Selasa, 18 Februari 2014

Kisruh Impor Beras

Selasa, 18 Februari 2014

Belum tuntas kisruh impor beras 16.900 ton asal Vietnam, kini muncul dugaan impor beras ilegal 800 ton.

Belum ada tanda-tanda dari otoritas yang berwenang untuk menuntaskan masalah ini. Seperti yang sudah-sudah, tiga kementerian yang terlibat langsung dalam urusan impor beras, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan, justru terlibat saling lempar tanggung jawab. Saat pertama muncul, awal Januari lalu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, beras dari Vietnam masuk atas rekomendasi Kementan.

Masalah ini lantas jadi kisruh di kabinet karena Mentan Suswono membantah mengeluarkan rekomendasi impor beras medium. Menurut Suswono, sepanjang 2013 kementeriannya hanya menerbitkan rekomendasi impor beras premium 400.000 ton, bukan beras medium. Pertanyaannya, jika tak ada rekomendasi, bagaimana bisa beras medium asal Vietnam masuk? Tak ingin terpojok, Kemendag membentuk tim guna menelusuri impor beras oleh 58 importir. Tim juga melibatkan dua pakar perberasan. Hasilnya, seperti disampaikan Wakil Mendag Bayu Krisnamurthi, cukup mengejutkan: hanya ada beras premium, bukan beras medium. Bayu tak bisa memastikan mengapa beras premium impor dijual murah setara beras medium lokal?

Penyelundupan?
Bayu menduga, banting harga itu strategi atau persaingan dagang. Lazimnya, disparitas harga dalam persaingan dagang berkisar Rp 100-Rp 200/kg. Jika lebih dari Rp 1.000, bahkan di atas Rp 2.000/kg, kemungkinan ada penyelundupan alias impor ilegal dengan modus memalsukan dokumen atau cara kotor lainnya. Sampai artikel ini ditulis belum ada jawaban mengapa harga beras premium impor dibanting.

Ada sejumlah pertanyaan yang disodorkan media, salah satunya: ”sulitkah menelusuri kasus ini?” Semestinya tidak. Penelusuran siapa salah dan siapa benar jadi sulit lantaran tak ada komitmen menuntaskan masalah. Ini bisa dilihat dari saling lempar tanggung jawab dan tak ada upaya membentuk tim bersama guna menuntaskan. Tim ini bisa menelusuri dokumen impor dari awal, termasuk klarifikasi data dan dokumen antar-kementerian. Jika memang tak bersalah, mengapa harus takut terhadap pembentukan tim bersama?

Mengapa tim bersama? Menurut Permendag No 12/Tahun 2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras, beras medium hanya bisa diimpor oleh Perum Bulog untuk stabilisasi harga, keadaan darurat, masyarakat miskin, dan kerawanan pangan. Beras premium bisa diimpor importir (swasta) untuk kepentingan tertentu: kesehatan, komunitas tertentu, dan bibit. Beras baru bisa diimpor setelah lewat alur di tiga kementerian. Pertama, importir mengajukan ke Kemendag guna ditetapkan sebagai importir. Kedua, Kemendag menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) setelah ada rekomendasi Kementan. Ketiga, Ditjen Bea dan Cukai (BC) Kemenkeu memastikan beras impor sesuai dengan izin. Idealnya, sistem berjenjang ini memungkinkan saling koreksi jika ada kesalahan di satu kementerian.

Masalah terjadi karena sistem pengawasan berjenjang macet. Ini terbukti dari tak adanya uraian komplet dalam SPI dari Kemendag untuk 58 importir. Kesalahan bermula dari rekomendasi impor Kementan yang tak dilengkapi persyaratan yang harus dipenuhi importir. Celah ini dimanfaatkan importir guna mendatangkan beras medium asal Vietnam memakai SPI beras khusus: Japonica dan Basmati. Beras itu melenggang masuk pelabuhan via jalur hijau tanpa pemeriksaan fisik karena terkategori low risk. Ketika BC sebagai penjaga gawang terakhir bobol, loloslah pelanggaran.

Memang benar sebelum beras dikapalkan di pelabuhan muat negara asal, surveior yang ditunjuk akan memverifikasi. Namun, sesuai Permendag No 12/2008 Pasal 14, verifikasi impor/ekspor oleh surveior ”tidak mengurangi kewenangan Ditjen BC melakukan pemeriksaan pabean”. Mengapa BC menerjemahkan impor beras termasuk kategori low risk dan tak perlu pemeriksaan fisik? Bukankah ini berarti BC lepas tangan dan memberikan kelonggaran luar biasa bagi importir untuk melanggar?

Memanfaatkan celah
Bukan mustahil celah ini telah lama dimanfaatkan importir untuk mengeruk untung besar lewat impor. Ini terbukti dengan ditahannya 800 ton beras impor saat BC mengubah impor beras dari kategori low risk ke high risk, 29 Januari 2014. Dalam dokumen izin, beras yang diimpor jenis Thai Hom Mali, tetapi yang didatangkan jenis fragrance rice (beras wangi) asal Vietnam. Importir mana yang tidak tergiur mengimpor karena untung besar di depan mata. Sampai saat ini harga beras impor masih lebih murah daripada harga beras di pasar domestik. Untuk kualitas serupa disparitasnya bisa Rp 1.000/kg.

Celah pelanggaran makin longgar karena dari sisi tata kelola Permendag No 12/2008 mengandung cacat. Pasal 11 Ayat 4 menyebutkan, biaya survei di pelabuhan muat negara asal beras (preshipment inspection) dibebankan kepada importir. Aturan ini memunculkan konflik kepentingan. Sebagai pengawas, bagaimana mungkin surveior bisa independen jika dia dibayar pihak yang diawasi? Seharusnya sebagai kepanjangan tangan negara surveior mesti dibayar oleh negara, bukan importir. Celah ini membuka peluang para importir melakukan pelanggaran secara paripurna tanpa terdeteksi.

Ke depan, agar karut-marut tak berulang, tata kelola impor/ekspor beras harus diperbaiki. Perbaikan dimulai dari revisi Permendag No 12/2008 berikut penerjemahannya di lapangan oleh aparat BC. Perbaikan peraturan itu tak lebih macan kertas jika di antara tiga kementerian masih mempertahankan sikap paling benar sendiri dengan menyalahkan pihak lain. Terakhir, harus ada tindakan tegas dan keras terhadap pelanggar aturan, termasuk yang terjadi saat ini. Tak cukup sanksi administratif seperti diatur Permendag No 12/2008, tetapi juga perlu diseret ke meja hijau agar ada efek jera.

Mengimpor beras dari luar negeri, meski dengan harga lebih murah ketimbang harga beras petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya, mengimpor beras dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai (multiplier effect) di luar negeri. Sebaliknya, jika membeli beras petani domestik, meski lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri, baik konsumsi, pendapatan, maupun penyerapan tenaga kerja. Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Mengapa Jepang begitu protektif terhadap beras produksi petaninya tak lain karena efisiensi sosial itu.

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140218kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar