Rabu, 07 Mei 2014

Petani Secara Sistematis Dimiskinkan dan Dimatikan

Rabu, 7 Mei 2014

Kemandirian Pangan | Kebergantungan Impor Mengancam Ketahanan Nasional

JAKARTA – Pemerintah dinilai secara sistematis telah memiskinkan petani yang selama ini merupakan tulang punggung pasokan pangan nasional. Sejumlah kebijakan pemerintah yang meminggirkan petani nasional antara lain pembukaan keran impor pangan, perburuan rente (rent seeking) pada tata niaga pangan impor, dan konversi atau perampasan lahan subur untuk pengembangan properti.

Akibatnya, saat ini, pola piramida struktur pertanian dan pangan yang ada adalah menempatkan agribisnis, produsen benih dan input pertanian, pertanian korporasi, pertanian kapitalistik, dan spekulan pangan di puncak piramida dengan jumlah kurang dari 500.000 orang. Mereka sekaligus mendapatkan akses dan fasilitas mewah dari pemerintah.

Dasar piramida tersusun atas 26,13 juta keluarga petani kecil atau 91 juta jiwa. Puncak piramida tersebut menekan ke bawah dan menyebabkan 5,1 juta keluarga petani kecil tercerabut dari lahan mereka dalam 10 tahun terakhir ini dan menjadi penyusun masyarakat miskin kota. Tidak mengherankan jika kini kemiskinan justru bertambah.

Peneliti Pusat Studi Ilmu Kerakyatan UGM, Yogyakarta, Awan Santosa, mengungkapkan hal itu ketika dihubungi, Selasa (6/5). Bahkan, imbuh Awan, pemerintah membiarkan sektor perbankan mengucurkan kredit properti besar-besaran hingga 600 triliun rupiah, sementara untuk pembiayaan sektor pertanian banyak sekali persyaratan dan kendala.

Menurut dia, kemandirian dan kedaulatan pangan yang menjadi isu terpenting di berbagai negara, terutama negara-negara maju, justru tidak mendapatkan tempat di dalam negeri.

“Pemerintah kita lebih suka dengan isu pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan anggaran yang didominasi dari utang. Padahal, dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dan ancaman perubahan iklim, pemenuhan pangan menjadi syarat pertama kelangsungan bangsa ke depan,” papar Awan.

Dia menambahkan meskipun memiliki UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, faktanya lahan subur di daerah banyak yang diubah peruntukannya, terutama untuk lahan perumahan.

“Kini, bisnis properti menggusur kemampuan daerah untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Perbankan ikut mendukung melalui pengucuran kredit properti secara jor-joran,” kata Awan.

Akibat perampasan lahan pertanian menjadi perumahan, ketahanan pangan Indonesia dinilai makin rawan karena makin menyusutnya lahan pertanian pangan. Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementerian Pertanian mengungkapkan rasio lahan pertanian pangan per kapita Indonesia hanya 558 meter persegi (m2) atau 0,05 hektare (ha) per kapita atau hanya satu persepuluh dari petani Thailand yang menguasai 5.226 m2 per kapita.

Padahal, jumlah penduduk Thailand hanya sepertiga penduduk Indonesia. Rasio lahan pertanian pangan per kapita Indonesia bahkan di bawah Vietnam (959,9 m2 per kapita), India (1.590,6 m2 per kapita), Tiongkok (1.120,2 m2 per kapita), dan Amerika Serikat (6.100 m2 per kapita).

Awan mengemukakan kejahatan yang dilakukan terhadap petani dan sektor pertanian yang secara sistematis dilakukan birokrasi dan menjalar ke bawah pada perbankan, secara pasti, akan mengurangi daya saing dan kemampuan bangsa untuk membangun ekonomi.

“Kita tak mampu menabung, habis untuk konsumsi. Utang pun digunakan untuk barang konsumsi. Akibatnya, utang kita makin menggunung dan tidak memiliki pertanian dan industri dasar yang kuat. Maka kita mati dua kali. Sumber untuk hidup pun sudah tidak ada,” jelas dia.

Defisit Pangan

Pengamat ekonomi dari Universitas Sunan Giri, Surabaya, Miftahus Surur, mengemukakan kebergantungan pada impor pangan nasional yang terus-menerus lebih disebabkan pemerintah tidak berniat sungguh-sungguh membangun sektor pertanian.

Dia mencontohkan petani di sejumlah sentra kedelai memilih menjual atau menyewakan sawah karena terus merugi akibat biaya produksi yang mahal. “Akibatnya, kualitas dan pasokan kedelai lokal tidak bisa diandalkan. Dari sisi input, pemerintah tidak bisa menjamin kebijakan harga dan ketersediaan. Biaya pupuk dan bibit tiap tahun semakin naik sehingga petani tidak mampu menutup biaya produksi,” jelas dia.

Bila kecenderungan impor dan stagnasi produksi pertanian ini berlanjut, kata Miftahus, Indonesia akan memasuki situasi yang mengkhawatirkan. Defisit pangan kemudian hanya bisa dipenuhi melalui impor yang semakin tahun semakin membengkak. Bagi para importir dan pelaku kolutifnya, impor pangan menjanjikan keuntungan yang luar biasa besar karena disparitas harga internasional dengan harga buatan di dalam negeri.

Sebaliknya, imbuh dia, impor pangan selalu berdampak buruk bagi petani kecil. Semakin banyak petani meninggalkan lahannya karena usaha tani tidak lagi menguntungkan bagi mereka karena harus bersaing dengan produk impor yang murah artifisial.

“Proses yang seperti lingkaran setan tersebut menyebabkan Indonesia masuk ke jurang jebakan impor pangan yang semakin lama semakin dalam dan akhirnya tidak memiliki kemampuan bangkit kembali,” papar dia. YK/SB/WP

http://koran-jakarta.com/?11482-petani%20secara%20sistematis%20dimiskinkan%20dan%20dimatikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar