Sabtu, 15 Februari 2014

Impor Beras saat Surplus

Sabtu, 15 Februari 2014

PETER Drucker berpendapat sebenarnya tidak ada negara miskin, yang terjadi  hanya negara salah kelola. Pernyataan ahli manajemen tersebut berkait fenomena itu masih banyak kita temukan di dunia ketiga. Di balik kemiskinan, yang sesungguhnya terjadi adalah akibat salah kelola dalam menjalankan pemerintahan.

Mantan perdana menteri Malaysia Ma­hathir Muhammad pun ketika mengomentari kemunculan kemiskinan dalam aneka bentuk di Indonesia mengatakan bahwa kondisi itu lebih disebabkan salah kelola dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen.

Pilihan mundur dari kabinet Menteri Per­dagangan Gita Wirjawan yang ramai dibica­ra­kan, salah satunya meninggalkan masalah impor ”ilegal” beras dari Vietnam. Masalah mun­dur dari jabatan merupakan fenomena ba­ru di Indonesia. Pada era Orde Baru, mun­dur dari jabatan merupakan hal yang dita­bukan.

Sebaliknya, di berbagai negara, mundur dari jabatan dengan berbagai alasan merupakan”kelaziman’’. Misal merasa tak cocok dengan atasan, tersangkut suatu masalah berat seperti pelanggaran susila, atau kegagalan mencapai target. Bahkan di Jepang, mundur dari jabatan kadang diakhiri harakiri (bunuh diri) karena saking malunya mela­kukan pekerjaan yang tidak sesuai rencana.

Keterjaminan Stok

Melihat data, produksi dan stok beras di Indonesia sebenarnya dalam kondisi aman. Menteri Pertanian Suswono bahkan menyatakan stok beras, khususnya tahun 2013 dalam kondisi baik karena pasokan mencukupi dan harganya pun relatif  stabil. (Metronews.com, 7/2/14).

Pasokan beras di Pasar Induk Cipinang rata-rata 2.000 ton per hari. Bahkan beberapa waktu lalu, BPS melansir data produksi beras nasional tahun 2012 mencapai 39,1 juta ton dengan konsumsi sekitar 33,4 juta ton sehingga masih surplus 5,6 juta ton. Kondisi 2013 pun sama, sehingga mestinya harga komoditas itu stabil karena tidak terjadi kesenjangan antara permintaan dan penawaran.

Persoalannya, dan ini perlu”dicurigai’’ adalah seperti dikatakan Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, kelahiran India bahwa di salah satu distrik di India, cadangan beras berlimpah tetapi terjadi kelaparan akut. Ternyata setelah ditelusuri penyebabnya adalah hanya masalah distribusi beras dan kemelemahan daya beli masyarakat.

Saat ini kemampatan distribusi mungkin saja terjadi karena buruknya infrastruktur jalan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Kondisi itu juga disebabkan banyaknya kantong kemiskinan sehingga kelaparan meng­gejala di mana-mana. Bercermin pada kasus di India, penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang ditangani Bulog, banyak membantu masalah ketahanan dan keamanan pangan di Indonesia.

Saat ini masalah kelaparan di berbagai dae­rah terpencil di Indonesia pun rasa-rasa­nya jarang terjadi karena ada keterbukaan in­for­masi. Andai benar-benar terjadi pun, amat mudah mengetahui penyebabnya. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan masalah pangan dan perut tidak dapat disepelekan.

Kementerian Perdagangan dalam kaitannya dengan isu impor”ilegal’’ beras sudah memberikan klarifikasi bahwa yang diimpor adalah beras kelas premium untuk memenuhi kebutuhan khusus (misal hotel berbintang atau resto mewah), dan bukan kualitas medium yang biasa dikonsumsi masyarakat. Tetapi dalam era reformasi dengan kebebasan sangat tinggi, suara masyarakat bisa bernada lain.

Kementerian Pertanian mungkin bisa berpendapat lain karena berkaitan dengan kestabilan harga dan prospek petani dalam menggeluti profesi. Bisa saja kementerian itu menyatakan sebagai sebuah ironi mengingat dalam kondisi suprlus beras tapi harus impor?

Kebijakan itu dapat mengganggu harga beras mengingat harga beras impor lebih murah dari beras sejenis yang dihasilkan di dalam negeri. Siapa bisa menjamin itu beras premium namun praktiknya beras lain, dan bisa saja kantong beras impor itu diganti kantong beras produksi domestik.

Hal itu mengutip pernyataan Gunnar Myrdal, salah satu peraih hadiah Nobel Ekonomi dari Swedia, yang menyatakan ciri negara berkembang adalah lemah dalam segalanya. Bahasa gaulnya adalah di negara kita semuanya bisa direkayasa. Pasalnya, motif dari suatu pekerjaan sering bukan untuk kesejahteraan umum melainkan lebih pada kepentingan jangka pendek, kepentingan keluarga dan golongan.

Antara ucapan dan perilaku bisa berbeda dan jamak terjadi. Karena itu, untuk memahami yang sebenarnya terjadi, perlu penelitian mendalam, yang dalam bahasa ilmiah disebut penelitian investigasi. Bukan tampilannya saja yang muncul, tetapi apa di balik kasus tersebut.

Pernyataan mundur merupakan hak pribadi yang sangat positif tapi seperti diingatkan oleh Drucker bahwa di negara yang kaya sumber daya ini, banyak terjadi salah kelola. Mengenai kasus sebenarnya impor beras perlu ditangani pihak-pihak yang terkait dengan prinsip keadilan. Mestinya pedang hukum pun berlaku sama bagi siapa saja, jangan tebang pilih.

Jangan sampai menunggu rakyat marah karena begitu menjerit dalam kesusahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain panggung drama para elite tidak pernah berakhir karena secara sadar berbuat kesalahan dalam menjalankan pemerintahan. Semoga segala kepalsuan segera berakhir, dan prinsip keadilan bisa ditegakkan. (10)


— Purbayu Budi Santosa, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Uni­versitas Diponegoro, pengampu mata kuliah Agribisnis dan Ekonomi Kelembagaan

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/15/252540

Tidak ada komentar:

Posting Komentar