Selasa, 04 Februari 2014

Surplus Beras Vietnam

Selasa, 4 Februari 2014

Prof Dr M Maksum Machfoedz
TRAGIS nian. Tahun politik 2014 ternyata diawali dengan kisruh importasi beras yang ajaib. Tragis karena tahun ini merupakan masa yang senantiasa dipamerkan dan dikumandangkan Kabinet Indonesia Bersatu, KIB-II sebagai tahun swasembada untuk pangan strategis: beras, kedelai, gula, jagung dan daging sapi. Terasa misterius ketika kisruh beras mutakhir, mengawali 2014, janji besar KIB-II untuk surplus 10 juta ton. Bukan hanya swasebada.

Terlepas dari mana angka 10 juta ton. Karena faktanya tidak ada yang tahu rasionalitas surplus 10 juta ton. Maka kisruh beras awal 2014 harus dicermati secara serius. Kecuali berpotensi jadi penyebab kontra produktifnya capaian swasembada dan surplus beras, kisruh kali ini adalah mengingkari UU 18/2012 tentang Pangan, dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pasalnya, dua UU yang mengamanatkan kedaulatan pangan dan petani telah sertamerta digembosi. Siapapun yang salah, perspektif legal dan politik harus menjadi referensi, bukan sekedar kejahatan pasar. Bagaimana surplus kalau awal tahun telah digembosi. Kementerian Perdagangan tidak mau disalahkan. Begitu pula Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Bea Cukai, apalagi importer dan pihak lain. Semuanya menyatakan akan legalitas terhadap apa yang dilakukan dan melemparkar persoalan kepada pihak lain.

Satu contoh legalitas adalah pernyataan Kemendag yang pada akhirnya mengakui atas pemberian izinnya terhadap importasi 16.900 ton beras dari Vietnam dengan berkilah bahwa itu didasarkan atas rekomendasi Ditjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian Kementan. Itupun  terbatas untuk beras premium seperti Japonica, Basmati, Thai Hom Mali, Beras Ketan, dan beras premium sejenisnya. Sementara fakta yang menghebohkan adalah importasi sejumlah besar beras Vietnam kualitas medium. Padahal tegas sekali sudah ditetapkan bahwa importasi beras medium adalah tugas Bulog sebagaimana ditegaskan ulang Menko Perekonomian dalam Rakor Pangan, 22 Januari lalu.
Informasi pasar yang berkembang sementara ini, menyebut terdapatnya gelontoran beras import kualitas medium di Pasar Induk Cipinang yang disebut sebagai produk importasi legal. Itulah faktanya, tidak 'jumbuh'. Tidak ketemu antara fakta dan teori legalitas. Realitas pasarnya jelas sekali terdapat produk import non-Bulog yang menunjukkan telah terjadinya pengingkaran legal itu. Tetapi, semua mengklaim semua tindakannya sangat legal. Saling lempar dan tak satupun lembaga menyatakan tanggungjawab atas kekeliruannya.

Terakhir ditemukan fakta baru yang harus menjadi ujung dari segala kekeliruan legal dan ujung lempar-melempar sulapan pasar dimaksud. Ada sinyalemen yang mengerucut pada adanya kongkalikong antara oknum petugas survei dan oknum importir. Pihak importir tentu tidak mau dipersalahkan. Karena importasinya didasarkan atas dokumen 'preshipment', kelengkapan dokumen angkutan, dan dokumen Surat Persetujuan Import yang sangat legal dikeluarkan Kementerian Perdagangan. Titik terang terakhir menunjuk pada ketidakjelasan kualitas dalam urusan importasi beras ini karena keseluruhan jenis dan kualitas beras ditempatkan dalam kodifikasi produk impor beras yang sama untuk semuanya. Ketidaktegasan kategorisasi dalam operasionalisasi legalitas importasi beras ini adalah kesalahan fatal. Ketika pada kenyataannya ketegasan legal aturan hukum yang melandasinya telah dibangun sangat transparan untuk membedakan pemberlakuan legalitas antara komoditas beras kualitas premium dan kualitas medium.

Menyedihkan sekali. Ternyata kesalahan legal yang sebenarnya mudah dihindari dalam perumusan kebijakan telah mengakibatkan importasi beras sangat rawan dan mudah dimanfaatkan sebagai landasan legalitas untuk kepentingan rente. Untik kesekian kalinya, kelemahan kebijakan hanya mampu memberikan rambu-rambu yang sangat abu-abu, tidak tegas dan mudah dipelintir untuk kepentingan syahwat jangka pendek. Kecerobohan aturan seperti ini mudah sekali mendukung surplus beras RI hasil impor beras dari Vietnam.

Melihat betapa mudah sebetulnya mangakomodsi perbedaan perlakuan aneka kualitas beras dalam kodifikasi importasi yang berbeda ini, publik cenderung mempertanyakan kesungguhan penyusunan atau penyusun kebijakan yang terkait, kenapa begitu mudah membuat kesalahan. Karena sederhananya, banyak pihak menilai bahwa kekeliruan tata-aturan terkait beras ini bukanlah sekedar kekeliruan kebijakan. Akan tetapi pengeliruan kebijakan, yang sengaja dibangun untuk melebarkan kesempatan mengais rente. Jikalau betul itu yang terjadi, maka Bangsa ini sudah betul-betul terjangkit penyakit kelirumologi. (*)

Prof Dr M Maksum Machfoedz

(Penulis adalah Guru Besar UGM/Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2638/surplus-beras-vietnam.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar