Jumat, 28 Februari 2014

Utang Gagal Turunkan Jumlah Orang Miskin

Jumat, 28Februari 2014

Pengelolaan Anggaran I Pembiaran Kasus BLBI Berpotensi Picu Gejolak Sosial

JAKARTA – Indonesia mesti siap-siap menderita sakit akibat kebergantungan yang tinggi pada utang, mencapai 2.465 triliun rupiah per Januari 2014, atau naik sekitar 300 triliun rupiah dalam setahun. Ironisnya, utang yang terus membengkak tersebut gagal menyejahterakan rakyat banyak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan jumlah penduduk miskin meningkat dari 28,07 juta pada Maret 2013 menjadi 28,55 juta pada September 2013, atau naik 480 ribu orang. Secara persentase, angka kemiskinan meningkat dari 11,37 persen menjadi 11,47 persen. Itu berarti, target penurunan kemiskinan menjadi 9,5–10,5 persen pada 2013 meleset jauh, bahkan intensitas kesengsaraan orang miskin makin hebat.

Oleh karena itu, pemerintah diminta segera menghentikan kecanduan utang yang justru akan semakin membebani dan memiskinkan bangsa Indonesia. Negara mesti fokus memperkuat fondasi ekonomi dari sumber pendanaan dalam negeri ketimbang terus mengandalkan era utang murah yang kini mulai berakhir.

Mengenai kecerobohan pemanfaatan utang, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Suharto, menyayangkan pemerintah yang hanya terlena dengan utang, namun mengabaikan tugas pokoknya memperbaiki fundamental ekonomi agar bisa bersaing dengan negara-negara lain. Penambahan utang juga dinilai tidak meningkatkan infrastruktur dasar, terutama di luar Jawa. Akibatnya, pembangunan menjadi tidak merata sehingga berpotensi terjadi kecemburuan sosial.

“Utang telah membuat pemerintah kecanduan dan menyebabkan manajemen pemerintahan kendor, bahkan mismanajemen. Utang juga menyebabkan pemerintah sakit seperti pencandu narkoba (sakau) sehingga tidak pernah sadar bahaya utang,” kata Suharto saat dihubungi, Kamis (27/2).

Sebelumnya, kelompok negara maju mengisyaratkan agar negara berkembang, termasuk Indonesia, menyelesaikan pekerjaan rumah lebih dahulu, yakni memperkuat fondasi ekonomi, ketimbang menyalahkan negara lain atas berakhirnya era utang murah.

Pernyataan sikap negara maju seperti Jerman, Inggris, dan Prancis itu juga dinilai sebagai isyarat bahwa mereka yang selama ini menjadi kreditor kurang puas dengan hasil pemanfaatan bantuan dana mereka ke negara berkembang.
Suharto mengingatkan jika pemerintah terus mempertahankan rezim anggaran defisit yang ditutup dengan utang, kesalahan penggunaan utang makin sulit dikoreksi karena terlena seolah-olah masih memiliki uang.

Akibatnya, lanjut dia, yang menjadi korban adalah rakyat Indonesia karena kemiskinan bakal bertambah akibat melesatnya inflasi yang dipicu kenaikan belanja impor karena depresiasi rupiah.

Sementara itu, lanjut Suharto, kegagagalan memperkuat fundamental ekonomi dan meningkatkan daya saing global akan membuat pengangguran bertambah pesat, yang pada gilirannya akan membuat kemiskinan absolut dan persentase kemiskinan nasional bertambah.

Terancam Bangkrut
Sebelumnya dikabarkan, pemerintah diminta segera menghentikan kebergantungan pada utang meski dalam jangka pendek dampak kecanduan utang selama ini akan terasa “menyakitkan” perekonomian. Pada tahap awal, pemerintah mesti menghentikan utang dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekaligus melaksanakan hak tagih atas obligor yang belum melunasi kewajiban.

Seperti diketahui, utang negara yang kini mencapai 2.465 triliun rupiah, yang mayoritas bersumber dari utang BLBI, terbukti malah memiskinkan bangsa dan hanya memperkaya obligor pengemplang BLBI.

Untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur dan tegas melaksanakan komitmen penghentian utang. Dan, selanjutnya konsisten membangun kemandirian pangan, energi terbarukan, dan industri dasar guna memperkokoh fundamental ekonomi nasional.

Sementara itu, pengamat hukum dan dosen ilmu kepolisian, Bambang Widodo Umar, mengatakan bila negara terus membayar kewajiban utang obligasi rekap, bukannya tidak mungkin kas negara terkuras dan akhirnya bangkrut. “Dalam keadaan seperti itu, tiap gesekan dalam masyarakat berpotensi memicu konflik sosial. Bukan tidak mungkin gejolak sosial seperti 1998 akan terulang,” ujar Bambang.

Untuk itu, lanjut dia, perlu ada pembenahan dan penyelesaian masalah BLBI, bukan hanya melalui sistem hukum dan perbankan, tetapi juga pembenahan sistem politik. “Pembenahan harus dilakukan secara terintegrasi, baik melalui jalur hukum, politik, maupun perbankan,” tukas Bambang.

Pasalnya, menurut dia, kasus BLBI ini sangat kental nuansa politiknya. Ia pun menilai skandal perbankan itu tergolong kejahatan kemanusiaan. Dalam kasus ini, pelaku menggunakan kelemahan dan kesempatan yang ada di sisi ekonomi, politik, dan hukum untuk merampok uang negara dalam jumlah besar. YK/eko/WP

http://www.koran-jakarta.com/?6861-utang-gagal-turunkan-jumlah-orang-miskin

Parpol untuk siapa?

Jumat, 28 Februari 2014

PARTAI politik atau parpol adalah prasyarat bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Karenanya, secara normatifteoretis kita tidak boleh anti dan alergi terhadap parpol.

Ini karena pada dasarnya, dan pada mulanya, parpol didirikan untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan memilih putra-putri bangsa terbaik untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat serta memilih presiden dan wakil presiden.

Jadi, betapa vital dan berkuasanya parpol bagi negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Namun, pada kenyataannya pelaksanaan demokrasi yang sehat serta membangun parpol yang berkualitas tidaklah mudah.

Demokrasi dan parpol itu indah dibicarakan di ruang kuliah. Namun, yang kadang terjadi bukannya parpol memberikan kontribusi terbaik pada negara dari sisi program dan kader-kadernya, melainkan beberapa oknum dan elite parpol telah menjadi benalu, bahkan membajak kedaulatan dan kepentingan negara yang kemudian terbelokkan untuk melayani kepentingan dan selera dirinya. Kalau ditanya dan ditelusuri apa dan siapa yang ada dalam ”perut” parpol, jawabannya tidak selalu meyakinkan.

Benarkah parpol-parpol yang ada itu tempat berhimpunnya para pejuang kebangsaan dan pelayan rakyat yang merupakan putra-putri terbaik bangsa? Benarkah cita-cita dan kiprah parpol itu melebur ke dalam spirit dan citacita kemerdekaan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat?

Saya khawatir semangat dan kultur yang tumbuh dalam parpol disusupi oleh kepentingan kelompok, keluarga dan jejaring bisnis yang hanya ingin mendapatkan perlindungan dan fasilitas negara dengan label demokrasi.

Ada juga indikasi mereka yang aktif di parpol dan berjuang untuk lolos di kursi DPR lebih didorong untuk mencari pekerjaan baru dengan penghasilan lebih besar serta bergengsi ketimbang yang sudah dijalani selama ini. Maaf, tentu saja tidak semua seperti itu. Kita tidak boleh melakukan generalisasi.

Tetapi melihat pengalaman yang sudah-sudah dan mencermati daftar calon legislatif yang ada, terdapat beberapa nama yang sungguh kurang layak memerankan posisi wakil rakyat, sementara kondisi bangsa dan rakyat memerlukan perbaikan dan terobosan segera secara cerdas, konseptual, dan strategis.

Kita ingin mengakhiri keluh-kesah akibat pemerintahan yang tidak efektif namun menelan ongkos sosial dan materi yang amat mahal dengan menampilkan para wakil rakyat yang berkualitas dan kredibel dan pemerintahan yang baru nanti.

Yang muncul ke permukaan, seakan negara ini dikuasai jejaring parpol, sementara kepercayaan rakyat pada parpol kian turun. Wajah dan retorika parpol muncul di mana-mana, memenuhi ruang publik. Namun, benarkah rakyat merasa terwakili oleh tokoh-tokoh dan sepak terjang parpol selama ini?

Kalau tidak, parpol yang tengah jungkir balik merayu dukungan dan simpati rakyat itu sesungguhnya untuk apa dan siapa? Yang perlu dipertimbangkan, banyak orang pintar, baik, dan sudah berkeringat melayani rakyat, tetapi tidak disenangi parpol, karena semata mereka itu bukan aktivis parpol dan ide serta kiprahnya dianggap tidak sejalan dengan elite-elite parpol. Ada juga bupati atau wali kota yang prorakyat namun menolak pesanan parpol, lalu kinerja mereka malah diganggu dan diganjal.

Di sinilah kita dihadapkan pada dilema antara parpol sebagai sebuah keharusan dalam berdemokrasi, di sisi lain kualitas parpol dan praktik berdemokrasi masih sebatas formalisme-prosedural, jauh dari substansi dan fungsi yang sama-sama kita dambakan. Sedemikian runyam dan busukkah kondisi parpol? Amati saja berbagai hasil survei dan pemberitaan kehidupan parpol yang hampir setiap hari kita baca beritanya. Bahkan kita juga bergaul langsung dengan mereka.

Yang pasti, demokrasi, pilkada, dan pemilu tidak mungkin tanpa parpol. Namun banyak pilkada yang hasilnya mengecewakan. Jika program, kualitas kader, dan pengurus sebuah parpol tidak paham, tidak setia dan tidak mau lebur ke dalam spirit dan agenda bangsa untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, rasanya parpol seperti itu lebih baik bubar saja. Secara moral mereka itu tidak sah untuk hidup. Mereka hanya akan jadi benalu demokrasi. Mereka hanya sibuk dan heboh memperjuangkan dirinya, pengurusnya, dan keluarganya.

Triliunan uang negara dibelanjakan untuk biaya politik, namun tidak seimbang hasil yang diraihnya. Panggung bangsa dan negara silakan diperebutkan oleh para politisi untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan. Tetapi program dan target yang telah dijanjikan pada rakyat mestilah dipenuhi. Jangan malah saling jegal dan sandera di antara sesama parpol yang berakibat merugikan rakyat banyak. Enough is enough.

Mari Pemilu 2014 ini kita jadikan momentum dan garis demarkasi untuk berpikir lebih rasional dan bekerja keras dengan menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan parpol. Ajaklah putra-putri bangsa terbaik yang sudah teruji dan punya prestasi diajak bersama-sama memperbaiki kehidupan bernegara yang kedodoran ini, sekalipun mereka itu berada di luar jejaring parpol.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat


http://daerah.sindonews.com/read/2014/02/28/18/839893/parpol-untuk-siapa

Kamis, 27 Februari 2014

OJK Rampok Ekonomi Bangsa karena Itu Harus Dibubarkan

Kamis, 27 Februari 2014

ASATUNEWS - Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa pada Kamis (27/2) mendatangi Gedung Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan Pengujian Undang - Undang (PUU) Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Ahmad Suryono, salah seorang kuasa hukum tim itu, keberadaan OJK dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
"Kewenangan OJK tak ada dalam konstitusi. Yang ada hanya dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Bisa dikatakan, OJK adalah lembaga yang mencuri kewenangan Bank Indonesia dan bertentangan dengan konstitusi. Karena itu harus dibubarkan," katanya kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Pengacara yang juga tergabung dalam Forum Korban Putusan MK Berdaulat (FKPMB) ini menegaskan, jika ditinjau dari segi kedaulatan ekonomi, keberadaan OJK sangat jelas bertentangan dengan konstitusi. "Alih-alih  memberikan manfaat, keberadaan OJK justru menjadi parasit dalam ekonomi serta memiliki potensi merugikan nasabah industri keuangan, perampokan sistematis dan masif terhadap ekonomi nasional dan keuangan rakyat," tutur Suryono.
Jika ditinjau dari segi historitas, lanjut Suryono, lahirnya OJK sejatinya merupakan proyek kepanjangan tangan dari International Monetary Fund (IMF). Tujuannya untuk semakin memperkuat cengkeraman mereka terhadap ekonomi nasional bangsa Indonesia.
Kewenangan OJK yang demikian besar dalam membuat regulasi dan menyusun anggaran  tentu saja mereduksi peran Bank Indonesia. Walhasill, dengan adanya OJK, peran negara dalam sektor keuangan menjadi nihil, sebab OJK mengabdi pada kepentingan kapitalis  dan tunduk pada pasar bebas.
"Apalagi, secara terbuka, pelaku industri keuangan rakyat juga menolak keras kehadiran OJK. Karena, OJK ingin mengutip ‘jatah’ bagaikan preman dari setiap industri keuangan yang tidak jelas manfaat dan faidahnya. Dengan demikian, OJK mutlak harus dibubarkan," ungkap Suryono. | BAHAUDIN MARCOPOLO/ASN-024

http://www.asatunews.com/berita-21433-ojk-rampok-ekonomi-bangsa-karena-itu-harus-dibubarkan.html

Kementerian Perdagangan Harus Aktif Bantu Petani Apel

Kamis, 27 Februari 2014

BANDUNG,(PRLM).- Kalangan DPR meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk merespon keluhan para petani apel malang. Hal itu disebabkan maraknya serbuan apel impor asal Cina sehingga menghancurkan harga apel di pasaran.

Anggota Komisi IV DPR, Habib Nabiel Almusawa mengatakan itu kepada "PRLM", Kamis (27/2). “Usut impor apel tersebut. Bila ternyata legal, mengapa bisa terjadi dilakukan impor ketika stok komoditas lokal sejenis di pasar masih banyak tersedia. Bila ternyata ilegal, segera tindak para pelakunya dan buat antisipasi agar tidak terulang kembali," katanya.

Para petani mengeluhkan harga apel Malang yang terus turun karena tidak mampu bersaing dengan apel impor asal Cina yang berlimpah di Malang. "Harga apel lokal tersebut jatuh menjadi Rp 2.500 per kg di tingkat eceran. Karena harga yang tidak lagi menarik itu para petani besar mengalihfungsikan lahannya untuk penggunaan lain atau membiarkannya terlantar," katanya.

Menurut Habib, para petani telah berkorban tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. ”Ini artinya, permasalahan apel impor sudah demikian parah dan sudah mengganggu pendapatan mereka. Menteri Perdagangan (Mendag) mestinya segera bertindak untuk menyelamatkan mereka,” ujarnya.

Habib mengakui Memang Mendag masih baru dan masih harus adaptasi, tapi ini kesempatan bagi Mendag yang baru untuk membuktikan patriotisme dan keberpihakannya pada petani dan pedagang Nusantara, "Jangan seperti Mendag yang lalu yang terus-menerus kebobolan," katanya.(A-71/A-107)***‬

http://www.pikiran-rakyat.com/node/271787

KPK Diminta Memeriksa Skema Ekspor Impor di Kementerian Perdagangan

Rabu, 26 Februari 2014

 JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi diminta memeriksa skema kuota ekspor impor di Kementerian Perdagangan. Ada dugaan sejumlah praktik penyimpangan yang dapat merugikan negara.

"Kami minta KPK untuk segera memeriksa proses pembagian kuota ekspor impor perdagangan yang dijalankan Kementerian Perdagangan," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo, lewat keterangan tertulis, yang diterima di Jakarta, Rabu (26/2/2014).

Pemeriksaan ini penting, menurut Firman, karena praktik penyimpangan kuota yang menguntungkan segelintir orang dan merugikan negara diduga masih terjadi. Beberapa kasus impor ilegal yang terkuak, kata dia, sudah cukup menjadi alasan bagi KPK mengusut dugaan penyimpangan dalam pembagian kuota tersebut.

Firman menyebutkan beberapa kasus ekspor dan impor yang, menurut dia, dapat menjadi alasan KPK melakukan penyelidikan mendalam atas penentuan kuota tersebut. Selain kasus impor daging sapi, sebut dia, ada pula kasus gula rafinasi impor yang seharusnya untuk keperluan industri, tetapi ternyata masuk ke pasar dan dijual untuk rumah tangga.

Lalu, lanjut Firman, kasus impor ilegal garam yang ditemukan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada 2013, ada temuan impor garam sebanyak 225.000 ton. Firman menyebutkan pula kasus penyelewengan pupuk bersubsidi yang justru diekspor dengan harga non-subsidi.

"Kami menduga, hasil praktik penyelewengan dan ilegal itu juga diberikan kepada pejabat negara. Dan itu jelas merupakan gratifikasi, yang harus segera diselidiki KPK," kata Firman. Dia berpendapat, KPK perlu segera memeriksa pejabat pemilik kewenangan terkait skema ekspor dan impor itu untuk menentukan siapa yang harus diminta bertanggung jawab.

Penyelidikan oleh KPK, kata Firman, diharapkan akan turut menciptakan stabilitas ekonomi sekaligus melindungi petani Indonesia. "Dengan demikian, Indonesia bisa mencapai target swasembada pangan sesuai target yang direncanakan," kata dia.

http://nasional.kompas.com/read/2014/02/26/2352124/KPK.Diminta.Memeriksa.Skema.Ekspor.Impor.di.Kementerian.Perdagangan

Rabu, 26 Februari 2014

Beras Impor dan Kegagalan Revitalisasi Pertanian

Rabu, 26 Februari 2014

TERUNGKAPNYA praktik mafia pangan yang mengimpor beras secara ilegal mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian.

Implikasinya kedaulatan pangan sebagai buah revitalisasi pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bak sebuah mimpidisiangbolong. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kedaulatan pangan kini tercederai dan semakin jauh dari jangkauan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan masuknya beras impor asal Vietnam.

Pemerintah selama ini selalu ”bernyanyi” tentang keberhasilan program pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras yang meningkat setiap tahun. Bahkan, produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras. Peningkatan ini terkesan hanya sebatas wacana politik kampanye menjelang Pemilu 2014. Niat yang seakan berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani ini cenderung ambisius di tengah alih fungsi lahan yang kian cepat dan masuknya beras impor secara ilegal.

Pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat masih dilakukan setengah hati. Program dan gerakan revitalisasi pertanian hanya kuat di atas kertas namun lemah diimplementasikan. Sudah 10 tahun pemerintahan SBY menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan, dan perkebunan dengan maksud supaya negara agraris ini dapat memutus mata rantai pangan impor. Kenyataannya lain, revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru malah makin meminggirkan petani.

Harga Murah

Sektor pertanian selama ini selalu diposisikan untuk menyediakan beras dengan harga murah untuk mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan). Sektor pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota.

Sementara itu, keseriusan pemerintah untuk membangun pertanian pangan yang berdaya saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama kian melemah. Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden SBY pada tahun 2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani kini roh dan semangatnya terasa kian menjauh. Indonesia yang kini berada di ambang pintu krisis pangan membuat kita prihatin dan hati miris. Sementara itu, pemerintah negara maju amat melindungi petaninya.

Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh tergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangannya, dalam arti luas, dan terjadi surplus produksi. Kelebihan panganinimemungkinkanmereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar. Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus lagi.

Seperti halnya produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat sebesar 2,62% dibanding tahun produksi 2012. Peningkatan produksi yang signifikan ini seakan abai terhadap sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras. Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai. Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi lahan yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare.

Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, bagaimana mungkin mengharapkan peningkatan produksi padi yang signifikan. Upaya pemerintah kabupaten untuk meningkatkan pendapatan asli daerah di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan otonomi daerah menetaskan pencapaian kedaulatan pangan semakin kehilangan arah. Lahan sawah irigasi yang subur kini beralih fungsi menjadi kawasan nonpertanian pangan. Ini menjadi ancaman serius bagi pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian surplus 10 juta ton beras di tahun 2014 semakin jauh dari harapan.

Objek Pembangunan

Secara gradual, produksi beras Indonesia selama beberapa tahun terakhir memang meningkat, walau tidak mampu menutup kran impor. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mendekati 250 juta jiwa mengindikasikan pertumbuhan penduduk sudah beradu cepat dengan produksi pangan yang secara alamiah bergerak melambat. Konsekuensi logisnya keran impor beras akan selalu dibuka. Implikasinya, petani semakin susah karena kebijakan politik impor itu memicu pemiskinan petani dan mengganggu mekanisme pasar.

Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik. Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan, mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus rugi setiap siklus tanam. Harga produk pangan domestik dipaksa turun sebab kalah bersaing dengan produk impor.

Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang semakin merajalela. Jika angka produksi GKG tahun 2013 bisa dipercaya 70,87 juta ton, kebutuhan konsumsi 34 juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan, Indonesia surplus beras yang bisa digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog. Lantas, mengapa di tahun 2013 pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani kita.

Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Sudah bukan rahasia lagi urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) di tahun politik ini. Indonesia sudah lama masuk dalam perangkap pangan impor, karena perilaku semacam ini.

Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya, menjadikan ”tradisi impor” itu seakan legal sebagai pilihan yang tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri. Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Jika impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnan proses produksi perberasan dalam negeri. Patut disadari karakteristik pasar beras global sangat tipis.

Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4 persen dari total produksi global. Dengan jumlah penduduk besar, keempat terbesar setelah China, India, dan AS, dan sekitar 60 persen dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25 persen untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional. Pemerintah harus mengakhiri politik beras guna mengatasi kemiskinan.

Dengan mengatur tata niaga beras sehingga harganya tetap rendah, pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada akhirnya. Presiden SBY yang melontarkan gagasan revitalisasi pertanian misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas di bidang apakah sektor pertanian yang sedang dan telah direvitalisasi yang mampu mengatrol kesejahteraan petani.

Dari pengalaman negara maju yang menyubsidi pertaniannya secara besar-besaran, bisa ditarik pelajaran bahwa pertanian monokultur berbasis padi (beras) tidak pernah akan memakmurkan petani.

Sudah saatnya mengakhiri politik beras murah dengan mendorong pembangunan pertanian yang berkelanjutan seraya memperluas diversifikasi produk pangan olahan untuk mengawal penguatan kedaulatan pangan guna memutus mata rantai beras impor.

POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan. Direktur dan Pendiri Center for National Food Security Research (Tenfoser)

(Koran SINDO//wdi)

http://economy.okezone.com/read/2014/02/26/279/946645/beras-impor-dan-kegagalan-revitalisasi-pertanian

Selasa, 25 Februari 2014

Gerindra: Janji kembalikan kejayaan sektor pangan

Selasa, 25 Februari 2014

JAKARTA. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menilai bahwa pemerintahan saat ini belum fokus pada pengembangan pangan. Anggota Dewan Pakar Gerindra, Endang Setyawati Tohari, menilai prioritas sektor pertanian harus menyesuaikan dengan potensi dan kekayaan setiap daerah di Indonesia.

Gerindra mengklaim, sejak awal memfokuskan pada program kedaulatan pangan. Konsentrasi pada pangan pertanian juga tak lepas dari peran pendiri partai yakni Prabowo Subianto yang juga menjabat Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Endang mengingatkan, selain beras, ibu pertiwi juga menjadi tuan rumah bagi setidaknya 77 sumber karbohidrat lain, di antaranya umbi-umbian, jagung, dan sagu. Jika pemerintah punya political will yang kuat, seharusnya tak ada lagi hambatan bagi Indonesia dalam mengembangkan masing-masing sumber daya alam tersebut.

Soal pengembangan pertanian dan pangan, menurut Endang, kebijakan harus menyeluruh dan mencakup semua faktor, mulai hulu hingga ke hilir. Politisi partai Kepala Burung Garuda ini mencontohkan fasilitas yang bisa ditingkatkan, seperti plasma nutfah.

Endang ingat betul saat ia menjabat sebagai Direktur Agriculture Research Management, sebuah lembaga riset pertanian. Dukungan pemerintah bagi peneliti saat ini minim. "Peneliti harus diberi intensif yang baik agar ilmunya tak sia-sia," jelasnya.

Sampai saat ini, banyak penelitian cemerlang yang hanya berakhir di tumpukan buku perpustakaan, tanpa implementasi. Ini akibat kurangnya dukungan. Selain itu, tidak adanya grand strategy pertanian semisal zaman Soeharto dahulu. Ini menyebabkan banyak rencana pemerintah saat ini tak berlangsung lama akibat pergantian pejabat.

Meski demikian, ia menilai zaman orde baru mempunyai kekeliruan, yakni terlalu fokus pada beras. Maka, partai bernomor urut enam pada pemilihan umum ini kini menggenjot efisiensi pertanian merujuk pada kearifan lokal.

Agar program pangan ini berjalan lancar, Gerindra ingin Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang kini berdurasi sepuluh tahun diubah menjadi 25 tahun sampai 30 tahun. Tujuannya agar  jika ada pergantian pejabat, program yang bagus tak dikebiri. Tak hanya itu, Gerindra menilai upaya pemerintah meningkatkan ketahanan pangan lewat subsidi pupuk dan benih senilai total Rp 22,6 triliun pun dirasa belum cukup.

Langkah konkret lain perlu diambil, misalnya perbaikan atas 77 hektare lahan hutan yang rusak. Gerindra juga menawarkan program adanya bank pertanian untuk memudahkan petani mendapat pinjaman, serta asuransi pertanian. "Kalau-kalau gagal panen, akibat bencana," jelasnya.

Partai ini juga berjanji untuk mengeluarkan kebijakan pembatasan impor pangan. "Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Tapi nyatanya, beras, jagung, kedelai bahkan sampai garam kita impor," kata Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon.

Untuk itu, guna mencapai kedaulatan pangan, Gerindra janji memperjuangkan 10% belanja APBN dialokasikan untuk pertanian.        



Percuma bujet naik tanpa sistem baik

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro sependapat dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengenai ada sisi positif yang dapat dipetik dari zaman orde baru. Yakni kebijakan sektor pertanian meski tak dipungkiri, saat itu masa kejayaan sektor pertanian yang ditandai swasembada pangan.

Siti menilai, sangat lazim bagi partai pimpinan Prabowo Subianto tersebut untuk berkaca pada era Presiden Soeharto mengingat kala itu pertanian terkelola dengan cukup baik. Soal program yang berganti seiring dengan habisnya masa jabatan pejabat pertanian, Siti menilai hal tersebut sudah lazim terjadi, bahkan sejak orde baru. "Memang itu penyakitnya, setiap ganti menteri ganti juga kebijakan," katanya.

Karena itu, pemerintah harus punya alat untuk mengontrol perubahan semacam itu. Usulan perpanjangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang diusulkan Gerindra, bisa menjadi salah satu solusinya.

Soal usulan dibentuknya bank pertanian, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai wacana tersebut masih dalam ranah perdebatan. "Yang bermasalah sistem perbankannya, apakah kemudian solusinya dibuat lembaga khusus? Belum tentu," ujarnya.

Alih-alih memprioritaskan bank pertanian, menurutnya penekanan pada perbaikan sistem perbankan agar petani diberikan kemudahan dalam hal mengajukan jaminan sehingga bisa meraih kredit. Namun, ia sepakat soal perlunya asuransi bagi petani khususnya jika mereka terkena bencana alam.

Enny menilai, seberapa pun besar dana yang digelontorkan dari APBN, misal 10% seperti usulan Gerindra, atau bahkan lebih, tidak akan banyak berpengaruh jika sistem tidak diperbaiki. "Seharusnya menekankan pada perbaikan sistem kualitas d benih tepat guna serta sampai langsung ke petani," jelasnya.

Editor: Tri Adi

http://nasional.kontan.co.id/news/gerindra-janji-kembalikan-kejayaan-sektor-pangan

NEGARA PERTANIAN YANG ANTI-PETANI

Senin, 24 Februari 2014

Jurnas.com | Oleh : Hary Purnomo Hidayat

Pegiat di Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan (PSP3)-IPB

Indonesia merupakan Negara Pertanian (Agraris). Alasannya, pertama; besarnya sumber daya alam pertanian yang kita miliki. Dengan dukungan iklim tropis membuat tanaman pertanian seperti tanaman pangan, bumbu maupun obat-obatan dapat tumbuh subur. Kedua; sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pedesaan. Karakater masyarakat pedesaan memiliki ketergantungan tinggi terhadap tanah. Tanah berkaitan langsung dengan kehidupan dan kualitas hidup karena di atas tanah mereka mengembangkan kebudayaannya, berproduksi untuk memenuhi kebutuhan materialnya (Dadang Juliantara, 2000). Tanah dimanfaatkan dan diolah sebagai lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga banyak orang-orang desa menjalankan profesi sebagai petani atau peladang.

Dukungan sumber daya alam dan manusia yang memadai, seyogyanya harus dibarengi dengan fokus kebijakan pembangunan pada sektor pertanian dalam arti luas. Tanpa bermaksud menyepelekan pembangunan pada aspek lainnya, namun harus diakui dunia pertanian sangat urgen karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Ratusan juta penduduk Indonesia, tidak hanya penduduk desa melainkan juga warga kota memiliki ketergantungan pada sector ini. Orang desa hidup dari mengolah pertanian, sementara warga kota sangat membutuhkan hasil dari olahan pertanian (beras, jagung maupun sayur-sayuran) untuk dikonsumsi. Jadi sekali lagi sektor pertanian baik secara konteks maupun implikasi tidak hanya identik dengan ruang lingkup pedesaan dan masyarakatnya, melainkan juga kehidupan masyarakat di Indonesia pada umumnya. Sehingga menafikkan sektor pertanian, secara otomatis menegasikan realitas kehidupan di negri ini. Apalagi patut dicatat (kalau perlu direnungkan kembali) bahwa pada sektor ini ada jutaan saudara-saudara kita (petani) yang harus bekerja keras, berpeluh keringat, berkulit gosong, menanti penuh harap hasil panen demi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita semua. Sementara kehidupan mereka tetap bergelut dengan kemiskinan, kebodohan, tidak dapat menyekolahkan anak, terjerat utang dan terlilit kondisi memprihatinkan lainnya.

Dianak-tirikan

Sayangnya dukungan sumber daya alam dan manusia yang memadai tidak dimanfaatkan dengan baik. Harapan agar pembangunan berorientasi pada sektor pertanian masih jauh panggang dari api. Bahkan sektor ini terkesan kurang mendapat perhatian serius dan dianak-tirikan oleh pemerintah. Imbasnya sektor pertanian dan berbagai variabelnya tidak mengalami kemajuan signfikan bahkan semakin parah. Pertama, gizi buruk dan ancaman kelaparan masih menghantui. Sungguh ironis bukan, jika negara dengan semboyan Gemah Ripah Loh Jinawi masih didiami oleh orang-orang yang lapar. Tapi itulah faktanya. Sepanjang tahun 2005, hangat dalam ingatan perisitiwa busung lapar dan gizi buruk marak terjadi di beberapa daerah Indonesia, seperti Jawa Barat, NTT, hingga di Yahukimo telah menelan korban jiwa. Anak-anak Indonesia adalah korban terbanyak dari gizi buruk. Program Lembaga Pangan Dunia (WFP) dalam penelitannya pada awal tahun 2008 menyebutkan jumlah penderita gizi buruk dan rawan pangan di Indonesia mencapai angka 13 juta. Meski data pemerintah menyebutkan penderita gizi buruk hingga tahun 2007 mencapai angka 4,1 juta, atau naik tiga kali lipat dibanding jumlah penderita yang sama di tahun 2005 yakni 1,67 juta jiwa. Bahkan di tahun 2009 busung lapar yang merengggut jiwa kembali terjadi di Yahukimo. Sementara menurut Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB Sofyan Sjaf, di Indonesia potensi ancaman kelaparan menghantui 34,96 juta jiwa penduduk miskin atau 15,42% penduduk Indonesia (Suara Pembaruan, 19/02/2010).

Kedua, bayangkan saja swasembada beras yang berhasil dicapai ternyata tidak berkorelasi dengan peningkatan ekonomi para petani. Bagaimana kemudian jika kita masih melakukan impor beras dan produk-produk pertanian lainnya. Maka nasib petani semakin terpuruk. Walau begitu tidak bisa dipungkiri, Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap produk pertanian dari luar. Impor produk pertanian jelas kontra-produktif dengan penyebutan Indonesia sebagai negara pertanian. Jika bangga sebagai negara pertanian, maka sudah sepantasnya kita harus bisa memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Tapi faktanya berdasarkan catatan tahun 2007, impor beras rata-rata dua juta ton per tahun. Bahkan setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN. Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar) (Kompas,24/8/2009). Itu belum termasuk sayuran dan buah-buahan.

Ketiga, beberapa produk hukum perundang-undangan yang dihasilkan cenderung tidak berpihak pada petani. Produk hukum itu diantaranya; (i)UU No.7/2004 tentang pengelolaan sumber daya air,(ii) ­UU Perkebunan No.18/2004,(iii) UU Kehutanan No.19/ 2004,(iv) Perpres No.36/2005 dan penggantinya yakni Perpres No.65/2006 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Substansi dari peraturan ini adalah pemerintah bisa saja mengambil tanah pertanian milik petani dengan mengatas-namakan kepentingan umum. Padahal defenisi kepentingan umum sendiri sangat bias, karena bisa saja tanah pertanian tersebut justru diberikan kepada para pemiliki modal, (v) UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal yang isinya memberi kesempatan kepada para pemilik modal terhadap penguasaan dan kepemilikan pertanahan (agraria). Dalam produk hukum ini terkesan upaya pemerintah sangat memudahkan para pemiliki modal untuk menguasai tanah di Indonesia, dan (vi) Inpres No.5/2008tentang Fokus Program Ekonomi 2008-­2009 termasuk didalamnya mengatur Investasi PanganSkala Luas (Food Estate). Sementara produk hukum yang pro petani seperti UU No.5/1960 tentang pokok-pokok agraria tidak maksimal diimplementasikan.

Keempat, masalah kemiskinan masih membelenggu petani Indonesia. Kebijakan pada sektor pertanian belum mampu memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi masyarakat desa (para petani). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia) pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Sebagian besar atau sekitar 63,38 persen penduduk miskin berada dipedesaan dan kebanyakan yang berprofesi sebagai petani.

Petani Menjadi Korban

Tentu dapat ditebak bahwa implikasi dari kurangnya keberpihakan terhadap pembangunan sektor pertanian secara komperensif adalah dunia pertanian Indonesia mengalami kemandegan. Dan pastinya yang menjadi korban dari semua itu adalah para petani. Para petani akan tetap bergelut dengan persoalan kemiskinan struktural, berutang, tidak dapat menyekolahkan anak serta akan terus dihinggapi kebodohan, keterbelakangan dan ketidak-berdayaan. Bila sektor pertanian benar-benar mandeg ditambah dengan kondisi para petani yang tidak berdaya maka perlahan-lahan namun pasti dampaknya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kebutuhan akan pangan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Konsekuensinya pangan menjadi susah didapat dan harganya mahal. Belum lagi, jika ada oknum-oknum para pemiliki modal besar melakukan penimbunan. Maka ancaman kelaparan akan menghantui dan tidak menutup kemungkinan kerusuhan massal bisa terjadi di negri yang ramah-tamah ini. Menakutkan bukan?

Kembali Fokus

Oleh sebab itu, sebelum kondisi di atas benar-benar terjadi, maka ada beberapa hal yang patut direfleksikan dan dilakukan kembali oleh pemerintah. Pertama, karena sektor pertanian menyangkut hajat hidup orang Indonesia secara keseluruhan, maka sudah sewajarnya jika kebijakan pembangunan Indonesia harus fokus dan komperensif pada sektor pertanian. Apalagi sumber daya alam dan manusianya sangat mendukung. Sekedar perbandingan, negara industri sekaliber Amerika Serikat dan Jepang saja masih memperhatikan sektor pertaniannya. Karena pemerintah AS sadar bahwa masyarakatnya masih butuh gandum. Begitu juga halnya dengan pemerintah Jepang yang paham betul bahwa warganya masih mengkonsumsi beras.

Kedua, substansi dari pembangunan pertanian bukan sekedar mengejar pertumbuhan (berdasarkan data statistik) melainkan berorientasi pada subyek atau aktor-aktor pertanian dalam hal ini para petani dan masyarakat pedesaan. Pemerintah perlu melakukan upaya penguatan petani agar mereka memiliki kapasitas dan kreatifitas yang tinggi dalam berproduksi. Hal ini tidak hanya dilakukan dengan memberi subsidi, melainkan juga dengan bekerja sama dengan Institusi-Institusi pertanian di setiap daerah seperti IPB, dimana para petani bisa mendapat pendidikan gratis (disekolahkan secara khusus di IPB) agar mereka memiliki pengetahuan tentang cara menghasilkan benih yang baik, cara membuat pupuk yang baik, cara memasarkan produk pertanian dan sebagainya. Soalnya banyak para petani kita masih bertani secara konvensional dan kesulitan dalam memasarkan produk mereka. Akhirnya mereka menjadi santapan para tengkulak.

Ketiga, karena pertanian identik dengan pedesaan maka pemerintah harus melakukan pembenahan terhadap sarana dan prasarana pedesaan yang mendukung aktifitas pertanian seperti bendungan, irigasi, sarana jalan, hingga membuat koperasi atau Badan Usaha Milik Desa yang bisa menampung hasil panen para petani. Ini dilakukan agar sektor pertanian dapat terus produktif, terbukanya lapangan pekerjaan di pedesaan dan mengurangi terjadinya urbanisasi.

Keempat, untuk mencegah terjadinya kelaparan di setiap daerah, pemerintah perlu mengembangkan kembali produk-produk pertanian lokal yang identik dengan ciri khas sebuah daerah. Misalkan, kembalikan kebiasaan orang-orang Papua untuk mengkonsumsi umbi-umbian, sehingga mereka tidak memiliki ketergantungan terhadap beras. Oleh sebab itu instansi-instansi pertanian di daerah perlu didorong untuk memaksimalkan upaya ini dengan cara melakukan penyuluhan dan mengusahakan bibit-bibit tanaman lokal yang dapat ditanam.

Kelima, berikan perlindungan dengan ”nilai lebih” terhadap produk pertanian Indonesia, agar memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap produk petanian dari luar. Misalkan proteksi terhadap produk pertanian seperti yang dilakukan oleh AS dan Jepang. Saat ini serbuan produk import telah memporak-porandakan produk pertanian lokal.

Keenam, perlu dilakukan revisi terhadap produk perundang-undangan yang tidak berpihak pada petani. Produk perundang-undangan tersebut memberi kesan bahwa penindasan terhadap petani seakan mendapat legitimasi dari negara ini. Sungguh ironis bukan jika Negara Pertanian justru sangat anti dengan petani. Sementara produk hukum pro petani seperti UUPA No.5/1960 harus dimaksimalkan kembali.

Harapannya semoga dengan semua ini sektor pertanian dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga bisa memberikan konstribusi positif bagi kemajuan masyarakat petani dan peningkatan ekonomi Indonesia.

http://www.jurnas.com/news/125379/Negara_Pertanian_yang_Anti-Petani/1/Nasional/Opini

Kedaulatan Pangan Makin Jauh

Selasa, 25 Februari

Praktik impor beras secara ilegal yang terungkap baru-baru ini mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian.

Implikasinya, kedaulatan pangan sebagai buah revitalisasi pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan belum terwujud. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Kedaulatan pangan kini tercederai dan semakin jauh dari jangkauan bangsa dengan masuknya beras impor asal Vietnam. Pemerintah selalu "bernyanyi" tentang keberhasilan program pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras meningkat setiap tahun. Bahkan produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras.

Peningkatan ini terkesan hanya sebatas wacana politik kampanye menjelang Pemilu 2014. Niat yang seakan-akan berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani ini cenderung ambisius di tengah alih fungsi lahan yang kian cepat dan masuknya beras impor secara ilegal.

Pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat masih dilakukan setengah hati. Program dan gerakan revitalisasi pertanian hanya kuat di atas kertas namun lemah di implementasi. Sudah 10 tahun pemerintahan SBY menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan, dan perkebunan supaya negara agraris ini dapat memutus mata rantai pangan impor.

Kenyataannya lain. Revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru makin meminggirkan petani.

Kian Lemah

Sektor pertanian harus menyediakan beras dengan harga murah guna mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan).

Pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota. Sementara keseriusan pemerintah membangun pertanian yang berdaya saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama semakin lemah.

Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden SBY pada tahun 2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani kini roh dan semangatnya terasa kian jauh. Indonesia yang berada di ambang krisis pangan membuat bangsa prihatin dan miris.

Padahal pemerintah negara maju amat melindungi petaninya. Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangan dan terjadi surplus produksi.

Kelebihan pangan memungkinkan mereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar.

Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus.

Seperti halnya produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat 2,62 persen dibanding tahun 2012. Peningkatan produksi yang siginifikan ini seakan-akan mengabaikan sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras.

Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai.

Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare. Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit meningkatkan produksi padi signifikan.

Upaya pemerintah kabupaten meningkatkan pendapatan asli daerah di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan otonomi menetaskan pencapaian kedaulatan pangan yang semakin kehilangan arah.

Lahan sawah irigasi yang subur kini beralih fungsi menjadi kawasan non pertanian pangan. Ini menjadi ancaman serius pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian surplus 10 juta ton beras di tahun 2014 semakin jauh dari harapan.

Kalah

Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik.

Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus merugi. Harga produk pangan domestik kalah bersaing dengan impor. Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang merajalela.

Patut disadasri, karakteristik pasar beras global sangat tipis. Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4 persen dari total produksi global.

Dengan jumlah penduduk besar dan sekitar 60 persen dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25 persen untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional.

Jila angka produksi GKG tahun 2013 bisa dipercaya sebanyak 70,87 juta ton, kebutuhan konsumsi sebesar 34 juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan Indonesia surplus beras yang bisa digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog.

Lantas, mengapa pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani.

Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Apabila kebijakan itu bisa diimplementasikan pada tahun 2014, patut diacungi jempol sebagai propetani!

Sudah bukan rahasia, urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) di tahun politik.

Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya menjadikan "tradisi impor" seakan-akan legal sebagai pilihan tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri.

Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnan proses produksi perberasan dalam negeri.

Namun, jika pemerintah masih mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam jumlah besar, jangka panjangnya menyimpan bom waktu.

Pemerintah harus mengakhiri politik beras guna mengatasi kemiskinan dengan mengatur tata niaganya. Dengan begitu, harganya tetap rendah. Pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada akhirnya.

Presiden SBY yang melontarkan gagasan revitalisasi pertanian, misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas bidang yang sedang dan telah direvitalisasi.  

Pemerintah patut belajar dari Thailand dan Korsel yang menyubsidi petaninya secara besar-besaran guna mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan. Sudah saatnya memperluas diversifikasi produk pangan olahan untuk mengawal penguatan kedaulatan guna memutus mata rantai impor beras sekaligus mengakhiri politik beras murah.


Oleh Posman Sibuea

Penulis adalah Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan

http://www.koran-jakarta.com/?6623-kedaulatan%20pangan%20makin%20jauh

Senin, 24 Februari 2014

KOMODITAS BERAS Bom Waktu

Senin, 24 Februari 2014

BICARA pangan di Indonesia, tidak akan mungkin melupakan beras. Beras komoditas strategis, karena dikonsumsi 90 persen orang Indonesia.

Berdasar data Badan Pusat Statistik 2012, di perkotaan, beras memberikan kontribusi 26,92 persen terhadap kenaikan garis kemiskinan. Di perdesaan lebih besar lagi, mencapai 33,38 persen.

Di Indonesia beras diproduksi oleh 18 juta rumah tangga petani. Melibatkan 200.000 usaha penggilingan padi, 180.000 di antaranya penggilingan skala kecil. Sentra produksi beras di 97 kabupaten di 9 provinsi.

Bila dihitung secara kasar, lebih dari 100 juta penduduk Indonesia hidupnya terkait secara langsung atau tidak langsung dengan industri beras, mulai dari hulu seperti sarana produksi, budidaya, pengolahan, hingga perdagangan.

Meski bernilai strategis, komoditas beras di Indonesia belum dikelola dengan baik. Pada 2013 inflasi karena lonjakan harga bahan makanan, termasuk beras, mencapai 11,35 persen.

Naiknya inflasi tentu menggerus daya beli masyarakat, utamanya kelompok masyarakat miskin di Indonesia yang pada September 2013 jumlahnya mencapai 28,55 juta jiwa.

Indikator buruknya pengelolaan beras tampak dari politik perberasan nasional. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa negara harus menjamin akses pangan masyarakatnya. Oleh karena itu, harga pangan harus bisa terjangkau daya beli masyarakat.

Di sisi lain agar petani tetap mau berproduksi, harus bisa menjual gabah/beras pada tingkat yang wajar. Yang menguntungkan. Dengan kata lain, harga beras harus berada pada tingkat yang pas. Pas buat petani, pas buat konsumen.

Kalimat itu terasa indah kedengarannya. Enak dirasakan, terkesan adil. Dan juga menunjukkan kebijaksanaan pengelola negara. Tapi kalimat itu sekaligus juga ”menjerumuskan” negara.

Lupakan dulu politik perberasan kita! Sejenak kita tengok kebijakan perdagangan global Indonesia, yang menganut pasar bebas. Sudah tidak asing lagi prasyarat utama agar Indonesia mampu bertahan hidup di era perdagangan bebas adalah memenangkan kompetisi.

Agar komoditas beras Indonesia berdaya saing, produksi harus efisien. Untuk mencapai hal itu, skala produksi harus besar. Faktanya skala usaha tani padi di Indonesia kecil. Lahan pertanian padi hanya kurang dari 8 juta hektar, dikelola oleh 18 juta rumah tangga petani. Tiap petani rata-rata mengelola kurang dari 0,3 hektar lahan pertanian.

Kecenderungan luas kepemilikan lahan pertanian padi terus menurun akibat fragmentasi lahan sebagai dampak sistem bagi waris. Belum lagi masalah alih fungsi lahan.

Meski lima presiden Indonesia berganti dan sebentar lagi presiden habis masa jabatannya, tidak satu pun Presiden RI yang mampu menyelesaikan persoalan fragmentasi dan konversi lahan pertanian.

Karena politik pangan Indonesia mendua, salah satu solusi jalan pintas yang diambil pemerintah untuk menjaga harga jual gabah/beras pada tingkat yang pas bagi petani adalah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah.

Dampak harga patokan pemerintah yang selalu naik, harga beras lokal Indonesia sejak empat tahun lalu melebihi harga beras dunia. Bahkan hampir menembus dua kali lipatnya. Satu kenyataan: daya saing beras Indonesia kalah! Ke depan, beras sebagai komoditas akan menjadi persoalan utama yang berpotensi jadi bom waktu. (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140224kompas/#/17/

Pupuk Bersubsidi Kian Langka, Petani Diminta Beralih ke Organik

Minggu, 23 Februari 2014

REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Dinas Pertanian Kabupaten Lebak meminta petani menggunakan pupuk organik dari kotoran hewan ternak pada musim tanam Februari-Maret 2014 menyusul kelangkaan pupuk bersubsidi.

"Kami sudah mengintsruksikan seluruh petani agar menggunakan pupuk organik untuk menyuburkan lahan pertanian dan tidak merusak kondisi tanah," kata Kepala

Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Lebak Dede Supriatana di Rangkasbitung.

Ia mengatakan, sebetulnya penggunaan pupuk organik cukup besar manfaatnya dibandingkan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik dari kotoran hewan ternak tidak merusak kondisi tanah juga dapat mendongkrak produktivitas pangan.

Namun, kata dia, umumnya petani di sini sudah terbiasa menggunakan pupuk bersubsidi produk pabrikan. Karena itu, pihaknya mengajak petani agar memakai pupuk organik, selain harga relatif murah juga sangat mudah diperoleh di lingkungan masyarakat sebab bahan baku pupuk organik hanya memanfaatkan sampah-sampah untuk dibuat kompos maupun kotoran ternak hewan, seperti sapi, kerbau, kambing dan unggas.

"Kami optimistis penggunaan pupuk organik dapat mendongkrak produksi pangan," katanya.

Menurut dia, pembuatan pupuk organik begitu mudah karena Dinas Pertanian setempat sudah beberapakali memberikan pelatihan. Penggunaan pupuk organik ternyata bagus untuk menyuburkan lahan pertanian, terutama tanaman padi.

"Saya tidak henti-hentinya jika ke lapangan memberikan penyuluhan dan sosialisasi pemakaian pupuk organik," katanya.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/23/n1f6up-pupuk-bersubsidi-kian-langka-petani-diminta-beralih-ke-organik

Beda Harga Rp 2 Ribu, Importir Oplos Beras

23 Februari 2014

Liputan6.com, Jakarta : Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU) untuk menyelidiki kasus peredaran beras impor asal Vietnam di Indonesia. Pihaknya menuding ada permainan oleh sejumlah importir besar yang merugikan pedagang kecil.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) APPSI, Ngadiran mengatakan, KPPU perlu terlibat dalam kisruh beras impor medium Vietnam. Pasalnya, dia menilai para pedagang atau importir besar telah mengoplos beras medium tersebut sehingga bisa dijual murah di pasaran.

Hal ini sekaligus menjawab pernyataan Kementerian Pertanian (Kementan) yang menduga menduga beras medium asal Vietnam yang beredar di pasar Induk Cipinang, Jakarta merupakan hasil campuran dengan beras lokal. Beras oplosan ini membuat harga beras premium asal Vietnam ini bisa dijual jauh di bawah kualitas beras lokal.

"Pengoplosan terjadi karena ada perbedaan harga sekitar Rp 2 ribu per liter antara beras dalam negeri dan impor, sehingga pedagang besar atau importir mencampur kedua beras itu," ungkapnya saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Minggu (23/2/2014).

Dia menganggap, tindakan nakal semacam pengoplosan dilakukan oleh para pedagang besar. Mereka sengaja mencampur beras di gudang-gudang beras pasca masuknya barang dari pelabuhan.

"Yang nakal bukan pedagang yang ada di pasar eceran, tapi pedagang besar. Barang dari kapal langsung masuk ke gudang-gudang pedagang besar. Di sanalah kemungkinan terjadinya oplosan," jelas Ngadiran.

Indikasi ini, lanjut dia, membutuhkan penyelidikan dari KPPU supaya ada kejelasan siapa yang bersalah atas kasus tersebut. "Ya seharusnya diselidiki KPPU, karena kalau pedagang di pasar cuma terima barang dari pedagang besar dengan kondisi itu (oplosan) untuk dijual lagi secara eceran," tandas Ngadiran.

Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menduga, para pedagang sengaja mengoplos beras impor Vietnam agar eksklusifitas dari kualitas tak terlihat lagi. "Kalau konsumen yang sudah kaya, dia tentu akan pilih beras Indonesia. Tapi memang pedagang mungkin yang oplos itu beras makanya harganya murah," ucap Rusman.

Di sisi lain, Rusman menambahkan, peredaran beras impor Vietnam jenis medium akibat kesempatan memanfaatkan kesamaan kode HS antara beras impor premium dan medium.

"Saya tidak mengatakan importirnya nakal, tapi ini bisa terjadi karena (importir) sengaja atau tidak paham (aturan). Kalau memang sengaja mencari keuntungan, makanya izin harus dicabut dan di blacklist," tegas dia.

http://bisnis.liputan6.com/read/834629/beda-harga-rp-2-ribu-importir-oplos-beras?wp.trkn
 (Fik/Ahm)

Data Bappenas buktikan era SBY rajin impor pangan

Minggu, 23 Februari 2014

Merdeka.com - Importasi bahan pangan utama sepanjang pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengalami peningkatan sejak dia pertama kali menjabat pada 2004 hingga 2013, jelang setahun sebelum lengser.

Kebijakan impor ini, kata pemerintah, disebabkan cadangan bahan pangan utama nasional seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai dan bawang merah tidak mencukupi kebutuhan sehingga memicu melonjaknya harga.

Menurut data yang dikutip merdeka.com dari laporan Pencapaian Kinerja Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan KIB II terbitan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Minggu (23/2), catatan importasi bahan pangan utama sepanjang KIB II meningkat lebih besar dibanding dengan KIB I.

Importasi beras sejak 2004 hingga 2013 mengalami fluktuasi. Pada 2004, impor beras sebanyak 236 ribu ton, lantas, saat 2006 jumlah impor beras naik menjadi 438 ribu ton dan mencapai 1,4 juta ton pada 2007.

Sempat menurun dua tahun, tren impor beras kembali naik mulai tahun 2010, 2011, dan 2012 menjadi masing-masing sebesar 687 ribu ton, 2,7 juta ton serta 1,7 juta ton.

Impor komoditas cabai juga mengalami tren yang meningkat sejak tahun 2004 hingga 2013. Tahun 2004, impor cabai sebesar 7 ribu ton dan menurun menjadi 6 ribu ton pada tahun 2005.

Namun demikian, mulai tahun 2006, tren importasi cabai selalu meningkat dari 9 ribu ton berturut-turut menjadi 11 ribu ton, 14 ribu ton, 16 ribu ton, 18 ribu ton, 24,4 ribu ton, dan baru menurun di tahun 2012 serta 2013 menjadi masing-masing 17 ribu ton dan 12 ribu ton.

Sementara importasi daging sapi antara tahun 2004 hingga 2010 mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 11 ribu ton, 19 ribu ton, 24 ribu ton, 39 ribu ton, 45,6 ribu ton, 67 ribu ton, dan 90 ribu ton.

[bai]

http://www.merdeka.com/uang/data-bappenas-buktikan-era-sby-rajin-impor-pangan.html

Minggu, 23 Februari 2014

Pangan Jaminan Pertumbuhan Ekonomi

Sabtu, 22 Februari 2014

SINISME terhadap peran pertumbuhan ekonomis dari sektor pangan telah menjadi-jadi dilontarkan oleh sejumlah ekonom. Sekurang-kurangnya hal tsb tersirat dari rancangan, Masterplan Pengembangan dan Perluasan Pembengunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN). Bahkan juga promosi ekonomi RI oleh Mckinsey yang disampaikan Obermann dan kawan-kawan serta paparan Haryanto dalam Economic Outlook 2013.

Lebih formal dan lagi tersurat, sinisme dilontarkan Pejabat Negara RI 2014. Adalah Menteri Keuangan RI yang secara lantang baru-baru ini lebih-kurang menyatakan tidak ada harapan pada sektor pangan untuk bisa memberi kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional RI. Sungguh menyakitkan sinisme Menkeu ini. Pertama, menteri itu terang-terangan telah melecehkan sektor pangan, peran rakyat tani yang mayoritas pelaku ekonomi RI, dan jutaan investor gurem.

Kedua, pemikiran itu harus direformat karena ternyata pejabat ini tidak pernah memahami bahwa minimalnya peran pangan itu semua adalah 'by design', Untuk mendukung sektor industri.

Ketiga, pemikiran seperti itu sama sekali tidak dilandasi dengan pemahaman proses yang memandang peran kontributif itu sebagai sebab atau akibat. Faktanya, ketidakadilan pembangunan perekonomian RI selama ini telah sengaja memarjinalkan peran sektor pangan yag hanya diposisikan sekedar sebagai penghasil pangan murah.

Keempat, menteri itu lupa bahwa pertumbuhan sektor jasa, pengolahan, transportasi dan lain-lain, hakekatnya adalah kegiatan yang menjadi marak karena melayani dan sebagai turunan sektor pangan. Turunlah ke kaki lima, bukankah semua kegiatannya nyaris agro-based.

Kelima, harus sepenuhnya disadari bahwa faktanya, pertumbuhan sektor industri yang selama ini telah menganaktirikan sektor pangan ternyata sangat cacat. Karena pertumbuhan yang protektif ini ternyata, menurut kritik global, merupakan pertumbuhan yang: pertama sangat tidak stabil, kedua sangat terpusat di Jakarta. Kemudian ketiga, mengandalkan konsumsi tetapi barang impor, dan terakhir berbasis sumberdaya alam mentah dan SDM melimpah.
Dalam watak pertumbuhan dengan segala cacat dimaksud, bisa dipertanyakan kepada Menkeu khususnya & Kabinet Indonesia Bersatu (KIB): bagaimana bisa mengatasi rentannya empat watak pertumbuhan ekonomi nasional yang mengkawatirkan itu? Omong kosong dan 'ndobos' adanya kalau penyelamatan yang paling potensial bukan sektor pangan.

Alasannya? Pertama, pengembangan seksama sektor pangan jelas sekali menjanjikan watak pertumbuhan yang sangat stabil karena nyaris sepenuhnya tergantung pada sumberdaya domestik, bukan sumberdaya impor. Bandingkan dengan industrialisasi yang selama ini terjadi di tanah air, yang hanya hidup berbasis bahan baku, teknologi, SDM, dan modal asing.

Kedua, sumberdaya domestik andalan sektor pangan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Karena itu pengembangannya adalah penyebaran pusat pertumbuhan RI. Ketiga, konsumsi dalam negeri diduga banyak komponen impor, terutama untuk sektor pangan yang hobinya impor. Dengan pengembangan sektor pangan maka struktur konsumsi akan bergeser ke pangan domestik. Keempat, kembali ke pangan melalui intensifikasi dan hilirisasi berarti meningkatkan nilai tambah SDA dan SDM. Pertumbuhan bukan lagi mengandalkan SDA dan SDM, tetapi nilai tambahnya.

Perlu diingatkan sekali lagi, bahwa selama ini potensi pangan memang sangat dimarjinalkan oleh kebijakan pembangunan ekonomi nasional RI, karena terlanjur keblinger ke industrialisasi non-agro. Sudah waktunya kembali ke pengembangan pangan dan agroindustri. Itulah sumber kekuatan bagi kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian bangsa RI, Insya Allah.

Prof Dr M MaksuM Mahfoedz
(Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2698/pangan-jaminan-pertumbuhan-ekonomi.kr

Negara Serba Salah

Sabtu, 22 Februari 2014


KOMPAS.com - Kalau ada negara kaya yang serba salah mengelola kekayaannya, barangkali salah satunya adalah Indonesia. Dari laut, perut bumi, rawa, hingga hutan di gunung-gunung negeri ini, semuanya bisa menghasilkan uang dan energi.

Nyatanya, kekayaan itu tak bisa menyejahterakan 245 juta penduduk Indonesia secara merata. Alih-alih membuat rakyatnya semakin sejahtera, kekayaan alam Indonesia justru menjadi biang kesenjangan pendapatan.

Segelintir orang menguasai sektor strategis dan menjadi konglomerat dengan kekayaan triliunan. Sementara jutaan orang lainnya hidup melarat. Tak perlu mencari orang miskin ke pulau terpencil atau daerah pedalaman. Di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang menjadi barometer perekonomian Indonesia sangat mudah ditemukan warga miskin.

Data yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Januari 2014 menunjukkan, ada 28,55 juta orang miskin pada September 2013. Padahal, pada Maret 2013, jumlah orang miskin tercatat 28,07 juta orang.

Bertambahnya 480.000 orang dalam kemiskinan itu disebabkan kenaikan harga bahan makanan menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Komponen nonbahan makanan, seperti perumahan, sandang, kesehatan, dan pendidikan, ikut berkontribusi terhadap bertambahnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Namun, kontribusinya terhadap garis kemiskinan jauh lebih kecil dibandingkan kontribusi komponen bahan makanan yang mencapai 73,43 persen.

Kenaikan harga BBM menyebabkan inflasi. Inflasi dari Maret hingga September mencapai 5,02 persen. Inilah yang patut kita sebut sebagai negara kaya yang serba salah.

Harga BBM dinaikkan karena jauh di bawah harga keekonomian. Negara terlalu besar menanggung subsidi BBM. Padahal, sebagian besar subsidi itu dinikmati orang-orang yang tidak miskin. Para pemilik mobil, baik yang berkapasitas mesin kecil maupun besar, menikmati subsidi BBM setiap hari. Jadi, keputusan menaikkan harga BBM sudah tepat.

Masalahnya, fondasi perekonomian sebagian besar masyarakat rapuh. Apalagi, masyarakat kelas bawah yang hari-harinya habis untuk bekerja sekadarnya supaya bisa makan. Begitu harga bahan makanan naik, mereka akan terbenam makin miskin. Orang-orang yang semula belum tergolong miskin, lalu ikut terjatuh dalam kemiskinan.

Pemerintah sudah menyiapkan jaring pengamanan sosial bagi warga yang rentan itu. Toh, jaring pengamanan itu jebol juga ketika harga sejumlah bahan makanan naik. Jika jaring itu berfungsi baik, tak ada warga miskin baru ketika harga BBM dinaikkan untuk mengurangi subsidi negara.

Belajar dari krisis ekonomi tahun 1997, sektor usaha kecil dan menengah menjadi penopang fondasi perekonomian Indonesia. Saat itu sektor perbankan dan formal yang digerakkan perusahaan-perusahaan transnasional kolaps.

Kini, pemerintah semestinya segera mendorong sektor usaha kecil dan menengah yang tumbuh di lingkungan warga kelas bawah. Tak perlu menunggu krisis lagi. Sekarang sudah saatnya, walaupun boleh dibilang terlambat. (Agustinus Handoko)

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/22/0903465/Negara.Serba.Salah

Sabtu, 22 Februari 2014

Risma dan ''Kesalehan Kepemimpinan''

Sabtu, 22 Febrauri 2014

Visi kepemimpinan, agenda setting partai politik, dan kelindan kepentingan pemilik modal mengetengahkan sejumlah keniscayaan orientasi. Rakyat sebagai pemilik suara dan kedaulatan pun hanya menjadi objek yang terkalahkan oleh keterwakilan elite, sehingga terbentanglah kesenjangan antara ide dengan kenyataan.

Begitulah kira-kira deskripsi persoalan posisi kepemimpinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, harihari ini. Niat mundur Risma karena merasakan tekanan politik yang tidak proporsional terkait dengan kebijakan- kebijakannya dalam memajukan Surabaya, menggambarkan betapa orang baik tidak selalu mendapat tempat semestinya dalam konstelasi kepentingan politik.

Capaiancapaian prestasi , bahkan pengakuan internasional tidak cukup untuk menciptakan kebanggaan bahkan di lingkungan politiknya tatkala ada kepentingan yang tak terakomodasi.

Indonesia punya mutiara-mutiara kepemimpinan dengan skala masing-masing pada diri Tri Rismaharini, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ridwan Kamil untuk menyebut sebagian yang memberi warna.

Pengakuan, capaian, dan kebutuhan rakyat, ternyata tak selalu paralel dengan dukungan yang seharusnya didapat tanpa reserve dari kekuatan-kekuatan politik. Keinginan mundur Risma memuat pesan kuat tentang kecenderungan itu.

Apakah ”kesalehan kepemimpinan”, dengan orientasi bekerja untuk rakyat, demi kemajuan daerah, dengan capaian yang diakui secara terukur, akan serta merta dianggap sebagai klilip ketika kelindan kekuasaan dan modal merasa terusik?

Apakah kemelejitan popularitas pemimpin yang baik itu disikapi sebagai ancaman bagi elite partai? Apakah keteguhan, kelurusan, dan kejujuran dianggap sebagai ”kekurangan” karena ia ”tak berguna” bagi partai?

Orang-orang seperti Risma, Jokowi, dan Ahok harus diakui sebagai pemimpin yang berani memilih ”jalan sunyi”, tapa ngrame di tengah gejolak kepentingan hedonispragmatis di langit politik kekuasaan.

Mereka memilih jalan asketis untuk total berpihak kepada rakyat dengan visi, konsep, kebijakan, dan perilaku kepemimpinan. Kesalehan seperti itulah yang rupanya dipandang sebagai ancaman bagi kekuatan-kekuatan yang pro-mindset instan.

Sebagai pemilik kedaulatan, rakyat seharusnya terganggu oleh berbagai usikan terhadap para pemimpin itu. Jika kepemimpinan Risma memang merupakan kebutuhan bagi rakyat, keberpihakan harus ditunjukkan dengan mengaspirasikannya lewat para wakil di DPRD.

Mobilisasi opini publik tentang pentingnya keberadaan sang wali kotalah yang mestinya membuka mata dan hati para elite politik: mereka sejatinya tengah melawan kehendak rakyat.

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/22/253376

Jumat, 21 Februari 2014

Beras Tak Sesuai Dokumen

Jumat, 21 Februari 2014

Sistem Impor Dibenahi

JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih memeriksa status 32 peti kemas beras wangi impor dari Vietnam. Kesimpulan sementara menggunakan tiga parameter menyebutkan, 24 peti kemas beras diduga tidak sesuai dengan yang disebutkan dalam dokumen.
Ketiga kriteria yang digunakan laboratorium adalah panjang bulir rata-rata, rasio panjang dibandingkan lebar, dan kandungan amilosa. Pelaksana Tugas Harian Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Vincentius Sonny Loho dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/2), mengatakan, kesimpulan akhir atas status beras impor dari Vietnam itu masih akan menunggu hasil uji parameter keempat, yakni kemurnian varietas.

”Saat ini, 32 peti kemas yang membawa 800 ton beras impor dari Vietnam itu masih ditahan di Pelabuhan Tanjung Priok untuk keperluan pemeriksaan dan pengumpulan alat bukti,” kata Sonny.

Pada 7 Februari lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menahan 32 peti kemas beras impor asal Vietnam dengan dokumen yang menyebutkan bahwa beras berjenis Thai Hom Mali dan berasal dari Thailand.

Kesimpulan atas status beras itu akan berpengaruh terhadap penanganan beras. Jika terbukti tidak sesuai dengan ketentuan impor, beras bisa direekspor atau disita untuk negara.

Beras khusus
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Yusni Emilia Harahap menjelaskan, Thai Hom Mali merupakan jenis beras khusus untuk keperluan tertentu. Selain Thai Hom Mali, yang termasuk jenis beras khusus adalah Japonica dan Basmati.

”Pemeriksaan kemurnian adalah bagian dari seluruh proses, tetapi penting karena menyangkut masalah teknis,” ungkap Emilia.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menyebutkan, impor beras khusus sepanjang tahun 2013 sebanyak 492.000 ton. Sebanyak 440.000 ton merupakan impor untuk keperluan industri, sementara 52.000 ton untuk keperluan konsumsi atau sekitar 0,1 persen dari konsumsi beras nasional sebanyak 39 juta ton.

Sistem diperbaiki
Hasil koordinasi sejumlah kementerian menyimpulkan, sistem impor beras perlu diperbaiki. Menurut Bachrul, mulai pekan depan akan diterapkan penyempurnaan aturan. Selama ini, impor beras bisa dilakukan importir yang telah memiliki nomor pengenal importir khusus.

”Nanti pengusaha yang bisa mengimpor beras hanya importir terdaftar dan importir produsen. Verifikasi akan dilakukan ke perusahaan sebelum perusahaan ditetapkan menjadi importir terdaftar dan importir produsen,” kata Bachrul.

Importir terdaftar dan importir khusus wajib mencantumkan nomor pengenal umum. Selain itu, importir juga harus membuat surat keterangan yang menyatakan bahwa pihaknya tidak berafiliasi dengan importir lain yang sudah terdaftar sebagai importir terdaftar dan importir produsen. Hal ini dilakukan supaya impor tidak dikuasai satu pihak. (AHA)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140221kompas/index.html#/23/

Kamis, 20 Februari 2014

UU Perdagangan Belum Memihak Kepentingan Nasional

Kamis, 20 Februari 2014

UU Perdagangan yang baru disahkan pemerintah ternyata isinya belum memihak kepentingan nasional. Tidak ada strategi pengendalian harga, lebih banyak hal yang akan diatur oleh menteri. 

Coba, tunjukkan keberpihakannya di mana? Banyak hal di UU itu yang akan ditetapkan oleh Menteri sehingga arahnya menjadi tidak jelas

Jakarta - Ekonom Hendri Saparini menilai UU Perdagangan yang disahkan DPR pada Selasa (11/2) belum berpihak kepada perdagangan nasional. Kurang nampak upaya DPR dan pemerintah memperjuangkan kepentingan nasional.
"Coba, tunjukkan keberpihakannya di mana? Banyak hal di UU itu yang akan ditetapkan oleh Menteri sehingga arahnya menjadi tidak jelas," kata Hendri Saparini, di Auditorium LIPI, Jakarta, Rabu (19/2).
UU Perdagangan mengamanatkan sembilan peraturan pemerintah, 14 peraturan presiden, dan 20 peraturan menteri dengan 19 poin penting. Terlihat jelas bahwa peraturan menteri mendominasi isi UU tersebut.
Memang, salah pasal UU tersebut mencamtukan soal pengendalian harga. Namun, tidak jelas komoditas apa saja yang dikendalikan. Dengan demikian, tak jelas pula instrumen apa yang ditentukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian.
Menurut Hendri, inflasi akan tetap tinggi karena harga tidak dikendalikan. Taruhlah Bulog bisa mengendalikan harga beras, "Tapi berasnya tidak dia kendalikan. Bulog hanya melakukan operasi pasar untuk beras. Sedang untuk pengendalian komoditi lain, Bulog tak punya kewenangan."
Hal itu terjadi karena UU Perdagangan tidak menentukan pihak yang menetapkan komoditas strategis. Soal kedelai, misalnya, "Sudah ada UU Perdagangan, masa harus ada kebijakan lagi untuk menjaga agar kedelai bisa terpenuhi harganya supaya stabil."
Mestinya, kata dia, UU Perdagangan mengatur soal pasokan harga dikaitkan dengan banjirnya komoditas dari luar dan upaya peningkatan produksi dalam negeri. "Hal itu harus saling dikaitkan sebagai strategi bersama. Tanpa strategi, harga tak bakal terkendali," kata direktur CORE (Centre of Reform on Economic) ini. 

DUGAAN KORUPSI Pejabat Kementan Menjadi Tersangka

Kamis, 20 Februari 2014

JAKARTA (Suara Karya): Dirjen Tanaman Pangan Kementan Udhoro Kasih Anggoro (UKA) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengendalian Serangan Pangan.
Penetapan Undhoro sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan kasus pengadaan alat pengendali serangga (light trap) yang telah disidik Kejati DKI Jakarta sejak September 2013.
"Berdasarkan pengembangan, penyidik melihat keterlibatan beberapa orang yang, menurut analisis, sangat layak ditetapkan sebagai tersangka," kata Kajati DKI Adi Toegarisman, Rabu, di Jakarta.
Selain Undhoro, Kejati DKI Jakarta juga menetapkan empat tersangka baru dalam kasus yang, berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), merugikan negara Rp 33 miliar. Keempat tersangka baru itu adalah EB (Direktur Tanaman Pangan), MS (swasta), ACR (perusahaan penghubung), dan MAS (rekanan perusahaan pemenang lelang).
Sebelumnya, 10 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka pula. Mereka adalah Agung Wradsongko (pejabat pembuat komitmen di Ditjen Tanaman Pangan Kementan), Alimin Sola (Ka ULP di Ditjen Tanaman Pangan), Hidayat AR (Ketua Pokja Pengadaan Bantuan Sarana OPT di Ditjen Tanaman Pangan), Iksan Nugraha (General Manager PT Hariff Daya Tunggal Enginering), Azi Nurzaman (Direktur CV Prima Sejahtera), Moch Yamin (Direktur PT Farsindo), Amsar Sheba (Direktur PT Puma Dharma Perdana), Agus Irmanto (Direktur PT Formita), WB Didit Hanindipto (Direktur CV Hanindra Karya), dan Yanuar (Direktur PT Andalan Mitra Persada).
Menurut Adi, saat ini pemberkasan terhadap sepuluh tersangka sudah hampir rampung. "Segera kesepuluh tersangka itu bisa didorong ke tahap penuntutan," katanya.
Anggaran dalam proyek pengadaan 7.000 unit light trap tahun 2012 ini diduga telah digelembungkan. Saat itu, anggaran proyek mencapai Rp 135 miliar. Terdapat lima perusahaan rekanan yang menang proses pelelangan. Namun, Kejati belum melakukan penahanan atas seluruh tersangka.
Modus perbuatan yang menggerogoti keuangan negara tersebut dilakukan para pejabat Kementan dan pengusaha dengan pengaturan lelang serta penggelembungan harga.
Light trap dimaksud ada, tetapi kualitasnya tidak sebagaimana ditetapkan. Penurunan kualitas barang ini dilakukan agar bisa mendapatkan barang sejenis dengan harga murah.
Ditambah lagi dengan mark-up, maka semakin besarlah nilai anggaran yang diselewengkan dalam proyek pengadaan light trap tersebut.
Selain itu, dalam kasus ini, pihak Kejati DKI menyita sejumlah barang bukti berupa uang dan dua unit mobil mewah.
"Barang bukti dalam perkara ini yang dapat kami sita ada mobil Wrangler Rubicon, dan kami dapat uang Rp 6 miliar," ujar Adi.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan light trap, Udhoro juga pernah diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan perkara dugaan korupsi Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Paket 1 tahun 2012 di Kementan.
Usai diperiksa penyidik Pidsus Kejaksaan Agung, akhir Januari lalu, Udhoro, yang enggan memberi keterangan soal materi pemeriksaan, hanya menegaskan bahwa dirinya wajib memberi keterangan sebagai salah satu kuasa pengguna anggaran (KPA).
Udhoro menolak menjawab mengenai proses penunjukan pemenang lelang, yakni PT Hidayah Nur Wahana (HNW). Udhoro meminta untuk menanyakan hal tersebut kepada panitia lelang. Diduga PT HNW dikelola oleh petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dalam kasus itu, Kejaksaan menetapkan enam tersangka yang terdiri dari dua orang dari swasta dan empat orang dari Kementan. Dua tersangka itu adalah Dirut PT HNW Sutrisno dan Pimpinan Produksi PT HNW Mahfud Husodo.
Sementara empat tersangka dari Ditjen Tanaman Pangan Kementan adalah Ketua Pokja Hidayat Abdul Rahman, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Zaenal Fahmi, anggota Tim Verifikasi Teknis Lapangan untuk Daerah Jatim (Jember) Sugiyanto, serta Staf Direktorat Aneka Kacang dan Umbi Alimin Sola.
Kejaksaan menduga penyaluran BLBU senilai Rp 209 miliar berupa padi lahan kering, padi hibrida, padi non-hibrida, dan kedelai itu tidak sesuai varietasnya, dan beberapa pelaksanaannya tidak sesuai dengan peruntukkannya atau fiktif. (Jimmy Radjah)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=344875

Rabu, 19 Februari 2014

Mentan Minta Impor Beras Vietnam Ditunda

Rabu, 19 Februari 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengatakan sebaiknya rencana impor beras ditunda sementara. Hal ini mengingat belum tuntasnya kasus beras Vietnam yang ditemukan di Pasar Beras Cipinang.

"Kami pada dasarnya sangat mendukung kalau memang ditunda dulu (impor beras), supaya kasus ini terungkap dulu di mana masalahnya. Siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum harus ditindak," kata Suswono saat ditemui di kompleks DPR Jakarta, Selasa (18/2).

Mentan berpendapat bahwa impor beras tidak harus dilakukan secepatnya. Jadi, menurutnya, bisa ditunda sementara hingga persoalan ini selesai. "BPK sudah melakukan audit dan investigasi. Lalu, kemarin Bea Cukai sempat menahan 12 kontainer. Artinya, saya kira ada baiknya ditunda sementara sampai persoalan tuntas. Apalagi, bukan kebutuhan yang mendesak," katanya.

Namun, Mentan mengatakan, kasus ini sudah dirapatkan dengan semua pihak yang terkait, termasuk Kementerian Perdagangan. "Kementan berkomitmen akan mengikuti keputusan yang nanti didapatkan dalam rapat koordinasi," tegas Suswono.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa meminta kementerian teknis membahas kasus keberadaan beras Vietnam secara bilateral. Hatta mengaku telah melakukan koordinasi untuk keperluan tersebut. "Setelah itu, saya minta diumumkan," katanya, Selasa (18/2).
Ia meminta semua pihak tidak saling menyalahkan dan mengkaji penyebab kebocoran tersebut. Apabila memang ditemukan kelemahan dalam proses rekomendasi maupun izin impor maka harus segera diperbaiki.

Perihal proses impor beras tertentu, menurut dia, tidak perlu dibahas secara khusus. Impor beras dibenarkan selama ada rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Khusus beras medium, hanya Perum Bulog yang bisa melakukan impor melaui rapat koordinasi. Hatta mengemukakan, impor Bulog bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya, ketika harga beras terlalu tinggi atau stok Bulog tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Hatta pun mengaku belum mengetahui rencana penghentian impor beras. Menurut dia, hal tersebut menjadi kewenangan Mentan. "Saya belum tahu karena itu menjadi kewenangan Mentan karena dia yang tahu apakah kita perlu (impor) atau tidak," katanya. N meilani fauziah ed: irwan kelana

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/02/19/n16ye9-mentan-minta-impor-beras-vietnam-ditunda

Selasa, 18 Februari 2014

Kisruh Impor Beras

Selasa, 18 Februari 2014

Belum tuntas kisruh impor beras 16.900 ton asal Vietnam, kini muncul dugaan impor beras ilegal 800 ton.

Belum ada tanda-tanda dari otoritas yang berwenang untuk menuntaskan masalah ini. Seperti yang sudah-sudah, tiga kementerian yang terlibat langsung dalam urusan impor beras, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan, justru terlibat saling lempar tanggung jawab. Saat pertama muncul, awal Januari lalu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, beras dari Vietnam masuk atas rekomendasi Kementan.

Masalah ini lantas jadi kisruh di kabinet karena Mentan Suswono membantah mengeluarkan rekomendasi impor beras medium. Menurut Suswono, sepanjang 2013 kementeriannya hanya menerbitkan rekomendasi impor beras premium 400.000 ton, bukan beras medium. Pertanyaannya, jika tak ada rekomendasi, bagaimana bisa beras medium asal Vietnam masuk? Tak ingin terpojok, Kemendag membentuk tim guna menelusuri impor beras oleh 58 importir. Tim juga melibatkan dua pakar perberasan. Hasilnya, seperti disampaikan Wakil Mendag Bayu Krisnamurthi, cukup mengejutkan: hanya ada beras premium, bukan beras medium. Bayu tak bisa memastikan mengapa beras premium impor dijual murah setara beras medium lokal?

Penyelundupan?
Bayu menduga, banting harga itu strategi atau persaingan dagang. Lazimnya, disparitas harga dalam persaingan dagang berkisar Rp 100-Rp 200/kg. Jika lebih dari Rp 1.000, bahkan di atas Rp 2.000/kg, kemungkinan ada penyelundupan alias impor ilegal dengan modus memalsukan dokumen atau cara kotor lainnya. Sampai artikel ini ditulis belum ada jawaban mengapa harga beras premium impor dibanting.

Ada sejumlah pertanyaan yang disodorkan media, salah satunya: ”sulitkah menelusuri kasus ini?” Semestinya tidak. Penelusuran siapa salah dan siapa benar jadi sulit lantaran tak ada komitmen menuntaskan masalah. Ini bisa dilihat dari saling lempar tanggung jawab dan tak ada upaya membentuk tim bersama guna menuntaskan. Tim ini bisa menelusuri dokumen impor dari awal, termasuk klarifikasi data dan dokumen antar-kementerian. Jika memang tak bersalah, mengapa harus takut terhadap pembentukan tim bersama?

Mengapa tim bersama? Menurut Permendag No 12/Tahun 2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras, beras medium hanya bisa diimpor oleh Perum Bulog untuk stabilisasi harga, keadaan darurat, masyarakat miskin, dan kerawanan pangan. Beras premium bisa diimpor importir (swasta) untuk kepentingan tertentu: kesehatan, komunitas tertentu, dan bibit. Beras baru bisa diimpor setelah lewat alur di tiga kementerian. Pertama, importir mengajukan ke Kemendag guna ditetapkan sebagai importir. Kedua, Kemendag menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) setelah ada rekomendasi Kementan. Ketiga, Ditjen Bea dan Cukai (BC) Kemenkeu memastikan beras impor sesuai dengan izin. Idealnya, sistem berjenjang ini memungkinkan saling koreksi jika ada kesalahan di satu kementerian.

Masalah terjadi karena sistem pengawasan berjenjang macet. Ini terbukti dari tak adanya uraian komplet dalam SPI dari Kemendag untuk 58 importir. Kesalahan bermula dari rekomendasi impor Kementan yang tak dilengkapi persyaratan yang harus dipenuhi importir. Celah ini dimanfaatkan importir guna mendatangkan beras medium asal Vietnam memakai SPI beras khusus: Japonica dan Basmati. Beras itu melenggang masuk pelabuhan via jalur hijau tanpa pemeriksaan fisik karena terkategori low risk. Ketika BC sebagai penjaga gawang terakhir bobol, loloslah pelanggaran.

Memang benar sebelum beras dikapalkan di pelabuhan muat negara asal, surveior yang ditunjuk akan memverifikasi. Namun, sesuai Permendag No 12/2008 Pasal 14, verifikasi impor/ekspor oleh surveior ”tidak mengurangi kewenangan Ditjen BC melakukan pemeriksaan pabean”. Mengapa BC menerjemahkan impor beras termasuk kategori low risk dan tak perlu pemeriksaan fisik? Bukankah ini berarti BC lepas tangan dan memberikan kelonggaran luar biasa bagi importir untuk melanggar?

Memanfaatkan celah
Bukan mustahil celah ini telah lama dimanfaatkan importir untuk mengeruk untung besar lewat impor. Ini terbukti dengan ditahannya 800 ton beras impor saat BC mengubah impor beras dari kategori low risk ke high risk, 29 Januari 2014. Dalam dokumen izin, beras yang diimpor jenis Thai Hom Mali, tetapi yang didatangkan jenis fragrance rice (beras wangi) asal Vietnam. Importir mana yang tidak tergiur mengimpor karena untung besar di depan mata. Sampai saat ini harga beras impor masih lebih murah daripada harga beras di pasar domestik. Untuk kualitas serupa disparitasnya bisa Rp 1.000/kg.

Celah pelanggaran makin longgar karena dari sisi tata kelola Permendag No 12/2008 mengandung cacat. Pasal 11 Ayat 4 menyebutkan, biaya survei di pelabuhan muat negara asal beras (preshipment inspection) dibebankan kepada importir. Aturan ini memunculkan konflik kepentingan. Sebagai pengawas, bagaimana mungkin surveior bisa independen jika dia dibayar pihak yang diawasi? Seharusnya sebagai kepanjangan tangan negara surveior mesti dibayar oleh negara, bukan importir. Celah ini membuka peluang para importir melakukan pelanggaran secara paripurna tanpa terdeteksi.

Ke depan, agar karut-marut tak berulang, tata kelola impor/ekspor beras harus diperbaiki. Perbaikan dimulai dari revisi Permendag No 12/2008 berikut penerjemahannya di lapangan oleh aparat BC. Perbaikan peraturan itu tak lebih macan kertas jika di antara tiga kementerian masih mempertahankan sikap paling benar sendiri dengan menyalahkan pihak lain. Terakhir, harus ada tindakan tegas dan keras terhadap pelanggar aturan, termasuk yang terjadi saat ini. Tak cukup sanksi administratif seperti diatur Permendag No 12/2008, tetapi juga perlu diseret ke meja hijau agar ada efek jera.

Mengimpor beras dari luar negeri, meski dengan harga lebih murah ketimbang harga beras petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya, mengimpor beras dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai (multiplier effect) di luar negeri. Sebaliknya, jika membeli beras petani domestik, meski lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri, baik konsumsi, pendapatan, maupun penyerapan tenaga kerja. Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Mengapa Jepang begitu protektif terhadap beras produksi petaninya tak lain karena efisiensi sosial itu.

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140218kompas/#/7/

Senin, 17 Februari 2014

Otonomi Mempertahankan "Negeri Agraris"

Senin, 17 Februari 2014

Mengapa negara kita yang notabene negara agraris harus mengimpor beras? Apakah tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri?

Pertanyaan seperti itu sering muncul di benak masyarakat terlebih bagi mereka kalangan menengah ke bawah yang amat “kritis” terhadap kebijakan pemerintah, terutama kebijakan yang dirasa tidak pro rakyat.

Kembali pada pertanyaan di atas. Logikanya cukup sederhana, Indonesia  tidak akan mengimpor beras jika telah mampu memenuhi kebutuhan beras nasional secara mandiri. Artinya, impor beras dilakukan karena Indonesia dirasa sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi semua kebutuhan beras bagi sekitar 240 juta jiwa yang tersebar di seluruh wilayah di negeri ini.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 Indonesia memproduksi gabah kering giling sebanyak  65.757.000 ton yang  berasal dari padi sawah maupun padi ladang. Produksi beras berdasarkan prediksi adalah sekitar 63 % dari produksi Gabah Kering Giling (GKG), maka produksi beras Indonesia pada tahun 2011 adalah 41.426.910 ton.

Konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia pernah menembus angka 152 Kg perkapita pertahun, sedangkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 menurut perkiraan BKKBN yaitu 241 juta jiwa. Jika mengambil nilai konsumsi tertinggi per kapita per tahun, maka konsumsi beras penduduk Indonesia adalah 36.632.000 ton pada tahun 2011. Artinya Indonesia mengalami surplus sebanyak 5 juta ton per tahun.

Perhitungan BPS dan Kementrian Pertanian tersebut tidak semata-mata dapat dijadikan pijakan bagi Bulog selaku badan yang mengurusi kegiatan logistik. Bulog mengatakan bahwa perhitungan tersebut tidak akurat karena hanya dihitung tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti potensi gagal panen yang mungkin terjadi disebabkan oleh bencana maupun iklim yang tidak menentu. Selain itu, laju konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian semakin meningkat. Terlebih di daerah perkotaan dimana kebutuhan akan perumahan terus meningkat dan salah satu dampaknya harus mengorbankan lahan pertanian. Hal ini penting diperhatikan agar tidak ada kekeliruan dalam menghitung produktivitas pangan dan konsumsinya terutama beras.

Kegagalan panen yang dikhawatirkan oleh Bulog tidak dapat dihitung berapa jumlahnya atau berapa luasnya. Alasan Bulog mengimpor beras adalah untuk mengamankan stok agar jika terjadi gagal panen atau kemarau berkepanjangan stok beras nasional tetap aman dan harga stabil. Walaupun berdasarkan perhitungan terdapat surplus beras yang cukup besar, kebijakan impor beras untuk keamanan stok tersebut tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan konsumsi pangan di Indonesia masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya.

Kekeliruan dalam perhitungan konsumsi beras yang mungkin tidak disadari adalah tidak adanya perhitungan konsumsi beras berdasarkan usia. Sejauh ini data konsumsi yang ditampilkan hanya secara umum saja dengan asumsi semua penduduk mengkonsumsi beras dengan porsi yang sama. Padahal jika dikaji lebih lanjut, konsumsi beras penuduk usia anak-anak tentu akan berbeda dengan konsumsi beras pada usia dewasa. Belum lagi jika menghitung berdasarkan tingkat pendapatan penduduk, konsumsi beras dua porsi sehari mungkin sudah cukup bagi mereka kalangan menengah ke bawah untuk menyambung hidup.

Dalam hal ini, BPS maupun Kementrian Pertanian tidak dapat melakukan generalisasi terhadap kebutuhan beras di Indonesia, perlu melakukan klasifikasi berdasarkan unsur-unsur demografi agar hasil perhitungan konsumsi beras lebih valid. Hal ini dapat menjadi acuan ke depannya untuk mempertimbangkan kebijakan impor beras dalam kurun waktu tertentu apakah benar-benar perlu impor atau tidak.

Selain itu, nasib para petani khususnya petani kecil sangat perlu diperhatikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu harus memihak kepada rakyat kecil dalam hal ini adalah petani. Rantai tata niaga yang panjang menyebabkan petani tidak memperoleh keuntungan besar, begitu pun dengan masyarakat yang harus membayar beras dengan harga lebih tinggi. Hasil pertanian yang berupa gabah kering giling harus melalui mekanisme pasar yang rumit. Harga gabah dari petani semestinya tidak bergantung pada harga internasional karena tidak ada korelasinya dengan keuntungan petani dan kemampuan konsumen sehingga akan memberatkan kedua pihak dan keuntungan besar hanya didapat oleh pemilik modal atau mereka yang menjadi “bos”.

Tidak sedikit petani di Indonesia yang bekerja namun bukan pada lahan miliknya, atau lebih populer disebut petani gurem. Mereka hanya sebagai kuli untuk menggarap sawah milik tetangga atau orang lain yang memiliki lahan dan modal. Lahan pertanian ini belum tentu akan bertahan lama, karena pemilik lahan tersebut bisa saja mengkonversinya untuk kegiatan lain. Nasib petani gurem ini tentu tidak terjamin kesejahteraannya, karena sawah yang mereka garap keuntungannya bagi pemilik lahan dan hanya sekian persen saja yang akan menjadi pengganti keringatnya.

Persepsi masyarakat mengatakan bahwa lahan pertanian tidaklah menguntungkan karena dianggap tertinggal dan tidak mengikuti perkembangan jaman. Maka tak heran jika banyak lahan pertanian yang terkonversi menjadi lahan untuk kegiatan berbisnis yang lebih kontemporer. Padahal lahan pertanian adalah sumber kehidupan bagi semua orang terlebih bagi Indonesia dengan konsumsi beras tertinggi di Asia Tenggara. Jika berkaca pada negara-negara maju di Eropa, justru lahan pertanian disana sangat terawat dan bahkan pekerjaan bertani bukanlah hal yang asing.

Solusi unruk menyelesaikan permasalahan pertanian di Indonesia sangat mungkin jika dikaitkan dengan otonomi daerah. Setiap kepala daerah terutama memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan bagi daerahnya. Begitupun dengan kebijakan terkait pertanian regional, perlu adanya insentif bagi daerah-daerah yang diperuntukkan bagi lahan pertanian.

Otonomi daerah sangat berperan dalam penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, serta keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan amanat UUD 1945 dalam konteks konstitusional maupun legal yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat baik melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat (Isran Noor, 2012).

Konsep otonomi daerah tersebut dapat diimplementasikan ke dalam pemecahan masalah pertanian di Indonesia yang menjadi salah satu perhatian pemerintah saat ini. Pemerintah pusat tentu tidak dapat mengatur secara keseluruhan tanpa adanya dukungan dari pemerintah daerah. Begitupun dengan pemerintah daerah yang perlu dukungan dari pemerintah pusat. Keweangan kebijakan pertanian semestinya diberikan kepada masing-masing pemerintah daerah karena sejatinya pemimpin daerah lebih paham bagaimana karakteristik daerah yang dipimpinnya, termasuk pemahaman tentang kondisi pertaniannya.

Sistem pasar dalam pertanian di Indonesia sudah saatnya untuk diperbaiki. Nasib para petani di daerah-daerah tertinggal khususnya perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah agar kesejahteraan mereka tidak terabaikan. Dalam konteks yang lebih luas pemerintah dapat merubah mindset masyarakat terhadap pembangunan bahwa lahan pertanian itu penting dan menjadi petani bukanlah pekerjaan yang tidak menguntungkan.

Mungkin pernah terpikir dalam benak kita bagaimana luas lahan pertanian di masa yang akan datang dan siapa yang akan meneruskan mengelola lahan pertanian? Saat ini jumlah petani yang berusia dibawah 30 tahun sangat sedikit dan semakin menyusut jumlahnya, sebagian besar petani di Indonesia berusia diatas 40 tahun. Jika jumlah petani terus menyusut setiap tahunnnya dan tidak ada generasi muda yang meneruskannya, maka akan banyak lahan pertanian terabaikan dan terkonversi menjadi lahan non pertanian yang dianggap lebih menguntungkan. Di negara maju seperti Jerman, salah satu dari anggota keluarga diwajibkan menjadi petani dan juga berlaku bagi keturunannya secara berkelanjutan. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan lahan pertanian, terlebih di negara dengan arus globalisasi yang tinggi. lalu bagaimana jika diterapkan di Indonesia?

Pemerintah dalam hal ini kepala daerah sebagai pembuat kebijakan harus segera mengambil langkah untuk menyelesaikan permasalahan pertanian. Tidak perlu menunggu perintah dari pusat yang belum tentu kepastiannya, karena setiap daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing dengan tetap memperhatikan batasan dan kebijakan pusat agar tidak terjadi tumpang tindih. Jika dianalogikan pemerintah pusat sebagai regulator dan pemerintah daerah dapat berperan sebagai operator dalam konteks normatif. Ini merupakan salah satu kelebihan sistem otonomi daerah dalam implementasi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata.

Devki Firmansyah

Benarkah Indonesia Butuh Impor Beras?

Senin, 17 Februari 2014

PERSOALAN teknis seputar impor beras dinilai hanya sebagian kecil dari masalah yang dihadapi dunia perdagangan Tanah Air. Ujung permasalahan yang sebenarnya adalah Indonesia telah terjebak dalam perangkap impor pangan.

Lalu apakah benar Indonesia membutuhkan impor beras?

”Nggak, produksi (beras) lokal cukup. Kalau pemerintah berani nggak usah impor. Untuk stok juga cukup,” tegas Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa.

Pengamat pertanian itu menyatakan sebagai gambaran saja, luas panen rata-rata 13 juta- 14 juta hektare. Kalau luas panen terpenuhi saja maka produksinya sudah mencapai 70 juta ton gabah kering giling. Hal itu sudah jauh mencukupi dari kebutuhan.

”Kalau kita memanfaatkan tingkat produktifitasnya. Pertanyaannya apakah petani terdorong untuk menanam itu sehingga luas panen kita meningkat. Dorongan yang paling besar adalah dari sisi harga. Itulah karut marut kita. Pemerintah seringkali tidak mau tahu, seringkali impor,” tandasnya.

Namun, ketika ditanya apakah mimpi Indonesia mengekspor beras bisa terwujud, Andreas langsung menjawab, itu omong kosong.

”Kecuali kalau pemerintah benar-benar luar biasa serius mewujudkan kedaulatan pangan,” tambahnya.

Sayangnya, dia menilai kedaulatan pangan hanya lip service. Sebab, selama ini kebijakan pemerintah justru lebih banyak membuka keran impor pangan.

Dia menyatakan impor pangan Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. ”Makin lama impor pangan kita semakin tinggi. Sebagai contoh dalam 3 tahun terakhir meningkat 60%. Bayangkan saja, ini negara agraris kok,” katanya Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia itu.

Soal apakah ada beras premium atau medium yang menyalahi prosedur impor, Andreas tak ambil pusing. Dia justru mencermati kesalahan pemerintah yang telah membuka keran impor untuk pangan.

”Impor beras tanpa izin pemerintah, nggak hanya beras. Impor pangan secara umum luar biasa, persoalannya seperti kedelai. Pemerintah mengizinkan 20 importir baru masuk, ini apa-apaan? Mendag mengeluarkan banyak aturan yang meliberalisasi sektor pangan kita. Kita sekarang masuk perangkap impor pangan, sekali masuk ke sana agak susah keluar lagi. Karena banyak kepentingan masuk, dan kepentingan uang yang sangat menentukan saat ini,” paparnya.

Dia menilai impor pangan itu belum tentu dilakukan saat kondisi stok defisit. Untuk cabai misalnya, ada impor, padahal produksi nasional mencukupi.

Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan ada permainan kuota impor akibat data yang masih tidak sinkron antarinstansi.

Dia menegaskan, harga pangan impor seperti beras atau kedelai yang lebih murah dari produksi lokal karena harga itu artisifial.

”Beras dari Vietnam atau Thailand atau kedelai dari Ameria bisa murah karena pemerintahnya memberikan subsisi yang sangat besar. Jadi komoditas itu dikeluarkan dari negara mereka saja sudah untung, karena jika tidak diekspor maka akan mengganggu harga di sana,” ungkapnya.

Produksi mereka yang murah kemudian berhadapan langsung dengan produksi petani Indonesia yang dinilai Andreas masih minim insentif. Akibatnya, harga pangan lokal pun kalah saing dengan produk impor.

Petani pun menjadi malas dan memilih beralih ke produk tanam yang menguntungkan.  Akibatnya, stok dalam negeri pun tidak memadai dan akhirnya pemerintah mengambil langkah impor. ”Itulah namanya perangkap impor pangan,” tandasnya.

Memang, pemerintah tidak mengimpor beras pada tahun lalu dan tahun ini. ”Pada 2013 dan sampai sekarang Bulog tidak impor beras,” kata Dirut Bulog Sutarto Ali Moeso.

Menurutnya, hal itu merupakan kesepakatan yang diambil pemerintah berdasarkan tiga indikator penting. ”Pertama, produksi, kalau produksi bagus tentunya suplai cukup dan pengaruhnya terhadap harga. Kedua, harga stabil yang akan mempengaruhi, ketiga, stok pemerintah yang dikuasai Bulog cukup. Karena tiga indikator tersebut tercapai pemerintah tidak menugaskan Bulog untuk impor,” jelasnya. Kementerian Pertanian mengungkapkan selama 2013 produksi beras secara nasional mengalami surplus sebanyak 5,4 juta ton. Di mana kebutuhan beras dalam negeri sebanyak 34,4 juta ton, sedangkan ketersediaan mencapai 39,8 juta ton. (Kartika Runiasari-71)

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/17/252770