Sabtu, 31 Mei 2014

Gula Ilegal Milik Pengusaha Batam

Sabtu, 31 Mei 2014

BATAM,METRO: Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Humas BP Batam, Dwi Djoko Wiwoho mengatakan, sejauh ini tidak ada koordinasi antara BC dengan BP Batam terkait penangkapan kapal MV Fung Ang 286 bermuatan 2.000 ton gula impor dari Thailad tersebut. Parahnya lagi gula ilegal yang bernilai sekitar Rp10 miliar juga tidak mengantongi izin dari Menteri Perdagangan.

Menurut Dwi Djoko, untuk penentuan kouta gula masuk tahun 2014, harus diajukan dulu pada akhir tahun 2012. “Kalau masuk tahun ini, pengajuannya  harus sudah masuk paling lambat akhir tahun 2013 lalu. Kalau sudah terlanjur masuk sudah tidak bisa dibuatkan lagi izinnya. Izin untuk impor gula harus dari mentri perdagangan,” kata dia, Jumat (30/5) kemarin.

Lebih lanjut, hal itu sudah tercantum dalam PP No 10 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan No 27 tahun 2012. Secara tidak langsung apa yang disampaikan Dwi Joko menggugurkan pernyataan dari Bea dan Cukai (BC) Batam terkait adanya tempo waktu.

Kata Kasi BLKI KPU BC Tipe B, Batam, Emi Ludianto beberapa waktu lalu kepada wartawan terkait izin pihaknya memberi waktu selama 30 hari agar yang bersangkutan mengurus izin impor gula tersebut. Selain itu apa yang disampaikan Emi jelas bertentangan dengan  Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 2012, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 27 tahun 2012.


Berdasarkan informasi yang dihimpun POSMETRO di lapangan, sejak gula impor tersebut masuk ke Batam pemiliknya  disebut-sebut seorang pengusaha di Batam.

Sebelumnya Kepala Perum Bulog Subdivre Batam, Pengadilan Lubis merasa nama Bulog dicatut oleh perusahaan importir gula diduga ilegal yang sempat mengaku barang yang disita Bea dan Cukai Batam adalah milik perusahaan tersebut. “Itu bukan milik kami. Kami tidak mengurusi gula. Kami hanya mengurusi beras,” kata dia, Kamis.

Ia mengatakan setelah mendengar bahwa perusahaan menyebut-nyebut gula 2.000 ton itu milik Bulog langsung mendatangi Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tibe B Batam untuk memastikan perusahaan yang mencatut nama Perum Bulog tersebut.

“Begitu mendengar berita itu, saya langsung hubungi anak buah saya untuk langsung datang ke BC menanyakan hal itu,” ujarnya.

Selama ini, lanjut nya Perum Bulog Batam tidak pernah ada pengajuan untuk mendatangkan gula.  “Apalagi gula itu dikatakan tidak ada dokumen, dan BP Batam juga menyatakan tidak ada kuota impor. Jadi jelas bukan milik kami,” kata Pengadilan.

Sebelumnya, perusahaan agen kapal yang mengurus kapal pengangkut gula tersebut menyebut muatan adalah milik Perum Bulog. “Kami sebagai agen penunjukannya. Gula itu milik Bulog,” kata agen pelayaran PT Putra Tempatan, Wandi beberapa waktu lalu. (cnk)

BC Deadline 30 Hari Lengkapi Dokumen Impor, BP Batam Pastikan Tak Keluarkan Izin

Sabtu, 31 Mei 2014

BATAMTODAY.COM, Batam - Kisruh masuknya gula impor sebanyak 2.000 ton ke Batam, masih berbuntut panjang dan menuai banyak tanya. Selain dipastikan masuk secara ilegal, Bea Cukai Batam yang bertugas mengawasi keluar masuknya barang ke Batam terkesan tertutup soal siapa pemilik si manis yang didatangkan dari negeri Thailand itu.

Terkait masuknya gula impor ilegal itu pada Minggu (25/5/2014), hingga diitimbun di gudag PTK Kabil, selain alpa melakukan pengawasan BC Batam bahkan terkesan main mata dengan pemasok. Hal itu terlihat dari bantahan yang dilontarkan Kasi P2 BC Batam, Slamet Riyadi, jika barang tersebut bukan penyelundupan tapi penimbunan.

Kalau hanya penimbunan, Slamet lagi-lagi alpa menguraikan dari mana asal usul ribuan ton gula tersebut hingga bisa ditimbun di gudang PTK Kabil. Apalagi, Kasi P2 BC Batam itu tahu jika gula tersebut diakut oleh kapal berbendera asing, MV Punga Ang 289, dan dibongkar dan ditimbun di gudang PTK Kabil tanpa ada izin bongkar dan penimbunan.

Selain itu, deadline selama 30 hari yang diberikan pihak BC Batam kepada pemasok untuk mengurus kelengkapan dukumen memperkuat dugaan BC Batam tidak transparan soal penegahan gula ilegal tersebut.

Soal izin keluar masuk barang dari dan ke Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas atau FTZ Batam, sudah jamak diketahui publik merupakan kewenangan BP Batam. Dan untuk 2.000 ton gula yang dimasukkan ke Batam dengan diangkuat kapal Pung Ang 289 dengan agen pelayaran PT Putra Tempatan, BP Batam sudah memastikan ilegal karena tak pernah mengeluarkan izin.

BP Batam bahkan telah menegaskan, jika kelengkapan dokumen impor gula yang ditimbun di gudang PT PTK Kabil itu tidak bisa diurus lagi, karena proses impor harus berdasarkan kuota dari Kementerian Perdagangan RI.

"Kalau masuk ilegal, gula tidak bisa diurus agar menjadi legal. Karena impor gula seharusnya berdasarkan kuota pusat, sementara hingga saat ini tidak ada kuota impor gula yang diberikan untuk Batam," ujar Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Humas BP Batam, Dwi Djoko Wiwoho, Jumat (30/5/2014).

"Untuk gula jelas tidak bisa diurus, meskipun untuk barang tertentu bisa diurus izinnya setelah barang masuk," tambahnya.

Peraturan impor untuk Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, kata Djoko, sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 27 tahun 2012. "Untuk kuota impor tahun 2014 sudah ditetapkan pada akhir 2013. Dan untuk 2014 ini tidak ada kuota impor gula," jelasnya.

Semat Seret Nama Perum Bulog
Kisruh masuknya 2.000 ton gula impor ilegal itu ke Batam sempat menyeret nama Perum Bulog Subdivre Batam. Pihak agen pelayaran PT Putra Tempatan, yang mengurus perjalanan kapal tersebut, menyebut Perum Bulog sebagai pemilik. "Kami sebagai agen penunjukannya. Gula itu milik Bulog, dan ditimbun dulu di gudang PT PTK," kata Wandi dari agen pelayaran PT Putra Tempatan kepada BATAMTODAY.COM, Selasa (27/5/2014).

Namun, hal itu langsung dibantah pihak Bulog Subdivre Batam. "Tidak benar apa yang disampaikan Wandi dari pihak PT Putra Tempatan. Saya langsung hubungi anak buah saya pada Rabu (28/5/2014) siang kemarin untuk pergi ke kantor BC menanyakan hal itu," kata Pengadilan Lubis, Kepala Subdivre Perum Bulog Batam, Kamis (29/5/2014).

Dia menegaskan, selama ini Bulog Batam tidak pernah sama sekali mengajukan impor gula. Apalagi disebut sebagai pemilik 2.000 ton gula yang kabarnya didatangkan dari Thailand tanpa kelengkapan dokumen. "Itu namanya sudah mencatut dan mencoreng nama baik Perum Bulog Batam. Ini jelas gula ilegal, dan merupakan permainan oknum-oknum tertentu," katanya.

Sejauh ini, pihak BC Batam belum secara runtut menguraikan siapa pemasok gula ilegal tersebut. Bahkan, Kanwil DJBC Khusus Kepri yang dicoba dimintai tanggapan soal gula ilegal senilai puluhan miliar tersebut. Namun, Kanwil DJBC Khusus Kepri mengaku tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi karena Batam merupakan wilayah khusus.

"BC KPU Batam tidak di bawah yuridiksi BC Tanjungbalai Karimun (Kanwil BC Kepri, red), namun langsung ke kantor pusat," ujar Agus Wahono, Kabid PSO Kanwil BC Kepri, kepada BATAMTODAY.COM, Rabu (28/5/2014) menanggapi tegahan 2.000 ton gula putih oleh KPU BC Tipe B Batam itu.

"Jadi, penanganan perkara 2.000 ton gula itu sepenuhnya menjadi kewenangan BC KPU Batam," imbuh Agus sembari mengatakan ada dua BC se-Indonesia yang bersetatus KPU, yakni BC Batam dan BC Tanjungpriok.

Ketua DK Minta BC Batam Transparan
Soal kisruh gula impor ilegal senilai puluhan miliar ini, Ketua Dewan Kawasan (DK) Free Trade Zone (FTZ) Kepri, HM. Sani sudah angkat bicara. Dia meminta Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Batam menjelaskan tindak lanjut penegahan 2.000 ton gula yang diamankan dari kapal MV Punga Ang 289 pada Minggu (25/5/2014) lalu. Penjelasan itu perlu, sehingga bisa menjawab keraguan masyarakat dan diketahui pemilik dan pelakunya.

"Silakan tanyakan ke KPU BC Batam karena mereka yang lebih tahu itu. Dan selama ini baik Dewan Kawasan maupun Badan Pengusahaan Kawasan tidak pernah ada perusahaan yang mengajukan impor kuota gula di Kepri," ujar Sani, usai menghadiri rapat paripurna penyerahaan LHP BPK atas laporan keuangan APBD 2013 Provinsi Kepri, di kantor DPRD Kepri Dompak, Jumat (30/5/2014).

Gubernur Kepri itu menambahkan, KPU Bea dan Cukai Batam sebagai "leading sector" pengawasan barang masuk dan keluar wilayah pabean hendaknya dapat lebih transparan memberikan penjelasan kepada publik sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.

"Iya, mereka (BC, red) harus menjelaskan hal itu kepada masyarakat sehingga jelas dan tidak ada yang ditutup-tutupi," pungkasnya.

Dari informasi yang dihimpun di lapangan, ribuan ton gula putih itu disinyalir milik salah satu pengusaha besar di Batam yang memang sengaja 'disiapkan' untuk stok menghadapi bulan puasa dan Lebaran. Sumber BATAMTODAY.COM juga mengatakan, jika harga gula tersebut di negara asal di kisaran Rp2.000 sampai Rp2.500. "Harga di sana kisaran Rp2.000 sampai Rp2.500-an, kalau ampai di Batam paling tinggi Rp3.800-an," ujar sumber.

Nah, jika diasumsikan dengan harga gula di pasaran Batam, yang saat ini mencapai Rp8.000 per kilogram, 2 ribu ton gula itu senilai  Rp16 miliar. Dan tentunya, korporasi pemasok gula ilegal itu bakal meraup untung luar biasa besar. Lantas pertanyaannya kemudian, siapa pemasok dan pemilik gula senilai Rp16 miliar itu?

http://batamtoday.com/berita43529-BC-Deadline-30-Hari-Lengkapi-Dokumen-Impor,-BP-Batam-Pastikan-Tak-Keluarkan-Izin.html

Masa Depan Pertanian Kita

Jumat, 30 Mei 2014

Dua calon presiden (capres), yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, Minggu (25/5), pada kesempatan berbeda, di hadapan para peserta mereka memaparkan visi-misinya. Salah satu yang mereka sampaikan adalah soal pertanian. Menurut Jokowi, selain fokus pada energi, pangan juga mesti diperhatikan. Sumber daya manusia (SDM) harus diarahkan untuk itu. Sementara itu, Prabowo mengatakan, pertanian adalah mesin pertumbuhan utama ekonomi Indonesia.

Terjepit
Pertanian memang menjadi sektor penting yang harus diperhatikan lebih serius lagi. Indonesia, selain sebagai negara maritim juga negara agraris yang bertanah subur. Kita pernah mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 1984 karena berhasil swasembada pangan. Harus diakui, ini salah satu keberhasilan pemerintah Orde Baru (Orba) pimpinan Soeharto. Namun, sejak saat itu kemampuan untuk swasembada pangan terus menurun akibat investasi pemerintah di bidang pertanian yang berkurang dari tahun ke tahun.

Puncaknya terjadi saat krisis ekonomi tahun 1997 yang menghantam Asia. Para petani sebenarnya tidak mengalami krisis. Namun, karena Indonesia pada Oktober 1997 menandatangani Letter of Intent dengan IMF,  petani ikut terjerumus dalam krisis. Pada 1998, Indonesia misalnya dipaksa menurunkan tarif beras sampai 0 persen. Selain itu, Indonesia dilarang memberi subsidi pupuk. Keduanya membuat petani tak berdaya bersaing dengan beras impor yang lebih murah daripada beras di dalam negeri.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mempunyai peraturan khusus tentang subsidi pertanian, yaitu Agreement on Agriculture (AoA). Dengan perjanjian AoA ini, negara-negara anggota WTO memiliki beberapa kewajiban. Pertama, membuka pasar domestiknya bagi komoditas pertanian dari luar (market access). Kedua, negara anggota WTO harus mengurangi subsidi domestik. Ketiga, mengurangi subsidi impor. Akibat perjanjian AoA ini, petani benar-benar dibuat makin jauh terpuruk karena petani yang lemah itu dibiarkan hanyut dalam terjangan arus globalisasi pasar bebas.

Mengutip A Husni Malian (2011), AoA sebenarnya lebih banyak merugikan negara-negara berkembang dan menguntungkan negara-negara maju. Pertama, akses terhadap pasar bebas di negara-negara maju jauh lebih sulit dijangkau negara-negara berkembang. Itu karena begitu banyaknya hambatan nontarif serta initial tariff rate yang tinggi. Kedua, dengan kekuatan modal yang mereka miliki, negara-negara maju dapat memberikan subsidi terhadap komoditas pertanian yang mereka produksi untuk mendorong laju ekspor mereka. Ketiga, tidak adanya fleksibilitas bagi negara-negara berkembang untuk menyesuaikan tarif di dalam perjanjian ini.

Negara-negara maju yang lantang menuntut penghapusan subsidi pertanian justru menggelontorkan dana besar untuk subsidi pertanian mereka. Menurut Kevin Watkins dari Oxfam, setiap tahun negara maju mengeluarkan US$ 1 miliar per hari untuk memberi subsidi pada pertanian mereka. Pada 2002 saja, 30 negara industri yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)  menghabiskan US$ 311 miliar untuk subsidi pertanian. Dengan subdisi ini, mereka dapat membuat jatuh harga gandum dan produk pertanian lain di dunia. Hal ini pada gilirannya merugikan petani di negara-negara yang sedang berkembang.

Peraturan lain WTO yang menghimpit pertanian, terutama di negara yang sedang berkembang adalah apa yang disebut dengan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Salah satu pasalnya mengenai pertanian menetapkan hak intelektual atas tanaman dan bibitnya yang telah dikembangkan perusahaan bioteknologi. Ini menyebabkan komunitas setempat kehilangan hak atas sumber daya mereka sendiri. Selain itu, petani harus membayar untuk menanam tanam-tanaman yang sudah dipatenkan, seperti beras, gandum, kedelai, jagung, kentang, dan lain-lain.

Kelembagaan Petani
Dalam situasi seperti ini, langkah yang dapat dilakukan antara lain memperkuat kelembagaan petani. Ini merupakan faktor penting bagi terbukanya akses pasar bagi petani. Elizabeth dan Darwis (2003) mengatakan, agar kelembagaan petani dapat tetap tumbuh dan berkelanjutan, harus terpenuhi prinsip kemandirian lokal. Prinsip tersebut merupakan sebuah pendekatan di mana pemberdayaan harus dilakukan secara terdesentralisasi dan bukan terpusat yang cenderung menciptakan keseragaman. Prinsip ini harus terejawantahkan melalui harmonisasi antara institusi kelembagaan lokal tradisional yang dilandasi jiwa komunitas, kelembagaan pasar yang dilandasi ekonomi pasar, dan kelembagaan politik atau birokrasi.

Kita sebenarnya punya KUD (Koperasi Unit Desa) yang dibentuk pemerintah Orba. Swasembada pangan yang pernah kita alami tahun 1980-an, salah satunya disebabkan adanya lembaga ini. Sayangnya, nasib koperasi sekarang ini semakin buram. Menurut Endang Thohari, anggota Majelis Pakar Dekopin, jumlah koperasi di Indonesia dari tahun ke tahun memang semakin besar, yaitu mencapai 170.411 unit dengan anggota berjumlah 29,240 juta pada 2010 dan mampu meningkatkan volume usaha mencapai Rp 82,1 triliun. Namun, di balik itu sesungguhnya 10 persen koperasi di Indonesia sudah tidak aktif lagi. Mirisnya, sebagian besar adalah KUD.

Jokowi dan Prabowo punya visi-misi global untuk memajukan pertanian Indonesia. Menarik ditunggu, apakah mereka punya strategi khusus yang lebih implementatif untuk itu di tengah persaingan ekonomi dunia yang dikuasai negara-negara maju? Apakah mereka bisa memanfaatkan pusaran ekonomi pasar bebas saat ini untuk kepentingan para petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka? Bagaimana cara mereka memperkuat kelembagaan petani hingga kita bisa kembali menjadi negara swasembada seperti dulu? Jangan sampai tanah subur yang hakikatnya adalah berkah berubah menjadi kutukan karena pemerintah tak becus mengelolanya untuk kepentingan rakyat.

Fajar Kurnianto
Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Fajar Kurnianto

Pasangan Capres Diminta Berpihak pada Kedaulatan Pangan

Jumat, 30 Juni 2014

Padahal, keberpihakan pada produsen skala kecil sangat dibutuhkan.

VIVAnews – Visi dan misi terkait kedaulatan pangan pada masing-masing pasangan calon presiden yang akan dipilih pada 9 Juli mendatang, dinilai masih belum matang.

Pada diskusi yang diselenggarakan oleh Aliansi untuk Desa Sejahtera mengungkapkan, bahwa diperlukan adalah keberpihakan yang lebih kuat bagi produsen pangan skala kecil.
Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko, mengungkapkan bahwa ada sekitar lima juta petani kecil yang dipaksa keluar dari 110 ribu hektare lahan.

"Terakhir diketahui ada 20 ribu petani yang keluar. Bagaimana pangan kita bisa terpenuhi kalau produsennya menurun," ujarnya, Jumat 30 Mei 2014.

Dia merincikan, ada 100 dari 340 kabupaten dalam kondisi rawan pangan, terutama di wilayah Indonesia bagian Timur.

"Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan baru. Karena Presiden SBY sudah gagal total untuk memperbaikinya," ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Pokja Beras Said Abdullah memaparkan, kemungkinan visi misi kedua pasangan capres untuk mengubah situasi pangan ke depan agar dapat mewujudkan pangan sangat penting dipertanyakan.

Menurutnya, kedaulatan pangan tidak dapat diwujudkan jika tidak ada yang bicara tentang subsidi, asuransi, dan juga benih. Sedangkan impor pangan dan perjanjian internasional yang terkait dengan lemahnya sistem pangan Indonesia masih dianggap keharusan.

Sedangkan Ketua Pokja Perikanan, Abdul Halim, membahas mengenai program yang justru tidak memberikan perhatian terhadap sumber penghidupan nelayan kecil.

"Kalau kawasan konservasi laut diperluas, maka kawasan perairan tersebut tidak boleh digunakan sebagai area tangkap. Bagaimana nelayan kecil kita bisa memberikan kontribusi bagi peningkatan produksi perikanan 40-50 juta ton jika aksesnya dibatasi," tuturnya. (asp)

Jumat, 30 Mei 2014

Halalisasi Kartel Poultry

Jumat, 30 Mei 2014

MENARIK sekali mencermati Surat Menteri Perdagangan nomor: 644/M-DAG/SD|4|2014 perihal: Harga Penjualan Day Old Chicken (DOC) di tingkat peternak, yang diluncurkan 15 April 2014. Menarik karena kesan dan makna surat tersebut sangat bertolak-belakang. Ketika surat tersebut mengesankan pembelaan terhadap peternak kecil, sejalan dengan amanat UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, ternyata bermakna sebaliknya, penghalalan terhadap kartelisasi industri poultry RI. Itu tertangkap ketika disimak seksama.

Surat dimaksud mensiratkan tiga hal utama. Pertama, mengungkapkan bahwa harga ayam hidup (live bird) dan telur ditingkat peternak saat ini berada di bawah biaya pokok produksi sehingga peternak tidak memperoleh pendapatan yang wajar. Hal ini menyiratkan perlunya jaminan harga dasar. Kedua, tingginya produksi DOC, mengakibatkan kelebihan pasokan ayam broiler dan telur. Untuk mendukung upaya stabilisasi harga live bird dan telur dilakukan pengurangan produksi telur tetas broiler dan layer sebesar 15%. Ketiga, konsekuensinya adalah dibatasinya importasi induk ayam, grand parent stock (GPS).

Sepintas, sangat jelas orientasi iktikad Menteri Perdagangan, yaitu mengamankan kesejahteraan peternak ayam melalui jaminan harga. Akan tetapi menjadi tidak jelas efektifitas orientasi ini ketika alat kebijakannya adalah pengurangan DOC dan GPS, meski dijamin dengan pola distribusi DOC 70% untuk peternak dan 30% untuk perusahaan. Pertanyaan utama dengan efektifitas tersebut tersirat dalam kata-kata kurang lebih dalam prosentase distribusi, serta didukung terbatasnya kapasitas kendali dalam distribusi DOC oleh pemerintah.

Sebetulnya sangat mudah dipahami bahwa ketika DOC berkurang, maka pasar akan diwarnai oleh kelangkaan DOC. Harga DOC yang sementara ini sangat oligopolistik dan cenderung menjadi permainan kartel produsen DOC, akan semakin mahal, meski Menteri Perdagangan mengatur harga DOC maksimal Rp 3.200 per ekor. Faktanya, distribusi DOC ini sangat tertutup dan teramat diwarnai oleh jaringan dan rantai pasar yang tidak mudah dikendalikan.

Benar adanya bahwa penjaminan harga dasar atau Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk komoditas strategis, akan berdampak pada terjaminnya harga jual pada tingkat peternak atau petani. Namun demikian, perlu diperingatkan bahwa rangkaian kebijakan ini harus memperhatikan implikasi komprehensifnya. Pelajaran lapangan telah menunjukkan bahwa HPP untuk beberapa komoditas strategis cenderung dinikmati importir, bukan petani kecil.

Untuk kasus daging ayam dan telur, kecenderungan ini nampak lebih kuat. Alasannya, dengan makin terbatasnya DOC akan menyebabkan akses peternak kecil terhadap DOC semakin terbatas. Akibatnya, mereka tidak hanya kalah akses DOC-nya, akan tetapi berpotensi tersingkir dari usaha peternakan ayam. Kelompok ini akan mati. Kalau kelompok ini sudah mati, maka yang menikmati harga dasar, HPP, atau apapun namanya, adalah pengusaha besar, industri dan peternak mitranya. Yang terakhir inipun hanya ketetesan.

Sungguh perlu diingatkan bahwa Surat Menteri itu harus segera dicabut. Sangat kontraproduktif dalam pengamanan kesejahteraan peternak kecil. Karena bisa disimpulkan sepenuhnya bahwa: intinya harga naik itu bagus kalau yang menikmati peternak kecil.

Akan tetapi, kalau DOC dibatasi, maka akses peternak kecil terhadap DOC menjadi rusak. Peternak Kecil justru mati karena harus berhenti beternak. Walhasil, harga naik tidak dinikmati peternak kecil, tetapi dinikmati oleh industri dan peternak besar, yang bahkan memperoleh legitimasi kartelisasi, sekaligus membunuh konsumen dengan harga tinggi.

Itulah sebabnya pasar daging ayam dan telur ini akan menderita kartelisasi oligopolis menjelang lebaran. Skenario besar untuk keuntungan komprador itulah yang tersirat dalam Surat Mendag ini, sekaligus usaha sistematis membunuh peternak kecil dan konsumen: demi keuntungan sejumlah pemodal. Itulah makna Surat Mendag dimaksud.

(M Maksum Machfoedz. Guru Besar Sosek Agroindustri, Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3025/halalisasi-kartel-poultry.kr

Senin, 26 Mei 2014

Jokowi-JK bakal hapus raskin dan subsidi pupuk

Minggu, 25 Mei 2014

Merdeka.com - Pasangan bakal calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) dan bakal calon wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla (JK) memiliki program penghapusan subsidi pangan beras untuk rakyat miskin (raskin) dan subsidi pupuk. Pertimbangannya, selama ini dua program tersebut tidak berjalan efektif.

"Kita berani untuk menghapuskan raskin," kata anggota Tim Penyusun Visi Misi Jokowi-JK, Rohmin Danuri dalam acara revolusi mental pertanian di Jokowi Center, Jakarta, Minggu (25/5).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Gotong Royong ini melihat, program raskin mendidik masyarakat untuk memiliki ketergantungan pada pemerintah.

"Karena itu adalah warisan paling buruk dari pemerintah sekarang yang menjebak rakyat karena tidak ada efeknya," jelasnya.

Sedangkan pemberian subsidi pupuk kepada petani diyakini hanya menolong di awal. Proses pertanian cukup panjang dan petani sering mengalami kerugian justru di akhir proses.

"Seperti kerugian produksi, siapa yang akan membeli hasil produksi. Bagaimana kalau produksi melimpah," jelasnya.

Dalam pandangannya, pengganti subsidi pupuk adalah subsidi harga. Dalam artian, petani akan mendapat kepastian harga jual sehingga bisa meminimalisir kerugian.

Kemudian, subsidi pupuk digunakan untuk mendidik petani untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

"Jadi ada kepastian harga jual oleh pemerintah yang tidak merugikan petani, jadi bukan berarti hilang saja. Tapi kita alihkan untuk yang menunjang produktivitas. Sehingga petani pun jadi bergairah," jelasnya.

http://www.merdeka.com/uang/jokowi-jk-bakal-hapus-raskin-dan-subsidi-pupuk.html

Ketahanan Pangan Indonesia Jauh di Bawah Singapura

Senin, 26 Mei 2014

Medan, (Analisa). Indonesia menduduki peringkat ketahanan pangan jauh di belakang Singapura dan negara-negara regional Asia Tenggara lainnya di tahun 2014. Peringkat ini disusun oleh The Economist berdasarkan tiga indikator antara lain: daya beli konsumen, ketersediaan makanan, dan kualitas dan keamanan makanan. Pihaknya mencatat sejumlah kelemahan Indonesia terutama dalam hal anggaran riset pertanian, korupsi, dan pendapatan per kapita.

Gustami Harahap, Dosen Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis Universitas Medan Area (UMA) mengatakan fakta ini miris mengingat Indonesia merupakan negara agraris, yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Meskipun demikian, ia tidak menipis kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis pangan sebab ketersediaan makanan di Tanah Air dari waktu ke waktu merosot. “Pertumbuhan penduduk kita sangat pesat, otomatis yang akan diberi makan pun melonjak, orang-orang berlomba ke kota, kemiskinan meningkat, tingkat kesuburan dan jumlah lahan kian merosot. Ini problem kemanusian terbesar di Indonesia dan dunia,” tandasnya, di sela-sela seminar API (Asosiasi Planter Indonesia), Sabtu (24/5)

Ia meyakini penyebab rendahnya peringkat Indonesia dipicu dua hal yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut berhubungan dengan para petani seperti konversi lahan, mobilisasi pekerjaan para petani, dan tanaman semusim. “Pemerintah kita tidak tegas untuk menetapkan mana lahan khusus untuk pertanian, kesadaran masyarakat pun kurang, dan tekanan hidup juga ikut memengaruhi, sehingga kondisi social ekonomi pertanian masyarakat tani berubah drastis, yang dominan salah di sini pemerintah, yang hanya bisa duduk manis kurang berpikir dan bertindak,” tegasnya.

Sementara untuk faktor eksternal, ia menguraikan, hal tersebut dipengaruhi pasar bebas, revitalisasi pertanian, dan pemanfaatan riset dan teknologi. Terkait pasar bebas, ia menjelaskan, meski itu berguna dalam meningkatkan distribusi pangan. Namun, bahayanya para petani takluk pada tekanan pasar internasional. Di samping itu, Dosen yang aktif menulis di kolom opini di berbagai media ini pun mengemukakan, pasar bebas dan revitalisasi cenderung didominasi kepentingan pihak tertentu yang paling utama yakni perusahaan besar dan pejabat-pejabat yang hanya memikirkan kepentingannya pribadi.

“Kasus impor yang menguak nama-nama politisi di negeri ini sudah jelas membuktikan di mana sumber salahnya. Tata niaga pemerintahan juga cenderung menjadi ‘rentenir’. Apa fungsi Bulog? Seharusnya mereka berfungsi menjadi lembaga penyangga harga. Sekarang, mereka menjadi pendistribusi beras miskin. Saya bingung, apa mereka sudah ganti peran? tanyanya.

Terkait dengan pemanfaatan riset dan teknologi, Konsultan API ini juga menyinggung peran Lembaga Penelitian Riset dan Teknologi (Litbang). Ketersediaan alat-alat laborotorium pendukung di berbagai univerisitas di Indonesia, katanya, jauh dari kategori memadai. Selain itu, fungsi kementerian dan dinas-dinas pertanian, perkebunan, imbuhnya, belum berdampak signifikan. “Pemerintah Indonesia suka berwacana, tapi implementasinya tidak seheboh wacana.”

Hilirisasi Pertanian

Harahap menekankan krusialnya Tanah Air untuk meningkatkan hilirisasi pertanian. Hal ini pun menurutnya tidak terlepas dari dukungan pemerintah dalam memudahkan para investor untuk terpikat mendirikan pabrik hilirisasi pertanian. “Bila pemerintah kita berpikir untuk meningkatkan pendapatan dari sektor riil, seharusnya mereka memudahkan seluruh regulasi, sehingga dunia usaha berkembang. Kalau mereka hanya berpikir berapa yang mereka dapat sektor non rill seperti pajak. Pengangguran dan kemiskinan terus meningkat,” tuturnya.

Pengamat ekonomi Kasyful Mahalli juga memiliki pandangan yang sama dengan Gustami Harahap. Salah satu yang paling ia tandaskan antara lain: perlunya pemerintah memiliki masterplan dan memikirkan masa depan para petani dan lulusan pertanian. “Kemana para lulusan IPB, kebanyakan mereka bekerja di sektor perbankan, pasar modal, dan lainnya. Ini terjadi karena pemerintah tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang memungkinkan bagi mereka. Akhirnya orang gengsi bertani,” terangnya. (dyt)




Minggu, 25 Mei 2014

Semaren Sumber Mata Air Terbesar Di Magelang

Minggu, 25 Mei 2014


Mata air Semaren, merupakan sumber mata air jenis Artesis, yakni air yang keluar dari dalam tanah. Mata air yang berada di Dusun Semaren, Desa Sawangan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang ini, merupakan mata air terbesar yang berada di Magelang.

Mata air yang berada di antara lereng gunung Merbabu dan Merapi tersebut, sejak tahun 1987 telah dimanfaatkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Gemilang, untuk menyalurkan air bersih bagi masyarakat Magelang.

Setidaknya empat kecamatan yakni Muntilan, Mungkid, Mertoyudan, dan Candimulyo mengandalkan air dari sumber tersebut, karena mata air ini adalah satu-satunya sumber yang ada. Bahkan mata air Semaren ini adalah satu-satunya mata air terbesar dari 54 mata air yang ada di wilayah Kabupaten Magelang, yang dimanfaatkan oleh PDAM.

“Semaren adalah satu-satunya sumber mata air untuk kawasan tersebut (Muntilan, Mungkid, Mertoyudan, dan Candimulyo). Apabila sumber itu mati, maka semuanya akan berhenti. Dan ini adalah sumber mata air yang terbesar di Magelang, sehingga ini menjadi mata air utama,” kata staf Bagian Transmisi Distribusi Sub Unit Muntilan, Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Gemilang, Utomo Suryo Atmojo saat ditemui Tribun Jogja di kantornya, Selasa (29/1).


Mata air yang memiliki debit 300 liter per detik ini, dari lobang utama langsung disalurkan ke pipa menuju bak penampungan yang ada di Desa Gondosuli, Kecamatan Muntilan. Dalam bak penampungan tersebut, air diolah untuk menghilangkan zat besi menjadi air bersih layak konsumsi, serta mengatur tekanan air yang menuju ke pengguna.


Sedangkan limpahan dari sumber utama, dilimpahkan melalui kolam yang berada di sampingnya lalu dilimpahkan ke Sungai Mangu yang berhilir ke Sungai Elo. Di kolam tersebut, oleh masyarakat dimanfaatkan untuk mandi dan berenang. Bahkan para santri dari Pon-Pes Gontor VI, juga memanfaatkannya untuk mandi. Sementara air yang mengalir melalui Sungai Mangu dimanfaatkan untuk pengairan pertanian.


Pada saat bencana erupsi Gunung Merapi akhir tahun 2010 lalu, kata Utomo, meskipun sumber ini juga cukup dekat dengan puncak merapi dan sempat terselimuti abu vulkanik yang cukup tebal, namun debit tidak terpengaruh sama sekali. Karena sumber resapan utama dari gunung Merbabu meskipun juga ada sebagian dari Merapi.

Pada saat banjir lahar dingin melintas sungai Pabelan tahun lalu, pipa-pipa milik PDAM yang menjadi penyalur dari sumber mata air Semaren, yakni berada di Dusun Surodadi, Desa Gondowangi, Kecamatan Sawangan, juga putus diterjang lahar. Bahkan, pipa berukuran 10 inc tersebut harus disambung kembali hingga sebanyak lima kali.


“Meskipun saat ini sudah normal namun apabila ada banjir lahar yang besar dan mengikis pondasi penyangga pipa, maka bisa dipastikan akan kembali terputus,” ujarnya.

Untuk melestarikan sumber cadangan air di sekitarnya, upaya pelestarian alam selalu dilakukan. Caranya adalah dengan penanaman bibit pohon di sekitaran Semaren dengan menjadikannya sebagai program tahunan, baik dari PDAM sendiri maupun dari Pemerintah Daerah.

Petugas penjaga mata air Semaren, Winarno (40) mengatakan, pada hari-hari tertentu banyak masyarakat luar daerah yang menggelar ritual di sekitar sumber tersebut.

“Orang luar malah banyak, tapi kalau masyarakat setempat sekarang sudah tidak ada,” ujarnya.

Jumat, 23 Mei 2014

Kemandirian Pangan

Jumat, 23 Mei 2014

“Angin segar” diembuskan pasangan calon presiden (capres) Joko Widodo dan calon wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla (JK). Mereka berjanji, jika menang dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang, akan mewujudkan program pembangunan kemandirian pangan dan pengurangan angka pengangguran. Hal itu diungkapkan JK saat menghadiri Rapat Koordinasi Tim Pemenangan Gabungan Jokowi-JK di kantor DPP Nasdem, Jakarta, Rabu (21/5).

Menurut JK, kemandirian bangsa merupakan capaian akhir yang akan ditempuh melalui kemajuan pembangunan di seluruh bidang. Untuk itu, pemerintahan ke depan harus mampu mengembalikan Indonesia pada fitrahnya sebagai negara agraris dan maritim. Tanpa mengabaikan sektor-sektor lainnya, bidang pertanian memang menjadi salah satu hal yang mesti dan mendesak dibenahi bangsa ini untuk masa mendatang. Hal itu didasari hampir sebagian besar masyarakat kita bergantung pada produk pertanian.

Ironisnya, dan ini fakta, sebagian produk pangan kita diperoleh dari luar alias impor, mulai dari bawang, cabai, kedelai, hingga garam. Oleh sebab itu, kemandirian pangan sangat penting agar bangsa Indonesia tidak bergantung pada impor yang setiap tahun selalu meningkat. Untuk itu, kebijakan pemerintah dalam pertanian mesti berpihak pada petani. Persoalan pangan harus menjadi perhatian pemerintahan mendatang supaya bisa memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia yang jumlahnya terus bertambah.

Meningkatkan produksi pangan dan industri nasional penting dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif pertumbuhan ekonomi yang selama ini lebih banyak ditopang konsumsi impor. Meski dalam lima tahun terakhir ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6 persen, pertumbuhan tersebut tidak mencerminkan perekonomian Indonesia secara riil, sebab mengandalkan impor. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia itu menjadi milik negara eksportir.

Dampak lanjutannya, pertumbuhan bakal menyusut, bahkan menjadi minus, manakala negara kehabisan anggaran untuk belanja barang impor. Situasinya akan kian berat, seperti yang terjadi di Yunani dan Spanyol, karena pemerintah mengandalkan utang untuk konsumsi barang impor tersebut. Pertumbuhan ekonomi semestinya bisa berkualitas apabila didorong oleh kenaikan investasi, khususnya di sektor riil, yang menyerap tenaga kerja tinggi, seperti usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), serta industri pertanian dan perikanan.

Kalau penyerapan tenaga kerja tidak banyak, pertumbuhan ekonomi 6 persen itu semu karena hanya didorong oleh konsumsi, bukan investasi. Untuk itu, sekali lagi, pemerintahan mendatang mesti segera membangun kemandirian produksi pangan dan perindustrian nasional. Langkah konkretnya, barangkali untuk merangsang kemandirian pada industri untuk kebutuhan pokok masyarakat, seperti sandang, pangan, dan papan, pemerintah harus membebaskan segala macam pajak dan biaya-biaya yang membebani perusahaan agar menekan biaya produksi dan ekonomi biaya tinggi.

Misalnya, ada insentif dari pemerintah untuk mendorong tumbuhnya industri nasional. Konsumsi mayoritas berasal dari impor, termasuk impor pangan yang mencapai 100 triliun rupiah setahun. Bahkan, kini, Indonesia menjadi importir pangan terbesar dunia. Impor yang sangat melimpah juga mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia pada 2012 defisit, berbarengan dengan defisit transaksi berjalan. Tentu untuk menciptakan kemandirian pangan bukanlah perkara mudah. Penambahan lahan untuk pangan, misalnya, harus ditindaklanjuti di tingkat operasional.

Tetapi, kondisi teknis di lapangan memang tidak mudah untuk mencetak sawah baru. Selain kendala teknis, selama ini komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk memprioritaskan persoalan pangan masih kurang. Rata-rata pemda hanya mengalokasikan dana APBD untuk sektor pertanian dan pangan hanya 2,5 persen. Jika dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand, angka luas lahan dan panen di Indonesia masih tertinggal karena memang keberpihakan pemerintah terhadap pangan masih rendah.

Oleh sebab itu, kita berharap komitmen Jokowi-JK untuk mewujudkan kemandirian pangan bukan sekadar slogan. Komitmen itu mutlak harus diwujudkan jika kita ingin menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri secara ekonomi. n

http://www.koran-jakarta.com/?12553-kemandirian%20pangan

Kamis, 22 Mei 2014

Warga Protes Pameran di Alun-alun Purwokerto

Kamis, 22 Mei 2014

Rumput di Alun-alun Purwokerto terlihat rusak. Tampak latar belakang tenda untuk pameran.
PURWOKERTO, SATELITPOST-Langkah Pemerintah Kabupaten Banyumas yang memperbolehkan penggunaan alun-alun sebagai lokasi untuk menggelar Pameran Produk Dalam Negeri Tahun 2014 mendapatkan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat di Banyumas.
Elemen-elemen masyarakat tersebut bahkan sempat berkumpul untuk menyampaikan pandangan mereka atas langkah pemkab ini di sebuah warung makan di Purwokerto. Elemen yang memiliki suara senada ini antara lain, Banyumas Spirit, Masyarakat Sosialis Banyumas, Lembaga Cahaya Pratama, dan Pro Tani Kita.
Ketua Banyumas Spirit, Suyono mengatakan bupati harus mau menolak tawaran pihak penyelenggara terkait rencana penggunaan alun-alun. Hal ini merujuk pada peraturan bupati yang mengarahkan pelaksanakan agenda besar untuk dipusatkan di GOR Satria atau Taman Rekreasi Andhang Pangrenan.
Menurutnya, langkah pemkab yang memperbolehkan alun-alun dipakai dapat menimbulkan berbagai macam efek buruk. Sebut saja, potensi menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan.
“Kalau diperbolehkan, kegiatan ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial dari masyarakat. Lebih parah lagi, hal ini juga bisa menimbulkan kecurigaan dari sesama penyelenggara kegiatan di Banyumas,” katanya seraya mengatakan potensi kerusakan rumput alun-alun juga sangat besar.
Soal rumput, Perwakilan Masyarakat Sosialis Banyumas, Andi Priambodo mengaku prihatin. Menurutnya, sangat disayangkan jika rumput alun-alun rusak akibat penyelenggaraan kegiatan ini.
“Pemeliharaan selama ini sudah mahal. Kalau harus rusak lagi gara-gara kegiatan ini, sama saja menghamburkan uang rakyat,” katanya.
Dia juga mengaku mendengar kabar terkait rencana perbaikan alun-alun yang akan memakan anggaran sekitar RP 1,4 miliar.
”Ini lebih parah lagi, uang sebanyak itu hanya akan digunakan untuk memperbaiki rumput dan membangun air mancur di alun-alun. Masyarakat kita masih butuh banyak perbaikan infrastruktur. Aja alun-alun bae diduiti, dalan, pendidikan, kesehatan, kue diurus sih mendingan,” ujar pendamping kelompok tani di Baturraden ini.
Langkah kontroversial pemkab juga ditanggapi keras oleh Bonang, Ketua Pro Tani Kita. Menurutnya, pemkab sudah mengambil langkah tidak adil jika ruang publik tersebut diperbolehkan untuk menggelar kegiatan tersebut. Sebab, selama ini, masyarakat yang juga memiliki lokasi tersebut sedikit kesulitan saat hendak menggunakan lokasi tersebut.
“Anak-anak mau main bola dilarang, tapi untuk kegiatan besar diperbolehkan. Ini kan tidak adil namanya,” ujarnya. (Topan Pramukti)

http://satelitnews.co/warga-protes-pameran-di-alun-alun-purwokerto/


Pemerintahan Baru Diminta Kawal Kedaulatan Pangan

Rabu, 21 Mei 2014

Liberalisasi Dianggap Sudah Kebablasan

RMOL. Impor pangan yang terus meningkat setiap tahunnya, membuktikan bahwa Indonesia semakin jauh dari kedaulatan pangan. Kehidupan petani yang jauh dari sejahtera, juga menjadi bukti bahwa Indonesia bukan lagi negara agraris.

menurut Ketua Umum Seri­kat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, kedau­lat­an dan ketahan­an pangan menjadi isu pokok yang dituntut oleh pe­tani ter­ha­dap kepemimpinan men­­da­tang.

    “Dasar tuntutan itu adalah li­beralisasi pangan yang sudah berlebihan,” ujar Saragih di Ja­karta, ke­marin.

Liberalisasi pangan, katanya, berlangsung saat keran impor ter­hadap komoditas pertanian terus meningkat tiap tahun. Dia meng­ungkapkan, ber­da­sar­kan data Badan Pusat Statistik (BPS) ta­hun 2013, Indonesia mengim­por se­banyak 472 ribu ton beras dari Viet­nam, Thailand, India, Pa­kistan, dan Myanmar.

“Ini mem­pri­hatinkan meng­ingat Indonesia pernah memper­oleh predikat swasembada be­ras,” katanya.

Menurut Saragih, volume im­por beras yang tinggi mengin­di­ka­sikan produktivitas yang me­nu­run. Penurunan itu dipicu oleh penyempitan luas lahan per­­ta­ni­an. “Pemerintah terpilih ha­rus be­­rani untuk menegak­kan re­for­ma­si agraria melalui pen­dis­­trib­u­sian dan perluasan lahan ber­tani,” ucapnya.

Tuntutan ini, lanjutnya, pen­ting untuk menjaga ting­kat produktivitas dan identitas Indo­nesia sebagai ne­gara agraris. Dia berharap, pe­merintahan yang baru berani me­ngubah pa­radigma pertanian dari semula pertanian model ko­lonial yang mengandalkan eks­por-impor menjadi model eko­logis yang mementingkan ke­berlanjutan pertanian.

“Model ekologis ini penting karena membuat petani me­mi­kirkan kondisi lahannya. Misal­­nya dengan penggunaan pu­puk or­ganik sehingga kesuburan la­hannya relatif lebih lama dan pro­duktivitasnya juga lebih me­ning­kat,” tandasnya.

Sekretaris Jen­deral Perhim­punan Petani dan Nelayan Se­jahtera Indonesia, Ri­yono, me­minta calon presiden dan calon wakil presiden terpilih menda­tang agar lebih berani mengim­plementasikan program pertanian yang lebih riil dan ope­rasional.

“Jangan berhenti pada jargon kerakyatan di satu sisi, dan jar­gon kebangsaan di sisi lainnya. Agen­danya harus riil. Misalnya men­cetak satu juta petani entre­pre­neurship,” tekannya.

Dengan kebe­ra­nian pemerin­tah baru untuk me­ng­angkat bi­dang pertanian, dia berharap, akan membuat sektor ini menja­di fon­dasi kebangkitan pereko­no­mian nasional.

Sebelumnya, Menteri Perta­ni­an Suswono mengakui, sektor pertanian membutuhkan banyak dukungan pembiayaan meng­ingat anggaran APBN untuk sek­tor tersebut sangat terbatas.

“Saat ini alokasi anggaran un­tuk per­ta­nian hanya sekitar Rp 17 triliun per tahun. Idealnya Rp 24 triliun per tahun jika produksi ingin terus ditingkatkan,” katanya.

Disamping ter­batasnya anggar­an, kata Suswono, permasalahan lain yang di­hadapi sektor perta­nian adalah alih fungsi lahan yang sulit di­bendung.

http://www.rmol.co/read/2014/05/21/156092/Pemerintahan-Baru-Diminta-Kawal-Kedaulatan-Pangan-

Rabu, 21 Mei 2014

Melihat Visi Pertanian Prabowo dan Jokowi

Rabu, 21 Mei 2014

Para mafia dinilai mengorbankan kepentingan nasional.

VIVAnews - Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla berjanji akan membangun kedaulatan pangan berbasis agribisnis kerakyatan melalui penyusunan kebijakan pengendalian atas impor pangan.

Dalam visi dan misinya yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum, Jokowi-JK juga menyampaikan akan melakukan pemberantasan terhadap mafia impor. Menurut Jokowi-JK, para mafia sekadar mencari keuntungan pribadi atau kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan pangan nasional.

Pengembangan ekspor pertanian menurut keduanya juga harus dilakukan berbasis pengolahan pertanian dalam negeri. Penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan regenerasi petani juga akan dilakukan melalui pencanangan 1000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019.

Dalam visi dan misi setebal 42 halaman yang telah diunggah di situs resmi KPU, Jokowi-JK juga menjanjikan peningkatan kemampuan petani dan organisasi tani serta memperbaiki pola hubungan dengan pemerintah. Terutama pelibatan aktif perempuan petani dan pekerja sebagai tulang punggung kedaulatan pangan.

Jokowi-JK juga menjanjikan pembangunan irigasi, bendungan, sarana jalan, transportasi serta pasar dan kelembagaan pasar secara merata. Rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak terhadap 3 juta hektar lahan pertanian dan 25 bendungan juga akan dilakukan oleh keduanya hingga tahun 2019.

Visi Pertanian Prabowo-Hatta

Sementara Prabowo-Hatta dalam visi dan misinya juga menjanjikan akan mencetak 2 juta hektare lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan antara lain beras, jagung, sagu, kedelai dan tebu. Peningkatan produksi menurut Prabowo-Hatta dapat mempekerjakan lebih dari 12 juta orang.

Selain membuka lapangan kerja, peningkatan produksi juga akan mempercepat pengembangan inovasi dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas pertanian rakyat, terutama tanaman pangan termasuk hortikultura, peternakan dan perikanan. Prabowo-Hatta dalam visi misinya setebal 9 halaman juga menjanjikan penambahan dana riset sebesar Rp 10 triliun dari APBN selama 2015-2019.

Peningkatan produktivitas pertanian rakyat di setiap kabupaten juga akan dilakukan jika keduanya terpilih mulai pada tahun 2015. Itu semua menurut Prabowo-Hatta akan disesuaikan dengan pengembangan koridor ekonomi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). (adi)

http://politik.news.viva.co.id/news/read/506116-melihat-visi-pertanian-prabowo-dan-jokowi

Jokowi-JK: Persendian Ekonomi RI Masih Lemah

Selasa, 20 Mei 2014

JAKARTA - Pasangan Capres dan Cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) melihat bahwa dalam perjuangan mencapai tujuan nasional, bangsa Indonesia dihadapkan pada tiga masalah pokok bangsa. Yakni merosotnya kewibawaan negara, kemudian melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional dan merebaknya intoleransi dan krisi kepribadian bangsa.

Hal tersebut dikutip dari visi dan misi Jokowi-JK, Jakarta, Selasa (20/5/2014), kelemahan sendi perekonomian dijabarkan sebagai lemahnya sendi-sendi perekonomian bangsa terlihat dari belum terselesaikannya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan antarwilayah, kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan ketergantungan dalam hal pangan, energi, keuangan dan teknologi.

Menurut mereka, negara tidak mampu memanfaatkan kandungan kekayaan alam yang sangat besar, baik yang mewujud (tangible) maupun bersifat non-fisik (intangible), bagi kesejahteraan rakyatnya. Harapan akan perkuat sendi-sendi ekonomi bangsa menjadi semakin jauh ketiga negara tidak kuasa memberi jaminan kesehatan dan kualitas hidup yang layak bagi warganya.

Gagal dalam memperkecil ketimpangan dan ketidakmerataan pendapatan nasional, melanggengkan ketergantungan atas utang luar negeri dan penyediaan pangan yang mengandalkan impor, dan tidak tanggap dalam menghadapi persoalan krisis energi akibat dominasi alat produksi dan modal korporasi global serta berkurangnya cadangan minyak nasional.

Untuk menunjukan priorotas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, Pasangan JOkowi-JK merumuskan sembilan agenda prioritas dalam pemerintahan kedepan.

Di antara kesembilan tersebut, pasangan itu akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Untuk itu, mereka berjanji akan membangun infrastruktur jalan baru sepanjang 2.000 Kilometer dan memperbaiki jalan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Kemudian Jokowi dan JK akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. "Kami akan mewujudkan kedaulatan pangan melalui kebijakan perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 juta hektar sawah," ujar mereka.

Pasangan tersebut, akan memperbaiki 1 juta hektare lahan sawah baru di luar Jawa, pendirian bank petani dan UMKM, gudang dengan fasilitas pengolahan pasca panen di tiap sentra produksi. Penghentian konversi lahan produktif untuk usaha lain, seperti industri, perumahan dan pertambangan. Janji lainnya adalah, akan mewujudkan kedaulatan energi melalui kebijakan pengurangan impor energi minyak dengan meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi migas di dalam dan luar negeri. (rzy)

http://economy.okezone.com/read/2014/05/20/20/987654/jokowi-jk-persendian-ekonomi-ri-masih-lemah

Selasa, 20 Mei 2014

Ini Tuntutan Petani untuk Capres Terpilih

Selasa, 20 Mei 2014

TEMPO.CO, Jakarta - Kedaulatan dan ketahanan pangan menjadi isu pokok yang dituntut oleh petani terhadap presiden dan wakil presiden yang baru. “Dasar tuntutan itu adalah liberalisasi pangan yang sudah berlebihan,” kata Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, pada Selasa, 20 Mei 2014.

Liberalisasi pangan yang dimaksud Henry Saragih adalah saat di mana keran impor terhadap komoditas pertanian terus meningkat tiap tahun. Indonesia, menurut data BPS tahun 2013, mengimpor sebanyak 472 ribu ton dari Vietnam, Thailand, India, Pakistan, dan Myanmar.

“Ini memprihatinkan mengingat Indonesia pernah memperoleh predikat swasembada beras,” katanya.

Henry menjelaskan volume impor beras yang tinggi mengindikasikan produktivitas yang menurun. Produktivitas ini, kata Henry, dipicu oleh penyempitan luas lahan pertanian, baik di desa maupun kota besar.

“Pemerintah terpilih harus berani untuk menegakkan reforma agraria melalui pendistribusian dan perluasan lahan bertani,” kata Henry. Tuntutan ini menjadi penting sebab selain untuk menjaga tingkat produktivitas, juga menjaga identitas Indonesia sebagai negara agraris.

Selain itu, Henry berharap pemerintah yang baru berani mengubah paradigma pertanian dari semula pertanian model kolonial yang mengandalkan ekspor-impor menjadi model ekologis yang mementingkan keberlanjutan pertanian. “Model ekologis ini penting karena membuat petani memikirkan kondisi lahannya, misalnya dengan penggunaan pupuk organik sehingga kesuburan lahannya relatif lebih lama dan produktivitasnya juga lebih meningkat,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Riyono, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia, yang meminta capres dan cawapres terpilih lebih berani mengimplementasikan program pertanian yang lebih riil dan operasional. “Jangan berhenti pada jargon kerakyatan di satu sisi, dan jargon kebangsaan di sisi lainnya. Agenda harus riil, misalnya mencetak satu juta petani entrepreneurship,” kata Riyono. Ia berharap dengan keberanian pemerintah baru untuk mengangkat bidang pertanian akan membuat sektor ini menjadi fondasi kebangkitan perekonomian nasional.

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/05/20/269579017/Ini-Tuntutan-Petani-untuk-Capres-Terpilih

Senin, 19 Mei 2014

Ujian Kedaulatan Pangan Jokowi

Senin, 19 Mei 2014

Kedaulatan pangan, janji kampanye PDIP, otomatis melekat pada Jokowi, calon presiden dari partai itu.

Saat blusukan ke persawahan di Desa Tanjungrasa, Bogor (Minggu, 27/4/2014), Jokowi sudah menyampaikan konsepnya terkait kedaulatan pangan.

Konsep Jokowi perlu diuji konsistensinya dengan konsep kedaulatan pangan versi organisasi petani sedunia Via Campesina.

Tujuannya untuk melihat apakah Jokowi sudah berada di jalur yang benar. Sebab kalau keliru, maka mayoritas petani konstituen PDIP akan menggugatnya. Anggap ini sebagai ujian teori kedaulatan pangan untuk Jokowi.


Lima Kebijakan

Menurut Jokowi untuk mencapai kedaulatan pangan nasional harus ditempuh lima kebijakan pokok pembangunan pertanian pangan. Pertama, pengamanan lahan baku pertanian. Tidak ada lagi konversi lahan pertanian produktif untuk keperluan non-pertanian.

Kedua, pemandirian petani pangan. Pendampingan petani diarahkan pada pencapaian kemandirian dalam usahatani, dengan menggunakan benih serta pupuk dan pestisida organik/hayati yang dihasilkan sendiri. Dengan kata lain anti-impor, anti-paten, dan anti-agroindustri hulu (benih dan saprotan).

Ketiga, pembenahan irigasi pertanian. Meliputi pembangunan bendungan baru, pembenahan saluran-saluran irigasi, dan pengendalian pencemaran industri untuk menjamin mutu air irigasi.

Keempat, perbaikan tataniaga pertanian. Rantai tataniaga terlalu panjang, sehingga nilai tambah hasil pertanian pangan sebagian besar justru dinikmati pengusaha pasca-panen, khususnya pedagang dan pengusaha agroindustri.

Kelima, peningkatan akses permodalan. Kendala umum berupa keterbatasan modal usahatani akan diatasi dengan mendirikan bank pertanian.

Lima kebijakan tersebut secara gamblang menunjuk pada suatu kebijakan pangan yang pro-petani. Apakah ini berarti konsep Jokowi sudah konsisten dengan konsep kedaulatan pangan sejati?

Enam Pilar
Mari kita uji konsistensi lima kebijakan Jokowi dengan enam pilar kedaulatan pangan hasil perumusan Via Campesina pada International Forum for Food Sovereignty di Nyéléni, Mali tahun 2007.

Pilar-pilar yang dimaksud adalah, pertama, pangan untuk rakyat. Kebijakan pangan nasional harus menempatkan kebutuhan pangan rakyat sebagai intinya dan menolak setiap upaya komoditisasi pangan.

Kedua, basis pengetahuan/keahlian lokal. Mengembangkan pengetahuan dan keahlian tradisional sebagai basis produksi pangan. Teknologi dari luar, yang bersifat merusak sistem pangan lokal, harus ditolak.

Ketiga, berkerja selaras alam. Cara produksi pangan menerapkan pola agro-ekologis yang ramah lingkungan.

Keempat, penghargaan pada petani pangan. Kegiatan budidaya atau produksi pangan harus menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi pelakunya.

Kelima, lokalisasi sistem pangan. Jarak antara produsen dan konsumen harus diperpendek melalui penataan sistem tataniaga. Prinsip ini menolak ketergantungan pada korporasi pangan asing, dumping pangan, dan bantuan pangan yang tidak layak.

Keenam, kontrol lokal atas pangan. Pangan harus sepenuhnya dikontrol oleh produsen pangan lokal. Karena itu privatisasi pangan harus ditolak.

Kebijakan pengamanan lahan baku pertanian, pembenahan irigasi, dan peningkatan akses permodalan yang diajukan Jokowi cukup konsisten dengan pilar penghargaan pada petani. Arahnya untuk menjamin ketersediaan modal alami (tanah/air) dan modal finansil yang memadai bagi petani, sehingga pertanian pangan menjadi mata pencaharian yang layak.

Kebijakan pemandirian petani konsisten dengan pilar-pilar basis pengetahuan lokal, selaras alam, dan kontrol lokal atas pangan. Arahnya perubahan cara produksi pangan dari pola industrial (estate) yang eksploitatif ke pola agro-ekologis yang ramah lingkungan. Juga perubahan sistem penguasaan sumberdaya pertanian dari rejim hak milik privat ke rejim hak milik komunal.

Sedangkan kebijakan perbaikan tataniaga pertanian untuk sebagian konsisten dengan pilar pangan untuk rakyat dan lokalisasi sistem pangan. Kebijakan ini mengarah pada perubahan tataniaga pertanian dari rejim liberalisme ala WTO ke rejim proteksionis (anti-impor) yang melindungi petani (produsen) dan konsumen pangan. Tujuannya antara lain mencegah komoditisasi dan penggunaan pangan sebagai instrumen politik dan kekuasaan.

Kesimpulannya, konsep kedaulatan pangan Jokowi menunjukkan konsistensi dengan konsep Via Campesina. Artinya, Jokowi lulus dalam ujian teori kedaulatan pangan, walaupun tidak dengan judisium cum laude.



Satu Skeptisme

Tapi janji kedaulatan pangan Jokowi, sebagai sebuah janji politik, harus disikapi secara skeptis. Soalnya pada tahap implementasi, janji itu akan dihadapkan pada sejumlah resistensi, yang menyebabkannya gugur di tengah jalan.

Menjanjikan kedaulatan pangan berarti menjanjikan perubahan kebijakan pangan secara radikal dari rejim “ketahanan” (food security) ke rejim “kedaulatan” (food sovereignty). Per definisi ini berarti perubahan ideologis dari paham liberal ke proteksionis.

Intinya rejim kedaulatan pangan akan mengandalkan basis gerakan pangan akar-rumput (komunitas petani), menegakkan sistem pangan yang demokratis, dan perlindungan terhadap sistem pangan lokal.

Upaya menegakkan rejim kedaulatan pangan akan mendapat perlawanan keras dari pendukung paham ketahanan pangan yang liberal-global, khususnya dari negara-negara anggota WTO, FAO, serta korporasi agroindustri pangan multi-nasional dan nasional termasuk BUMN Pangan.

Dengan kata lain, konflik klasik ”pemodal vs petani” akan terjadi. Apakah kedaulatan pangan akan tercapai atau tidak, tergantung pada bagaimana resolusi konflik itu. Tentang hal yang genting ini, Jokowi jelas belum mengajukan konsepnya.

Tapi, untuk resolusi konflik itu, satu hal harus menjadi kesepakatan bersama yaitu “kedaulatan adalah harga mati”. Simaklah petikan pidato Presiden Sukarno di Faperta UI Bogor tahun 1952: “Jadikanlah bangsamu ini bangsa yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya! Buat apa kita bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga?”

Enam puluh dua tahun setelah pidato itu, mungkinkah akan terpilih seorang Presiden Indonesia Modern yang bisa mewujudkannya? (*)

Felix Sitorus
http://politik.kompasiana.com/2014/05/19/ujian-kedaulatan-pangan-jokowi-656323.html

Tiga Penyebab Pupuk Subsidi Langka di Pasar

Senin, 19 Mei 2014

Tiga Penyebab Pupuk Subsidi Langka di Pasar  

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pertanian dan PT Pupuk Indonesia mengungkapkan tiga alasan kelangkaan pupuk subsidi di daerah. Pertama, aksi panic buying atau pembelian secara terburu-buru di kalangan petani. Kedua, pemerintah daerah yang tidak menggunakan kewenangan realokasi. Ketiga, selisih harga antara harga pokok produksi dengan harga eceran tertinggi.

Tiga faktor itu dikemukakan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian, Udhoro Kasih Anggoro, dan Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Arifin Tasrif, pada rapat dengar pendapat di gedung DPR RI pada Senin, 19 Mei 2014. (Baca juga : DPR Gelar Rapat Soal Kelangkaan Pupuk)

“Faktor panic buying mendorong petani membeli pupuk melebihi kebutuhan sehingga kuota pupuk terus terserap melebihi kebutuhan,” kata Udhoro.

Petani melakukan panic buying karena terpengaruh isu kelangkaan pupuk subsidi di beberapa daerah. “Padahal, kelangkaan pupuk tidak terjadi di semua daerah,” katanya.

Arifin mengatakan penyerapan yang berlebihan itu dipicu oleh para petani yang tidak tergabung di gabungan kelompok tani. “Petani yang tidak tergabung di kelompok tani cenderung tidak terkontrol pola penggunaan pupuknya karena tidak membuat rencana definitif kebutuhan kelompok terhadap penggunaan pupuk subsidi,” ujarnya. (Lihat juga : Piutang Rp 1,6 T Nyangkut, PT Pusri Cari Pinjaman)

Pemerintah daerah seharusnya bisa mengatasi hal itu bila menggunakan kewenangannya untuk realokasi kuota pupuk. Kondisi itu terjadi karena gubernur atau bupati menghendaki persediaan pupuk di daerahnya selalu tercukupi. “Pemerintah daerah yang telah tercukupi kebutuhan pupuknya tidak ingin persediaannya terganggu. Sehingga ketika diminta menyalurkan ke daerah lain, mereka enggan melakukannya,” katanya.

Kelangkaan juga diperburuk disparitas harga antara harga pokok produksi dengan harga eceran tertinggi yang disebabkan oleh komponen produksi yang terus meningkat, sedangkan harga eceran tertinggi tidak pernah berubah. “Harga eceran tertinggi tidak pernah naik selama lima tahun terakhir, sedangkan harga gas dan bahan baku, misalnya, selalu naik,” kata Arifin. (Berita lain: Polisi Gagalkan Penyelundupan Pupuk Bersubsidi)

Untuk mengatasi selisih harga pokok produksi dan harga eceran tertinggi ini, anggota Komisi Pertanian DPR Siswono Yudo Husodo mengusulkan kenaikan harga eceran tertinggi. Namun, perusahaan pupuk nasional harus bisa menjamin ketersediaannya. “Petani lebih memilih harga agak naik tapi pupuk mudah didapat dibanding harga murah tetapi selalu langka,” kata Siswono.

Jokowi: Subang Tetap Jadi Lumbung Beras Nasional

Minggu, 18 Mei 2014

TEMPO.CO, Subang - Bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ahad siang, 18 Mei 2014, menemui ratusan sukarelawan di Alun-alun Kota Subang. Jokowi menggelar diskusi dengan sukarelawannya yang terdiri atas Forum Komunikasi Guru Ngaji, Forum Komunikasi Guru Honorer, Forum Penyuluh Pertanian, Forum Guru PAUD, dan lainnya.

Jokowi tiba di Alun-alun Kota Subang sekitar pukul 10.30 WIB. Ia disambut kesenian lokal Sesingaan saat turun dari mobil. Acara ini dibuka Bupati Subang Ojang Suhandi. Sebelum memberikan pidato di depan ratusan sukarelawannya, Jokowi diberi topi adat khas Subang.

Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan Subang harus dipertahankan sebagai lumbung beras nasional. "Jangan sampai ada konversi lahan pertanian ke industri, pertambangan, atau perumahan. Sistem irigasi ke sawah juga harus sebanyak-banyaknya," katanya di Subang, Ahad, 18 Mei 2014. Jokowi mengatakan jarak antara petani dan pasar juga harus dihapuskan. Menurut dia, jarak yang panjang inilah yang membuat harga beras mahal.

Selain itu, menurut Jokowi, impor beras harus dihentikan karena Indonesia memiliki kemampuan untuk menggantungkan pasokan beras pada petani dalam negeri. Selain impor beras, ujar Jokowi, impor benih juga harus dihentikan. "Petani diberikan penyuluhan, jangan pakai pestisida. Kompos itu cukup. Jangan menggunakan benih impor karena biaya produksi jadi tinggi," katanya.

Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan persaingan Subang bukan hanya dengan sesama provinsi, tapi dengan dunia internasional. Ia mengingatkan bahwa Subang harus bisa bersaing dengan negara-negara ASEAN karena Masyarakat Ekonomi ASEAN akan berlangsung tahun depan.

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/05/18/269578566/Jokowi-Subang-Tetap-Jadi-Lumbung-Beras-Nasional

RI Perlu Pemimpin yang Pro Pertanian

Minggu, 18 Mei 2014

Jakarta - Indonesia membutuhkan pemimpin yang pro pertanian. Pasalnya, pertanian dalam kepemimpinan saat ini mengalami kemunduran yang menyebabkan membanjirnya impor pangan dan turunnya daya saing pertanian dalam negeri.

Pengamat Ekonomi Faisal Basri mengatakan, pertumbuhan sektor tradable di Indonesia selama 2000-2013 lebih rendah ketimbang sektor non tradable. Umumnya, hal itu terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Sehingga, pemerintahan saat ini dinilai tidak pro sektor riil. Akibatnya, neraca perdagangan pangan dalam negeri defisit. "Indonesia tidak perlu presiden yang berwacana tetapi butuh yang aksi," kata Faisal.

Dia menilai, sektor pertanian semakin rendan di era SBY. Sebagai negara besar, tidak seharusnya Indonesia menggantungkan kepentingan pangannya kepada negara lain karena itu terkait erat dengan kedaulatan. Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Selama 2005-2011 terjadi konvergensi harga produk-profuk pertanian di ASEAN. Artinya, produk pertanian di ASEAN makin bebas sehingga terjadi kesetaraan harga. "Produk murah akan masuk ke nagar-negara yang harga pangannya lebih mahal, sehingga harga akan turun," tutur Faisal.

Dia menjelaskan, hingga September 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang. Jika sektor pertanian diperhatikan betul, penurunan kemiskinan tentu akan lebih cepat. Salah satu yang perlu diperhatikan jika pemerintah ingin membangun pertanian adalah meningkatkan pasca panen, termasuk transportasi. Sebab, tingginya biaya transportasi menyebabkan petani tidak mampu mengirimkan produknya.

Saat ini, lanjut dia, ongkos pengapalan Jakarta-Sorong US$ 2.000, Jakarta-Banjarmasing US$ 650, dan Padang-Jakarta US$ 600. Sedangkan biaya pengapalan Jakarta-Singapura US$ 185 dan Jakarta-Rotterdam US$ 550.

Berdasarkan survei Bank Dunia, harga jeruk Medan Rp 20 per kg. Sedangkan harga jerum Mandarin Rp 17.000 per kg. Itu merupakan dampak dari mahalnya biaya transportasi di Indonesia. Meski pemerintah sudah membatasi pintu masuk impor hortikultura, namun produk tersebut tetap mudah masuk karena maraknya penyulundupan.

http://www.beritasatu.com/politik/184718-ri-perlu-pemimpin-yang-pro-pertanian.html

Sabtu, 17 Mei 2014

Ini 91 Caleg Golkar yang Melenggang ke Senayan

Kamis, 15 Mei 2014

Metrotvnews.com, Jakarta: Partai Golkar memperoleh 91 kursi DPR RI hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ditetapkan Rabu (14/5/2014). Kursi sebanyak itu diperoleh setelah partai berlambang beringin menduduki peringkat kedua perolehan suara dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 sebanyak 18.432.312 suara.

Calon anggota legislatif (caleg) dari Golkar yang lolos berasal sejumlah daerah pemilihan di 32 provinsi. Berikut daftar caleg Golkar yang melenggang ke Senayan:
1. Aceh I: Salim Fakhry 42.557 suara, Aceh II: Firmandez (24.861);
2. Sumut I: Meutya Hafid (45.232); Sumut II: Rambe Kamarul Zaman (59.978); Sumut III: Delia Pratiwi BR Sitepu (127.845); Anthon Sihombing (66.601);
3. Sumatra Barat I: Betti Shadiq Pasadigoe (77.663); Sumbar II: John Kenedy Azis (53.182);
4. Riau I: Tabrani Maamun (57.200); Riau II: HM Idris Laena (91.595);
5. Jambi: Saniatul Lativa (87.911);
6. Sumatera Selatan I: Dodi Reza Alex Noerdin (203.246), Kahar Muzakir (49.025); Sumatera Selatan II: Bobby Adhityo Rizaldi (67.456);
7. Lampung I: Dwie Aroem Hadiyatie (32.808), Lampung II: Aziz Syamsuddin (70.619);
8. Bangka Belitung: Azhar Romli (33.693);
9. Jakarta I: Bambang Wiyogo (45.617); Jakarta II: Fayakhun Andriadi (25.446); Jakarta III: Tantowi Yahya (45.507);
10. Jawa Barat I: Popong Otje Djunjunan (26.090); Jawa Barat II: Agus Gumiwang Kartasasmita (102.469); Lili Asdjudiredja (44.285); Jawa Barat III: Deding Ishaq (33.009), Eka Sastra (74.458); Jawa Barat IV: Dewi Asmara (77.158); Jawa Barat V: Airlangga Hartarto (113.939); Ichsan Firdaus (27.986); Jawa Barat VI: Wenny Haryanto (32.906); Jawa Barat VII: Ade Komarudin (167.732), Dadang S Muchtar (69.414); Jawa Barat VIII: Dave Akbarshah Fikarno (80.748), Daniel Mutaqien Syafiuddin (91.958); Jawa Barat IX: Eldie Suwandie (90.588); Jawa Barat X: Agun Gunanjar Sudarsa (69.359); Jawa Barat XI: Ferdiansyah (67.837), Ahmad Zacky Siradj (30.833);
11. Jawa Tengah I: Mujib Rohmat (36.163); Jawa Tengah II: Nusron Wahid (243.021); Bowo Sidik Pangarso (66.909); Jawa Tengah III: Firman Subagyo (90.757); Jawa Tengah IV: Endang Maria Astuti (44.081); Jawa Tengah V: Endang Srikarti Handayani (48.547); Jawa Tengah VI: Iqbal Wibisono (50.868); Jawa Tengah VII: Bambang Soesatyo (57.235); Jawa Tengah VIII: Dito Ganindito (49.137); Jawa Tengah IX: Agung Widyantoro (75.577); Jawa Tengah X: Budi Supriyanto (57.339);
12. DI Yogyakarta: Siti Hediyati Soeharto (61.655)
13. Jawa Timur I: Adies Kadir (30.093); Jawa Timur II: Mukhamad Misbakhun (66.899); Jawa Timur III: Hardisoesilo (34.000); Jawa Timur IV: Muhammad Nur Purnamasidi (26.438); Jawa Timur V: Ridwan Hisjam (43.796); Jawa Timur VI: Sarmuji (57.586); Jawa Timur VII: Gatot Soedjito (54.344); Jawa Timur VIII: Mohammad Suryo Alam (56.702); Jawa Timur IX: SW Yudha (46.022); Jawa Timur X: Eni Maulani S (84.837); Jawa Timur XI: Zainudin Amali (122.167);
14. Banten I: Andika Hazrumy (70.846); Banten II: Yayat Y Biaro (31.668); Banten III: Andi Achmad Dara (73.408);
15. Bali: Gde Sumarja Linggih (141.168); AA Bagus Adhi Mahendra Putra (71.964);
16. NTB: Muhammad Lutfi (59.074);
17. NTT I: Melchias Markus Mekeng (73.120), Setya Novanto (85.188); NTT II: Charles J Mesang (54.514).
18. Kalimantan Barat: Zul Fadhli (100.583);
19. Kalimantan Tengah: Agati Sulie Mahyudin (32.297);
20. Kalimantan Selatan I: Ahmadi Noor Supit (71.233), Indro Hananto (64.206),
21. Kalimantan Selatan II: Hasnuryadi Sulaiman (82.130)
22. Kalimantan Timur: Mahyudin (91.623), Neni Moerniaeni (61.405);
23. Sulawesi Utara: Aditya Anugrah Moha (77.264)
24. Sulawesi Tengah: Mohammad Said (131.508);
25. Sulawesi Selatan I: Hamka B Kady (45.717); Sulsel II: Syamsul Bachri (66.519), Andi Rio Idris Padjalangi (77.962); Sulsel III: Markus Nari (76.608), Andi Fauziah Pujiwatie Hatta (96.330).
26. Sulawesi Tenggara: Ridwan Bae (91.747);
27. Gorontalo: Fadel Muhammad (163.054), Roem Pono (117.831);
28. Sulawesi Barat: Enny Anggraeny Anwar (58.518);
29. Maluku: Edison Betaubun (58.765);
30. Maluku Utara: Saiful Bahri Ruray (37.486);
31. Papua: Elion Numberi (85.374);
32. Papua Barat: Robert Joppy Kardinal (65.690).

http://firmansoebagyo.com/Berita/tabid/120/ID/2450/Ini-91-Caleg-Golkar-yang-Melenggang-ke-Senayan.aspx

Jumat, 16 Mei 2014

Amanat Kedaulatan Pangan

Jumat, 16 Mei 2014

PADA 1 April lalu penulis menerima pesan singkat dari Bambang Tri Purnomo, pengurus Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI). Isinya, menyampaikan bahwa teman-teman di AB2TI mengukir sejarah baru di wilayah Karanganyar: belum pernah dalam musim tanam I bisa panen 8 ton per hektar, tetapi AB2TI justru menembus angka 13,76 ton per hektar.

Benih yang ditanam adalah padi varietas IF8 (IF Indonesian Farmer) yang merupakan karya petani kecil sendiri, bukan benih karya akademisi dan peneliti. Pertanaman yang ada juga bukan dalam skala kecil dan ubinan untuk penelitian, melainkan skala lapang seluas 4 ha dan panen disaksikan wakil bupati dan jajaran dinas Karanganyar.

Lebih tinggi
Produktivitas padi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan benih hibrida Tiongkok yang diimpor ke Indonesia dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan semua varietas yang sudah dilepas pemerintah. Varietas padi lain karya petani anggota AB2TI memiliki tingkat produktivitas hingga 16 ton per ha walaupun belum bisa kami konfirmasi.

Sejarah fenomenal terkait produksi padi lain berasal dari India. Berita panen padi musim tanam 2013 di sebuah desa terpencil Darvesphura, Bihar, di wilayah timur laut India, mengejutkan banyak pihak di seluruh dunia (The Observer, 16/2/2013). Seorang petani kecil di desa itu, Sumant Kumar, tak menyangka dengan hasil panen padi miliknya yang setelah ditimbang menghasilkan 22,4 ton gabah kering panen dari 1 ha lahan. Padi itu juga karya petani kecil, bukan padi transgenik, bukan hibrida, dan bukan varietas unggul karya lembaga-lembaga penelitian atau perusahaan benih.

Hasil itu mengalahkan rekor sebelumnya 19,4 ton per ha yang dicapai pemulia padi Tiongkok, Yuan Longpin, yang dikenal sebagai ”bapak padi” dan jauh melampaui varietas-varietas padi yang dihasilkan International Rice Research Institute di Filipina, serta varietas lain karya perusahaan-perusahaan benih raksasa Eropa, Amerika, ataupun perusahaan benih transgenik. Petani lain di wilayah itu rata-rata menghasilkan produksi padi di atas 17 ton per ha.

Menariknya lagi, budidaya padi yang mereka kerjakan sama sekali tidak menggunakan pupuk sintetik, herbisida, ataupun pestisida. Mereka murni mengelola lahan mereka dengan pupuk organik buatan mereka sendiri.

Berita itu awalnya ditanggapi skeptis oleh pemerintah, universitas, maupun peneliti. Baru setelah kepala dinas pertanian negara bagian itu datang dengan beberapa anggota stafnya, rekor itu akhirnya terkonfirmasi. Menteri Utama India lalu berkunjung ke wilayah itu. Karena produktivitas sedemikian tinggi, banyak petani terbebas dari jurang kemiskinan dan mampu menyekolahkan anak-anaknya dan akses lebih baik untuk kesehatan.

Fakta itu menguak kesalahan besar pembangunan pertanian yang mengandalkan konsep ketahanan pangan, yang menempatkan pangan hanya komoditas perdagangan dan petani kecil sebagai obyek dan berada di lapisan terbawah piramida struktur pertanian di Indonesia. Lapisan piramida teratas dihuni hanya oleh 0,2 persen penduduk, tersusun dari konglomerasi agrobisnis, pertanian kapitalis, pengusaha benih dan pupuk, serta jaringan industri pangan. (Dwi Andreas Santosa, Kompas, 26/3/2014)

Jumlah yang sangat sedikit tersebut mendapatkan kue pembangunan terbesar, memperoleh akses dan penguasaan terhadap sumber daya produktif terbanyak, mendapatkan kemewahan dari institusi-institusi finansial dan asuransi, mendapatkan subsidi terbesar baik langsung maupun tidak langsung, dan didukung kebijakan pemerintah yang sangat berpihak kepada mereka.

Di sisi lain, petani ditempatkan hanya sebagai pemakai teknologi dan input pertanian yang semuanya berasal dari luar mereka, akses terhadap perbankan dan asuransi praktis tertutup, tak ada jaminan ketika terjadi kegagalan panen dan tak terlindungi ketika harga meluncur ke dasar. Kreativitas terkait benih dipasung atas nama undang-undang yang menyebabkan belasan petani di Jawa Timur (2005-2010) ditangkap dan masuk penjara.

Petani yang menerapkan konsep agroekologi—yang merupakan salah satu pilar kedaulatan pangan—dipandang skeptis oleh beberapa ilmuwan dan kalangan pemerintah. Banyak akademisi dan perumus kebijakan justru mengagungkan dan mengiklankan tanaman transgenik milik perusahaan asing yang dianggap magic bullet untuk mengatasi persoalan produksi pangan di Indonesia dengan mengemukakan berbagai data artifisial LSM perusahaan benih raksasa di seminar-seminar dan pertemuan.

Mereka tidak sadar, yang melatarbelakangi itu semua adalah potensi pasar benih transgenik di Indonesia yang bernilai sangat menggiurkan, yaitu Rp 22 triliun per tahun. Selain itu, ”proyek transgenik” akan membuahkan ketergantungan akut petani kecil terhadap benih dan pestisida pendampingnya. Dengan luas lahan pangan yang hanya 8,0 juta ha (BPS, 2012), petani kecil justru menorehkan karya luar biasa sehingga mampu menyumbang PDB Rp 408,0 triliun pada 2013, yang jauh lebih besar daripada kelapa sawit sebesar Rp 223,7 triliun yang luas lahannya justru lebih besar (8,7 juta ha).

Membalikkan struktur
Dengan demikian, pemerintah mendatang harus memiliki program membalikkan struktur piramida pertanian dengan menempatkan petani di struktur tertinggi melalui upaya serius mewujudkan kedaulatan pangan dan kedaulatan petani. Perjuangan aliansi masyarakat sipil dan jaringan tani Indonesia membalikkan struktur piramida pertanian berbuah manis dengan dimasukkannya kedaulatan ke dalam empat UU penting, yaitu UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, yang Pasal 3c UU berbunyi ”diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan”.

Kedaulatan kemudian mengalami evolusi dan menjadi asas tertinggi dalam UU selanjutnya. Dalam UU No 13/2010 tentang Hortikultura, Bab II Pasal 2, dinyatakan penyelenggaraan hortikultura berdasarkan asas kedaulatan. Dalam UU No 18/2012, Bab II Pasal 2, juga dinyatakan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan dengan berdasarkan asas kedaulatan. Hal yang sama terdapat dalam UU terbaru, yaitu UU No 19/2013 yang menempatkan kedaulatan sebagai asas tertinggi perlindungan dan pemberdayaan petani.

Dengan demikian, siapa pun presidennya berkewajiban mewujudkan kedaulatan pangan dan kedaulatan petani Indonesia. Pertanyaan besarnya: bagaimana negara dan pemimpin mendatang melaksanakan amanat kedaulatan tersebut dalam politik praktis dan praksis kebijakan di Indonesia di tengah rendahnya pemahaman pemimpin dan calon pemimpin terhadap isu ini.

Melaksanakan kedaulatan pangan secara sederhana adalah mengubah kebijakan pertanian kapitalistik, ekstraktif, polutif, berorientasi pada konsumen, menganggap pangan hanya komoditas dan menyerahkan pangan sepenuhnya dalam mekanisme pasar menjadi kebijakan yang menempatkan dan memuliakan penghasil pangan, yaitu petani kecil, memelihara alam dan harmoni kehidupan di dalamnya, serta melindungi petani dari sistem perdagangan yang tak adil.

Selain itu, pertanian dikembalikan kepada harkat sebenarnya sebagai agri-culture, pertanian sebagai budaya: menghormati tanah sebagai ibu, langit sebagai ayah, dan benih sebagai anak. Merusak dan meracuni tanah berarti merusak dan meracuni ibu. Memuliakan tanah yang terwujud dalam berbagai bentuk upacara yang dilakukan kakek-nenek kita pada praktik pertanian masa lalu mengandung tak hanya nilai-nilai sakral, tetapi sekaligus mengandung filosofi mendalam untuk menyelamatkan alam dan kehidupan.

Benih sebagai anak perlu dipelihara, diberi kasih sayang, sehingga jadi tumbuh dewasa yang akhirnya mampu menyumbangkan dirinya untuk keberlanjutan kehidupan kita. Dengan demikian, menyerahkan penguasaan benih ke korporasi sama saja menyerahkan kehidupan kita. Upaya mewujudkan kedaulatan pangan harus menjadi platform kebijakan pemimpin mendatang sehingga tanah sebagai ibu, langit sebagai ayah, dan benih sebagai anak dapat memberi sumbangan terbaik bagi kelangsungan hidup kita di bumi manusia ini.

Dwi Andreas Santosa
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140516kompas/#/7/

Rabu, 14 Mei 2014

Duh, Indonesia Masih Bergantung pada Singkong Impor dari Thailand

Rabu, 14 Mei 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri di dalam negeri membutuhkan singkong untuk bahan baku. Anggota Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), Thamrin Chaniago mengatakan selama ini kebutuhan industri banyak diimpor dari Thailand.

"Karena produksi singkong kita belum stabil, industri butuh pasokan yang berkelanjutan," katanya dalam diskusi Pengembangan Industri Singkong di Menara Kadin, Rabu (14/5).

Ia mencontohkan ada tiga pabrik tapioka di Banten yang kerap impor bahan baku. Satu pabrik membutuhkan singkong sebanyak 300 ton per hari.

Agar pasokan bahan baku singkong stabil, MSI mengusulkan pola penanaman singkong dalam bentuk cluster. Nanti upaya pengembangan singkong akan fokus pada cluster-cluster tersebut sehingga mudah dipantau.

Petani juga bisa mengembangan tanaman sela sambil menunggu masa tanam singkong. Salah satu tanaman yang cocok di lahan singkong yaitu jagung.


Solusi Kelangkaan Pupuk

Rabu, 14 Mei 2014

KELANGKAAN pupuk bersubsidi kembali terjadi setelah selama beberapa musim tanam sepi dari pemberitaan, yang berarti penyalurannya cukup aman. Namun berita kelangkaan pupuk tenggelam oleh kegaduhan partai politik menggalang koalisi capres/cawapres, serta berita tentang kasus pedofilia di beberapa daerah. Beberapa hari terakhir petani sulit memperoleh sarana produksi terpenting. Andai ada pun harganya tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 122/Permentan/SR.130/11/2013 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2014 menyebutkan, HET pupuk bersubsidi jenis urea Rp 1.800/kg, SP36 Rp 2.000, ZA Rp 1.400, NPK Rp 2.300, dan pupuk organik Rp 500/kg.

Faktor utama pemicu gonjang-ganjing pupuk bersubsidi ini antara lain karena ada ketentuan baru penyaluran. Kebijakan itu untuk menekan kebocoran anggaran pupuk bersubsidi. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2011 menegaskan bahwa pupuk bersubsidi adalah barang dalam pengawasan.

Saat ini pemerintah menerapkan distribusi pupuk bersubsidi dengan sistem tertutup. Petani yang boleh mengakses pupuk bersubsidi hanyalahanggota kelompok tani dan tercatat dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Di samping itu, mulai TA 2014 pemerintah memverifikasi dan memvalidasi ketat pendistribusiannya.

Pemerintah hanya membayar subsidi pupuk yang penyalurannya bisa dipertanggungjawabkan. Pupuk yang disalurkan produsen lewat pengecer harus mendapatkan verifikasi dan validasi ketat oleh petugas, ke mana disalurkan (by name by address). Ketentuan baru ini menjadikan produsen/pengecer ekstrahati-hati menyalurkannya kepada petani karena takut subsidi sarana produksi yang mereka salurkan tidak terbayar.

Faktor lain adalah kemenurunan volume pupuk yang dialokasikan pemerintah pusat. Berdasar perencanaan dari bawah, kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian 2014 mencapai 9,55 juta ton. Meski anggaran subsidi pupuk naik dari Rp 15,8 triliun tahun 2013 menjadi Rp 18,048 triliun tahun 2014, dana tersebut hanya mampu untuk menyediakan 7,778 juta ton pukupk sehingga kurang 1,8 juta ton. Khusus Jawa Tengah, pada TA 2014 ini mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi sektor pertanian 1.450.700 ton, terinci untuk urea 664.400 kg, SP36 137.500, ZA 149.400, NPK 325.900, dan pupuk organik 173.500 ton.

Solusi jangka pendek dan bersifat darurat untuk mengatasi persoalan pupuk kali ini adalah segera mempercepat distribusi pada daerah-daerah yang secara riil membutuhkan. Jika alokasi bulanan yang tertuang dalam perbup/perwalkot tak mencukupi maka dapat dipecahkan dengan menggeser alokasi bulan mendatang, asalkan tidak melebihi plafon yang ditetapkan.

Cara ini pun harus diikuti dengan kecepatan verifikasi dan validasi supaya tidak menghambat  proses penyaluran berikutnya. Mekanisme penggeseran (pengalihan) tersebut harus didukung data riil tambah tanam (TT) yang ada di wilayah kelompok, yang dirinci by name by address dari petani penerima.

Mengurangi Dosis

Solusi jangka menengah adalah memperkenalkan input teknologi untuk efisiensi penggunaan pupuk anorganik oleh petani. Teknologi produksi padi seperti system of rice intensification (SRI), dan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan salah satu komponennya penggunaan bagan warna daun (BWD) terbukti dapat mengurangi pemakaian urea hingga 25% tanpa mengurangi  produktivitas.

Penggunaan teknologi tepat guna seperti perangkat uji tanah sawah (soil test kit) yang sangat mudah dioperasikan petani di sawah juga sangat membantu mengurangi penggunaan pupuk. Dengan perangkat uji tanah sawah yang dibantu pemerintah, petani dapat membaca  tingkat kesuburan tanah sawahnya hanya dalam hitungan menit. Melalui cara ini dapat ditentukan kapan dan sejumlah berapa pupuk diaplikasikan sehingga penggunaan pupuk lebih efisien dan efektif.

