Senin, 17 Februari 2014

Dari Inspeksi Jadi Kontroversi

Senin, 17 Februari 2014

 Polemik Beras Vietnam

Kisruh beras impor membanjiri pasar bukan permasalahan baru. Jauh sebelum permasalahan beras Vietnam mengemuka, para pedagang dan petani kerap mengeluhkan kebijakan tersebut. Sebab, dinilai merugikan mereka.  

BANJIR yang melanda sebagian wilayah DKI Jakarta beberapa pekan, membuat pemerintah kha­watir. Rapat koordinasi tentang stabilisasi harga pangan yang biasa di­gelar di Kantor Kemenko Perekonomian, Lapangan Banteng pun ber­pindah tempat.  Beberapa menteri ekonomi yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa meluncur ke Pasar Induk Cipinang di Jakarta Timur, Rabu (22/1)

Tujuannya, untuk memantau harga beras di tengah kondisi banjir pada awal tahun ini. Agenda lalu dilanjutkan dengan rapat koordinasi di Gudang Bu­log, Ke­lapa Ga­ding, Ja­karta.

Sesampainya di Pa­sar Induk Ci­pi­nang, mereka me­ninjau kios  Bu­log yang sudah di­siap­kan. Be­bera­pa warta­wan televisi dan foto­grafer pun si­buk mengambil gam­bar Hatta Ra­jasa, Men­teri Pertanian Suswo­no, dan Kepala Badan Pusat Sta­tistik Suryamin saat me­ninjau beras di kios tersebut.

Wartawan ce­tak yang berada di be­lakang kerumunan lalu melihat Wakil Menteri Perdagangan Ba­yu Krisnamur­thi dihampiri se­orang pria.

Usut punya usut, pria itu bernama Bili Harianto, se­orang pedagang beras di pasar itu. Bili menyampaikan protes ke pemerintah.

”Begini Pak, ada beras Viet­nam mulai marak masuk di pasar. Harganya murah, tapi bukan beras khusus. Harganya itu lebih murah Rp 500. Ini kan bikin harga jatuh,” ka­ta Bili.

Dia mengaku rugi dengan masuknya beras impor tersebut.

”Kata pedagangnya itu legal. Karena ada surat dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Ke­mendag). Itu ada kop suratnya,” katanya.

Setelah melihat beras tersebut, Bayu menyatakan, beras tersebut tidak boleh diimpor. Sebab, beras umum dan hanya Bulog yang boleh mengimpor. Sementara pengusaha swasta hanya diperbolehkan impor beras khusus.

Mereka akhirnya berdebat. Beberapa pedagang lain juga ikut protes ke Bayu.

Bayu menjanjikan akan mengecek izin impor beras itu. Menurutnya, beras tersebut ilegal. Namun, pedagang menilai beras tersebut resmi diimpor karena ada izinnya. Hatta yang ditemui usai rakor juga berujar beras tersebut ilegal.

Beberapa hari kemudian, inspeksi ke pasar ini akhirnya menjadi kontroversi beras Vietnam. Beritanya menghiasi beberapa media. Bayu kemudian meralat pernyataannya. Ia menyebut beras tersebut berjenis premium yang sah diimpor. Pihaknya kemudian menyelidiki dugaan permainan impor beras.

Dia menegaskan pihaknya tidak menemukan kesalahan prosedur pada beras Vietnam tersebut.

Menurutnya, wewenang Ke­men­terian Perdagangan dalam kasus ini adalah menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) atas rekomendasi Kementerian Pertanian. Dan, itu sudah dija­lankan dengan benar.

Menurut Bayu, ketentuan mengimpor beras khusus diatur berdasarkan Peraturan Menteri perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tanggal 11 April 2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras.

Berdasarkan peraturan tersebut, diatur tata niaga impornya, antara lain beras untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, raskin dan kerawanan pangan. Beras tersebut diimpor Perum Bulog dengan tingkat kepecahan 5%-25%.

Selain itu, beras yang diatur tata niaga impornya adalah beras untuk keperluan tertentu (beras konsumsi khusus) yang terkait dengan kesehatan/dietary dan konsumsi khusus/segmen tertentu, antara lain beras ketan, beras ketan pecah 100%, beras pecah 100%, beras kukus, beras Thai Hom Mali, beras Japonica, dan beras Basmati (tingkat keterpecahan paling tinggi 5% untuk beras Japonica dan Basmati).

Menurut Bayu, pihaknya telah meneliti sampel beras asal Vietnam tersebut. Dari penelitian di laboratorium, tambah dia, beras tersebut ternyata premium, yang memang diizinkan untuk diimpor. ”Anehnya, harganya lebih murah ketimbang beras medium lokal,” katanya.

Sebanyak 165 importir beras sudah diperiksa. Bahkan sudah mengerucut pada tiga importir. Namun, menurut Bayu, tidak ada pelanggaran prosedur impor beras.

Persaingan Bisnis

Bayu menduga persoalan beras Vietnam di Pasar Induk Cipinang itu soal persaingan bisnis antarpedagang. Hal senada juga disampaikan oleh Penga­mat Pertanian dari Institut Perta­nian Bogor, Dwi Andreas San­tosa. ”Itu hanya masalah peng­kodean, mengenai beras kan mereka tidak pilah mana beras medium mana beras premium, berdasarkan kualitasnya. Dari sisi pedagang tidak bisa disalahkan, kesalahan terbesar di pemerintah. Jadi untuk apa gontok-gontokan sendiri saling menyalahkan dan sebagainya, wong kelakuan mereka sendiri,” kata Guru Besar IPB ini.

Andreas menekankan masalah kode HS impor beras hanya sebagian kecil masalah yang timbul akibat persoalan serius, yakni impor pangan yang masif.

Bea Cukai sebagai garda terdepan masuknya barang impor mengakui beras adalah barang impor yang tergolong berisiko rendah, sehingga tidak melalui pemeriksaan fisik. Ditambah lagi, impor beras masih menggunakan satu kode HS untuk jenis premium maupun medium, yakni 1006.30.99.00 untuk beras Japonica, Basmati, dan beras yang diimpor Bulog. Selain itu, bea masuk untuk semua jenis beras sama, yakni Rp 450 per kilogram sehingga tidak bisa dibedakan mana beras premium dan medium.

Bea Cukai Kementerian Ke­uangan mencatat pemasukan impor beras selama 2013 totalnya 445.259 ton. Angka itu terdiri dari bibit sebanyak 1.219 ton, beras ketan 190.996 ton, beras Thai Hom Mali dari Thailand 22.843 ton, dan beras setengah masak 418 ton.  Beras lain yakni Japonica, Basmati, Bulog 34.823 ton, beras pecah 194.960 ton.

Namun, data tersebut berbeda dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat realisasi impor beras. Dalam laporan BPS, tercatat selama 2013 ada 472.000 ton beras yang diimpor atau senilai dengan 246 juta dolar AS. Jumlah itu lebih banyak dibanding data impor Bea Cukai, yaitu 445.259 ton.

Data BPS untuk impor beras khusus dan kode HS pada 2013, terdiri atas beras pecah 100% sebanyak 201.099,8 ton, beras ketan utuh dan pecah 198.943,65 ton, beras Thai Hom Mali se­banyak 23.117,8 ton, beras ku­kus/setengah matang sebanyak 418 ton, beras Basmati, Japonica, dan beras hibah sebanyak 47.867,1 ton.

Belakangan, Bea Cukai me­nemukan dugaan pelanggaran lainnya, yakni 32 kontainer beras impor yang saat ini masih berada di Pelabuhan Tanjung Priok.

”Harusnya yang masuk beras Thai Hom Mali dari Thailand tapi yang masuk (beras) Vietnam. Yang paling penting perizinan dan impornya cocok atau tidak,” kata Dirjen Bea Cukai Agung Kuswandono di Pelabuhan Tanjung Priok beberapa waktu lalu.

Beras dengan ketentuan impor kuota ini ternyata ketika sampai di pelabuhan menjadi beras lain yakni beras wangi dari Vietnam.

Adapun beras Vietnam yang ditemukan di Pasar Induk Cipi­nang adalah beras jenis Ja­ponica, Basmathi yang satu kode HS dengan beras Bulog.

”Hasil sementara diduga terjadi pelanggaran dengan menyalahgunakan SPI (Surat Persetujuan Impor) sehingga importasi barang menjadi tidak sesuai antara laporan surveyor dengan ijin SPI-nya,” jelasnya.

Importasi 32 kontainer tersebut dilakukan oleh CV PS sejumlah 200 ton (8 kontainer), CV KFI sejumlah 400 ton (16 kontainer) dan PT TML sejumlah 200 ton (8 kontainer).

Saat ini, baik Bea Cukai mau­pun Kemendag masih menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut. Jika terbukti melanggar, importir akan kena sanksi.

Selain itu, Bea Cukai memutuskan menaikan tingkat peme­riksaan beras impor menjadi high risk.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengusulkan agar kode HS beras premium dan medium dipisah. Namun, Men­teri Keuangan Chatib Basri menyatakan, perbedaan tarif bea masuk bisa dilakukan jika kode HS impor beras tidak disamakan. Menurutnya, jika Kemendag menginginkan kode HS berbeda maka harus diajukan ke tim tarif.

Dia menilai pemisahan kode HS tidak mudah dilakukan karena hal itu merupakan kesepakatan dagang dengan negara-negara lain. (Kartika Runiasari-71)

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/17/252771

Tidak ada komentar:

Posting Komentar