatasi persoalan pupuk. Jika kondisi ini terus dibiarkan, petani diyakini tidak akan mampu mencapai target produksi beras. Pihaknya mengusulkan pemerintah bisa menerapkan penarikan kuota bulan berikutnya agar bisa digunakan untuk menutup kesulitan saat ini sambil menunggu realisasi usulan tambahan kuota. Langkah tersebut, jelasnya, diperbolehkan sesuai peraturan Permentan No 122/2013 pasal 7 ayat 5.

Sementara, sejumlah petani di Kabupaten Sragen berusaha mulai memanfaatkan pupuk organik untuk mengatasi kelangkaan pupuk kimia. Kendati petani belum begitu puas dengan hanya memakai pupuk organik, namun hal itu terpaksa dilakukan. "Sebagian memang mencampur pupuk organik dan kimia. Tapi ada juga yang hanya memakai pupuk organik meski hasilnya tidak bisa maksimal," ujar Satiman, salah satu petani di Kecamatan Karangmalang. (Sam)

http://kr.co.id/read/212985/petani-bikin-pupuk-organik-sendiri.kr

Hadapi MEA, Daya Saing Industri Gula Harus Ditingkatkan

Senin, 21 April 2014

KETUA Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono mengatakan, saat ini tantangan industri gula nasional sangat berat, apalagi implementasi ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA) 2015 sudah di depan mata. Dia pun meminta agar daya saing industri gula nasional harus ditingkatkan agar bisa menghadapi persaingan global.

Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa, konsumsi gula terus meningkat, namun di sisi lain pertumbuhan produksi lambat. ”Semua pemain industri gula nasional harus bergegas, apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata,” ujarnya.

Menurutnya, dengan kondisi saat ini, industri gula nasional sulit untuk bersaing dalam MEA. Khususnya dengan Thailand yang kini menjadi salah satu eksportir utama gula dunia. Sebagai perbandingan, produksi gula di Thailand berkisar 10,6 juta ton per tahun, sedangkan Indonesia pada 2013 mencatat produksi gula 2,55 juta ton. Rendemen (kadar gula dalam tebu) Thailand mencapai 11,82 persen, sedangkan Indonesia hanya di level 7 persen.

”Kapasitas total pabrik gula di Thailand sekitar 940.000 ton tebu per hari (tons of cane per day/TCD), masih jauh di atas Indonesia yang berkisar 205.000 TCD,” jelas Subiyono.

Ekspor gula Thailand mencapai 8 juta ton, di mana 30 persen di antaranya mengalir ke Indonesia. Adapun Indonesia adalah importir gula, terutama untuk memenuhi kebutuhan gula industri yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Subiyono mengatakan, untuk mendorong daya saing industri gula nasional, kuncinya ada pada tiga hal, yaitu efisiensi, diversifikasi, dan optimalisasi alias EDO. Tiga hal itu harus dilakukan bersamaan karena memang saling memengaruhi.

Selama ini, industri gula nasional belum efisien, terbukti dari biaya produksi gula yang masih mahal dibanding gula impor. Indonesia juga belum serius menggarap diversifikasi produk turunan tebu non-gula, seperti bioetanol dan listrik dari ampas tebu melalui program co-generation. Padahal, di Brasil, India, atau Thailand, diversifikasi produk sudah menjadi andalan pendapatan industri berbasis tebu.

Bahkan, di sebagian perusahaan berbasis tebu di luar negeri, pendapatan dari produk non-gula seperti bioetanol dan listrik dari ampas tebu sudah lebih besar dibanding pendapatan dari produk gula. ”Di Brazil, sekitar 18 persen kebutuhan energinya disumbang oleh bahan bakar berbasis tanaman tebu. Uang dari diversifikasi produk inilah yang ikut menyangga ekspansi pabrik gula di luar negeri untuk modernisasi mesin dan riset-riset budidaya tebu biar semakin produktif,” kata Subiyono.

Di Indonesia, diversifikasi produk belum digarap serius. Padahal, setiap 1 ton tebu setelah diproses bisa menghasilkan surplus listrik 100 kWh, bioetanol sebanyak 12 liter, dan biokompos sebesar 40 kilogram.

Terkait optimalisasi, Subiyono menambahkan, industri gula nasional belum optimal. Kapasitas giling dari 62 pabrik gula yang ada di Indonesia mencapai 205.000 ton tebu per hari (TCD). Dengan asumsi 170 hari giling dan rendemen 9 persen, maka produksi gula seharusnya 3,1 juta ton.

Faktanya, kini produksi gula konsumsi hanya di kisaran 2,5 juta ton. ”Artinya, belum optimal,” kata dia. Masalah optimalisasi ini juga terkait erat dengan tingkat teknologi. Sebagian pabrik gula masih menggunakan teknologi lama yang tak efisien. Menurut Subiyono, industri gula nasional harus total dalam memacu optimalisasi.

Optimalisasi kapasitas sangat relevan mengingat barrier to entry (hambatan untuk masuk) ke industri gula sangat tinggi. Industri gula merupakan industri padat modal dengan investasi USD 24 juta untuk pembangunan pabrik per kapasitas 1.000 ton.

Selain itu, produsen harus menyiapkan lahan budidaya tebu yang mencapai puluhan ribu hektar serta membangun infrastruktur berupa jalan untuk angkat-angkut tebu dan saluran irigasi. ”Barrier to entry yang tinggi ini membuat pemain lama bisa lebih eksis dan punya peluang lebih besar untuk memacu kinerja asalkan mempunyai strategi yang tepat,” pungkasnya. (eri/mas)

Produksi Padi Turun, Bulog: Stok Cukup

Minggu, 20 April 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) memperkirakan produksi padi tahun ini menurun akibat buruknya cuaca. Namun Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso tidak mengkhawatirkan kondisi itu.
Stok yang ada saat ini masih dalam kondisi aman.
"Stok bulog masih bisa untuk lebih dari enam bulan ke depan," kata Sutarto, Ahad (20/4).
Terkait target produksi tahun ini, Sutarto mengatakan masih perlu dilakukan evaluasi musim tanam kedua.
"Nanti dilihat hasilnya seperti apa," kata dia.
Pada awal tahun lalu, Bulog menyatakan target pengadaan beras sepanjang 2014 sebesar 3,8 juta ton dengan minimum cadangan 2 juta ton.

Minggu, 20 April 2014

Petani Kekurangan Pupuk

Sabtu, 19 April 2014

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta --- Petani merasa kesulitan mendapatkan pupuk guna menggarap lahan. Padahal pupuk merupakan salah satu unsur penting dalam meningkatkan produksi.

Ketua Umum Kontak tani Nelayan Andalan (KNTA) Winarno Tohir mengatakan pemerintah seharusnya menambah anggaran untuk subsidi pupuk. Kebutuhan pupuk nasional mencapai 9,2 juta ton per tahun. Angka ini lebih sedikit dari yang diajukan Pokja pupuk sebesar 9,55 juta ton.

Tahun ini subsidi pupuk dialokasikan sebesar Rp 21,04 triliun. Anggaran ini terdiri atas subsidi pupuk sebesar Rp 18,04 triliun dan untuk menambal kekurangan bayar tahun 2012 (audited) sebesar Rp 3 triliun. "Kami taksir kekurangan pupuk hingga 1,8 juta ton," kata Winarno, Jumat (18/4).

Selain menjaga kelancaran pupuk, pemerintah juga perlu memantau penyaluran benih dan penyediaan penyuluh pertanian. Akibat cuaca lembab, produksi beras diprediksi menyusut sekitar 2 juta ton.


http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/04/18/n48c8g-petani-kekurangan-pupuk

Sabtu, 19 April 2014

Di Wonogiri, Phonska Tembus Rp140.000!

Jumat, 18 April 2014

HARGA PUPUK MELAMBUNG

Solopos.com, WONOGIRI–Kelangkaan pupuk bersubsidi jenis phonska merajalela di wilayah Kabupaten Wonogiri sejak sebulan terakhir. Imbasnya, harga pupuk phonska terkerek hingga Rp140.000/sak.

Setelah wilayah Kecamatan Ngadirojo dan Tirtomoyo, kini pupuk bersubsidi jenis phonska hilang dari pasaran alias langka di wilayah Pracimantoro dan sekitarnya. Para petani menjerit lantaran tak mendapatkan pupuk untuk tanaman padi.

“Pupuk bersubsidi jenis phonska sudah tak ada lagi di pasaran. Padahal sekarang masa tanam (MT) padi sangat membutuhkan rabuk,” kata seorang petani asal Desa Gebang Harjo, Kecamatan Pracimantoro, Warsino kepada Solopos.com, Jumat (18/4/2014).

Kondisi kelangkaan pupuk ini terjadi sejak sebulan terakhir yang berdampak melonjaknya harga pupuk phonska di tingkat pasaran. Kini, harga pupuk phonska di tingkat pasaran mencapai Rp140.000/sak. Sebelumnya, harga pupuk phonska di wilayah tersebut senilai kurang lebih Rp120.000/sak.

“Dahulu, harga pupuk phonska diantar sampai rumah senilai Rp120.000/sak, itu kalau barangnya ada. Nah, kalau sekarang kan barangnya enggak ada, jadi harganya lebih mahal hingga Rp140.000/sak,” tandasnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan pemupukan tanaman padi dilakukan tiga kali dari MT hingga musim panen. Apabila tanaman padi tak diberi pupuk pada MT maka dikhawatirkan produktifitas padi bakal merosot tajam.

Sebenarnya, lanjut Warsino, pihaknya telah meminta tambahan pasokan pupuk kepada petugas penyuluh lapangan (PPL). Namun, hingga sekarang, pasokan pupuk bersubsidi tak kunjung terealisasi. “Sekarang kaum petani kalah dengan kaum kapitalis. Kami hanya wong cilik, mengapa pupuk bersubsidi bisa langka seperti ini. Yang menderita kan kami sebagai petani,” beber dia.

Pihaknya meminta agar instansi terkait segera turun tangan agar para petani kembali mendapatkan pasokan pupuk bersubsidi. Sebab, kelangkaan pupuk bersubsidi terjadi hingga lebih dari sebulan.

Di sisi lain, Kasi Usaha Sarana Pangan Dinas Perindustrian, Perdanganan dan UMKM (Disperindag dan UMKM) Wonogiri, Bambang Purwo Utomo menyatakan saat tim turun lapangan menemukan pupuk bersubsidi jenis phonska dan SP 36 yang diduga palsu di wilayah Kecamatan Nguntoronadi beberapa pekan lalu. Tak menutup kemungkinan, pupuk abal-abal tersebut telah beredar luas di wilayah Kota Gaplek.

Modusnya, penyaluran pupuk tersebut dilakukan pada petang hari sehingga terkesan mirip dengan pupuk asli. “Dari bentuk dan warnanya sangat mirip sekali, modusnya disalurkan pada malam hari agar konsumen tak terlalu curiga. Kami akan turun lapangan lagi untuk memantau penyaluran pupuk bersubsidi. Sebenarnya alokasi pupuk di Wonogiri sangat mencukupi selama setahun,” pungkas dia.

http://www.solopos.com/2014/04/18/harga-pupuk-melambung-di-wonogiri-phonska-tembus-rp140-000-503215

Jumat, 18 April 2014

Pupuk Diprediksi Langka

Kamis, 17 April 2014

SUMENEP – Petani diprediksi akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi pada tahun ini. Pasalnya, kuota pupuk untuk Kabupaten Sumenep mengalami penurunan hingga 3 ton dibadingkan tahun 2013.

Pada tahun ini Kabupaten Sumenep hanya mendapatkan kuota pupuk sebanyak 21 ribu ton. Sedangkan pada tahun 2013 mendapatkan sebanyak 25 ribu ton, khusus pupuk urea.

Sementara kebutuhan petani, sesuai dengan Rencana Definitif Kelompok Tani dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDK-RDKK) pada tahun 2014 sebanyak 46 ribu ton. Sehingga bisa dipastikan pada tahun ini di Kabupaten Sumenep akan kekurangan stok pupuk.

Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Dispertan) Sumenep Bambang Heriyanto menjelaskan, penurunan kuota pupuk pada tahun ini merupkan hasil dari kesepakatan dari Dinas Pendidikan dengan Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida.

”Jadi, kemarin saya sudah melakukan rapat dengan tim pengawas pupuk dan pesetisida, dan hasilnya memang pada tahun 2014, kuota pupuk memang mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2013 yang lalu,” katanya.

Dari jumlah pupuk yang telah ditetapkan itu, tidak hanya untuk jenis tanaman tembakau saja, melainkan untuk semua tanaman, yakni perkebunan dan tanaman lain yang membutuhkannya.

Akibat adanya penurunan kuota pupuk dari Pemerintah Provinsi Jatim, jika tidak ada penambahan kuota pupuk kedepannya, Bambang pesimis akan mencukupi kebutuhan petani.

Kendati demikian, pihaknya mengimbau agar petani tidak merasa resah. Sebab pihaknya mengaku tidak akan tinggal diam dan terus memperjuangkan agar di Sumenep ini tidak terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi.

Apalagi saat ini, pihak dispertan telah mengajukan surat relokasi penambahan pupuk bersubsidi terhadap Pemerintah Provinsi Jawa Timur. ”Itu hanya untuk antisipasi saja, siapa tahu dikemudian hari stok pupuk tidak mencukupi,” terangnya.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi B DRPD Sumenep Dwita Andriani meminta Dispertan sebagai leading sektornya untuk meminta kekurangan pupuk bersubsidi. Juga memperketat pengawasan.

Menurut Politisi PAN itu, kelangkaan pupuk bersubsubsidi itu terjadi karena banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh oknum tertentu. Dia mencontohkan, pupuk bersubsidi khusus untuk Kabupaten Sumenep, namun dalam realisasinya dijual sampai lintas kabupaten.

”Itu harus diawasi dengan maksimal, sebab hampir semuanya dibalik pendistribusian itu banyak yang suka mengambil keuntungan,” tukasnya.

http://www.koranmadura.com/2014/04/17/pupuk-diprediksi-langka/

Kamis, 17 April 2014

Kuota Berkurang, Harga Pupuk Bersubsidi Melejit

Kamis, 17April 2014

Solopos.com, SRAGEN – Menurunnya kuota dari pemerintah pada 2014, membuat harga pupuk bersubsidi melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan. Selain melonjaknya harga pupuk bersubsidi, pasokan di tingkat pengecer juga semakin menipis.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno, mengungkapkan berdasarkan laporan yang diterimanya, tingginya harga pupuk bersubsidi tersebut terjadi di wilayah Kalijambe, Jenar dan Tangen. “Informasi berada di wilayah Sragen utara Sungai Bengawan Solo. Karena kuota yang kurang sehingga harganya menjadi naik. Hukum pasar kan seperti itu,” urai dia saat ditemui wartawan di seusai pertemuan di ruang rapat Sekda Sragen, Rabu (16/4/2014).

Suratno menjelaskan berdasarkan laporan yang diterimanya harga eceran pupuk bersubsidi jenis urea mencapai Rp150.000/sak atau kebutuhan untuk 50kg pupuk. Padahal, HET untuk urea/sak hanya Rp90.000. Melonjaknya harga eceran pupuk bersubsidi juga terjadi pada jenis NPK Phonska yang mencapai Rp140.000/sak. Sementara, HET untuk NPK Phonska hanya Rp115.000/sak.

Diakuinya, selain harga eceran yang melonjak, penurunan kuota juga menyebabkan pasokan pupuk di tingkat pengecer semakin menipis. “Pantauan di wilayah Sragen barat masih ada. Tetapi, di sebelah utara semakin menipis sehingga harganya menjadi naik itu. sebenarnya dari distributor sudah menebus. Tetapi, kuota kan tetap kurang,” ujar dia.

Guna mengantisipasi harga pupuk bersubsidi yang semakin menyengsarakan para petani, pihaknya mengusulkan penarikan jatah pupuk bulan berikutnya untuk menutup kekurangan pupuk pada bulan ini. “Kami mengusulkan agar menarik stok bulan ke depan untuk saat ini. Hal itu tidak menyalahi Permentan No. 122/2013. Yang penting dari pemerintah sudah mengupayakan. Ini kan yang dilayani petani,” terangnya.

Disinggung penarikan tersebut menyebabkan stok pupuk untuk satu tahun habis sebelum waktunya, Suratno menilai pemerintah bisa melakukan penambahan subsidi pupuk di pertengahan tahun. “Kalau habis di pertengahan tahun kan ada mekanisme melalui APBN Perubahan. Kenapa tidak seperti itu?” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Sragen, Tatag Prabawanto, menjelaskan dari pertemuan yang melibatkan pihak produsen, distributor, KTNA, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) serta dinas terkait, kekurangan pupuk pada masa tanam kali ini bisa diambilkan dari kelebihan pasokan pupuk bulan sebelumnya atau mengambil alokasi pupuk bulan berikutnya. Hal itu mengacu pada Permentan No. 122/2013.

“Yang jelas, tidak melebihi kuota kebutuhan pupuk dalam satu tahun. Juga diperkenankan untuk merealokasikan kebutuhan pupuk pada kecamatan yang kelebihan,” ungkapnya.

Tatag menambahkan Dinas Pertanian (Dispertan) sudah mengajukan usulan penambahan kuota ke Gubernur Jawa Tengah (Jateng) pada 27 Maret lalu. Usulan tersebut intinya meminta tambahan kuota pupuk bersubsidi minimal sama dengan 2013.

http://www.solopos.com/2014/04/16/pupuk-bersubsidi-kuota-berkurang-harga-pupuk-bersubsidi-melejit-502852

Pupuk Urea Subsidi di Klaten Langka

Kamis, 17 April 2014

KLATEN- Keberadaan pupuk subsidi jenis Urea dari Pemerintah Pusat di Kabupaten Klaten langka. Kondisi ini disebabkan adanya pemotongan kuota pupuk yang mencapai 20 persen dibandingkan kuota tahun lalu. Selain petani, sejumlah pengecer pupuk pun mulai kebingungan.

Mujiyono, Salah seorang pengecer pupuk, di Manisrenggo, mengungkapkan, kelangkaan pupuk sudah terjadi sejak beberapa hari yang lalu. Selain pupuk urea, pupuk yang sulit didapatkan yakni pupu ZA dan juga Phonska. “Benar pupuk sekarang lagi sulit. Kemarin saja, kami minta ke distributor delapan ton pupuk urea, tetapi hanya diberikan empat ton saja. Itu pun tidak lama langsung habis diborong pembeli,” katanya kepada wartawan, Rabu (16/4).

Karena, sulitnya mendapatkan stok untuk sementara, Mujioyono tidak menjual pupuk tersebut. “Yang cari banyak, tetapi karena tidak ada barangnya kita tidak jual dulu. Kita, sampai memberikan pemberitahuan bahwa pupuk sedang kosong,” tambah Mujiyono. Terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian (Dispertan) Klaten, Joko Siswanto saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (16/4) mengatakan, sampai saat ini stok pupuk masih aman. Untuk itu, dirinya meminta kepada para petani maupun pengecer untuk tidak perlu khawatir.

“Untuk stok sampai saat ini masih aman, kita juga sudah minta kepada distributor agar segera menyalurkan pupuk tersebut,” katanya. Joko sendiri membenarkan, jika pasokan pupuk sedikit tersendat lantaran adanya pengurangan pasokan dari pemerintah pusat sebesar 20 persen. Guna mengantisipasi kekurangan pasokan, pihaknya berinisiatif untuk mengambilkan pasokan pupuk dari bulan depan untuk diberikan di bulan ini. “Untuk bulan Januari sampai April alokasi pupuk urea sebanyak 7.007 ton, dan yang sudah disalurkan sebanyak 6.254 ton. Jadi stok pupuk tinggal 753 ton untuk bulan ini,” terangnya. Ari Purnomo

http://joglosemar.co/2014/04/pupuk-urea-subsidi-di-klaten-langka.html

Rabu, 16 April 2014

NPK Bersubsidi Langka, Nonsubsidi Harga Naik

Rabu, 16 April 2014

SUMBER, (PRLM).- Petani di beberapa desa di Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi, terutama jenis NPK. Akibatnya, petani terpaksa berjudi dengan menggunakan pupuk non subsidi meskipun harganya melambung tinggi.

Salah seorang petani Desa Girinata, Narita (60) mengatakan, saat ini ia terpaksa membeli pupuk NPK non subsidi dari salah satu agen terdekat.

Dengan kelonggaran tempo pembayaran yang ditangguhkan sampai waktu panen, Narita rela berutang sampai Rp 11.000 per kilogram pupuk NPK yang ia dapatkan.

“Kalau bayar di muka sih harganya bisa sampai Rp 9.000 per kilogram. Namun saya tak punya uang saat ini, jadi ngutang dulu. Bayarnya nanti setelah panen dengan kelebihan Rp 2.000 per kilogram,” ujarnya.

Narita mengatakan, untuk satu hektar lahan yang digarap saat ini, dirinya membutuhkan pupuk NPK sekitar 300 kilogram. Artinya ia harus berutang sekitar Rp 3,3 juta pada musim tanam kali ini.

Padahal biasanya ia hanya membutuhkan Rp sekitar 690.000, karena NPK bersubsidi bisa diperoleh dengan harga Rp 2.300 per kilogram.

Hal serupa dirasakan oleh petani Desa Cipanas, Solikun (45). Ia mengaku sudah berkeliling mencari pupuk NPK bersubsidi, namun hasilnya nihil. “Yang bisa saya temui hanya NPK non subsidi yang harganya naik dari Rp 7.500 menjadi Rp 9.000 per kilogram,” ujarnya.

Solikun mengaku tak punya pilihan lain dan terpaksa membeli pupuk non subsidi demi mengejar tutup tanam secepat mungkin. Jika ditunda-tunda, ia khawatir tanaman padinya bisa mengalami kekeringan saat panen yang diperkirakan jatuh pada musim kemarau.

Solikun hanya berharap pada saat panen nanti, harga jual gabah di tingkat petani tidak anjlok seperti panen sebelumnya. “Kemarin saat panen, saya hanya bisa menjual gabah seharga Rp 3.800 per kilogram, padahal sebelumnya bisa mencapai Rp 5.000 per kilogram. Turunya sangat drastis, padahal harga pembelian pemerintah masih Rp 4.000,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, kelangkaan pupuk NPK bersubsidi di Kabupaten Cirebon memang diperkirakan bakal terjadi. Soalnya, kuota yang diberikan pemerintah pusat sangat jauh dari kebutuhan petani tahun ini.

Kepala Bidang Tanaman Pangan pada Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Wasman mengatakan, kuota NPK bersubsidi untuk Kabupaten Cirebon 2014 hanya mencapai 18.384 ton. Padahal kebutuhan petani mencapai 47.000 ton. Artinya masih ada kekurangan sekitar 28.616 ton atau sekitar 61 persen dari kebutuhan.

Selain NPK, kuota minim juga terjadi pada pupuk SP36 yang hanya mencapai 4.613 ton dari kebutuhan 13.000 ton. Begitu pula dengan pupuk ZA dengan kuota 8.880 ton dari kebutuhan 18.000 ton serta pupuk organik 3.699 tondari kebutuhan 58.000 ton. (A-178/A-89)***

http://www.pikiran-rakyat.com/node/277991




Pertaruhan Integritas KPK

Rabu, 16 April 2014

KASUS megaskandal korupsi proyek pembangunan kompleks olahraga Hambalang, Bogor, betul-betul menguras energi dan waktu. Komisi  antirasywah yang mestinya bisa segera menuntaskan perkara Hambalang dan kemudian berlari cepat mengusut kasus-kasus korupsi yang lain malah seperti tersandera.
KPK seolah kehilangan keahlian untuk mengurai labirin duit korupsi  yang diduga tidak hanya mengalir ke tempat yang jauh, tapi juga ke  lingkup terdekat mereka, yakni orang dalam KPK sendiri. Beberapa waktu lalu kabar itu masih berupa desas-desus, tetapi kini dugaan salah satu mantan pejabat eselon dua KPK bermain api telah menjadi fakta di persidangan.
Pada sidang perkara Hambalang di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin, dengan terdakwa Teuku Bagus Mokhamad Noor terkuak bahwa pada 2011 ada aliran dana sebesar Rp2 miliar kepada Deputi Penindakan KPK saat itu, Ade Rahardja, untuk mengamankan kasus Hambalang agar tidak naik ke tingkat penyidikan.
Dahsyat, bukan? Benar atau tidaknya memang belum bisa dibuktikan, biar  itu menjadi urusan persidangan di pengadilan. Namun, mendengar ada  dugaan ‘pengamanan’ kasus Hambalang oleh internal KPK saja sudah membuat kita bergidik dan tak habis pikir.
Sudah sebegitu kuatkah jari-jari kotor korupsi mencengkeram kehidupan  bangsa ini sehingga komisi yang begitu digadang-gadang bakal memberangus korupsi hingga ke akar-akarnya pun begitu mudahnya terkontaminasi? Lalu kepada siapakah kita mesti menggantungkan harapan atas pemberantasan rasywah di negeri ini jika lembaga yang mestinya menangani itu ternyata tidak steril dari nafsu penghambaan terhadap uang?
Fakta tersebut juga kian menegaskan kasus Hambalang benar-benar  menjadi pertaruhan kredibilitas KPK. Sebelum ini, publik tak pernah lelah mendorong KPK agar selalu menjaga stok keberanian mereka untuk menuntaskan drama skandal Hambalang tanpa tekanan dan intervensi  politik. Dari sisi itu, independensi KPK yang dipertaruhkan.
Kini, dengan dugaan adanya bekas pejabat KPK menerima aliran dana korupsi, berarti integritas KPK yang dipertaruhkan. Integritas lembaga itu akan berada di titik terendah bila kesaksian di persidangan kemarin terbukti  benar di kemudian hari.
Dengan indeks korupsi yang belum juga beranjak turun dari level tinggi, bangsa ini jelas masih membutuhkan KPK. KPK tetap harus menjadi  garda terdepan dalam upaya memerangi korupsi. Namun, tentu bukan KPK yang kotor yang kita butuhkan, melainkan KPK yang mampu memadukan antara keberanian, independensi, dan kebersihan diri.
Karena itu, demi tegaknya kepercayaan publik, KPK tidak boleh menutup  diri atau bahkan menutup-nutupi, bila memang orang yang pernah menjadi bagian dari diri mereka yang rusak dan ternoda.
Suap tetaplah suap, siapa pun pelakunya. Kini publik menunggu keseriusan KPK mengusut sekaligus membersihkan diri sendiri.

Selasa, 15 April 2014

Waspadai Impor Gula Untuk Dana Pemilu Parpol

Selasa, 15 April 2014

Jakarta, HanTer – Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng menilai, izin impor yang diberikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) kepada Perum Bulog patut diwaspadai.

Pasalnya, hal ini terjadi di saat pemilu sedang berlangsung dan hal ini tentu saja bisa mengundang kecurigaan cukup besar ada apa dibalik Pemerintah melakukan impor gula dari luar negeri.

"Impor gula dalam jumlah besar di sela sela pemilu ini patut diwaspadai, terutama karena rentan menjadi bancakan pengusaha untuk mendanai partainya dalam pemilu. Selain bahwa impor gula ini jelas merugikan kepentingan nasional, industri nasional, dan petani tebu kita," kata Salamudin menjawab Harian Terbit.

Dirinya berpandangan bahwa sejak awal pemerintah memang tidak serius membenahi pertanian tebu dan industri gula nasional. Akibatnya produksi gula merosot dibandingkan kebutuhan nasional. Untuk itu, pemerintah harus perlu mengevaluasi kembali liberalisasi gula di Indonesia. Salamudin mencontohkan, Liberalissi gula sebagaimana rekomendasi IMF 1998-2003 telah menyebabkan ambruknya tata niaga gula nasional dan tidak adanya mekanisme perlindungn terhadap petani tebu.

"Dengan demikian Bulog seharusnya menjalankan peran strategisnya melindungi petani dan industri nasional, jangan menjadi agen impor," kata Salamuddin.(za)


Indonesia Buka Keran Ekspor Beras

Selasa, 15 April 2014

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 19/M-DAG/PER/3/2014 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras pada 28 Maret 2014. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu 3 April 2014.

"Permendag ini diterbitkan mengingat beras merupakan barang kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia sehingga kegiatan pengadaan dan distribusi beras menjadi sangat penting dalam menciptakan stabilitas ekonomi nasional, menjaga ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, serta melindungi kepentingan konsumen,” ungkap Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Bachrul Chairi, Selasa (15/4/2014).

Dirjen Bachrul menyampaikan beberapa pokok pengaturan dalam Permendag tersebut yang terkait dengan ekspor beras yaitu ekspor beras hanya dapat dilakukan bila persediaan beras di dalam negeri telah melebihi kebutuhan.

Adapun jenis beras yang dapat diekspor meliputi beras yang tidak diproduksi melalui sistem pertanian organik, beras ketan hitam, dan beras organik dengan tingkat kepecahan paling tinggi 25%.

Selain itu, ekspor beras hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan ekspor dengan memperhatikan rekomendasi dari Kementerian Pertanian, kecuali untuk ekspor beras yang dilakukan oleh Perum BULOG, persetujuan ekspornya dengan memperhatikan rekomendasi dari Tim Koordinasi.

http://industri.bisnis.com/read/20140415/12/219706/indonesia-buka-keran-ekspor-beras-

Pupuk Urea Langka

Selasa, 15 April  2014

SEMARANG - Para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Ja­wa Tengah mengeluhkan kelangkaan pupuk, akhir-akhir ini.

Kelangkaan antara lain terjadi di Sra­gen, Demak, Kabupaten Semarang, dan se­ba­­­gian be­sar kecamatan di Kabupaten Grobogan.

Ketua KTNA Jawa Tengah Agus Eko Cah­yono mengatakan, pupuk urea yang biasa digunakan saat usia tanaman padi 1-7 hari dan 10-15 hari usai pe­na­na­man itu amat di­bu­tuh­­kan petani.

”Kalau sampai tak men­­dapat urea, tanam­an ra­wan ke­na ha­ma. Ke­lang­­ka­an pu­puk jus­tru ter­jadi saat pe­ta­ni se­dang sa­­ngat membutuhkan. Pemerintah ku­rang me­la­ku­kan antisipasi meng­­hadapi mu­sim ta­nam ulang akibat se­bagian pe­tani di Jawa Te­ngah gagal pa­nen ka­rena sa­wah te­rendam ban­­jir pa­da awal Januari lalu,” kata­nya, Se­nin (14/4).

Menurut Eko, kelangkaan pupuk itu bukan karena suplai yang kurang lancar, namun kebutuhan yang tingginya se­hingga menyebabkan produsen tak punya stok di gudang. Ia mencontohkan, saat ini pupuk urea seharusnya sudah tersedia di gudang, namun langsung ha­bis saat produsen mengirim barang. Kondisi itu akibat kebutuhan tinggi tapi pemerintah justru mengurangi kuota 18,6 persen dari kebutuhan di Jateng sebanyak 800 ribu ton.

”Ini masalah utama, sehingga petani kerepotan mendapatkan pupuk,” tandasnya.

Manajer Area Pemasaran Pusri Daerah Jawa Tengah Sutis­na membantah terjadi kelang­kaan urea. Menurut dia, selama ini pelayanan pembelian pupuk oleh petani didasarkan pada verifikasi dan validasi dari dinas pertanian.

”Jadi, petani yang tidak tercatat dalam RDDK (rencana definitif kebutuhan kelompok) sulit mendapatkan pupuk. RDKK berlaku ketika kuota Jawa Tengah dikurangi hingga 180 ribu ton pada 2014. Kelangkaan ini terjadi pada sejumlah petani ikan yang selama ini juga memerlukan urea untuk tambak. Seperti di Ka­bupten Pati ada laporan ke­lang­kaan, setelah saya cek ternyata me­reka peternak tambak,” katanya.

Menurut Sutisna, saat ini masih tersedia pupuk, namun distribusi baru dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari dinas pertanian yang bertugas mem­ve­ri­­fikasi dan membuktikan kebe­nar­an kebutuhan pupuk di lapangan. ”Distributor di daerah takut melayani secara bebas tanpa rekomendasi dari dinas, khawatir timbul penyelewengan,” katanya.

Alokasi Turun

Kepala Dinas Pertanian Ta­nam­an Pangan dan Hortikultura Jateng Suryo Banendro juga membantah kelangkaan pupuk di sejumlah kabupaten. Menurut dia, kondisi itu terjadi akibat berbagai faktor, salah satunya penurunan alokasi pupuk urea bersubsidi dari Kementerian Pertanian untuk Jateng. Pada 2013 alokasi 777.790 ton, tahun ini turun 113.390 ton atau 17,06 persen sehingga menjadi 664.400 ton.

Menurut dia, belum semua petani masuk RDKK sebagai persyaratan penyaluran urea ber­sub­sidi. Hal itu menyebabkan mereka tidak terlayani saat membeli pupuk. Karena itu, mereka kesu­lit­an karena tidak ada stok pu­puk urea nonsubsidi di pasaran.

Stok pupuk urea bersubsidi di PT Pusri dan PT Petrokimia terisi penuh dan siap didistri­busikan. Berdasarkan pendataan per 25 Maret, stok di distributor masih cukup untuk dua minggu berikutnya.

”Kenyataan di lapangan, reali­sasi pupuk urea bersubsidi sudah melebihi jumlah yang dikeluarkan pada Maret 2014. Bahkan, ada yang mencapai 110 persen dari alokasi kebutuhan. Karena itu, distribusi memang harus dikendalikan karena sebagian besar sudah melebihi stok,” tandasnya.

Suryo menjelaskan, penggunaan pupuk diperketat karena ditemukan pola tanam dari padi ke jagung yang membutuhkan urea tinggi. Ini menggeser penggunaan pupuk urea ke ZA. Imbasnya, kebutuhan pupuk ZA juga tinggi.

”Bukan hanya urea, pupuk ZA mungkin juga sulit dicari karena permintaan tinggi,” ungkapnya.

Menurut dia, kebutuhan urea bersubsidi di Jateng 777.790 ton. Jika Kementan mampu meme­nuhinya, maka diyakini tidak akan terjadi gejolak di tengah petani.

Pihaknya akan mengusulkan tambahan alokasi ke Kementan. Pemerintah daerah juga diminta mencermati RDKK supaya petani mendapat urea bersubsidi.

”Untuk mengantisipasi gejolak, KP3 (Komisi Pengawasan Pestisida dan Pupuk) perlu meningkatkan pengawasan di lapangan. Pengecer juga harus memperketat penyaluran,” im­buhnya. (H84,J17-59)

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/04/15/258845

Petani di Undaan Keluhkan Pupuk Langka

Minggu, 13 April 2014

KUDUS – Petani di sejumlah desa di Undangan, saat ini kesulitan mendapatkan pupuk. Bahkan, untuk mendapatkan pupuk, sejumlah petani mencari hingga ke luar kota, di antaranya ke Demak dan Grobogan.

Petani di Desa Berugenjang Rifa’i mengatakan, kelangkaan pupuk telah terjadi beberapa bulan ini. Di pengecer pupuk yang ada di sejumlah toko, saat ini tidak memiliki stok. Dia mengaku khawatir, pertumbuhan tanaman padinya tidak maksimal.

”Saat ini sudah waktunya tanaman diberi pupuk. Jika tidak perkembangannya tidak maksimal, dan hasilnya tentu bisa menurun,” ujar Rifa’i, Minggu (13/4).

Dia meminta Pemkab Kudus untuk segera mengambil tindakan. Pasalnya, kelangkaan ini sangat meresahkan para petani. Seharusnya, pemerintah bertindak cepat, karena kelangkaan sudah terjadi sejak lama.

Sebelumnya, petani di sejumlah desa di Kecamatan Mejobo mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk urea. Para penjual eceran di daerah setempat tidak memiliki stok pupuk yang dibutuhkan.

Pengurus Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Temulus, Kecamatan Mejobo, Masiran mengatakan, sejak dua pekan ini para petani kesulitan mendapatkan pupuk urea. Padahal, para petani sudah mulai tanam tanaman padi dengan usia antara satu pekan hingga dua pekan.

”Dengan usia tanam saat ini, sudah saatnya melakukan pemupukan pertama. Untuk setiap hektare tanaman padi, butuh pupuk urea hingga 3,5 kuintal,” tutur Masiran, Jumat (11/4), seperti diberitakan Antara.

Akan tetapi, katanya, hingga kini belum juga tersedia pupuk urea di sejumlah pedagang pupuk resmi. Petani lainnya, juga mengeluhkan permasalahan serupa, karena sudah saatnya melakukan pemupukan, namun belum juga ada pupuk.

Menanggapi keluhan petani tersebut, Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Kudus Budi Santoso mengatakan, saat ini distributor pupuk urea untuk Kecamatan Mejobo, Bae dan Gebog mengundurkan diri sebagai distributor.

”Kondisi ini berdampak pada distribusi pupuk di lapangan. Terkait pengganti distributornya, yang mengetahui tentunya Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar Kudus," ujarnya. (Suwoko)

http://www.murianews.com/index.php/kudus/item/2882-petani-di-undaan-keluhkan-pupuk-langka

Senin, 14 April 2014

Pupuk Kembali Langka di Semarang, Petani Khawatir Gagal Panen

Minggu, 13 April 2014


SEMARANG, KOMPAS.com — Kelangkaan kembali terjadi dikalangan petani di Kabupaten Semarang. Mereka kelimpungan mencari pupuk bersubsidi, sementara pupuk non subsidi harganya meroket karena stok dipasaran terbatas.

Dalam situasi dilematis ini petani tak punya pilihan kecuali terpaksa membeli, guna menghindari kerugian yang lebih besar. Sebab keterlambatan pemupukan pada tanaman padi khususnya, dapat menyebabkan gagal panen.

Menurut Ketua Kelompok Tani Margo Mulyo, Kelurahan Tambakboyo, Ambarawa, Susanto ( 45) saat ini petani padi memang sedang mengalami kesulitan pupuk. Distribusi pupuk terhambat karena jatah pupuk dari pemerintah berkurang.

Akibatnya banyak tanaman padi yang semestinya sudah dipupuk, tidak dilakukan pemupukan. Hal itu akan mengakibatkan tanaman tidak tumbuh normal. “Semestinya pemupukan sudah dilakukan pada seluruh tanaman padi. Tetapi karena ada kelangkaan pupuk, jadi tidak semua tanaman mendapatkan pupuk,” kata Susanto, Sabtu (12/4/2014).

Kelompok tani Margomulyo sudah mengajukan jatah pupuk sebesar 3 ton, namun baru terpenuhi 1,5 ton saja. Menurut Susanto, tingginya permintaan membuat harga pupuk dipasaran naik.

“Biasanya kami membeli satu sak Rp 92.000-Rp 95.000 sekarang naik menjadi Rp 100 ribu per sak. Bahkan informasinya di daerah lain ada yang lebih dari Rp 100.000. Ya, kami memaklumi kenaikan harga itu, karena yang butuh banyak dan barangnya sedikit,” kata Susanto.

Susanto berharap pemerintah segera menyalurkan kekurangan jatah pupuk yang diajukan petani. Dengan demikian, petani tidak kesulitan mencari pupuk dan harus membayar lebih karena mahalnya harga pupuk di pasaran.

Menanggapi kelangkaan pupuk ini, Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan, Kabupaten Semarang, Urip Triyogo mengatakan, tahun 2014 ini pendistribusian pupuk memang diperketat lagi, karena subsidinya dibatasi.

Tetapi pihaknya sudah ada koordinasi dengan pusat bahwa akan ada tambahan pupuk subsidi pada bulan September.

“Untuk penanganan sementara daerah yang kelebihan jatah pupuknya digeser ke wilayah yang kekurangan pupuk. Pemerintah pusat juga akan menambah jatah pupuk sekitar bulan September-November,” tutur Urip.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/04/13/1721282/Pupuk.Kembali.Langka.di.Semarang.Petani.Khawatir.Gagal.Panen