Solusi jangka panjang adalah memasyarakatkan penggunaan pupuk organik yang dapat dibuat sendiri oleh petani. Jujur kita akui, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia merupakan dampak negatif dari revolusi hijau. Keajaiban pupuk kimia yang mampu meningkatkan produksi pangan berlipat dalam waktu singkat telah menyihir negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Pemerintah kemudian mengalokasikan stimulus bagi petani dalam bentuk kredit berbunga murah, serta subsidi pupuk besar-besaran. Akibatnya, pupuk kimia mudah diakses petani dengan harga murah.  Lebih jauh, petani cenderung boros dalam aplikasi.  Menurut rekomendasi Badan Litbang Pertanian, pupuk urea untuk tanaman padi 250 kg/ha tapi petani menggunakan lebih dari 300 kg/ha. Selain itu, pupuk organik mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi fisik, kimia, dan biologis. Ketiga fungsi itu dapat memperbaiki fungsi tanah yang rusak karena keintensifan penggunaan pupuk anorganik selama puluhan tahun. Jika upaya ini sudah menampakkan hasil, secara bertahap harga pupuk anorganik dinaikkan, dan subsidi pupuk dihapus. Harga pupuk yang mahal membuat petani berpikir dua tiga kali untuk boros mengaplikasikannya. (10)

— Toto Subandriyo, alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed, Asisten Administrasi Pembangunan Sekda Kabupaten Tegal

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/05/14/261652

Mentan: Bulog Dilarang Impor Gula

Rabu, 14 Mei 2014

INILAHCOM, Jakarta - Menteri Pertanian, Suswono melarang kepada Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk melakukan impor gula.

Menurut Suswono, pertengahan tahun akan ada musim giling. Sehingga kalau ada impor akan menganggu harga pada petani. "Sekarang akan ada musim giling tebu, impor nggak usahlah," ujar Suswono di Kementan, Selasa (13/5/2014).

Mantan Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat ini, mengatakan pernah Bulog mendapatkan izin impor gula. Dengan syarat bukan pada musim giling tebu.

Impor gula oleh Bulog hanya berfungsi sebagai stok. "Bulog diputuskan rapat Menko perlu stok untuk suatu saat terjadi gejolak harga," kata Suswono.

Dewan Gula Indonesia (DGI) memperkirakan produksi gula nasional tahun ini mencapai 2,93 juta ton. Ini mengacu pada prognosa (taksasi) produksi gula tebu terbaru berdasarkan hasil rapat DGI dengan seluruh pabrik gula (PG) pada 28 Maret 2014.

Produksi gula pada 2013 mencapai 2,54 juta ton, turun 50 ribu ton, tahun 2012 sebanyak 2,59 juta ton. [hid]

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2100391/mentan-bulog-dilarang-impor-gula#.U3KmG-OSzME

Mudah Impor Beras ?

Selasa, 13 Mei 2014

Belum lama petani selesai membasuh keringat setelah selesai menanam padi pada musim gadu, para petinggi yang mengurusi masalah pangan sudah berdebat ramai tentang kemungkinan impor beras untuk memenuhi persediaan beras dalam negeri. Banyak alasan dan pertimbangan dikemukakan, yang pasti banyak di antara mereka sepakat membuka kran impor beras dalam waktu dekat ini. Meskipun banyak juga yang menentang rencana impor ini tapi tampaknya pemerintah lebih memilih opsi melakukan impor untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga beras.

Dalam berbagai kesempatan Direktur Utama Perum Bulog, Sutarto Alimoeso menyatakan bahwa pengadaan beras Bulog beberapa waktu terakhir ini relatif rendah. Hal ini disebabkan terjadinya ‘masalah’ produksi di sejumlah sentra produksi beras, yang kemudian berdampak pada naiknya harga beras. Harga gabah saat ini cenderung naik melampaui harga pembelian pemerintah (HPP) sehingga Bulog mengurangi pembelian beras. Kondisi ini yang membuat Bulog terpaksa melakukan impor beras. Artinya, impor terpaksa dilakukan karena memang terjadi ‘masalah’ pada hulu produksi beras.

Apapun alasannya, yang jelas opsi impor selalu menjadi jalan pintas untuk mengatasi permasalahan  pasokan beras. Seolah tidak ada alternatif lain yang lebih baik untuk mengatasi gejolak yang terjadi pada pasokan dan fluktuasi harga beras. Berbagai program yang sejak awal digembar-gemborkan sebagai solusi meningkatkan produksi beras seketika lenyap ditelan bumi. Coba cermati, ke mana larinya optimisme surplus produksi beras 10 juta ton? Di mana disembunyikan klaim bahwa kita akan segera memiliki kelebihan produksi beras melalui berbagai langkah terobosan, seperti GP3K dan berbagai program lainnya?

Kita tentu memaklumi menyediakan pangan untuk rakyat sangat penting. Artinya, memenuhi gudang Bulog untuk menyediakan stok pangan untuk rakyat harus mendapat prioritas perhatian. Mencegah harga beras membumbung tinggi, yang kemudian mendorong inflasi juga penting agar perekonomian nasional tidak ‘goyang’. Yang kita gugat, mengapa impor beras selalu diambil dengan sangat mudah, cepat dan tanpa mempertimbangkan kepentingan petani. Mengapa tidak dipertimbangkan matang kemungkinan jatuhnya harga beras akibat impor beras berlebihan? Pertanyaan klasik yang juga selalu muncul, mengapa pemerintah selalu berusaha mati-matian menahan lonjakan harga beras, dengan berbagai alasan dan pertimbangan, tetapi cenderung ‘cuek’ ketika harga beras di tingkat petani jatuh?

http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/mudah-impor-beras/

Senin, 12 Mei 2014

Petani Sawah Tadah Hujan Kekurangan Air

Senin, 12 Mei 2014


SUKOHARJO (KRjogja.com) - Sejumlah petani sawah tadah hujan di Sukoharjo mulai kekurangan air. Karena takut tanaman padi kering dan gagal panen, maka mereka rela mengeluarkan biaya ekstra untuk mengaliri sawah menggunakan mesin diesel. Air didapat dari sumur pantek atau bor yang mereka buat.

Sawah tadah hujan yang kekurangan air berada di wilayah Kecamatan Baki, Gatak dan Kartasura. Mereka sudah dua pekan terakhir mengandalkan sumur pantek untuk mendapatkan air. “Cuaca sangat panas dan jarang bahkan sudah tidak lagi hujan membuat sawah saya kering jadi harus cari air dari sumur pantek,” ujar Wiyono salah satu petani asal Desa Gumpang Kecamatan Kartasura, Senin (12/05/2014).

Tanaman padi dengan usia satu bulan dilahan seluas satu hektar ini dikatakan Wiyono sangat membutuhkan air. Karena itu dalam satu pekan sekali harus dialiri menggunakan sumur pantek. Untuk mendapatkan air, dirinya harus rela mengeluarkan biaya hingga seratusan ribu rupiah, dana itu diperlukan untuk sewa mesin diesel dan bahan bakar.

Untuk sewa mesin diesel, Wiyoso mengaku harus mencari sendiri ke beberapa kenalanya sesama petani. Dengan cara ini bisa lebih murah dibanding menyewa kepada pemilik usaha persewaan mesin diesel.

Tarsono salah satu petani asal Desa Purbayan Kecamatan Baki mengatakan, kondisi seperti sekarang membuatanya harus dua kali melakukan sedot air melalui sumur pantek, sebab tanaman padi yang baru saja ditanam rawan kering apabila terlambat tidak mendapatkan air. Tarsono mengaku, sedikit beruntung karena sudah memiliki mesin diesel sendiri, karena itu biaya yang dikeluarkan lebih ringan dibanding harus sewa ke orang lain.

Biaya yang dikeluarkan yakni sebesar Rp 15 ribu untuk membeli bahan bakar solar dengan durasi satu jam penggunaan mesin diesel. Padahal dalam satu kali penyedotan air membutuhkan waktu minimal lima jam.

Surip petani asal Desa Gentan Kecamatan Baki mengatakan, meski sudah ada mesin diesel sendiri, namun tetap saja susah untuk mendapatkan air dari sumur pantek. Sebab lahan sawah miliknya dikepung perumahan yang banyak bermunculan.

Mayoritas perumahan tersebut juga mengandalkan sumur bor untuk mendapatkan air. Karena itu, petani harus berebutan dengan warga yang tinggal di perumahan. “Lima tahun dulu sumur pantek dangkal saja sudah bisa mudah dapat air untuk mengaliri sawah, tapi sekarang harus diperdalam karena harus berebutan dengan warga perumahan,” keluhnya. (Mam)

http://krjogja.com/read/215649/petani-sawah-tadah-hujan-kekurangan-air.kr

Sabtu, 10 Mei 2014

Produksi Beras Perlu Diwaspadai

Sabtu, 10 Mei 2014

JAKARTA, KOMPAS — Tekanan kenaikan harga beras pada Juni dan Juli 2014 akan semakin besar. Namun, justifikasi impor yang akan dilakukan pemerintah dipertanyakan.
Hal itu diungkapkan Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung, sekaligus Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin saat dihubungi Jumat (9/5), di Australia.

Menurut Bustanul, proses produksi padi pada panen rendeng tahun ini sudah selesai. Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Di sisi lain, musim tanam gadu atau musim kemarau I akan banyak masalah dan puso. ”Indonesia dipastikan akan impor beras tahun ini,” katanya.

Program peningkatan produksi beras selama ini kurang berhasil. Selain itu juga terlalu monoton, tak ada langkah luar biasa, dan melalui pendekatan proyek.

Hal ini terjadi karena proses perencanaan, implementasi, evaluasi, dan monitoring bukan satu rangkaian utuh.

Produksi padi tahun 2014 turun 0,1 persen. Perum Bulog kesulitan pengadaan. Target produksi padi 2014 diturunkan dari 76 juta ton gabah kering giling menjadi 73 juta ton.

Namun, Bustanul dalam surat elektroniknya mengatakan, jika impor tidak jelas justifikasi pemberian izinnya, itu berarti perencanaan ketersediaan pangan tidak baik.

”Tidak ada sinkronisasi data dasar di Kementerian Pertanian, BPS, Perum Bulog, dan laporan daerah,” katanya.

Ia menambahkan, jika impor pangan cukup besar tahun ini, hal itu dipastikan ada keanehan. Dalam dua pemilu berturut, yaitu 2004 dan 2009, kinerja produksi pangan selalu baik dan impor tidak besar.

Gangguan produksi beras juga terjadi pada 2010. Dampaknya inflasi kelompok bahan makanan pada November dan Desember 2010 berturut-turut 1,49 persen dan 2,81 persen. Sementara pada Januari 2011 sebesar 2,21 persen.

Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, stok beras yang cukup sangat penting untuk modal stabilisasi harga beras di pasar saat para spekulan bermain. (MAS/MAR)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140510kompas/#/18/

Peluang Spekulasi Harus Ditekan

Jumat, 9 Mei 2014

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tidak boleh main-main dalam menjaga stok beras nasional di Perum Bulog. Tahun 2014 ada hajatan politik besar pemilihan presiden. Stok beras Perum Bulog harus mencukupi untuk memperkecil peluang masuknya spekulan yang mencoba mempermainkan harga beras.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia DKI Jakarta Nellys Soekidi, Rabu (8/5), mengatakan hal itu saat dihubungi di Jawa Timur.

Nellys mengatakan, para pedagang akan mengambil setiap kesempatan untuk berspekulasi mempermainkan harga beras demi mengejar keuntungan yang besar. Tidak peduli dampak sosial, ekonomi, dan politik yang bakal timbul.

Untuk mempersempit ruang gerak pedagang atau pengusaha beras berspekulasi, stok beras Bulog harus cukup. Apalagi ini ada hajatan politik besar pemilihan presiden. Kalau sampai stok kurang, Bulog tidak punya kemampuan mengintervensi pasar.

”Bukan berarti saya menganjurkan impor. Terserah dari mana asal berasnya, yang penting stok beras di gudang Perum Bulog harus cukup,” katanya.

Beberapa pengusaha penggilingan padi, seperti di Bandung dan Cirebon (Jawa Barat) serta di Purwokerto, Banyumas, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah), mengaku kesulitan memasok beras ke Bulog dengan harga jual sesuai harga pokok penjualan.

Menurut pengusaha penggilingan padi di Banyumas, Dwiko, dalam kondisi panen padi musim hujan bersamaan dengan serangan hama wereng batang cokelat yang berlangsung meluas, kadar rendemen gabah ke beras turun bisa lebih dari 5 persen.

Jahiri, pengusaha penggilingan lain yang sudah terikat kontrak dengan Perum Bulog, mengatakan, strategi lain yang bisa dilakukan agar bisa memasok beras ke Perum Bulog adalah dengan mencari margin dengan mengolah gabah kering giling menjadi beras khusus. (MAS)