Selasa, 20 Desember 2016

Ingat, Ada Pesan Jenderal Sudirman untuk Wujudkan Kedaulatan Pangan

Senin, 19 Desember 2016

JOGJA - Posisi Indonesia sebagai negeri di lintasan garis khatulistiwa yang cocok untuk pertanian ternyata tak termanfaatkan secara baik. Bahkan hingga 71 tahun Merdeka, Indonesia sebagai negeri agraris justru mengimpor pangan dari negara lain.

Menurut Presiden Patriot Pangan Ir. Bugiakso, selama ini pemerintah mengimpor pangan dengan dalih efisiensi. Padahal, katanya, impor pangan justru menciptakan ketergantungan yang berbahaya bagi kedaulatan nasional.

"Atas nama efisiensi, Indonesia kemudian terjebak, lalu hancur, dan belum sanggup lagi keluar dari jebakan perdagangan dan politik pangan dunia. Ini menjadi ironi Indonesia sebagai negeri agraris," katanya dalam acara peresmian Perkumpulan Patriot Pangan di Yogyakarta, Senin (19/12).

Bugiakso menambahkan, Indonesia seharusnya mengutamakan kedaulatan pangan. “Kedaulatan pangan itulah yang belum juga terwujud setelah 70 tahun lebih Indonesia merdeka," tegasnya.

Untuk itu Bugiakso menyinggung tengang  “semangat berdaulat” yang digaungkan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dia menuturkan, Jenderal Sudirman saat menyampaikan lima pesan penting saat menghadapi agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948.

Pesan pertama adalah jangan pernah menyerah. Dan demi mewujudkan kedaulatan pangan nusantara, kata dia, tidak boleh ada kata menyerah.

"Kembali bertani, kembali bercocok tanam dan memanen, bukan menjadi kuli dan membeli," ujarnya.

Pesan kedua adalah merebut dan mempertahankan sumber daya yang dikuasai lawan. Lahan-lahan yang menganggur mestinya bisa dimanfaatkan.

Sedangkan sumber daya air yang kini didikuasai korporasi dan dikomersiialkan harus direbut demi kepentingan rakyat banyak.  "Karena tanah dan air adalah kunci kedaulatan pangan, tanpa keduanya jangan bermimpi kita bisa mewujudkan kedaulatan pangan," ujarnya.

Pesan ketiga adalah jangan sekali-kali menunggu dan meminta bantuan asing. Pesan keempat Jenderal Sudirman adalah agar Indonesia bisa percaya pada kekuatan sendiri untuk mewujudkan agenda kedaulatan pangan.

Sedangkan pesan terakhir harus tetap disiplin. “Tanpa disiplin, bangsa ini bakal mudah terseok dan mudah terjebak pada tujuan sesaat,” ucap Bugiakso.(jpg/ara/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2016/12/19/488308/Ingat-Ada-Pesan-Jenderal-Sudirman-untuk-Wujudkan-Kedaulatan-Pangan-

Senin, 14 November 2016

Kekuasaan Tanpa Kuasa

Minggu, 13 November 2016

Pernahkan membayangkan tingkat inflasi satu negara mencapai 650%? Itulah yang terjadi pada waktu Pejabat Presiden Soeharto menerima estafet pemerintahan dari Presiden Soekarno, tanggal 12 Maret 1967. Sebagai gambaran betapa hancur perekonomian pada waktu itu dengan parameter inflasi sebesar itu---sekarang ini---jika inflasi mencapai dua digit (di atas 9%), seluruh indikator ekonomi meliputi sektor fiskal dan moneter mengalami defisit yang berimbas dengan kanaikkan harga barang dan jasa, dan rakyat banyak yang menanggung akibatnya. Jadi, dapat dibayangkan betapa hancur perekonomian  suatu negara dengan tingkat inflasi 650%. Sebagai Pejabat Presiden yang berlatar belakang militer, Pak Harto meminta bantuan dari ekonom terbaik di Indonesia untuk memperbaiki sistem ekonomi yang sudah sangat rusak, termasuk kepada begawan ekonomi Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang ditetapkan sebagai Menteri Perdagangan. Hukum batu terbentuknya harga adalah equilibrium antara permintaan dan penawaran. Pemerintah tidak akan dapat mengintervensi harga jika tidak memiliki barang (penawaran). Pada waktu itu, beberapa pedagang besar non pri menguasai komoditi (barang) hingga mereka dapat menentukan harga semaunya. Bagaimana agar pemerintah dapat menguasai atau memiliki stok  komoditi kebutuhan pokok untuk rakyat?  Pak Harto membentuk Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan tugas menguasai atau memiliki barang kebutuhan pokok rakyat, sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 bahwa yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Setelah Bulog memiliki stok komoditi kebutuhan rakyat, maka harga dapat dikendalikan oleh pemerintah---dapat diintervensi oleh pemerintah. Harga barang mulai turun, inflasi terkendali---dalam waktu tiga  tahun inflasi dapat dijinakan pada kisaran 10%. Keberhasilan Prof. Dr. Sumitro menjinakkan inflasi di Indonesia menjadikan beliau sebagai ekonom terbaik di dunia pada waktu itu. Sebagai ekonom terbaik di dunia, sepatutnya Prof. Dr. Sumitro  dianugerahi hadiah Nobel. Pada awal pembentukannya, Bulog adalah suatu badan yang pimpinannya setingkat dengan menteri---bahkan beberapa kali jabatan Kepala Bulog dirangkap oleh Menteri Koperasi.  Kini Bulog hanya sebagai perusahaan umum dengan kewenangan sangat terbatas dan tunduk pada undang-undang perseroan. Karena penkerdilan itu, maka Bulog sekarang tidak lagi dapat menyanggah atau menstabilkan harga kebutuhan pokok, terlebih kini kita menganut pasar bebas---pemodal besar menggilas pedagang kecil. Di tengah gejolak harga yang memberatkan rakyat,  pemerintah tidak dapat ikut campur tangan atau mengintervensi harga.  Kwik Kian Gie menyebut sistem ekonomi pasar bebas sekarang ini ibarat mengadu Macan dengan Kucing dalam satu kandang.  Dengan sistem ekonomi sekarang ini, jangan harap pemerintah dapat mengendalikan harga komoditi kebutuhan pokok rakyat. Gejolak kenaikan harga kebutuhan pokok tidak dapat diintervensi oleh pemerintah, seperti kenaikan harga daging, gula, beras, minyak goreng, dan lain sebagainya. Tragis, pemerintah menjadi penonton saat rakyat dibombardir oleh kenaikan harga kebutuhan pokok yang dikendalikan oleh segelintir orang---tidak bisa lakukan apa-apa, hanya bikin  jargon, slogan dan janji kosong. ()

Noor Johan

http://www.kompasiana.com/noo46/kekuasaan-tanpa-kuasa_5827bf62737a61300e0ab807

Kebijakan Perberasan Tanpa Raskin

Senin,14 November 2016

Pemerintah sedang menguji coba perubahan program beras untuk rakyat miskin ke voucer pangan. Dorongan perubahan raskin tidak lepas dari saran Komisi Pemberantasan Korupsi dua tahun lalu, yang menyarankan agar pemerintah menata ulang program raskin. Maksudnya agar tercegah ”potensi korupsi” dalam implementasinya.

Denni P Purbasari, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, menulis tentang reformasi beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kompas (11/10). Walau program raskin dihapus, ia menyebutkan bahwa fungsi Bulog tidak hilang. Bulog tetap dipercaya untuk menjaga harga produsen, stabilisasi harga beras, danstok beras nasional. Sayangnya, iatidak mengelaborasi lebih lanjut tentang hal itu.

Kemudian, Sapuan Gafar (Kompas,4/11) menilai pemahaman Denni tentang program raskin sempit. Seharusnya program raskin dilihat dalam keterkaitannya dengan kebijakan perberasan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Kalau Bulog hanya ditugasi melaksanakan pengadaan untuk menjaga harga produsen, tanpa penyalurannya dalam jumlah yang memadai—salah satu yang terpenting adalah raskin—Bulog akan bangkrut, implementasi kebijakan beras bisa buyar. Saya mencoba menengahi pandangan kedua ahli tersebut dengan menganalisis tugas penyaluran publik beras Bulog.

Kebijakan beras

Kebijakan beras pemerintah bertumpu pada instruksi presiden yang dirancang 15 tahun lalu, sebagai respons atas liberalisasi radikal yang dipaksakan oleh lembaga donor periode 1998-2000.Hampir semua instrumen kebijakan beras dicabut, Bulog diamputasi. Dampaknya, impor beras tidak terkendali, harga beras tertekan rendah, harga gabah menjadi tidak menarik buat petani yang berdampak serius dalam mewujudkan stabilitas harga dan meningkatkan pendapatan petani padi.

Menghadapi masalah tersebut, pada tahun 2001, Bappenas membentuk tim kajian kebijakan perberasan nasional dengan anggota dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, lembaga riset, dan lembaga swadaya masyarakat. Tim mampu mereformulasi kebijakan beras dan memformulasi paket kebijakan beras yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Konsep itulah yang dijadikan sebagai pedoman dalam penyusunan inpres tentang kebijakan perberasan nasional pada era pemerintahan reformasi, yang dimulai dengan Inpres No 9 Tahun 2002 (berlaku 1 Januari 2002), dan terakhir Inpres No 5 Tahun 2015 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah, sebagai bagian dari kebijakan perberasan nasional.

Cadangan beras

Walaupun kebijakan perberasan dirancang komprehensif, dalam pelaksanaannya hampir seluruh sumber daya diarahkan ke usaha tani, minim untuk memperkuat industri beras, yang telah berdampak pada lemahnya daya saing beras, dominan beras kualitas rendah, dan harga beras tinggi.

Pada tahun 2005, pemerintah memutuskan memiliki cadangan beras pemerintah (CBP), dimulai dengan besaran 350.000 ton. Bulog diminta mengelolanya untuk keperluan darurat, stabilisasi harga, dan bantuan pangan internasional. Pada rancangan awal, seperti yang disarankan oleh perancangnya tim Universitas Gadjah Mada (UGM), volume CBP bertahap diperbesar akan mencapai 1,25 juta ton pada 2008.

Namun, realisasinya jauh lebih rendah, hanya sekitar 350.000 ton per tahun, sebagian besar untuk intervensi pasar. Pada 2015, misalnya, jumlah CBP 353.000 ton yang dimanfaatkan untuk operasi pasar/pasar murah sekitar 60 persen, hanya 2 persen untuk bantuan korban bencana, selebihnya disimpan menjadi stok akhir. Pemerintah tidak pernah menggunakan CBP untuk bantuan internasional karena terhambat kualitas beras CBP rendah, sama dengan kualitas beras program raskin.

Pemerintah malahan memperbesar penyaluran raskin, sejak 2008 meningkat sangat pesat. Dalam periode 2011-2015, misalnya, rata-rata penyaluran raskin 3,3 juta ton per tahun, sedangkan pengadaan dalam negeri lebih rendah hanya 2,6 juta ton per tahun, membuat perangkap impor. Penyaluran raskin digandakan pada bulan-bulan instabilitas harga tinggi, mencapai 400-500 ton per bulan, lebih besar dari volume CBP tahunan. Tahun ini ditargetkan raskin sedikit menurun menjadi 2,8 juta ton, masih terlalu tinggi.

Manakala raskin dihapus atau dikurangi dengan signifikan, peran CBP perlu dioptimalkan. CBP haruslah ditingkatkan, baik volume maupun kualitas berasnya sehingga lebih efektif dalam mengendalikan inflasi, bisa tampil dalam bantuan pangan internasional, dan akan dapat mengatasi kebuntuan peningkatan kualitas beras serta tercipta insentif ekonomi buat penggilingan padi kecil/sederhana untuk memperbaiki alat/mesin.

Pada saat kita berhasil mencapai surplus produksi beras, maka penyerapan gabah/beras untuk CBP dapat membantu atasi harga gabah agar tidak tertekan.Oleh karena itu, peran CBP dapat juga dipakai sebagai instrumen untuk melindungi produsen.

Empat langkah

Dalam kaitan dengan itu disarankan: pertama, pemerintah perlu menata ulang kebijakan perberasan nasional yang mampu memperkuat daya saing industri beras. Kedua, volume raskin perlu dikurangi atau cukup 0,5 juta ton, diprioritaskan disalurkan pada wilayah terpencil di mana harga beras biasanya sangat tinggi.

Ketiga, volume CBP perlu ditingkatkan menjadi 1,3 juta ton setara 15 hari kebutuhan beras nasional. Kualitas beras untuk CBP haruslah beras kualitas premium agar lebih efektif dalam operasi pasar serta bantuan internasional. Pemanfaatan CBP diperluas, misalnya program food for work pada musim kemarau/paceklik, termasuk ekspor apabila stok akhir tinggi.

Keempat, dukungan harga atau harga pembelian pemerintah haruslah diubah dari satu kualitas beras (medium) menjadi dua macam kualitas medium dan premium.

M HUSEIN SAWIT, SENIOR ADVISOR PERUM BULOG 2003-2010; TIM AHLI KEPALA BULOG 1996-2002; PENDIRI HOUSE OF RICE

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161114kompas/#/7/

Selasa, 27 September 2016

Bulog Jateng Surplus Beras

Senin, 26 September 2016


JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Perum Bulog Divre Jateng berhasil mengalami surplus beras di wilayahnya yang relatif tinggi. Bahkan, dari sisi ketahanan stok masih sampai pertengahan tahun 2017 mendatang.

Kepala Perum Bulog Divre Jateng, Usep Karyana mengatakan, saat bulan September ini tingkat penyerapan beras sudah mencapai 97% dari target yang dipatok hingga akhir tahun 2016 ini. Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah seiring terjadinya panen raya di sejumlah daerah yang masih berlangsung.

“Daerah-daerah yang saat ini masih terjadi panen raya diantaranya Cilacap (9.500 ha), Kebumen (14.350 ha), Purworejo (6.200 ha), Pekalongan (9.500 ha), Kabupaten Tegal (7.300 ha). Sedangkan daerah lainnya hanya di bawah 4.000 ha dengan masing-masing serapan per hektarnya mencapai 6 ton,” katanya, kemarin.

Diakuinya, tidak semua hasil panen dari para petani bisa terserap secara keseluruhan oleh Bulog. Namun demikian, pihaknya berharap, penyerapan sampai dengan akhir September 2016 bisa sampai 100%, atau sekitar 505.000 ton beras atau setara dengan 1 juta ton gabah kering.

“Meski saat ini Jateng surplus beras, kami tetap mewaspadi terjadinya cuaca ekstrem yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, dengan adanya hujan deras disertai angin yang bisa mengakibatkan gagal panen lantaran lahan pertanian kebanjiran,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, lanjutnya, Bulog Jateng pun masih terus melakukan serapan di beberapa daerah yang terjadi panen raya, sekaligus untuk mengamankan stok beras. Adapun dengan stok beras yang saat ini melimpah di Jateng, pihaknya juga akan terus melakukan pengiriman beras ke beberapa daerah di luar Jateng.

“Saat ini kami sudah kirim beras ke Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Aceh dan Sumatra Utara hingga 20.000 ton lebih. Target kami bisa kirim hingga 80.000 ton ke luar daerah,” terangnya.

Menurutnya, dengan pengiriman beras ke luar Jateng tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap upaya stabilisasi harga dan juga stok beras di daerah lain. Oleh karena itu, Bulog Jateng juga terus berupaya untuk menggenjot pengadaan agar Bulog Jateng bisa terus membantu daerah lain yang kekurangan.

“Untuk Jateng sendiri stok dipastikan aman sampai Mei 2017,” ungkapnya. (aln/ebe)

http://jatengpos.co.id/bulog-jateng-surplus-beras/

LUTHFI NASDEM: PROGRAM SERGAP BULOG BIKIN PETANI TAMBAH SUSAH

Senin, 26 September 2016

RMOL. Program Serap Gabah (Sergap) Petani yang dijalankan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) setahun belakangan ini ternyata tidak seperti yang diharapkan. Alih-alih membuat sejahtera, program tersebut malah membuat para petani pusing.
Hal ini seperti yang dituturkan oleh Anggota Komisi II DPR RI, Luthfi A Mutty saat kunjungan kerjanya di daerah pemilihannya di Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu. Menurutnya petani kelabakan menjual gabah basah dan kering karena harga yang ditentukan oleh Bulog sangat murah.

Pemerintah sendiri saat ini mematok harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp 3.700/kg, dan GKP di tingkat penggilingan di harga Rp 3.750/kg. Sedang Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat penggilingan dihargai Rp 4.600/kg. Harga tersebut, menurut aduan yang Luthfi dapat, masih terlalu rendah dari harga yang ditawarkan oleh penggiling lain dari luar kota. Hal itu membuat pabrik giling lebih memilih menutup pabriknya dan berhenti berproduksi.

"Pabrik giling kebingungan terutama di wilayah-wilayah penghasil beras seperti Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Sidrap dan Pinrang," terang Luthfi.

Program Sergap dibuat untuk mengendalikan harga beras di pasaran. Petani dan pabrik giling diwajibkan untuk menjual gabah mereka kepada otoritas yang mengurusi arus stok pangan Bulog. Program ini serentak dilaksanakan di seluruh wilayah dengan pendampingan ketat dari Kodim, Koramil, dan Babinsa setempat. Entah apa tujuannya, namun menurut mantan Staf Khusus Wakil Presiden itu, keterlibatan komponen TNI di desa itu terkesan represif.

"Gabah diawasi kegiatannya oleh petugas berseragam, apakah para petani kita sudah hidup seperti zaman kolonial Belanda lagi Opu?" begitu politisi Nasdem itu menirukan aduan masyarakat.

Sejak diluncurkan awal tahun ini, Sergap kerap menimbulkan gejolak antara petani dan pabrik penggilingan gabah dengan Bulog. Harga gabah yang anjlok membuat petani tidak bisa menikmati harga yang bagus.

Di awal peluncurannya, program itu sudah banyak mendapatkan penentangan. Di bulan April misalnya, petani dan para pemilik berdemo ke DPRD Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan karena disparitas harga gabah yang begitu jauh.

"Bahwa pemeritah perlu mengamankan stok pangan nasional, memang iya. Tapi kalau terus-terusan seperti ini, maka yang kasian petani. Mereka tidak pernah bisa menikmati harga yang bagus," tukas Luthfi dalam rilis Fraksi Nasdem. [rus]

Senin, 26 September 2016

Dirut Bulog Terancam Tersangka Gula Impor

Minggu, 25 September 2016

JAKARTA (HN) - Dirut Bulog dianggap bisa menjadi tersangka kasus suap penambahan kuota gula impor di Sumatera Barat yang menjerat mantan Ketua DPD Irman Gusman. KPK memiiki percakapan antara Irman dan Dirut Bulog lewat saluran telepon.

"Tersangka ditetapkan kalau ada bukti yang cukup untuk menunjukkan keterkaitan dan peran seseorang pada kasus itu," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati kepada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Minggu (25/9).

Dia menerangkan, sampai saat ini belum ada jadwal pemeriksaan KPK terhadap pimpinan Bulog. "Belum ada info jadwal riksanya," ujar Yuyuk.

Hingga kini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan suap rekomendasi penambahan kuota impor gula wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang diberikan Bulog kepada CV Semesta Berjaya. Ketiga tersangka itu Irman Gusman, Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, dan istrinya Memi‎.

Irman diduga menerima suap Rp 100 juta dari Xaveriandy dan Memi sebagai hadiah atas rekomendasi penambahan kuota impor gula untuk CV Semesta Berjaya tersebut.

Irman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sementara Xaveriandy dan Memi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief juga mengatakan, sampai saat ini belum ada perkembangan terkait kasus Irman Gusman. "Belum ada perkembangan, soalnya penyelidik, penyidik, dan penuntut kami ada internal training di Bogor dan Bandung," ujarnya.

Rabu, 07 September 2016

Petani Tolak Rencana Impor Gula Mentah

Rabu,7 September 2016

MALANG, KOMPAS — Rencana Perum Bulog mengimpor 260.000 ton gula mentah (raw sugar) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mulai September ini ditentang Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia. Impor itu dinilai akan mematikan petani tebu dalam negeri.

"Kami menolak apa pun bentuk impor gula karena saat ini petani tebu di Indonesia sedang panen. Untuk apa Perum Bulog impor gula 260.000 ton? Jika tujuannya untuk konsumen, pemerintah harus adil. Kelangsungan usaha petani juga harus dijaga," ujar Ketua Dewan Pembina APTRI Arum Sabil, Selasa (6/9).

Menurut Arum, rencana impor gula mentah tidak beralasan karena kebutuhan rumah tangga di Tanah Air telah mencukupi. Saat ini luas area tanam tebu di Indonesia mencapai 475.000 hektar dengan produksi 2,5 juta ton gula per tahun. Adapun kebutuhan gula 4,8-5 juta ton per tahun. Separuh di antaranya merupakan kebutuhan rumah tangga, sedangkan lainnya untuk industri makanan dan minuman.

"Dengan angka hitungan kebutuhan gula per kapita mencapai 19 kilogram kali jumlah penduduk Indonesia 255 juta jiwa, maka kebutuhan gula rumah tangga hanya 2,5 juta. Ini sebenarnya tercukupi oleh produksi dalam negeri," katanya.

Untuk industri makanan dan minuman, menurut Arum, ada kebijakan pemerintah mengenai pengolahan gula rafinasi oleh 11 pabrik gula dengan kapasitas terpasang 5 juta ton. Mengacu pada tahun 2015, ada impor 3,5 juta ton gula rafinasi. Sebanyak 2,5 juta ton di antaranya masuk ke pabrik dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan industri makanan dan minuman.

Di sisi lain, kegiatan impor gula tidak beralasan karena saat ini konsumen rumah tangga bisa mendapatkan gula dengan harga wajar. Bahkan, ada kecenderungan harga gula terus turun di bawah Rp 11.000 per kilogram. Selisihnya kecil sekali dengan biaya produksi yang harus ditanggung petani. "Biaya produksi saat ini ada yang di atas Rp 10.000 per kilogram. Selisihnya tidak banyak," katanya.

content


Saat ini, berdasarkan catatan APTRI, ada 1,3 juta petani tebu di Indonesia. Kondisi mereka kurang menguntungkan akibat frekuensi hujan tinggi. Kualitas tebu berkurang sehingga kandungan gula di dalamnya pun rendah. Rendemen gula sulit mencapai 7 persen. Di sisi lain, biaya produksi tinggi.

Pengaruh cuaca dirasakan oleh para petani tebu di Kabupaten Malang. Sudarsono, petani tebu di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, mengatakan, curah hujan yang tinggi tahun ini berpengaruh terhadap rendemen. Meski begitu, pihaknya berharap rendemen tebu yang ada di pegunungan wilayah selatan Malang bisa lebih bagus dibandingkan dengan daerah lain yang posisinya lebih rendah.

"Saya belum tahu berapa rendemen tebu di sini. Namun, dari dua lahan milik saya yang lokasinya berbeda, biasanya rendemennya juga berbeda. Tahun lalu ada yang mencapai 10-11 persen. Untuk tahun ini saya belum tahu," ujar Sudarsono yang memiliki lahan tebu seluas 10 hektar. (WER)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160907kompas/#/20/

Petani Tak Menikmati Harga

Rabu,7 September 2016

Harga Bawang Mahal karena Panjangnya Mata Rantai Distribusi

BREBES, KOMPAS — Karut-marut masalah bawang merah yang berimbas pada melonjaknya harga jual di tingkat konsumen semata-mata bukan karena persoalan produksi. Itu karena tidak ada perlindungan serius sejak proses produksi hingga mata rantai distribusi.

Akibatnya, petani tidak pernah menikmati kenaikan harga. Seluruh keuntungan itu justru dirasakan oleh para pelaku di rantai pasok distribusi.

Ibarat jatuh tertimpa tangga. Para petani, selain terganjal oleh kemarau basah, juga mahalnya bibit bawang merah. Hal ini mengakibatkan luasan tanam menurun. Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kabupaten Brebes Budiharso, Selasa (6/9), mengungkapkan, ada penurunan luasan lahan tanaman bawang merah, tetapi hanya sekitar 5 persen.

Menurut data, ada penurunan sekitar 100 hektar dari total luas tanam bawang merah yang mencapai 25.000 hektar per tahun. Penurunan tak terlalu berpengaruh karena masih ada panen di wilayah Brebes, yakni di Kecamatan Brebes, Jatibarang, Songgom, dan Wanasari.

Jadi, tingginya harga bawang merah bukan karena faktor produksi, kata Budiharso, melainkan ada masalah di rantai distribusi. Faktanya, sejak awal tahun hingga sekarang, harga bawang merah tidak pernah rendah. Padahal, produksi bawang merah jalan terus dan tidak ada yang puso.

Mata rantai

Persoalan pada sistem distribusi juga diakui oleh Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Juwari. Saat ini, harga bawang merah di tingkat petani di Brebes Rp 25.000 per kilogram (kg). Namun, harga di tingkat pengecer mencapai Rp 40.000 per kg.

Hal ini karena rantai perdagangan bawang merah berlapis-lapis. Mata rantai itu mulai dari calo penebas, pedagang penebas (pedagang yang membeli bawang merah dengan sistem borongan di sawah), pedagang pengirim ke pasar induk, pedagang pemilik gudang di pasar induk, pedagang grosir, hingga pedagang eceran.

Keuntungan terbesar biasanya dinikmati oleh pedagang eceran yang langsung menjual ke konsumen. Bahkan, ABMI pernah menemukan pedagang eceran mengambil untung hingga Rp 10.000 per kg. "Kulakan di Pasar Cibitung di Bekasi Rp 31.000 per kg dan menjualnya secara eceran Rp 48.000 per kg," kata Juwari.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada aturan dari pemerintah yang membatasi besaran keuntungan yang boleh diambil oleh pedagang. Terlebih bawang merah merupakan komoditas yang bebas dijual di pasar.

Persoalan tata niaga bawang merah juga dikeluhkan petani di Kabupaten Demak. Penelusuran Kompas di sentra bawang merah di Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, harga bawang merah di tingkat petani Rp 15.000-Rp 17.000 per kg. Namun, ketika sampai di sejumlah pasar tradisional di Semarang menjadi Rp 35.000 per kg.

Empat lapis

Menurut Sekretaris Kelompok Tani Sido Maju Desa Pasir, Demak, Abdul Wakhid, rantai perdagangan bawang merah mulai dari petani hingga pasar bisa mencapai empat lapis. Kebanyakan petani menjual bawang merah ke tengkulak. Setelah itu dijual lagi ke agen besar. Petani sulit menjual hasil panen langsung ke pasar karena banyak yang terjebak utang kepada tengkulak.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Demak Wibowo mengungkapkan, produksi bawang merah di Demak rata-rata 23.000 ton per tahun. Ia mengungkapkan, tata niaga bawang merah terlalu panjang karena dikuasai mekanisme pasar.

Namun, Juwari buru-buru mengatakan, harga bawang merah di tingkat petani saat ini masih wajar. Sebab, titik impas produksi Rp 16.000-17.000 per kg. Dengan harga Rp 20.000-Rp 25.000 di tingkat petani, petani masih bisa menikmati untung.

Juwari memperkirakan harga bawang masih tinggi seiring dengan tingginya permintaan bawang merah jelang Idul Adha. Diperkirakan sampai September ini harga bawang merah sekitar Rp 28.000 per kg di tingkat petani. Sementara di tingkat pedagang bisa mencapai Rp 45.000 per kg.

Panen buruk

Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Jawa Timur Akad menilai wajar jika saat ini harga bawang merah mahal. Panen yang buruk mengakibatkan produksi bawang merah berkurang sehingga pengadaan benih juga berkurang. Kondisi ini memicu kenaikan harga benih yang terbatas.

Penurunan produktivitas juga dikeluhkan oleh petani di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Produktivitas mereka turun hingga 50 persen. Menurut Dodo (54), petani di Desa Panembong, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, penurunan produktivitas tanaman bawang merah karena cuaca.

Dari lahan seluas 1.400 meter persegi, produksi yang dipanen hanya 1,5 ton. Padahal jika kondisi cuaca normal, bisa mencapai 4 ton bawang merah.

Di tengah penurunan produktivitas, petani harus memikul beban mahalnya biaya sarana produksi pertanian. Harga pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja naik. Kenaikan harga bawang merah di tingkat petani mencapai Rp 22.000-Rp 24.000 per kg, tetapi tetap saja petani tidak pernah menikmatinya.

Kondisi cuaca yang tidak mendukung juga dirasakan petani bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur. Faktor cuaca menyebabkan produktivitas turun hingga 50 persen. Harga benih juga mencapai Rp 70.000 per kg.

Mulyono (35), petani di Dusun Bagor Wetan, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk mengatakan, dari lahan 0,25 hektar, hanya mendapatkan hasil panen 2 ton. Biasanya ia bisa memanen hingga 4 ton. Petani tidak menikmati harga meski di tingkat konsumen harganya mencapai Rp 27.000 per kg.

(WIE/GRE/TAM/DEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160907kompas/#/20/


Jumat, 26 Agustus 2016

Indonesia Kembangkan Pertanian Berkelanjutan

Jumat,26 Agustus 2016

INDRAMAYU, KOMPAS — Di tengah dunia menghadapi tantangan soal pangan, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan yang mengedepankan sistem tanam organik, diversifikasi tanaman, dan efisiensi dalam biaya produksi. Selain lahan persawahan masih luas, berkembangnya petani yang menerapkan sistem tanam organik menjadi modal pertanian berkelanjutan.

"Dibandingkan dengan negara lain di Asia, Indonesia memiliki lahan persawahan luas dan petani cukup banyak. Jadi, pertanian berkelanjutan bisa dikembangkan," ujar Jan Willem Ketelaar dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Regional Asia untuk Manajemen Hama Terpadu, Kamis (25/8), di sela-sela workshop Program Save and Grow di Desa Tulungagung, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu.

Dalam kegiatan yang diinisiasi Yayasan Farmer's Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD) Indonesia dan FAO tersebut, berbagai hasil sekolah lapang petani di Indramayu, seperti mina padi, beras organik, pupuk organik, dan pakan ikan buatan petani, dipamerkan. Kelompok tani dari Kertasemaya dan Anjatan, Kabupaten Indramayu, juga mempresentasikan hasil sekolah lapangnya selama beberapa bulan.

Menurut Jan Willem, petani yang mengembangkan pertanian berkelanjutan telah menempuh jalur tepat menuju ketahanan pangan global yang selama ini bergantung pada bahan kimia. Mina padi yang ditempuh petani, misalnya, merupakan bentuk kecerdasan memanfaatkan lahan persawahan sebagai tempat budidaya ikan. "Dengan begini, budidaya dapat dilakukan tanpa menebang hutan," ujarnya.

Meskipun konsumsi tanaman organik di negara di Asia masih di bawah 5 persen dari populasi penduduk, menurut Jan Willem, pertanian organik semakin diminati. "Supermarket mencari beras organik. Masyarakat sadar, hasil tanaman organik lebih sehat," katanya.

Dari paparan beberapa kelompok tani, terbukti biaya menanam secara organik lebih murah ketimbang menanam secara konvensional. Kelompok Tani Lestari Agung di Desa Tulungagung, misalnya, hanya membutuhkan biaya hampir Rp 4 juta untuk lahan 700 bata (9.800 meter persegi). Jika menerapkan cara konvensional, menelan biaya hampir dua kali lipat. "Pupuk dan obatnya kami buat sendiri. Jadi, lebih hemat," ujar Fadoli, bendahara kelompok.

Meskipun demikian, sejumlah petani yang mengembangkan cara tanam organik mengeluhkan sulitnya memasarkan hasil. Apalagi, harga beras organik jauh lebih mahal dibandingkan dengan beras biasa, yakni lebih dari Rp 12.000 per kilogram di tingkat petani.

Tri Wahono, pengurus Kelompok Tani Setia Kawan di Kota Pasuruan, Jawa Timur, mengatakan, dukungan pemerintah daerah dapat meningkatkan semangat petani untuk menerapkan pertanian berkelanjutan.

(IKI)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160826kompas/#/22/

Kamis, 18 Agustus 2016

71 Tahun Indonesia Merdeka, Petani Belum Sejahtera

Rabu, 17 Agustus 2016

Mediatani.com – Kesejahteraan petani menjadi fokus utama sorotan pemerhati pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Rismunandar. Pasalnya, bahkan setelah 71 tahun Republik Indonesia merdeka, tidak juga berimbas positif bagi kehidupan petani.

“Petani Indonesia sampai saat ini belum merdeka. Jumlah rumah tangga petani yang semakin berkurang juga menjadi akibat dari merosotnya jumlah produksi pangan dalam negeri” Ungkapnya pada mediatani.com di Jakarta (17/08/2016).

Dirinya sangat menyesalkan semakin berkurangnya minat pemuda negeri ini untuk menjadi petani. Jaminan kesejahteraan di kalangan keluarga petani disinyalir menjadi penyebab merosotnya angka keluarga petani.

“Hal ini terlihat dari semakin berkurang minat pemuda negeri ini untuk menjadi petani. Dalam kurun waktu sepuluh tahun antara tahun 2003 hingga 2013, menurut hasil sensus pertanian tahun 2013, jumlah petani berkurang sebanyak 5 juta atau sebanyak 500 ribu pertahun.” Paparnya.

Pemuda yang juga menjabat sebagai wakil ketua Ecologica IPB ini menuntut pemerintah agar serius menangani kemunduran jumlah petani tersebut. Sebab jika dibiarkan, ini sangat merugikan semua pihak.

“Angka yang cukup besar ini sangat berimplikasi pada kesinambungan usaha di sektor pertanian di Indonesia, bukan hanya ketersediaan pangan saja yang akan turut menurun. Ketergantungan negara agraris ini terhadap pangan impor juga akan meningkat, Indonesia bisa jadi macan ompong dalam hal pangan.” tuturnya.

Menurutnya, Unsur regenerasi tani harus menjadi point yang tidak boleh dianggap remeh. Tanpa adanya regenerasi, maka bukan tidak mungkin ke depannya Indonesia akan kehilangan masyarakat petani. Apalagi pemerintah sangat menggaungkan harapan terwujudnya swasembada pangan di tahun 2017.

“Menjadi negara berdaulat (termasuk pangan) yang digembar-gemborkan oleh Jokowi-JK dalam tri-sakti dan nawacita selama kampanye Pilpres 2014 bukan sekedar omong kosong belaka, tapi keseriusan semua pihak untuk mewujudkannya perlu dilakukan dalam bentuk kerja nyata sehingga bisa terealisasi apa yang menjadi tujuan dari pemerintah saat ini” tegasnya.

Sampai saat ini, roadmap tentang kedaulatan pangan nasional juga belum rampung didiskusikan. Jika untuk memenuhi kebutuhan pangan dilakukan dengan impor, hal tersebut memang bisa untuk jangka pendek. Akan tetapi untuk jangka panjang, impor bukan selalu menjadi solusi.

“Impor pangan sangat merugikan petani lokal. Jika pemerintah tidak memaksimalkan produksi petani lokal maka akan berdampak sistemik pada kesejahteraan petani Indonesia” terangnya.

Mahasiswa Program Pascasarjana IPB ini mengungkapkan bahwa pemerintah pada saat ini hendaknya memberikan perhatian khusus pada jumlah petani di tanah air. Pemerintah harus melakukan pembaruan di sektor pertanian.

“Program ekstensifikasi lahan yang juga dilakukan tidak akan berguna jika tidak adanya sumberdaya manusia yang mumpuni dalam pengelolaan lahan tersebut” imbuhnya.

Rismunandar menyarankan agar pemerintah juga melakukan rekayas pasar agar terciptanya jaminan kesejahteraan keluarga petani.

“pasar harus direkayasa agar para pelaku agribisnis utamanya petani bisa sejahtera. Bukan hanya dalam hasil produksi yang menjadi fokus utama, tetapi pemerintah juga harus mengontrol sarana produksi pertanian” ungkapnya.

Jika tidak ada juga wujud dari kedaulatan pangan yang menjadi komitmen pemerintah saat ini, “bukan tidak mungkin jika Presiden Jokowi harus mengevaluasi Menteri Pertanian dan menteri-menteri terkait” tutupnya.


http://mediatani.com/71-tahun-indonesia-merdeka-petani-belum-sejahtera/

Kamis, 28 Juli 2016

Pemerintah Akan Menyusun Kebijakan Pangan Komprehensif Menjawab Anomali Stok & Harga

Rabu, 27 Juli 2016

Dalam akun facebook "Ir H Joko Widodo", Presiden pernah menjelaskan perbedaan Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan. "Ketahanan pangan itu beda dengan kedaulatan pangan, ketahanan pangan itu 'hanya' sekedar bahan pangan itu 'ada' di gudang-gudang logistik dan di pasar-pasar. Tapi bahan pangan itu darimana tidak jadi soal, dari impor atau lokal tak dipilirkan, yang penting ada. Kalau 'kedaulatan pangan' itu bahan pangan ada, kita produksi sendiri dan kita kuat dalam pemasaran, bahkan  pangan yang kita hasilkan dari pertanian kita bisa menguasai pasar-pasar di luar negeri...". Dalam pemerintahan Kabinet Kerja, yang dituju adalah "Kedaulatan Pangan", memang panjang jalan menuju itu, karena kita harus melawan banyak hambatan namun sudah tekad pemerintahan Joko Widodo ke arah sana. Visi terbesar dari kedaulatan pangan adalah ketika hasil pangan dari bumi Indonesia melimpah di pasar lokal maupun pasar luar negeri, setidaknya di negara-negara ASEAN. Pentingnya persoalan pangan bagi masyarakat Indonesia tidak perlu dipertanyakan kembali. Sehingga setiap pemimpin Indonesia dituntut untul memiliki solusi yang efektif untuk menangani persoalan-persoalan pangan yang dialami Indonesia. Persoalan pangan adalah persoalan "Hidup Mati Bangsa Indonesia". Itulah pesan sekaligus peringatan yang disampaikan oleh Presiden RI pertama, Soekarno, ketika meletakkan batu pertama pembangunan kampus IPB pada 27 April 1952. Meskipun bangsa ini ketika itu baru seumur jagung, baru berusia tujuh tahun, tapi kesadaran akan pentingnya meletakkan dasar pembangunan di bidang pertanian sudah sejak awal dimunculkan. Apa yang digagas Bung Karno pada masa pemerintahannya, menunjukkan adanya visi yang jelas terkait upaya penanggulangan masalah pangan. Ini juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kerangka pemikiran pemimpin nasional.  Sebuah obsesi untuk menciptakan kemandirian penyediaan pangan bagi rakyat. Tentu saja yang utama adalah niat, dan niat itu menjadi lapis dasar dari visi dan tekad yang kemudian diterjemahkan dalam konsep kebijakan nasional. Namun, yang penting adalah bagaimana semua rencana itu bisa berjalan di tingkat praksis. Bukan sekadar diwacanakan. Meski pemerintah masa lampau belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani hingga "berdaulat" atas diri dan usahanya sendiri, setidaknya dalam skala nasional persoalan ketersediaan pangan khususnya beras, tidak menimbulkan gejolak seperti sekarang. Tentu saja kompleksitas permasalahan hari ini dan ke depan berbeda tantangannya dibandingkan dengan masa lampau. Kenyataan itu tentu menuntut konsep dan strategi tersendiri sesuai skala persoalan dan tantangan baru yang dihadapi. Hari-hari ke depan nanti, pemerintah akan menyusun kebijakan pangan yang lebih komprehensif. Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, kebijakan itu dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan dan menstabilkan harga komoditas pokok, seperti beras, daging sapi, gula, dan jagung. Presiden menargetkan, dalam tiga bulan ke depan, kebijakan pangan dapat dijalankan. Pemerintah tampaknya akan berusaha menjamin pasokan dari sentra produksi benar-benar mengalir ke konsumen secara lancar dan cukup serta wajar dari segi harga. Intinya mendekatkan konsumen ke produsen dan sebaliknya. Pemerintah berencana tidak akan mengimpor sebagia  besar bahan pangan strategis, kecuali gandum atau terigu, kedelai dan sapi bakalan. Jikapun impor dilakukan, hanya sesuai dengan kebutuhan saja. Impor adalah pilihan terakhir, dan lebih rendah dibanding sekarang. Pemerintah juga memastikan, daging sapi beku akan terua dijual di pasar tradisional. Untuk itu, pemerintah akan mencabut regulasi pembatasan daging beku ke pasar tradiaional. Dengan kebijakan ini, masyarakat akan punya lebih banyak pilihan saat hendak membeli daging di pasar. Harga daging beku dan daging segar dengan kualitas dan kandungan lemak yang sama terpaut cukup jauh. Daging beku diharapkan oleh pemerintah menjadi penyeimbang kebutuhan daging sapi. Presiden Joko Widodo menargetkan pengendalian impor pangan dengan cara meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, pemberantasan mafia impor, dan juga mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian. Pengendalian impor pangan yang mengutamakan pengurangan impor semata juga membebankan mastarakat Indonesia karena harus mendapatkan kebutuhan pangan dengan harga yang lebih tinggi. Dalam rapat terbatas kebijakan pangan di Kantor Presiden pada Januari 2016, Presiden menyampaikan bahwa tujuan utama kebijakan di bidang pangan adalah membuat rakyat cukup pangan. Setelah itu, tujuan kebijakan kebijakan pangan adalah untuk menurunkan  kemiskinan karena masalah pangan ini memberikan kontribusi besar terhadap angka kemiskinan. Dua tujuan lainnya adalah, membuat petani lebih sejahtera, dan membuat produsen pangan dalam negeri makin besar andilnya untuk mencukupi kebutuhan pangan. Intinya adalah, kita memerlukan kebijakan yang menyeimbangkan antara produsen, pedagang dan konsumen. Presiden mengungkapkan, bahwa data menunjukkan kenaikan harga pangan mulai 2011-2015 kenaikannya sudah hampir 70%. Presiden menginginkan agar harga dapat dikembalikan pada harga-harga yang normal. Oleh sebab itu langkah-langkah komprehensif memperbaiki permintaan, suplai, memperbaiki mata rantai perfagangan, sistem data, dan informasi pertanian, harus betul-betul komprehensif dan valid. Kita sungguh berharap agar pemerintah dapat mendorong harga pangan dapat stabil dan murah. Untuk itu, sinkronisasi kebijakan antar kementerian menjadi penting, dan pemerintah harus mengambil langkah cepat dan strategis untuk mengatasi berbagai lonjakan harga pangan secara komprehensif.

www.berdikaricenter.id

http://www.kompasiana.com/lingkaran_muda/pemerintah-akan-menyusun-kebijakan-pangan-komprehensif-menjawab-anomali-stok-harga_57980ab74023bd6c0af43125

Rabu, 20 Juli 2016

Musim Panen, Petani Diarahkan Berinvestasi

Rabu, 20 Juli 2016

MALANG, KOMPAS — Saat musim panen, petani diarahkan untuk bisa menyisihkan keuntungan untuk investasi. Investasi tersebut bisa dimanfaatkan saat petani kembali membutuhkan modal pada masa tanam berikutnya atau untuk kepentingan jangka panjang.

Petani Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, diajak menabung emas oleh PT Pegadaian (Persero) Kantor Wilayah Pegadaian XII Surabaya, Selasa (19/7). Pegadaian menyasar petani menjadi nasabah karena menilai potensi petani cukup besar. Saat itu adalah masa panen padi bagi petani Gondowangi.

"Potensi petani, terutama pada musim panen, sebenarnya sangat besar. Jika mereka bisa menyisihkan sedikit penghasilannya untuk tabungan, investasi itu bisa digunakan untuk kegiatan produktif lainnya," kata Kepala Kantor Wilayah Pegadaian XII Surabaya Ngadenan.

Petani diajak menabung Rp 50.000 per orang sebagai tabungan awal dengan hadiah gula 1 kilogram (kg). Mereka akan langsung memperoleh tabungan emas 0,01 gram. Berikutnya, mereka bisa menabung hanya dengan Rp 5.000 sekali menabung. Hari itu, setidaknya 60 petani Gondowangi mendaftar menjadi nasabah Pegadaian.

Tambahan nasabah petani tersebut diharapkan bisa memenuhi target 1 juta nasabah Pegadaian di Jatim pada tahun ini. Saat ini nasabah Pegadaian Jatim 950.000 orang.

Kepala Desa Gondowangi Danis Setya Budi Nugraha mengatakan, "Biasanya saat panen, petani bisa membeli aneka barang yang mungkin tidak dibutuhkan. Hasil kerja keras selama ini bisa habis sesaat untuk kepentingan konsumtif. Dengan diajari menabung seperti ini, petani dan orang-orang desa bisa belajar untuk menabung."

Kerja sama antara Pemerintah Desa Gondowangi dan Pegadaian ini, menurut Danis, hanya langkah awal. Kedua belah pihak sedang menggarap badan usaha milik desa (bumdes) bidang pertanian atau semacam Perum Bulog di desa itu. Bumdes ini akan membeli padi milik petani dengan harga cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga beli di pasar dan akan menjualnya kembali untuk memenuhi kebutuhan warga setempat dengan harga lebih murah.

"Bumdes masih akan mendapat untung dari nilai yang didapat dari hasil memangkas peran tengkulak. Hasil memangkas peran tengkulak ini sudah bisa menghidupi bumdes," katanya.

Warga Desa Gondowangi 8.200 jiwa. Sebanyak 380 jiwa di antaranya adalah petani pemilik lahan. Sebanyak 200-an jiwa merupakan petani penggarap sawah. Pertanian di desa tersebut sebagian besar adalah pertanian padi.

Di Jawa Tengah, Bank Jateng menggandeng tenaga penyuluh di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan. Tujuannya agar tenaga penyuluh mampu melakukan pendampingan terhadap program penyaluran kredit program Mitra 02 di sejumlah daerah di Jateng. Dengan demikian, target kredit program Mitra 02 sebanyak 10.000 pelaku usaha kecil dapat tercapai.

Direktur Utama Bank Jateng, Supriyatno di Semarang mengatakan, tujuan program kredit dengan bunga 2 persen per tahun ini untuk mengentaskan keluarga miskin. (DIA/WHO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160720kompas/#/21/

Alokasi Lahan Jangan Hanya Angin Surga

Selasa, 19 Juli 2016

Selasa pekan lalu, Presiden Joko Widodo memanggil tiga menteri ke Istana. Mereka adalah Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Ferry Mursyidan Baldan.

Dalam pertemuan itu, Presiden mengevaluasi proses penyediaan lahan untuk investasi pangan, yang diprioritaskan untuk sektor peternakan sapi, jagung, dan tebu untuk memasok bahan baku gula.

Presiden sadar, tanpa menggenjot investasi, akan sulit meningkatkan produksi ketiga komoditas itu.

Dalam pertemuan Senin (18/7) pagi, Kementerian Pertanian, KLHK, Kementerian ATR, merumus kan komitmen baru. Mereka menyebut pemerintah akan menyediakan 2 juta hektare lahan untuk dapat digarap sebagai lahan pangan.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyampaikan penyediaan lahan tersebut diprioritaskan untuk investasi lahan tebu, jagung, dan peternakan sapi. Amran mencontohkan sejumlah perusahaan pabrik gula kekurangan lahan sehingga produksinya tidak optimal. Untuk dapat swasembada gula dibutuhkan tambahan lahan seluas 500.000 ha.

“Khusus gula misalnya ada 380.000 hektare dan 30 perusahaan siap operasi, ada 15 perusahaan sudah investasi bangun pabrik. Potensi ini mesti dimaksimalkan karena mereka sudah investasi,” jelas Amran dalam konferensi pers, Senin (18/7).

Mentan menyebut kurangnya ketersediaan lahan menyebabkan pabrik-pabrik gula tersebut tidak dapat memaksimalkan kapasitas secara penuh.

Dia menyebut pemerintah ingin menekan impor gula seperti impor jagung yang sepanang tahun ini sudah turun hingga 47%

“Potensi ini harus kita optimalkan. Mereka sudah investasi hingga Rp2 triliun—Rp4 triliun. Kapasitasnya 10.000 tcd , tapi bahan baku yang tersedia hanya mampu mencukupi 5.000 tcd, jadi idle capacity,” kata Amran.

Bukan kali ini pemerintah bergerak mencari lahan. Bisnis mencatat setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah tertatih-tatih mencari lahan untuk merealisasikan investasi. Tanpa lahan, sulit untuk melepaskan ketergantungan pada impor pangan.

Hal tersebut berujung pada stagnasi pembangunan pabrik gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi. Kita masih tergantung dengan PG BUMN yang berumur sangat tua dan tidak lagi efisien. Pabrik gula baru yang dibangun dalam 10 tahun terakhir bisa dihitung jari.

Sulitnya mendapatkan lahan pun berujung pada pembangunan sebelas pabrik gula rafinasi tanpa kebun. Meski UU Perkebunan mewajibkan kepemilikan kebun 2 tahun setelah memiliki izin usaha, hingga saat ini PG rafinasi masih menggantungkan bahan baku pada 3 juta ton gula mentah (raw sugar) impor per tahun sebagai bahan baku.

Hal yang sama terjadi pada lahan untuk peternakan sapi. Lahan untuk mengembangkan peternakan terbatas, sehingga investor pembibitan ternak dapat dihitung jari. Padahal, Indonesia mengimpor rata-rata 80.000 ton daging dan 600.000 ekor sapi bakalan setiap tahun.

SENTIMEN NEGATIF

Secara tidak langsung, kebijakan impor komoditas pangan menjadi sentimen negatif bagi investor yang hendak masuk ke sektor tersebut. Apalagi, biaya produksi pangan tertentu seperti gula, kedelai, dan daging sapi di dalam negeri masih lebih tinggi dibandingkan dengan impor.

Beruntung, belakangan ada Tim Percepatan Investasi yang dibentuk Kementan. Sejumlah investor baik lokal maupun asing dihimpun, difasilitasi kelancaran perizinannya, dan terus didampingi proses pengurusan lahan. Pemerintah sebelumnya menyerahkan urusan pencarian lahan bulat-bulat pada investor.

Tim tersebut yang saat ini giat menarik investor. Dalam perjalanan, segera aturan soal lahan yang dinilai menghambat investasi pangan disisir. Tercatat sedikitnya tiga beleid terkait lahan sedang diajukan revisi, sehingga proses penjajakan lahan lebih mudah dilakukan.

Pertengahan tahun lalu, Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir sempat memiliki target penambahan luas tanam tebu sebanyak 300.000 ha untuk mengejar swasembada gula. Saat itu pemerintah berencana membangun hingga sepuluh pabrik gula baru.

Pada pekan kedua Mei 2015, Gamal menyebut pihaknya telah berulang kali mengadakan rapat intensif dengan KLHK dan Kementerian ATR untuk memetakan lahan-lahan potensial.

“Kami sudah lima kali menggelar rapat intensif dengan BPN dan KLHK,” kata Gamal saat dihubungi Bisnis.

Belum tuntas soal pembahasan lahan tersebut, Desember 2015, pemerintah lalu membentuk Tim Pencadangan Lahan Investasi yang beranggotakan perwakilan dari KLHK, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ATR.

Jumat, 18 Desember 2015, Menteri LHK Siti Nurbaya menyebut lahan yang diperlukan untuk investasi tebu, jagung, dan peternakan sapi tersebut yaitu masing-masing 1 juta ha, 600.000 ha, dan 350.000 ha. Total lahan 2 juta ha ini akan menjadi target khusus tim teknis.

“Saya maunya ini berjalan cepat. Setelah ini kami akan komunikasikan ke pemerintah daerah, karena lahan ada di daerah. Kami akam dorong kepala daerahnya karena investasi ini untuk kemajuan ekonomi daerah mereka juga,” kata Siti kala itu.

Konon, selain sejumlah regulasi yang saat ini tengah diajukan revisi, birokrasi di daerah pun menjadi momok utama bagi investor yang ingin menjajaki investasi pangan. Tidak sedikit realisasi investasi stagnan akibat proses di daerah yang rumit.

Pemanggilan yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada tiga menteri pekan lalu seharusnya menjadi warning call bagi para menteri teknis. Sudah sangat lama angin surga penyediaan lahan untuk investasi pangan berhembus.

Realisasi investasi pangan pun harus menyentuh segala sisi, mulai dari pendampingan penjajakan lahan bersama investor, penyederhanaan birokrasi, hingga mengajak pemerintah daerah ikut berkomitmen menekan impor komoditas pangan.

Ketercukupan pangan di dalam negeri akan sulit terlepas dari ketergantungan impor selama tidak ada investasi dalam skala besar. Selain ketersediaan lahan bagi para investor, faktor lain seperti pengaturan impor pangan pun ikut mempengaruhi minat investor untuk masuk ke sektor pangan.

http://koran.bisnis.com/read/20160719/244/567098/alokasi-lahan-jangan-hanya-angin-surga

Jumat, 15 Juli 2016

Target Pengadaan Gabah Bulog

Jumat, 15 Juli 2016

Dalam tahun ini, pemerintah menugaskan Perum Bulog menyerap gabah kering panen alias GKP sebanyak 4 juta ton-setara 2 juta ton beras-dengan membeli langsung dari petani. Bulog menargetkan pengadaan untuk public service obligation sebesar 3,2 juta ton setara beras atau 63 persen adalah GKP.

Mampukah Bulog memenuhi target tersebut? Padahal, instrumen kebijakannya tidak berubah, masih bertumpu pada harga pembelian pemerintah, serta infrastruktur Bulog yang minim.

Sampai akhir Juni, Bulog baru mampu menyerap gabah/beras 1,8 juta ton setara beras, mengimpor beras 0,7 juta ton. Pengadaan Bulog dominan berlangsung dalam periode Maret-Juni, yang mengambil pangsa sekitar 70 persen dari total pengadaan tahunan. Pengadaan dalam negeri Bulog bertumpu pada harga pembelian pemerintah (HPP), terakhir ditetapkan pada pertengahan Maret 2015.

Badan Pusat Statistik melaporkan, pada akhir Juni harga gabah/beras di penggilingan padi masing-masing Rp 5.600/kg gabah kering giling (GKG), Rp 8.300/kg (beras medium), dan harga beras eceran termurah mencapai Rp 10.400/kg. Harga gabah tidak turun secara berarti walau pada musim panen raya (Maret-Mei). Sementara HPP sudah sangat rendah: Rp 4.600/kg (GKG), dan Rp 7.300/kg (beras medium).

Saat ini hingga September mendatang tanaman padi sedang memasuki musim panen gadu pertama. Harga gabah akan bergerak naik, seiring berkurangnya produksi serta membaiknya kualitas gabah. Kalau pada musim gadu ini beriklim basah, kemungkinan produksi gabah bisa meningkat, tetapi kualitas gabah dan rendemennya relatif rendah, sehingga harga GKP tertekan, sebaliknya harga beras menjadi lebih tinggi.

Dalam situasi itu, Bulog hampir tidak mungkin mampu menambah sisa target pengadaan mencapai 1,4 juta ton, dan diperkirakan paling realistis hanya bertambah 0,5 juta ton. Kalau itu terjadi, pengadaan Bulog hanya mencapai 2,3 juta ton setara beras, dan tidak cukup untuk kebutuhan program beras untuk rakyat sejahtera (rastra)/beras untuk rakyat miskin (raskin) sebesar 2,8 juta ton.

Artinya, kelebihan penyaluran program rastra 22 persen di atas kemampuan pengadaan dalam negeri, sehingga kekurangan itu harus ditutupi dengan beras impor. Bulog berencana untuk memperbanyak dan memperluas intervensi pasar guna meredam kenaikan harga, terutama pada musim paceklik mulai November mendatang. Itu juga akan menggunakan beras impor.

Daya serap gabah

Salah satu infrastruktur penting yang dimiliki Bulog adalah gudang tempat penyimpanan beras, berkapasitas mendekati 4 juta ton, investasi 1970-an dan 1980-an. Itu terdiri dari gudang Bulog baru (69 persen), gudang Bulog modern (10 persen), sisanya gudang semipermanen, gudang daerah terpencil, dan gudang lama.

Pada awal 2000-an, pemerintah mendanai pembangunan dryers, penggilingan padi (PP), dan silo. Tujuannya agar Bulog tidak terkendala untuk menyerap gabah petani. Maka, dibangunlah 132 unit PP, berskala menengah dengan kapasitas produksi 1,5-3 ton beras per jam, total kapasitas giling 0,5 juta ton GKG per tahun. Namun, PP itu tidak terintegrasi dengan silo yang kapasitasnya 12.000 ton. Pada saat yang sama dibangun pula 123 unit dryers, dengan kapasitas pengeringan 0,25 juta ton GKG per tahun.

Infrastruktur pasca panen yang dibangun tersebut sangat lemah: studi kelayakannya kurang matang, dan kentalnya "intervensi Senayan", terutama dalam pemilihan tempat maupun merek alat/mesin PP atau dryers. Mesin PP digerakkan dengan bahan bakar solar bersubsidi tanpa analisis sensitivitas. Demikian juga penggunaan bahan bakar solar untuk menggerakan dryers, tidak dirancang menggunakan sekam yang berlimpah ketersediaannya. Alhasil, banyak infrastruktur yang telah dibangun tersebut terbengkalai, rusak/tua, tidak ekonomis, atau yang belum optimal pemanfaatannya.

Pada situasi demikian, Bulog "tidak berdaya" menyerap GKP langsung dari petani atau pengadaan GKG. Sekiranya Bulog mampu menyewa dryers untuk mengejar target pengadaan 4 juta ton GKP, Bulog harus menyimpannya dalam bentuk GKG. Gudang Bulog tidak cocok untuk itu, apalagi kalau disimpan bersama beras. Kalau GKG disimpan dalam karung, gabah cepat rusak, paling lama bertahan tiga bulan. Bulog memerlukan beras untuk berbagai keperluan. GKG dari gudang Bulog dibawa dan digiling di PP swasta, kemudian beras diangkut kembali ke gudang, sehingga Bulog harus menanggung empat kali biaya angkut, dan susut tinggi.

Pemerintah seharusnya mempertimbangkan hal-hal seperti berikut. Pertama, pada saat Bulog belum memiliki infrastruktur yang kuat dan memadai jumlahnya (seperti dryers dan silo yang terintegrasi dengan PP modern dalam satu kompleks), dan Bulog sebaiknya "jangan diharuskan" banyak menyerap GKP/ GKG. Kalau dipaksakan, jumlah pengadaan Bulog pasti menurun, kerusakan/pemeliharaan GKG akan tinggi, juga biayanya. Seharusnya pemerintah sudah merealisasikan APBN untuk penguatan infrastruktur pasca panen modern untuk Bulog. Tidak ada jalan pintas lainnya.

Kedua, pemerintah perlu mencari instrumen lain untuk memperbesar pengadaan gabah/beras dalam negeri, tidak hanya mengandalkan instrumen HPP. Salah satu di antaranya adalah menetapkan kewajiban PP besar (melalui peraturan) untuk menyetor 5-10 persen dari total volume giling beras premium ke pemerintah/Bulog untuk memperkuat cadangan beras pemerintah.

Ketiga, rancang agar jumlah penyaluran rastra disesuaikan dengan kemampuan pengadaan dalam negeri Bulog, yaitu tidak lebih dari 2 juta ton per tahun.

M HUSEIN SAWIT

SENIOR POLICY ANALYST PADA CENTER FOR AGRICULTURE AND PEOPLE SUPPORT (CAPS); SALAH SEORANG PENDIRI HOUSE OF RICE

http://print.kompas.com/baca/2016/07/15/Target-Pengadaan-Gabah-Bulog

Kamis, 14 Juli 2016

Ahmad Zakaria, Giat Memproduksi Beras Sigemar

Petani yang membudidayakan padi organik di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Berbagai alasan dikemukakan, dari biaya yang lebih mahal hingga hasil panennya yang tidak langsung tinggi.

Lain lagi kisah dari Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Silih Asih, Ahmad Zakaria yang mengembangkan padi organik di lahan pertaniannya di Desa Ciburuy, Kec. Cigombong, Kab. Bogor, Jawa Barat. Produk beras organiknya dinamai Beras Sigemar.

Zakaria mengembangkan padi organik bukan semata-mata berorientasi pada uang melainkan dari segi kesehatan. “Sebagai media kehidupan. Kalau dicemarkan menggunakan bahan kimia, tentu tanah akan menjadi rusak. Ketika berasnya dimakan, tentu akan mengganggu kesehatan. Kalau organik, tidak. Yang ada kita makin sehat,” jelasnya saat ditemui di Bandung.

Keunggulan lain dari padi organik, menurut Zakaria adalah rasanya yang enak. Mengapa demikian? Dia menjelaskan bahwa rasa yang enak ini didapat dari pupuk kandang. “Pupuk kandang itu unsur mikrobanya lengkap. Dapat dikatakan itu sebagai bumbu. Ketika diserap oleh tanaman, beras yang dihasilkan pun menjadi lebih nikmat rasanya. Dan hebatnya lagi, tidak cepat basi ketika sudah ditanak menjadi nasi,” papar Zakaria yang akrab disapa Pak Haji.

Tanah yang tadinya rusak otomatis menjadi sehat kembali karena unsur haranya menjadi tinggi. Mikroorganisme yang membantu pertumbuhan pun berkembang dengan baik. “Saya rasa sekarang yang perlu diterapkan adalah kedaulatan pangan berbasis pertanian organik. Dengan demikian bukan dari segi kuantitasnya yang meningkat, kualitasnya pun turut naik,” tegasnya.

http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/ahmad-zakaria-giat-memproduksi-beras-sigemar/

Desa Buker Tak Tersentuh Bantuan Dinas Pertanian Sampang


Wartaagro.com - Menyebut Desa Buker, sebagian besar orang akan bertanya-tanya dimana letak desa tersebut. Namun, jika Adan berkunjung kesana, pasti akan menemukan kedamaian yang tak terhingga.
Desa Buker merupakan salah satu Desa yang terletak di wilayah Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang, Madura. Jumlah penduduk desa ini kurang lebih 4.395 jiwa. Namun, sebagian penduduk tersebut tercatat merantau ke luar wilayah, bahkan sampai ke luar negeri.
Desa Buker saat ini dipimpin oleh Abdus Sodik, kepala desa yang menjabat sebanyak 2 periode. Wilayah Desa Buker mencakup sejumlah dusun, antara lain Dusun Kapasan, Dusun Palongan, Dusun Buker, Dusun Ratah, Dusun Masaran, Dusun Branjang, Dusun Tarogan, Dusun Galisan. Dusun Bangui, Dusun Bakandang dan Dusun Tanamera.
Potensi yang dimiliki desa ini ialah pertanian. Padi, jagung, ketela, kedelai, kacang tanah, ialah komoditi yang sering ditanam petani di Desa Buker. Irigasi yang kurang memadai, terkadang membuat petani mengeluh karena tidak bisa mengairi sawahnya. Tak pelak, gagal panen seringkali dialami.
Bantuan dari Dinas Pertanian Kabupaten Sampang juga jarang ditujukan ke Desa Buker. Padahal, desa lain di Kabupaten Sampang terus digerojok berbagai macam bantuan, seperti benih, alat mesin pertanian (alsintan), dan bantuan lainnya.
Faktor inilah yang menjadi salah satu kendala pertanian di Desa Buker kurang berkembang. Tenaga ahli di bidang penyuluhan juga jarang menjamah desa ini. Petani masih melakukan sistem tanam secara tradisional, yang mereka dapat dari kebiasaan yang diajarkan orangtuanya dulu.
Petani di Desa Buker ingin protes ke Dinas Pertanian setempat, namun upaya itu dirasa tidak cukup. Karena bagaimanapun, oknum Dinas Pertanian Kabupaten Sampang lebih memilih menyalurkan bantuan kepada wilayah yang memiliki kekerabatan dengan pejabat di Dinas Pertanian.
“Kami berharap bantuan ada di desa kami. Di desa lain sering dapat bantuan, kenapa Desa Buker tidak pernah dapat. Petani disini sangat butuh bantuan teknologi dan juga peralatan,” kata Brodin, salah satu petani di Dusun Tarogan, Desa Buker. (Did)

http://wartaagro.com/berita-desa-buker-tak-tersentuh-bantuan-dinas-pertanian-sampang.html

SWASEMBADA PANGAN: Kurangi Impor, Pemerintah Siapkan Lahan Pertanian

Rabu, 13 Juli 2016

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah berupaya untuk mengurangi impor pangan melalui penyiapan lahan bagi masyarakat untuk sejumlah komoditas.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo membahas masalah pertanian, khususnya ketersediaan lahan untuk kesejahteraan masyarakat.

"Di samping itu, untuk mengurangi impor gula, jagung dan sapi," katanya di Kompleks Istana Negara, Rabu (13/7/2016).

Upaya penyiapan lahan itu, lanjutnya, disebabkan keinginan pemerintah untuk pemenuhan swasembada dalam negeri. Hanya saja memang ada persoalan terkait lahan. Lahan tersebut nantinya dikelola oleh rakyat.

"Kita udah siapin lahannya untuk rakyat dan udah ada skemanya dengan janji bapak Presiden untuk memakmurkan rakyat," katanya.

http://industri.bisnis.com/read/20160713/99/565379/swasembada-pangan-kurangi-impor-pemerintah-siapkan-lahan-pertanian

Rabu, 22 Juni 2016

Kebijakan Pangan Realistis

Rabu, 22 Juni 2016

Audit BPK: Data Produksi Padi Tidak Akuntabel
Menteri Perdagangan  Thomas Trikasih Lembong (kiri) mengunjungi harian Kompas di Jakarta, Selasa (21/6). Dalam kunjungan ini, Thomas diterima Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.

Menteri Perdagangan  Thomas Trikasih Lembong (kiri) mengunjungi harian Kompas di Jakarta, Selasa (21/6). Dalam kunjungan ini, Thomas diterima Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.
KOMPAS/PRIYOMBODO

JAKARTA, KOMPAS — Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menegaskan, kebijakan pangan nasional kini lebih realistis dari yang sebelumnya sistem kuota. Yang terpenting bagaimana membangun kapasitas produksi pangan nasional agar efisien dan berdaya saing.

Hal itu diungkapkan Menteri Perdagangan, Selasa (21/6), di Jakarta saat berkunjung ke Kompas. "Membangun kapasitas produksi harus mulai dari dalam diri. Membangun kapasitas berhubungan dengan investasi," ujarnya.

Investasi tidak selalu dalam bentuk modal. Pedagang kaki lima berinvestasi dengan keringat. Ibu rumah tangga berinvestasi dengan waktu, yang lain berinvestasi dengan modal.

Thomas mengatakan, berbagai kebijakan proteksionis hanya akan membelit diri sendiri. "Kita tidak bisa impor bahan baku, barang modal, dan lain-lain sehingga industri tidak berkembang," katanya.

Masalah utama kita sekarang ada di sisi pasokan (supply side). Dengan segala bentuk larangan membuat pasokan tidak berkembang. Kebijakan larangan juga menciptakan berbagai bentuk penyimpangan.

Thomas mencontohkan, naiknya harga daging sapi tidak lepas dari kebijakan kuota impor sapi bakalan dan daging sapi pertengahan tahun sebelumnya. Juga adanya larangan swasta mengimpor daging sapi untuk pasar umum.

Dengan sistem kuota, izin impor daging sapi diberikan kepada tiga perusahaan BUMN, seperti Perum Bulog, PT Berdikari, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Dua perusahaan BUMN, yaitu Perum Bulog dan PT PPI, tidak bisa menjalankan impor dengan baik. Daging impor busuk. Hanya tinggal PT Berdikari. "Kalau hanya satu perusahaan, berpotensi terjadi penyimpangan," katanya.

Akhirnya diputuskan impor sapi dan daging sapi dibuka untuk umum. Swasta boleh mengimpor. Tidak ada lagi pembatasan kuota.

Thomas mengakui, impor akan menggerus produksi dalam negeri karena itu impor lebih diarahkan di luar barang-barang konsumtif.

Data tidak akuntabel

Dalam diskusi bertema "Kebijakan Pangan Nasional: Pengadaan Dalam Negeri Vs Impor" yang diselenggarakan Badan Pemeriksa Keuangan, Thomas mengungkapkan keyakinannya bahwa Indonesia akan mampu mewujudkan swasembada pangan seperti beras.

Dari aspek internal, sepanjang hidupnya dia belum pernah melihat ada kebijakan internal untuk mendukung pencapaian swasembada pangan seperti yang dilakukan oleh pemerintahan sekarang yang sifatnya mendasar.

Kebijakan itu di antaranya membangun 60 bendung/waduk di seluruh Indonesia. Belum lagi pembangunan jaringan irigasi dan sarana produksi pertanian. Anggaran pertanian juga meningkat besar.

Anggota IV BPK, Rizal Djalil, mengatakan, dari sisi politik dan politik anggaran, kebijakan pembangunan pertanian/pangan Indonesia sudah selesai. Apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat kampanye sudah dilakukan.

Anggaran Kementerian Pertanian naik 129 persen dari Rp 14 triliun tahun 2014 menjadi Rp 32,7 triliun. Itu di luar anggaran subsidi pupuk Rp 39 triliun.

Secara khusus BPK menyoroti soal data produksi padi yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Data produksi padi merupakan hasil perkalian luas panen dan produktivitas, yang merupakan hasil perhitungan Badan Pusat Statistik dengan Kementerian Pertanian beserta dinas pertanian di daerah.

"Ada conflict of interest dalam diri petugas KCD (kantor cabang dinas) karena di satu sisi mereka diberi target produksi, pada saat yang sama mereka menghitung luas panen," katanya.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam diskusi menyayangkan sikap yang percaya data kemiskinan dan inflasi BPS, tetapi tidak percaya data kenaikan produksi padi BPS. (MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160622kompas/#/18/

Sabtu, 18 Juni 2016

Petani Keluhkan Harga Gabah Bulog

Sabtu,18 Juni 2016

SRAGEN – Para petani di Bumi Sukowati mengeluhkan rendahnya harga beras dari Bulog. Selain itu, mereka juga kesulitan memasok gabah lantaran sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.

Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno kemarin mengatakan, selama ini harga Bulog lebih rendah daripada harga pasar, petani lebih memilih melemparkan gabahnya ke mekanisme pasar. Wajar apabila penyerapan gabah Bulog di Sragen masih rendah. “Harga pembelian pemerintah (HPP) itu harus disesuaikan minimal 2 kali setahun. Kalau harga pasar lebih tinggi, petani pasti memilih yang lebih tinggi. Kami lihat Pemerintah tidak berpihak kepada petani,” ujarnya.

Selain terkait HPP, pihaknya menyayangkan sejumlah persyaratan yang dibebankan petani dalam setiap gabah yang disetorkan. Salah satunya yakni terkait kriteria kekeringan gabah hingga sistem pembayaran yang dirasa menyulitkan petani. “Bulog itu punya kriteria yang harus dipenuhi dan itu tidak bisa dipenuhi petani. Sistem petani tidak mempunyai mesin pengeringan. Pembayarannya lewat bank, itu bagi petani ribet,” paparnya.

Dirinya lebih setuju, apabila Bulog menjalankan mekanisme jemput bola ke lapangan langsung. Selain langsung menyerap gabah petani, perputaran uang langsung dilakukan di muka tidak menunggu proses administrasi yang berbelit-belit. “Jadi barang dilihat, harganya berapa ditimbang langsung dibayar. Bagi petani ini lebih cepat,”kata dia.

Suratno mengungkapkan keuntungan yang didapatkan petani saat ini tidaklah banyak. Bahkan dari sekitar 3.000 meter persegi lahan pertaniannya hanya menghasilkan keuntungan sekali panen Rp 2 juta – Rp 4 juta. Daripada menjual ke Bulog dengan persyaratan tertentu, kata dia, ia tentu lebih memilih menjualnya ke pasar. “Kalau dari Bulog, sekarang harganya paling Rp 7.300/kg, kalau di pasar harga IR itu bisa mencapai Rp 7.800-8.900/kg,” kata dia.

Sementara itu, seorang petani Nglorog Sragen, Sugeng Riyanto (40) mengaku pesimistis Bulog mau membeli gabah dari petani saat musim panen kali ini. Pasalnya Bulog diketahui hanya mau membeli dengan gabah kualitas bagus. Dirinya memilih menjual gabahnya ke pasar lantaran lebih mudah dan harganya relatif lebih mahal.

Sesuai Mekanisme

Sementara itu, Kepala Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Subdivisi Regional (Kasubdivre) III Surakarta, Rizal menegaskan pembelian gabah dari petani dilakukan sesuai dengan mekanisme. “Silakan kalau mau setor. Harga di kita sesuai ketentuan Rp 7.300/kg. Tidak ada yang susah, sesuai mekanisme saja,” katanya.

Sebagaiamana diberitakan, penyerapan gabah dari petani yang dilakukan oleh Bulog Subdivisi Regional (Subdivre) III Surakarta di Bumi Sukowati diketahui masih rendah. Dari target penyerapan 65.- 970 ton gabah kering giling (GKG) yang harus dipasok, baru 36 persen atau sekitar 23.749 ton yang sudah terpenuhi. (shd-68)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/petani-keluhkan-harga-gabah-bulog/

Jumat, 17 Juni 2016

Belajar dari Harga Pangan

Jum'at, 17 Juni 2016

Harga bahan makanan yang tak kunjung turun, meskipun pemerintah melakukan sejumlah upaya, mendorong kita mencari akar masalah.

Pemerintah sebelumnya menginginkan harga gula, bawang merah, minyak goreng, daging ayam dan telur, serta daging sapi harus turun dari harga sebelum bulan puasa, bukan sekadar stabil.

Harga-harga bahan makanan tersebut tak banyak bergerak turun meskipun dilakukan berbagai upaya. Daging beku diimpor dengan penunjukan langsung importir selain Bulog. Operasi pasar terus dilakukan di berbagai tempat.

Sejumlah peternak dan pengusaha daging sapi rakyat mengatakan, apabila dipaksa menurunkan harga sesuai keinginan pemerintah, mereka akan rugi karena di bawah biaya produksi.

Dari perkembangan tersebut, kita dapat belajar satu hal, yaitu mengenali struktur biaya dan harga setiap komoditas menjadi penting untuk pengambilan kebijakan.

Harga terbentuk karena biaya produksi yang melekat pada komoditas, misalnya biaya bibit, pupuk dan pestisida pada tanaman pangan, atau harga pakan serta anakan sapi dan ayam. Harga juga dibentuk oleh biaya di luar komoditas, seperti biaya gudang, penyusutan, musim tanam, nilai tukar rupiah, dan kebijakan pemerintah.

Setiap komoditas memiliki struktur biaya khas. Bawang merah, misalnya, susut bobotnya cukup tinggi, sekitar 30 persen, dan tidak tahan lama tanpa penyimpanan suhu rendah. Jika ditambah ongkos transportasi, selisih menjadi cukup tinggi antara harga di konsumen dan di petani.

Nilai tukar rupiah sangat menentukan harga daging dan telur ayam karena 70 persen biaya produksi ditentukan harga pakan yang separuhnya adalah jagung dan sebagian besar masih impor. Sementara induk untuk anak ayam (DOC) seluruhnya diimpor.

Begitu pula daging sapi. Pemerintah ingin segera berswasembada, tetapi peternakan dalam negeri yang sebagian besar diusahakan rakyat belum mampu memenuhi kebutuhan. Pemerintah menetapkan kuota impor sapi bakalan setiap tiga bulanan, menyebabkan Indonesia harus membeli mahal dari Australia sebagai sumber utama sapi impor kita. Negara itu memilih menjual sapinya ke negara lain yang membuat kontrak jangka panjang karena lebih memberikan kepastian pasar.

Agar tahun depan kita tidak kembali menghadapi kerepotan yang sama bila bulan puasa dan Lebaran tiba, perencanaan jangka panjang menjadi penting.

Kita mengharap pemerintah dapat arif dan bijaksana berdialog dengan para pemangku kepentingan, dari petani, peternak, pengusaha, hingga pedagang, agar bersama menjaga ketersediaan pangan dengan harga yang dapat diterima masyarakat dan pemangku kepentingan.

Kamis, 16 Juni 2016

Riset Mutasi Sorgum Batan Diakui Dunia

Kamis,16 Juni 2016
Pemulia tanaman Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR Batan), Soeranto Human, memeriksa pertumbuhan sorgum dari kultur jaringan di Laboratorium Kultur Jaringan PAIR Batan, Rabu (15/6), di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Sorgum dalam tabung-tabung itu sudah diradiasi dengan sinar gama menggunakan beragam dosis penyinaran.

Pemulia tanaman Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR Batan), Soeranto Human, memeriksa pertumbuhan sorgum dari kultur jaringan di Laboratorium Kultur Jaringan PAIR Batan, Rabu (15/6), di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Sorgum dalam tabung-tabung itu sudah diradiasi dengan sinar gama menggunakan beragam dosis penyinaran.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

JAKARTA, KOMPAS — Dunia mengakui pemuliaan mutasi tanaman oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional atau Batan sebagai kontribusi bagi riset pangan dunia. Salah satu riset yang diakui adalah pemuliaan mutasi sorgum.

Batan pun menjadi mitra Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) melalui Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture untuk memajukan riset sorgum sejumlah negara. "Kami (Batan) menjadi pusat pelatihan. Fasilitas kami dinilai lengkap, mulai laboratorium terstandar, gudang penyimpanan, hingga lahan uji coba," ujar pemulia tanaman pada Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Batan, Soeranto Human, Rabu (15/6), di Jakarta.

Kelompok pemuliaan tanaman PAIR Batan memperoleh Outstanding Achievement Award Joint FAO/IAEA Programme: Nuclear Techniques in Food and Agriculture, 2014. Terkait sorgum, peneliti Batan merekayasa materi genetik varietas asal Tiongkok, Zhengzu, untuk dapat varietas dengan sifat diinginkan.

Biji sorgum diradiasi dengan sinar gama pada dosis 300 Gray di iradiator gama di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Riset menghasilkan tiga varietas sorgum tahan kekeringan: Pahat (Pangan Sehat) yang dilepas 2013 serta Samurai (Sorgum Mutan Radiasi) 1 dan Samurai 2 tahun 2014.

Soeranto mengatakan, varietas unggul untuk pangan adalah Pahat, sedangkan untuk gula dan bioetanol Samurai 1. Produktivitas varietas Pahat rata-rata 5,8 ton biji kering per hektar, sedangkan Zhengzu 2-3 ton biji kering per ha. Biji sorgum Pahat bisa dipanen pada usia tiga bulan, sedangkan varietas asalnya baru dipanen empat bulan.

Untuk varietas Samurai 1, kandungan brix (zat padat terlarut, salah satu komponen analisis gula) pada batang 17 persen, sedang varietas asalnya 10-11 persen. Potensi produksi bioetanol Samurai 1 1.148 liter per ha.

Melatih asing

Atas capaiannya, Batan melatih peneliti sejumlah negara meriset pemuliaan mutasi sorgum di Pasar Jumat, seperti Burkina Faso, Myanmar, dan Sri Lanka. Soeranto juga pernah dikirim ke Burkina Faso guna mendampingi riset di sana dan akan ke Mongolia untuk evaluasi pemuliaan.

Negara-negara tetangga di Asia Tenggara juga mulai melirik riset sorgum meski pangan pokok masih beras. "Sorgum tanaman yang bisa diandalkan di masa depan, saat kekeringan bertambah akibat perubahan iklim," ujarnya.

Kepala PAIR Batan Hendig Winarno menuturkan, Batan memang fokus mengembangkan tanaman untuk lahan dengan cekaman abiotik, seperti lahan kering dan masam, agar tak bersaing dengan pengembangan padi. "Potensi lahan kering dan lahan masam 25,3 juta hektar. Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur termasuk provinsi dengan lahan kering yang sangat luas," katanya.

Dengan demikian, petani bisa membudidayakan sorgum di lahan yang tak bisa ditanami padi. Pemanfaatan bisa untuk pangan, pakan ternak, gula, dan bioetanol. Tantangan kini, masyarakat belum biasa dengan sumber karbohidrat selain padi. (JOG)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160616kompas/#/14/

Rabu, 08 Juni 2016

BULOG BIKIN PETANI TERMISKINKAN SECARA SISTEMIK

SELASA, 07 JUNI 2016

IMPOR BAWANG-BERAS


RMOL. Rencana Pemerintah melalui Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) melakukan impor beras dan bawang merah dikritik Nawacita Watch. Alasan impor guna menstabilkan harga selama Ramadhan hingga lebaran dianggap tidak masuk akal.

Harga beras saat ini sedang mengalami kenaikan mencapai Rp 12.500 per kg sedangkan bawang merah Rp 41.000 per kg. Dengan adanya impor, harga yang diinginkan pemerintah untuk beras yaitu Rp 9.500 per kg dan bawang merah Rp 25.000 per kg.

Untuk mencapai harga itu, bawang merah akan diimpor 2.500 ton hingga 5.000 ton sedangkan untuk beras, Bulog sudah mengimpor per Februari 2016 sebanyak 900.000 ton dan total hingga Oktober sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam dan Thailand

Direktur Kajian Pangan dan Ekonomi Kerakyatan, Nawacita Watch, Tenri Ajeng menjelaskan bahwa Pemerintah terlalu tergesa-gesa. Kebijakan itu malah berpotensi membuat Pemerintah tidak dipercaya rakyat. Apalagi, beras baru saja melewati masa panen dan bawang sedang memasuki panen raya di bulan Juni-Juli.

Tenri menilai, Bulog gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga stabilisator stok dan harga pangan. Bulog hanya terlihat sebagai lembaga yang dominan menjalankan fungsi komersial yakni pencari keuntungan atau pemburu rente.

"Ini menguatkan Bulog mempunyai jaring laba-laba distribusi sehingga pasokan tidak langsung sampai ke pasar. Inilah yang menyebabkan stok dimainkan sehingga harga pangan tinggi," kata Tenri dalam diskusi bertajuk Membedah Optimalisisa Peran Bulog Sebagai Stabilitas Pasok dan Harga Pangan di Jakarta, Selasa (7/6).

Dia juga menilai, Bulog dengan mudah menjalankan posisinya sebagai operator akan mendeskreditkan petani yang merupakan ujung tombak untuk mengoptimalkan fungsinya. Bulog membuat petani akan semakin termiskinkan secara sistemik.

"Keempat, dengan surplus kedua komoditas ini, Bulog lebih merasionalisasi kepentingan pelaku usaha pencari keuntungan. Harusnya Bulog dengan segala persiapan infrastruktur sudah siap menampung surplus dan mendistribusikan stok bawang yang ada di gudang 1,2 juta ton dan beras 2 juta ton sehingga petani tidak merugi dan konsumen tidak terbebani biaya pangan yang mahal," jelasnya.

Tenri mengusulkan agar Bulog bisa menginventarisir problematika yang ada pada mata rantai produksi-sirkulasi-konsumsi. Ketiga mata rantai ini tidak boleh disikapi secara parsial, sehingga Bulog mampu membuatkan skema pengadaan stok dan stabilisasi harga ketika terjadi kelangkaan dan surplus pangan.

"Sehingga ketika terjadi surplus namun harga melonjak, itu bermasalah pada rantai distribusi yang terlalu panjang dan Bulog tidak menjalankan sepenuhnya mata rantai produksi-sirkulasi-konsumsi," tuturnya.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, stok beras dan bawang merah selama bulan Ramadhan hingga Lebaran melebihi kebutuhan. Stok beras tersebut mencapai 7.417.487 ton sedangkan kebutuhan hanya 5.626.400 ton, sehingga diperoleh surplusnya sebesar 1.791.087 ton. Untuk bawang merah, stoknya 251.513 ton dan kebutuhan hanya 175.642 ton sehingga surplusnya mencapai 75.871 ton.

Ketua Umum KTNA Nasional, Winarno Tohir mengungkapkan tingginya harga pangan akibat tingginya biaya distribusi yang mencapai 21 persen. Menurutnya ini mencerminkan belum efisiennya sistem distribusi. Ini berdampak pada gagalnya capaian produksi yang melimpah dan berulangnya carut marut stok dan harga pada setiap tradisi Ramadhan.

"Sedangkan untuk impor agar hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa saja. Sebab petani menginginkan harga stabil dan petani pun perlu mendapat jaminan harga,” pungkas Winarno. [sam]

Jokowi Terima Memo dari KEIN, Apa Isinya?

Selasa, 07 Juni 2016

Jakarta -Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kedatangan jajaran pengurus Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN). KEIN menyerahkan memo terkait perkembangan kondisi perekonomian terkini dan perbandingan dengan negara lain.

Memo tersebut merupakan hasil kajian strategis yang sudah dilakukan bersama kalangan dunia usaha, pengamat ekonomi, dan pihak berkepentingan lainnya. Termasuk juga hasil kunjungan ke beberapa negara.

"Kita buat memo kepada presiden sebagai laporan yang tentunya presiden akan menggunakan laporan kami kepada menteri terkait," ungkap Ketua KEIN, Soetrisno Bachir di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/6/2016).

Ada tiga hal yang menjadi substansi kajian, pertama yaitu upaya mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% yang seharusnya bisa direalisasikan setidaknya dalam dua tahun mendatang. Kedua, terkait suku bunga dan ketiga, terkait persoalan pangan.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta menambahkan target 7% bukanlah sebuah hal yang mustahil, walaupun perekonomian global berada dalam perlambatan. Ia mengambil contoh Filipina dan India yang bisa tumbuh di atas 7%.

"Kita sampaikan ke presiden langkah strategis mencapai pertumbuhan ekonomi 7%. Karena ini hal yang achievable, melalui kebijakan yang countercyclical," terang Arif.

Rekomendasi yang diberikan di antaranya adalah menjaga investasi setiap tahun rata-rata tumbuh 10%, ekspor tumbuh 3%, impor tumbuh minimal 2%, dan konsumsi tetap terjaga pada level 5%.

"Agar investasi bisa bergerak 10%, mengintegrasikan pembangunan infrastruktur secara masif, dengan mengikuti kebutuhan industri. Apa terkait infrastruktur transportasi, pelabuhan, sampai energi," jelasnya.

Terkait dengan suku bunga, Anggota KEIN Hendri Saparini mengatakan hal tersebut sangat dibutuhkan. Dalam pembangunan yang progresif, dibutuhkan dana dengan biaya bunga yang rendah.

Hendri menjelaskan, pada awal tahun sudah ada penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Suku bunga deposito sudah mulai turun, namun tidak untuk bunga kredit.

"Kita usulkan ke presiden untuk memberlakukan dan mendorong adanya perubahan dalam sistem moneter ini. Jadi kita sudah menyampaikan langkah apa yang harus dilakukan. Tidak perlu merubah aturan perundangan dan tidak mengintervensi pasar. Ini akan didiskusikan lebih dalam, sehingga tujuan kebijakan ini bisa maksimal," papar Hendri.

Ketiga adalah persoalan pangan. Anggota KEIN Benny Pasaribu menyatakan bahwa persoalan harga pangan yang melonjak saat lebaran memang disebabkan oleh persoalan tata niaga atau mata rantai distribusi di dalam negeri.

"Jadi kenaikan harga bahan pokok saat Ramadan ini merupakan puncak gunung es yang awalnya sebenarnya ada tata niaga yang begitu panjang, dan karena sistem logistik yang jauh dari apa yang kita butuhkan," ujar Benny.

Solusi kepada pemerintah adalah pemotongan rantai distribusi pada tata niaga perdagangan.

"Cukup dengan BUMN, misalnya Bulog dengan koperasi. Di setiap pasar ada koperasi pedagang pasar, di perkantoran juga ada koperasi karyawan, ini semua bisa dijadikan untuk memperpendek," paparnya.

Kemudian petani tidak boleh lagi bersentuhan dengan rentenir. Caranya adalah mendekatkan akses jasa keuangan dan memperbanyak penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).

"KUR untuk petani harus digelontorkan sehingga tak tergantung rentenir. Setiap petaninya harus anggota, dan kita minta badan hukumnya tidak PT tapi koperasi. Sehingga data tunggal bisa didapat dari satu sistem aplikasi, itu langsung ke sistem data yang dikelola BPS, tapi sistemnya disiapkan Telkom. Jadi tidak penanganan sepotong-sepotong lagi," tukasnya.
(mkl/feb)

http://finance.detik.com/read/2016/06/07/151528/3227399/4/jokowi-terima-memo-dari-kein-apa-isinya

Rabu, 01 Juni 2016

MENGGENAPI JANJI JOKOWI BERANTAS KARTEL IMPOR PANGAN

SELASA, 31 MEI 2016


SEMUA pihak tentu kecewa dengan publikasi Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyebut pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2015 hanya 4,92%. Nilai ini turun dari kuartal IV 2015 sebesar 5,02 % dan juga di bawah eskpetasi pemerintah yang menyebut pertumbuhan ekonomi 2016 akan di atas 5%. Karena terjadi penurunan di dua kuartal yang berurutan, secara teknis dapat dikatakan kita saat ini sedang berada dalam tahap awal economic slowdown.

Presiden Jokowi memandang bahwa solusi untuk memperbaiki kondisi ini terutama melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Pandangan yang tentu dapat dimaklumi karena Presiden memang belasan tahun menjabat selaku pemegang kuasa anggaran sebagai Walikota maupun Gubernur. Kebijakan penggunaan anggaran yang hemat dan tepat guna memang dapat membantu, tapi perlu diketahui sebenarnya belanja negara hanya menyumbang kurang dari 20% output perekonomian Indonesia.

Artinya sebanyak 80% output perekonomian kita disumbangkan sektor bisnis. Lalu apa kabar sektor bisnis Indonesia? Di dunia bisnis, berbagai rencana investasi asing ke dalam negeri yang bernilai besar ternyata belum terealisasi komitmennya. Hal ini menandakan, bahwa sebenarnya investor asing masih dalam posisi wait and see melihat kondisi perekonomian Indonesia. Bagi investor, tentu pertumbuhan ekonomi India dan Filipina yang di atas 7% jauh lebih menarik daripada Indonesia yang masih dikisaran 4-5%. Bila pertumbuhan ekonomi tak kunjung membaik dalam kuartal ke II 2016 nanti, trend ini dapat membalikkan persepsi dunia internasional terhadap Indonesia yang sudah sempat positif menjadi negatif. Perlu diketahui, trend positif ini terjadi terutama semenjak dilakukan reshuffle Kabinet sekitar delapan bulan lalu, saat Presiden memasukkan figur yang kemudian sukses membawa optimisme baru bagi investor asing (terutama di sektor pariwisata dan maritim), seperti Rizal Ramli.

Paket Kebijakan Deregulasi Tidak Nendang
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, berulang kali menyatakan resep yang manjur untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia adalah dengan melakukan deregulasi, deregulasi, dan deregulasi. Rumus yang -mau tidak mau- dipercaya juga oleh Presiden karena Darmin terus menerus merapal resep tersebut. Padahal menurut kami, fokus perhatian pemerintah pada deregulasi tidak akan terlalu berguna untuk memacu pertumbuhan ekonomi dalam waktu singkat. Hal ini karena situasi Indonesia sekarang jauh berbeda dari tahun 1970-an, yang ketika saat itu dilakukan deregulasi dampaknya mampu menurunkan tarif dari 70% ke 15%. Signifikannya dampak deregulasi pada tahun 1970-an, pada turunnya tarif secara drastis, berhasil menyebabkan dunia bisnis menjadi bergairah. Sedangkan Indonesia saat ini situasinya tarif sudah berada di kisaran 0-3%, sangat semipt ruang yang tersedia untuk penurunan tarif, maka deregulasi menjadi kurang signifikansinya.

Komponen lain dalam deregulasi, yaitu pembenahan perizinan juga dampaknya baru akan terasa pada periode menengah (3-5 tahun). Itupun dampak kemudahannya hanya terbatas bagi para pelaku bisnis skala kecil dan skala menengah saja. Sedangkan dampaknya bagi para pebisnis besar tidak akan terlalu besar (memang mereka seolah selalu memprotes masalah perizinan ini), karena dalam prakteknya para pebisnis besar ini sudah dapat dengan mudah membayar jasa biro hukum profesional untuk mengurus masalah perizinan mereka (hal yang sulit dilakukan oleh pelaku bisnis skala yang lebih kecil).

Usulan dari Rizal Ramli agar seluruh BUMN (kecuali sektor energi) melakukan revaluasi aset, yang seharusmya dapat menyelamatkan pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh Tim Ekonomi Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perekonomian dan jajarannya seperti Kementerian BUMN. Karena tidak jelasnya arahan dari Tim Ekonomi, akhirnya hanya sebagian saja BUMN yang melakukan revaluasi asetnya, itupun ternyata sudah berhasil menciptakan tambahan modal sebesar Rp 800 triliun. Menurut perhitungan Rizal Ramli, bila seluruh BUMN melakukan revaluasi asetnya, akan terjadi peningkatan modal hingga sebesar Rp 2500 triliun. Dengan peningkatan modal tersebut, BUMN-BUMN kita dapat melakukan pinjaman setidaknya sebesar Rp 1300 triliun (US$ 10 miliar) yang dapat digunakan untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur di luar Jawa yang terancam mangkrak karena kurangnya dana (seperti proyek kereta Sumatera dan Sulawesi). Aktivitas revaluasi ini juga akan memberikan banyak pekerjaan bagi perusahaan-perusahaan evaluator, notaris, hingga bank-bank investasi asing, yang mereka semua akan mengabarkan situasi ekonomi Indonesia yang sedang bergeliat membaik kepada investor asing. Sayang sekali, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh, sebenarnya hasil dari revaluasi asset ini sudah dapat kita saksikan di kuartal ke II 2016.  

Pembangunan insfrastruktur yang tampak menjadi program andalan Pemerintah, yang secara jor-joran sedang dilakukan di mana-mana menggunakan anggaran negara (yang terbatas), baru akan dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat sekitar 3 tahunan lagi. Tidak mungkin kita biarkan rakyat Indonesia menunggu hingga selama itu tanpa ada sedikitpun perbaikan-perbaikan dalam kehidupan mereka di jangka pendek. Jika dibiarkan dapat saja terjadi backfire. Karena sangat mungkin situasi ekonomi rakyat yang terus memburuk ini dimanfaatkan oleh para oposan dan petualang politik untuk semakin menajamkan konflik, sehingga krisis ekonomi bukan tidak mungkin dapat berkembang menjadi krisis sosial. Untuk mencegahnya skenario terburuk tersebut terjadi haruslah  dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama yang berada di level 80% berpendapatan menengah ke bawah.  Jadi harus ada terobosan di jangka pendek, karena ternyata 12 paket yang diluncurkan Tim Ekonomi Pemerintah tidak nendang! Alias gagal memperbaiki perekonomian sesuai target. Maka wajar bila akhirnya Presiden Jokowi dikabarkan kesal, dan berencana melakukan evaluasi untuk ke -12 paket kebijakan ini. Ya, logika sederhana saja, bila terdapat seorang pesakitan yang tak kunjung sembuh setelah 12 kali diberikan resep obat berbeda, apa gerangan artinya??

Kebijakan Nendang: Berantas Kartel Impor Pangan
Lalu, apakah kebijakan yang nendang? Yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat secepatntya? Jawabannya adalah dengan memberantas kartel impor pangan yang selama ini bergelayut dan menghisap daya beli rakyat Indonesia. Dengan mengubah sistem kuota ke sistem tarif, kartel impor pangan dapat diberantas. Pendapatan besar yang selama ini diterima oleh 8 taipan besar yang menguasai seluruh impor komoditi pangan akan berkurang, namun di sisi lain pendapatan rakyat banyak akan meningkat karena harga-harga pangan jatuh. Rakyat Indonesia akan memiliki uang lebih, sehingga daya beli meningkat yang akan akibatkan konsumsi rakyat pun meningkat. Meningkatnya konsumsi pada akhirnya akan menggerakkan kembali perekonomian secara keseluruhan.

Sebagai gambaran betapa besarnya pendapatan yang diperoleh kartel ini: Menteri Perdagangan Tom Lembong, dalam kesempatan tertutup, pernah bersaksi bahwa keuntungan yang diperoleh oleh para kartel impor suatu komoditi seperti bawang putih saja, dapat mencapai US$ 500 juta (Rp 6 triliun)! Sulit dibayangkan besar keuntungaqn para kartel di komoditi impor lainnya seperti misalnya daging sapi yang selisih harganya dengan harga di luar negeri mencapai 100%! Dengan melihat besarnya keuntungan, nilai sebesar Rp 1 triliun yang disisihkan oleh para kartel ini untuk menyuap birokrasi pemerintahan terkait, dari level terendah hingga pejabat eselon 1, untuk mengamankan system kuota impor ini terlihat kecil saja. Perlu diketahui, system ini sudah berlangsung bertahun-tahun sejak era Pemerintahan SBY, dan tak pernah luput dikritisi oleh Rizal Ramli.

Namun hambatan terbesar kita untuk memberantas kartel impor ternyata malah datang dari Menko Perekonomian Darmin- orang yang seharusnya kita harapkan untuk dapat memimpin pemberantasannya. Maklum saja, Menko Perekonomian kita ini berasal dari kalangan birokrat yang tidak mengerti bisnis, walaupun agak mengerti soal makro, tapi jelas bahwa sebenarnya ia tidak mengerti permasalahan. Seharusnya seorang Menteri Perekonomian mengerti cara untuk menciptakan keuntungan (create profit), menciptakan nilai (create value) yang dapat menggairahkan perekonomian rakyat. Namun yang paling penting, ternyata dia juga tidak memiliki keberanian untuk melakukan terobosan. Ya, seperti layaknya birokrat umumnya yang cenderung bermain aman demi menjaga posisi jabatannya. Jelas, Darmin adalah tipe orang yang menjabat untuk berkuasa saja, bukan untuk mengubah sesuatu system. Jadi seandainya pun Darmin mengerti permasalahan, belum tentu ia berani membongkar permasalahan tersebut ��"seperti yang diinginkan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya di Univ. Muhamaddiyah Jogjakarta (23/5/2016) mengenai keinginan Presiden agar para menterinya dapat menurunkan harga daging sapi hingga di bawah Rp 80 ribu sebelum lebaran 2016.  

Seharusnya, bila Pemerintahan berani melakukan kebijakan berantas kartel impor pangan, ini akan menjadi kebijakan yang nendang. Kebijakan yang dapat menggairahkan perekonomian rakyat, bahkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 6% di tahun 2016. Dan yang paling penting, sedikit kilas balik, ini akan menjadi penggenapan dari berbagai pidato Jokowi sejak 2014 hingga 2015 yang menjanjikan kepada rakyat untuk memberantas mafia (kartel) impor pangan.

OLEH: FAISAL MAHRAWA
*Penulis adalah Kaba Litbang RMOL

http://politik.rmol.co/read/2016/05/31/248350/Menggenapi-Janji-Jokowi-Berantas-Kartel-Impor-Pangan-

Jumat, 20 Mei 2016

Bulog Belum Bisa Serap Gabah Milik Petani

Kamis, 19 Mei 2016

MAJALENGKA,(PR).- Bulog Cirebon belum bisa menyerap gabah milik petani dengan alasan harga masih di atas Harga Pokok Penjualan (HPP) pemerintah yang hanya Rp 3.700 per kg untuk Gabah Kering Simpan (GKS), sementara di tingkat petani sudah di atas Rp 4.000 per kg.

Sementara itu sejumlah petani di Majalengka kini mengeluhkan rendahnya harga gabah yang hanya Rp 400.000 hingga Rp 440.000 per kuintal, kondisi tersebut sudah cukup lama setelah panen MT satu selesai. Malah kini petani pun sulit menjual gabah karena bandar yang biasa berkeliling justru banyak yang menolak membeli gabah petani.

Pulung, dari Bulog Cirebon mengatakan pihak Bulog akan menyerap gabah petani bilamana harga di bawah HPP atau sama dengan HPP, serta kadar air 14 persen dengan kadar hampa 3 persen. Namun demikian, menurutnya, petugas dari Bulog akan terus melakukan survei ke lapangan untuk melakukan pengecekan harga di tingkat petani guna memastikan harga gabah di pasaran.

“Kami juga sudah melakukan kerja sama dengan Babinsa dan Kepolisian untuk memantau harga gabah di pasaran di masing-masing daerah, bila harga gabah di tingkat petani jatuh dibawah HPP maka Bulog akan langsung melakukan penyerapan gabah petani,” ungkap Pulung.

Menurutnya, harga gabah kering simpan berdasarkan HPP senilai Rp 3.700 per kg, sehingga bila harga diatas itu maka Bulog tidak mungkin melakukan pembelian gabah petani.

Sementara itu sejumlah petani di Kecamatan Jatitujuh, Majalengka dan Cigasong mengeluhkan anjloknya harga gabah, bahkan menurut mereka cukongpun belakangan ini seolah enggan membeli gabah petani.

Cokong yang biasanya berkeliaran mencari gabah ke petani kini justru jarang terlihat, kalaupun ada yang datang mereka menawarkan harga gabah sangat murah. Cukong baisanya menawarkan gabah barter dengan pupuk disaat petani butuh pupuk untuk tanam ke dua kini enggan melakukan barter gabah.

“Teu payu ayeuna mah gabah teh, nyao pedah goreng meureun parena (Sekarang gabah tidak laku entah mungkin karena gabahnya jelek akibat hama),” ungkap Rohim petani asal Desa Panyingkiran, Kecamatan Jatitujuh.

Diakui Rohim, kadar hampa hasil panen pertama cukup tinggi sehingga banyak cukong yang menolak penjualan gabah petani. 1 kuintal gabah yang biasanya setelah digiling diperoleh beras hingga 60 kg, kini paling hanya diperoleh 45 kg hingga 50 kg.

Tak heran bila banyak cukong yang menolak gabah petani untuk musim tanam pertama, kalaupun bersedia membeli harganya sangat jatuh.

Hal yang sama diungkapkan Sudinta bandar gabah di Desa Tarikolot, Kecamatan Majalengka. Dia emngaku emmbeli gabah dari petani paling tinggi hanya Rp 440.000 per kuintal. Alasannya harga pasaran selama ini masih sangat rendah.

Para petani dan bandar gabah memprediksi harga gabah baru akan naik lagi usai panen kedua, yang kondisi gabahnya relatif bagus dibanding hasil panen pertama. Selain itu panen kedua mendekati musim kemarau yang baisanya hargapun naik. “Panen kadua biasanya rada mahal mah (panen kedua biasanya agak mahal),” ungkap Sudinta.***

http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/05/19/bulog-belum-bisa-serap-gabah-milik-petani-369506

Jumat, 13 Mei 2016

Komisi IV Peringatkan Bulog Hati-hati Serap Gabah

Kamis, 12 Mei 2016

Serapan gabah yang asal-asalan akan menghasilkan beras yang kurang berkualitas.

Suara.com - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron meminta agar Bulog tidak sembarangan dalam melakukan serapan gabah.

"Saya adalah orang yang sangat menentang Bulog asal menyerap gabah. Saya minta Bulog hati-hati terkait serapan gabah," kata Herman Khaeron saat kunjungan kerja di Sorong Provinsi Papua Barat, Kamis (12/4/2016).

Dia mengatakan, serapan gabah yang asal-asalan akan menghasilkan beras yang kurang berkualitas, dan dipastikan Bulog akan menjadi cacian siapa pun.

VIDEO: Komisi IV Harapkan Bulog Lebih Inovatif
Karena itu, menurut dia, Bulog harus menyerap gabah yang berkualitas sehingga kualitas beras yang disediakan oleh Bulog terjaga dengan baik.

"Syukur di Papua dan Papua Barat hari ini masih mendapatkan pasokan beras dari Vietnam yang berkualitas karena kadar air dan kadar pecahnya bagus," ujar dia lagi.

Tetapi nanti kalau pengadaannya jelek, gabah asal serap, gabah kadar airnya di atas 20 persen, kemudian kadar pecahnya di atas 14 persen, apa jadinya nanti beras untuk masyarakat sejahtera (rastra) bagi masyarakat Papua dan Papua Barat.

Herman mengingatkan, Bulog ditetapkan oleh DPR sebagai BUMN mitra kerja Komisi IV yang mempunyai fungsi menjaga ketahanan pangan nasional.

Menurutnya, Bulog dibentuk bukan untuk menyalurkan rastra semata, tetapi Bulog adalah lembaga negara yang menjaga ketahanan pangan nasional minimal 10 persen.

Selain menjaga ketahanan pangan, lanjut dia, Bulog juga sebagai lembaga negara yang mempunyai fungsi untuk menjaga stabilitas harga.

Ia berharap pula kepada Bulog agar menjaga distribusi, kualitas dan kuantitas dalam menyalurkan beras kepada masyarakat di Papua dan Papua Barat. (Antara)

http://www.suara.com/bisnis/2016/05/12/073517/komisi-iv-peringatkan-bulog-hati-hati-serap-gabah