Minggu, 23 Februari 2014

Pangan Jaminan Pertumbuhan Ekonomi

Sabtu, 22 Februari 2014

SINISME terhadap peran pertumbuhan ekonomis dari sektor pangan telah menjadi-jadi dilontarkan oleh sejumlah ekonom. Sekurang-kurangnya hal tsb tersirat dari rancangan, Masterplan Pengembangan dan Perluasan Pembengunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN). Bahkan juga promosi ekonomi RI oleh Mckinsey yang disampaikan Obermann dan kawan-kawan serta paparan Haryanto dalam Economic Outlook 2013.

Lebih formal dan lagi tersurat, sinisme dilontarkan Pejabat Negara RI 2014. Adalah Menteri Keuangan RI yang secara lantang baru-baru ini lebih-kurang menyatakan tidak ada harapan pada sektor pangan untuk bisa memberi kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional RI. Sungguh menyakitkan sinisme Menkeu ini. Pertama, menteri itu terang-terangan telah melecehkan sektor pangan, peran rakyat tani yang mayoritas pelaku ekonomi RI, dan jutaan investor gurem.

Kedua, pemikiran itu harus direformat karena ternyata pejabat ini tidak pernah memahami bahwa minimalnya peran pangan itu semua adalah 'by design', Untuk mendukung sektor industri.

Ketiga, pemikiran seperti itu sama sekali tidak dilandasi dengan pemahaman proses yang memandang peran kontributif itu sebagai sebab atau akibat. Faktanya, ketidakadilan pembangunan perekonomian RI selama ini telah sengaja memarjinalkan peran sektor pangan yag hanya diposisikan sekedar sebagai penghasil pangan murah.

Keempat, menteri itu lupa bahwa pertumbuhan sektor jasa, pengolahan, transportasi dan lain-lain, hakekatnya adalah kegiatan yang menjadi marak karena melayani dan sebagai turunan sektor pangan. Turunlah ke kaki lima, bukankah semua kegiatannya nyaris agro-based.

Kelima, harus sepenuhnya disadari bahwa faktanya, pertumbuhan sektor industri yang selama ini telah menganaktirikan sektor pangan ternyata sangat cacat. Karena pertumbuhan yang protektif ini ternyata, menurut kritik global, merupakan pertumbuhan yang: pertama sangat tidak stabil, kedua sangat terpusat di Jakarta. Kemudian ketiga, mengandalkan konsumsi tetapi barang impor, dan terakhir berbasis sumberdaya alam mentah dan SDM melimpah.
Dalam watak pertumbuhan dengan segala cacat dimaksud, bisa dipertanyakan kepada Menkeu khususnya & Kabinet Indonesia Bersatu (KIB): bagaimana bisa mengatasi rentannya empat watak pertumbuhan ekonomi nasional yang mengkawatirkan itu? Omong kosong dan 'ndobos' adanya kalau penyelamatan yang paling potensial bukan sektor pangan.

Alasannya? Pertama, pengembangan seksama sektor pangan jelas sekali menjanjikan watak pertumbuhan yang sangat stabil karena nyaris sepenuhnya tergantung pada sumberdaya domestik, bukan sumberdaya impor. Bandingkan dengan industrialisasi yang selama ini terjadi di tanah air, yang hanya hidup berbasis bahan baku, teknologi, SDM, dan modal asing.

Kedua, sumberdaya domestik andalan sektor pangan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Karena itu pengembangannya adalah penyebaran pusat pertumbuhan RI. Ketiga, konsumsi dalam negeri diduga banyak komponen impor, terutama untuk sektor pangan yang hobinya impor. Dengan pengembangan sektor pangan maka struktur konsumsi akan bergeser ke pangan domestik. Keempat, kembali ke pangan melalui intensifikasi dan hilirisasi berarti meningkatkan nilai tambah SDA dan SDM. Pertumbuhan bukan lagi mengandalkan SDA dan SDM, tetapi nilai tambahnya.

Perlu diingatkan sekali lagi, bahwa selama ini potensi pangan memang sangat dimarjinalkan oleh kebijakan pembangunan ekonomi nasional RI, karena terlanjur keblinger ke industrialisasi non-agro. Sudah waktunya kembali ke pengembangan pangan dan agroindustri. Itulah sumber kekuatan bagi kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian bangsa RI, Insya Allah.

Prof Dr M MaksuM Mahfoedz
(Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2698/pangan-jaminan-pertumbuhan-ekonomi.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar