Rabu, 14 Mei 2014

Solusi Kelangkaan Pupuk

Rabu, 14 Mei 2014

KELANGKAAN pupuk bersubsidi kembali terjadi setelah selama beberapa musim tanam sepi dari pemberitaan, yang berarti penyalurannya cukup aman. Namun berita kelangkaan pupuk tenggelam oleh kegaduhan partai politik menggalang koalisi capres/cawapres, serta berita tentang kasus pedofilia di beberapa daerah. Beberapa hari terakhir petani sulit memperoleh sarana produksi terpenting. Andai ada pun harganya tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 122/Permentan/SR.130/11/2013 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2014 menyebutkan, HET pupuk bersubsidi jenis urea Rp 1.800/kg, SP36 Rp 2.000, ZA Rp 1.400, NPK Rp 2.300, dan pupuk organik Rp 500/kg.

Faktor utama pemicu gonjang-ganjing pupuk bersubsidi ini antara lain karena ada ketentuan baru penyaluran. Kebijakan itu untuk menekan kebocoran anggaran pupuk bersubsidi. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2011 menegaskan bahwa pupuk bersubsidi adalah barang dalam pengawasan.

Saat ini pemerintah menerapkan distribusi pupuk bersubsidi dengan sistem tertutup. Petani yang boleh mengakses pupuk bersubsidi hanyalahanggota kelompok tani dan tercatat dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Di samping itu, mulai TA 2014 pemerintah memverifikasi dan memvalidasi ketat pendistribusiannya.

Pemerintah hanya membayar subsidi pupuk yang penyalurannya bisa dipertanggungjawabkan. Pupuk yang disalurkan produsen lewat pengecer harus mendapatkan verifikasi dan validasi ketat oleh petugas, ke mana disalurkan (by name by address). Ketentuan baru ini menjadikan produsen/pengecer ekstrahati-hati menyalurkannya kepada petani karena takut subsidi sarana produksi yang mereka salurkan tidak terbayar.

Faktor lain adalah kemenurunan volume pupuk yang dialokasikan pemerintah pusat. Berdasar perencanaan dari bawah, kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian 2014 mencapai 9,55 juta ton. Meski anggaran subsidi pupuk naik dari Rp 15,8 triliun tahun 2013 menjadi Rp 18,048 triliun tahun 2014, dana tersebut hanya mampu untuk menyediakan 7,778 juta ton pukupk sehingga kurang 1,8 juta ton. Khusus Jawa Tengah, pada TA 2014 ini mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi sektor pertanian 1.450.700 ton, terinci untuk urea 664.400 kg, SP36 137.500, ZA 149.400, NPK 325.900, dan pupuk organik 173.500 ton.

Solusi jangka pendek dan bersifat darurat untuk mengatasi persoalan pupuk kali ini adalah segera mempercepat distribusi pada daerah-daerah yang secara riil membutuhkan. Jika alokasi bulanan yang tertuang dalam perbup/perwalkot tak mencukupi maka dapat dipecahkan dengan menggeser alokasi bulan mendatang, asalkan tidak melebihi plafon yang ditetapkan.

Cara ini pun harus diikuti dengan kecepatan verifikasi dan validasi supaya tidak menghambat  proses penyaluran berikutnya. Mekanisme penggeseran (pengalihan) tersebut harus didukung data riil tambah tanam (TT) yang ada di wilayah kelompok, yang dirinci by name by address dari petani penerima.

Mengurangi Dosis

Solusi jangka menengah adalah memperkenalkan input teknologi untuk efisiensi penggunaan pupuk anorganik oleh petani. Teknologi produksi padi seperti system of rice intensification (SRI), dan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan salah satu komponennya penggunaan bagan warna daun (BWD) terbukti dapat mengurangi pemakaian urea hingga 25% tanpa mengurangi  produktivitas.

Penggunaan teknologi tepat guna seperti perangkat uji tanah sawah (soil test kit) yang sangat mudah dioperasikan petani di sawah juga sangat membantu mengurangi penggunaan pupuk. Dengan perangkat uji tanah sawah yang dibantu pemerintah, petani dapat membaca  tingkat kesuburan tanah sawahnya hanya dalam hitungan menit. Melalui cara ini dapat ditentukan kapan dan sejumlah berapa pupuk diaplikasikan sehingga penggunaan pupuk lebih efisien dan efektif.

Solusi jangka panjang adalah memasyarakatkan penggunaan pupuk organik yang dapat dibuat sendiri oleh petani. Jujur kita akui, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia merupakan dampak negatif dari revolusi hijau. Keajaiban pupuk kimia yang mampu meningkatkan produksi pangan berlipat dalam waktu singkat telah menyihir negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Pemerintah kemudian mengalokasikan stimulus bagi petani dalam bentuk kredit berbunga murah, serta subsidi pupuk besar-besaran. Akibatnya, pupuk kimia mudah diakses petani dengan harga murah.  Lebih jauh, petani cenderung boros dalam aplikasi.  Menurut rekomendasi Badan Litbang Pertanian, pupuk urea untuk tanaman padi 250 kg/ha tapi petani menggunakan lebih dari 300 kg/ha. Selain itu, pupuk organik mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi fisik, kimia, dan biologis. Ketiga fungsi itu dapat memperbaiki fungsi tanah yang rusak karena keintensifan penggunaan pupuk anorganik selama puluhan tahun. Jika upaya ini sudah menampakkan hasil, secara bertahap harga pupuk anorganik dinaikkan, dan subsidi pupuk dihapus. Harga pupuk yang mahal membuat petani berpikir dua tiga kali untuk boros mengaplikasikannya. (10)

— Toto Subandriyo, alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed, Asisten Administrasi Pembangunan Sekda Kabupaten Tegal

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/05/14/261652

Tidak ada komentar:

Posting Komentar