Selasa, 25 Februari 2014

NEGARA PERTANIAN YANG ANTI-PETANI

Senin, 24 Februari 2014

Jurnas.com | Oleh : Hary Purnomo Hidayat

Pegiat di Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan (PSP3)-IPB

Indonesia merupakan Negara Pertanian (Agraris). Alasannya, pertama; besarnya sumber daya alam pertanian yang kita miliki. Dengan dukungan iklim tropis membuat tanaman pertanian seperti tanaman pangan, bumbu maupun obat-obatan dapat tumbuh subur. Kedua; sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pedesaan. Karakater masyarakat pedesaan memiliki ketergantungan tinggi terhadap tanah. Tanah berkaitan langsung dengan kehidupan dan kualitas hidup karena di atas tanah mereka mengembangkan kebudayaannya, berproduksi untuk memenuhi kebutuhan materialnya (Dadang Juliantara, 2000). Tanah dimanfaatkan dan diolah sebagai lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga banyak orang-orang desa menjalankan profesi sebagai petani atau peladang.

Dukungan sumber daya alam dan manusia yang memadai, seyogyanya harus dibarengi dengan fokus kebijakan pembangunan pada sektor pertanian dalam arti luas. Tanpa bermaksud menyepelekan pembangunan pada aspek lainnya, namun harus diakui dunia pertanian sangat urgen karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Ratusan juta penduduk Indonesia, tidak hanya penduduk desa melainkan juga warga kota memiliki ketergantungan pada sector ini. Orang desa hidup dari mengolah pertanian, sementara warga kota sangat membutuhkan hasil dari olahan pertanian (beras, jagung maupun sayur-sayuran) untuk dikonsumsi. Jadi sekali lagi sektor pertanian baik secara konteks maupun implikasi tidak hanya identik dengan ruang lingkup pedesaan dan masyarakatnya, melainkan juga kehidupan masyarakat di Indonesia pada umumnya. Sehingga menafikkan sektor pertanian, secara otomatis menegasikan realitas kehidupan di negri ini. Apalagi patut dicatat (kalau perlu direnungkan kembali) bahwa pada sektor ini ada jutaan saudara-saudara kita (petani) yang harus bekerja keras, berpeluh keringat, berkulit gosong, menanti penuh harap hasil panen demi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita semua. Sementara kehidupan mereka tetap bergelut dengan kemiskinan, kebodohan, tidak dapat menyekolahkan anak, terjerat utang dan terlilit kondisi memprihatinkan lainnya.

Dianak-tirikan

Sayangnya dukungan sumber daya alam dan manusia yang memadai tidak dimanfaatkan dengan baik. Harapan agar pembangunan berorientasi pada sektor pertanian masih jauh panggang dari api. Bahkan sektor ini terkesan kurang mendapat perhatian serius dan dianak-tirikan oleh pemerintah. Imbasnya sektor pertanian dan berbagai variabelnya tidak mengalami kemajuan signfikan bahkan semakin parah. Pertama, gizi buruk dan ancaman kelaparan masih menghantui. Sungguh ironis bukan, jika negara dengan semboyan Gemah Ripah Loh Jinawi masih didiami oleh orang-orang yang lapar. Tapi itulah faktanya. Sepanjang tahun 2005, hangat dalam ingatan perisitiwa busung lapar dan gizi buruk marak terjadi di beberapa daerah Indonesia, seperti Jawa Barat, NTT, hingga di Yahukimo telah menelan korban jiwa. Anak-anak Indonesia adalah korban terbanyak dari gizi buruk. Program Lembaga Pangan Dunia (WFP) dalam penelitannya pada awal tahun 2008 menyebutkan jumlah penderita gizi buruk dan rawan pangan di Indonesia mencapai angka 13 juta. Meski data pemerintah menyebutkan penderita gizi buruk hingga tahun 2007 mencapai angka 4,1 juta, atau naik tiga kali lipat dibanding jumlah penderita yang sama di tahun 2005 yakni 1,67 juta jiwa. Bahkan di tahun 2009 busung lapar yang merengggut jiwa kembali terjadi di Yahukimo. Sementara menurut Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB Sofyan Sjaf, di Indonesia potensi ancaman kelaparan menghantui 34,96 juta jiwa penduduk miskin atau 15,42% penduduk Indonesia (Suara Pembaruan, 19/02/2010).

Kedua, bayangkan saja swasembada beras yang berhasil dicapai ternyata tidak berkorelasi dengan peningkatan ekonomi para petani. Bagaimana kemudian jika kita masih melakukan impor beras dan produk-produk pertanian lainnya. Maka nasib petani semakin terpuruk. Walau begitu tidak bisa dipungkiri, Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap produk pertanian dari luar. Impor produk pertanian jelas kontra-produktif dengan penyebutan Indonesia sebagai negara pertanian. Jika bangga sebagai negara pertanian, maka sudah sepantasnya kita harus bisa memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Tapi faktanya berdasarkan catatan tahun 2007, impor beras rata-rata dua juta ton per tahun. Bahkan setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN. Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar) (Kompas,24/8/2009). Itu belum termasuk sayuran dan buah-buahan.

Ketiga, beberapa produk hukum perundang-undangan yang dihasilkan cenderung tidak berpihak pada petani. Produk hukum itu diantaranya; (i)UU No.7/2004 tentang pengelolaan sumber daya air,(ii) ­UU Perkebunan No.18/2004,(iii) UU Kehutanan No.19/ 2004,(iv) Perpres No.36/2005 dan penggantinya yakni Perpres No.65/2006 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Substansi dari peraturan ini adalah pemerintah bisa saja mengambil tanah pertanian milik petani dengan mengatas-namakan kepentingan umum. Padahal defenisi kepentingan umum sendiri sangat bias, karena bisa saja tanah pertanian tersebut justru diberikan kepada para pemiliki modal, (v) UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal yang isinya memberi kesempatan kepada para pemilik modal terhadap penguasaan dan kepemilikan pertanahan (agraria). Dalam produk hukum ini terkesan upaya pemerintah sangat memudahkan para pemiliki modal untuk menguasai tanah di Indonesia, dan (vi) Inpres No.5/2008tentang Fokus Program Ekonomi 2008-­2009 termasuk didalamnya mengatur Investasi PanganSkala Luas (Food Estate). Sementara produk hukum yang pro petani seperti UU No.5/1960 tentang pokok-pokok agraria tidak maksimal diimplementasikan.

Keempat, masalah kemiskinan masih membelenggu petani Indonesia. Kebijakan pada sektor pertanian belum mampu memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi masyarakat desa (para petani). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia) pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Sebagian besar atau sekitar 63,38 persen penduduk miskin berada dipedesaan dan kebanyakan yang berprofesi sebagai petani.

Petani Menjadi Korban

Tentu dapat ditebak bahwa implikasi dari kurangnya keberpihakan terhadap pembangunan sektor pertanian secara komperensif adalah dunia pertanian Indonesia mengalami kemandegan. Dan pastinya yang menjadi korban dari semua itu adalah para petani. Para petani akan tetap bergelut dengan persoalan kemiskinan struktural, berutang, tidak dapat menyekolahkan anak serta akan terus dihinggapi kebodohan, keterbelakangan dan ketidak-berdayaan. Bila sektor pertanian benar-benar mandeg ditambah dengan kondisi para petani yang tidak berdaya maka perlahan-lahan namun pasti dampaknya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kebutuhan akan pangan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Konsekuensinya pangan menjadi susah didapat dan harganya mahal. Belum lagi, jika ada oknum-oknum para pemiliki modal besar melakukan penimbunan. Maka ancaman kelaparan akan menghantui dan tidak menutup kemungkinan kerusuhan massal bisa terjadi di negri yang ramah-tamah ini. Menakutkan bukan?

Kembali Fokus

Oleh sebab itu, sebelum kondisi di atas benar-benar terjadi, maka ada beberapa hal yang patut direfleksikan dan dilakukan kembali oleh pemerintah. Pertama, karena sektor pertanian menyangkut hajat hidup orang Indonesia secara keseluruhan, maka sudah sewajarnya jika kebijakan pembangunan Indonesia harus fokus dan komperensif pada sektor pertanian. Apalagi sumber daya alam dan manusianya sangat mendukung. Sekedar perbandingan, negara industri sekaliber Amerika Serikat dan Jepang saja masih memperhatikan sektor pertaniannya. Karena pemerintah AS sadar bahwa masyarakatnya masih butuh gandum. Begitu juga halnya dengan pemerintah Jepang yang paham betul bahwa warganya masih mengkonsumsi beras.

Kedua, substansi dari pembangunan pertanian bukan sekedar mengejar pertumbuhan (berdasarkan data statistik) melainkan berorientasi pada subyek atau aktor-aktor pertanian dalam hal ini para petani dan masyarakat pedesaan. Pemerintah perlu melakukan upaya penguatan petani agar mereka memiliki kapasitas dan kreatifitas yang tinggi dalam berproduksi. Hal ini tidak hanya dilakukan dengan memberi subsidi, melainkan juga dengan bekerja sama dengan Institusi-Institusi pertanian di setiap daerah seperti IPB, dimana para petani bisa mendapat pendidikan gratis (disekolahkan secara khusus di IPB) agar mereka memiliki pengetahuan tentang cara menghasilkan benih yang baik, cara membuat pupuk yang baik, cara memasarkan produk pertanian dan sebagainya. Soalnya banyak para petani kita masih bertani secara konvensional dan kesulitan dalam memasarkan produk mereka. Akhirnya mereka menjadi santapan para tengkulak.

Ketiga, karena pertanian identik dengan pedesaan maka pemerintah harus melakukan pembenahan terhadap sarana dan prasarana pedesaan yang mendukung aktifitas pertanian seperti bendungan, irigasi, sarana jalan, hingga membuat koperasi atau Badan Usaha Milik Desa yang bisa menampung hasil panen para petani. Ini dilakukan agar sektor pertanian dapat terus produktif, terbukanya lapangan pekerjaan di pedesaan dan mengurangi terjadinya urbanisasi.

Keempat, untuk mencegah terjadinya kelaparan di setiap daerah, pemerintah perlu mengembangkan kembali produk-produk pertanian lokal yang identik dengan ciri khas sebuah daerah. Misalkan, kembalikan kebiasaan orang-orang Papua untuk mengkonsumsi umbi-umbian, sehingga mereka tidak memiliki ketergantungan terhadap beras. Oleh sebab itu instansi-instansi pertanian di daerah perlu didorong untuk memaksimalkan upaya ini dengan cara melakukan penyuluhan dan mengusahakan bibit-bibit tanaman lokal yang dapat ditanam.

Kelima, berikan perlindungan dengan ”nilai lebih” terhadap produk pertanian Indonesia, agar memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap produk petanian dari luar. Misalkan proteksi terhadap produk pertanian seperti yang dilakukan oleh AS dan Jepang. Saat ini serbuan produk import telah memporak-porandakan produk pertanian lokal.

Keenam, perlu dilakukan revisi terhadap produk perundang-undangan yang tidak berpihak pada petani. Produk perundang-undangan tersebut memberi kesan bahwa penindasan terhadap petani seakan mendapat legitimasi dari negara ini. Sungguh ironis bukan jika Negara Pertanian justru sangat anti dengan petani. Sementara produk hukum pro petani seperti UUPA No.5/1960 harus dimaksimalkan kembali.

Harapannya semoga dengan semua ini sektor pertanian dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga bisa memberikan konstribusi positif bagi kemajuan masyarakat petani dan peningkatan ekonomi Indonesia.

http://www.jurnas.com/news/125379/Negara_Pertanian_yang_Anti-Petani/1/Nasional/Opini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar