Pangan jadi soal serius di negeri ini. Hampir setiap hari media menurunkan berita soal impor pangan. Mulai dari sayuran, beras, garam, buah hingga kacang-kacangan. Terakhir soal impor beras ilegal yang menuai polemik antar kementerian/lembaga. Situasi ini menandai carut marutnya politik pangan nasional tanpa akhir. Pemerintah kerap berdalih dan mencari kambing hitam. Pemerintah lupa, impor pangan itu bukan solusi mujarab mengatasi ancaman krisis pangan. Lalu mengapa pemerintah doyan impor setiap tahunnya? Seolah mati langkah. Jawabnya, sederhana. Pemerintah hanya mengandalkan sumber pangan terestrial. Pemerintah belum mendayagunakan sumber pangan lautan. Sumber pangan lautan separuhnya diekspor. Utamanya ke Negara-negara semacam Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa. Rakyat Indonesia cuma mengonsumsi pangan lautan kelas dua. Pangan kelas satunya diekspor. Contohnya udang, lobster, tuna, dan telur ikan terbang yang bernilai gizi tinggi.
Kultur Konsumsi Pangan
Negara Indonesia yang berbasis terestrial hingga pesisir dan kepulauan mempengaruhi kultur konsumsi pangannya. Orang Indonesia yang bermukim di daratan, pengunungan, pesisir hingga kepulauan lazimnya mengomsumsi beras, umbi-umbian, kacang – kacangan, sayuran dan daging. Meski demikian, ada pembeda antara orang yang bermukim di pesisir dan terestrial. Orang daratan dan pengunungan umumnya doyan mengosumsi daging dan jenis unggas. Jadi asupan protein dan lemak bergantung dari daging sapi dan unggas. Kendati ada juga yang mengkonsumsi ikan sungai dan danau semacam bili, jelawat, baung dan patin. Umumnya, mereka bermukim di pulau Sumatera, dan Kalimantan. Berbeda dengan di Jawa yang penduduknya melebihi separoh penduduk Indonesia. Secara kuantitatif penduduk non-pulau Jawa hanya ¼-nya ketimbang pulau Jawa termasuk Madura. Mereka lebih doyan mengkonsumsi tahu, tempe, daging sapi dan unggas. Meski masyarakat pesisir pantai utara dan selatan juga mengkonsumsi ikan. Tapi tetap saja daging sapi dan unggas masih favorit. Lain lagi di wilayah Indonesia timur dan barat yang daerahnya berbasis kepulauan. Orang-orang Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara, Bali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan pulau-pulau kecil (PPK) paling doyan mengkonsumsi ikan. Buktinya mereka punya jenis kuliner khas berbasis ikan. Umpamanya, ikan asap, asin dan ikan kayu. Menariknya lagi kuliner ikan ini dikombinasikan dengan pangan lokal terbuat dari sagu, jagung dan ubi kayu. Dari gambaran ini setidaknya kultur pangan masyarakat Indonesia amat dipengaruhi,pertama, tipe ekologi. Masyarakat yang bermukim di pesisir dan pulau kecil cenderung dominan mengkonsumsi pangan bersumber dari lautan. Kekurangannya, mereka jarang mengkonsumsi sayuran. Lain halnya masyarakat yang bermukim di pegunungan, ladang/kebun dan sawah. Umumnya mengkonsumsi pangan bersumber dari ruminansia besar dan kecil hingga melimpah sayuran. Orang Sunda di Jawa Barat amat senang mengkonsumsi sayuran mentah alias lalapan. Kurang mengkonsumsi pangan dari lautan. Pelajaran menarik yaitu masyarakat pulau Palue, di NTT mampu memandirikan dan menjaga ketahanan pangannya karena tak bergantung beras.Sebab pulau mereka tak cocok ditanami padi. Pulau mereka bermukim hanya cocok ditanami umbu-umbian. Jenis pangan inilah yang jadi konsumsi utama mereka yang ditemani ikan.
Kedua, letak geografis. Masyarakat yang bermukim di pulau besar yang didominasi dataran rendah (terestrial) pengunungan, hingga kawasan hutan cenderung mengkonsumsi ruminansia (besar dan kecil) dan kacang-kacangan (kedelai). Jenis ini dikombinasikan dengan nasi sebagai pangan pokok. Amat jarang mengkonsumsi ikan atau pangan lautan lainnya. Kalau pun ada, mereka mengkonsumsi ikan air tawar jenis tawes, mas, nilai, dan mujair.
Kedua hal inilah yang mengakibatkan pangan lautan Indonesia kelas satu dilego di pasar ekspor. Buktinya tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia cuma 33,89 kg per kapita tahun 2012 dan 35,14 kg per kapita tahun 2013. Amat jauh dari Jepang yang mencapai hingga 100 kg per kapita setiap tahunnnya (KKP, 2013). Sebagai Negara kepulauan situasi ini mestinya tak perlu terjadi. Apabila pemerintah tak memaksakan ikan-ikan kelas satu di ekspor. Apalagi ikan itu diolah dahulu hingga bernilai tambah secara ekonomi. Politik pangan yang mengabaikan komoditas lautan ini berimbas pada rendahnya konsumsi per kapita ikan rakyat Indonesia.
Pangan Kelautan
Kini momentumnya politik pangan Indonesia beralih pada sumberdaya kelautan. Hal ini penting agar memperkokoh ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Politik pangan pro kelautan ini tak hanya melalui kampanye. Melainkan, kebijakan politik yang mengupayakan untuk mengurangi ekspor jenis ikan kelas satu. Lalu, menjalankan perintah UU Perikanan yang memprioritaskan pemenuhan konsumsi domestik. Kebijakan berikut, yaitu pemerintah mendorong dan menggalakan perusahaan domestik, dan UMKM agar mengolah ikan laut maupun darat sebagai jenis pangan cepat saji. Pasalnya, pangan cepat saji didominasi daging sapi dan unggas. Di sinilah pentingnya mengciptakan inovasi dan kreasi-kreasi baru dalam pengolahan pangan lautan. Tentu bukan hanya ikan. Melainkan hasil laut lainnya yang bernilai gizi tinggi semacam gonad bulu babi, gurita, cumi-cumi/sotong, kerang-kerangan, hingga ikan-ikan karang. Ini amat membantu masyarakat perkotaan dan sub-urban yang tak punya waktu luang mengolah dan memasak lagi. Berkembangnya aktivitas semacam ini akan memunculkan “gera-gerai” ikan dan produknya sebagai arena baru bisnis di perkotaan. Bukan tidak mungkin di datang akan berkembang mini market yang khusus memasarkan ikan dan produk olahannya. Bahkan tempat pelelangan ikan (TPI) yang selama ini dianggap kumuh, kotor dan bau. Amat mungkin disulap jadi arena pasar ikan dan produk olahahnya yang membuat masyarakat beta berbelanja sekaligus berwisata kuliner. Politik pangan semacam ini akan menaikan gengsi hasil-hasil laut sebagai “makanan kelas satu”. Bukankah telur kaviar yang bersumber dari ikan terbang jadi makanan bergensi di Paris? Bahkan zaman dahulu sebagai makanan para bangsawan. Persis sama dengan kepiting hasil molting yang kerapasnya lunak jadi makanan raja-raja di masa lampau sebelum lahirnya Indonesia. Pertanyaannya, mengapa pangan kelautan bisa bergengsi di Negara maju dan dahulu kala, tapi kini di Indonesia bak ditelan bumi? Inilah PR kita untuk mendorong hasil laut sebagai agenda utama politik pangan nasional tanpa mengabaikan dari terestrial.
Oleh: Muhamad Karim
Dosen Universitas Trilogi Jakarta/
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Dimuat dalam Jurnas.com 8 Mei 2014
http://politik.kompasiana.com/2014/05/09/politik-pangan-kelautan-655191.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar