Jumat, 26 Agustus 2016

Indonesia Kembangkan Pertanian Berkelanjutan

Jumat,26 Agustus 2016

INDRAMAYU, KOMPAS — Di tengah dunia menghadapi tantangan soal pangan, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan yang mengedepankan sistem tanam organik, diversifikasi tanaman, dan efisiensi dalam biaya produksi. Selain lahan persawahan masih luas, berkembangnya petani yang menerapkan sistem tanam organik menjadi modal pertanian berkelanjutan.

"Dibandingkan dengan negara lain di Asia, Indonesia memiliki lahan persawahan luas dan petani cukup banyak. Jadi, pertanian berkelanjutan bisa dikembangkan," ujar Jan Willem Ketelaar dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Regional Asia untuk Manajemen Hama Terpadu, Kamis (25/8), di sela-sela workshop Program Save and Grow di Desa Tulungagung, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu.

Dalam kegiatan yang diinisiasi Yayasan Farmer's Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD) Indonesia dan FAO tersebut, berbagai hasil sekolah lapang petani di Indramayu, seperti mina padi, beras organik, pupuk organik, dan pakan ikan buatan petani, dipamerkan. Kelompok tani dari Kertasemaya dan Anjatan, Kabupaten Indramayu, juga mempresentasikan hasil sekolah lapangnya selama beberapa bulan.

Menurut Jan Willem, petani yang mengembangkan pertanian berkelanjutan telah menempuh jalur tepat menuju ketahanan pangan global yang selama ini bergantung pada bahan kimia. Mina padi yang ditempuh petani, misalnya, merupakan bentuk kecerdasan memanfaatkan lahan persawahan sebagai tempat budidaya ikan. "Dengan begini, budidaya dapat dilakukan tanpa menebang hutan," ujarnya.

Meskipun konsumsi tanaman organik di negara di Asia masih di bawah 5 persen dari populasi penduduk, menurut Jan Willem, pertanian organik semakin diminati. "Supermarket mencari beras organik. Masyarakat sadar, hasil tanaman organik lebih sehat," katanya.

Dari paparan beberapa kelompok tani, terbukti biaya menanam secara organik lebih murah ketimbang menanam secara konvensional. Kelompok Tani Lestari Agung di Desa Tulungagung, misalnya, hanya membutuhkan biaya hampir Rp 4 juta untuk lahan 700 bata (9.800 meter persegi). Jika menerapkan cara konvensional, menelan biaya hampir dua kali lipat. "Pupuk dan obatnya kami buat sendiri. Jadi, lebih hemat," ujar Fadoli, bendahara kelompok.

Meskipun demikian, sejumlah petani yang mengembangkan cara tanam organik mengeluhkan sulitnya memasarkan hasil. Apalagi, harga beras organik jauh lebih mahal dibandingkan dengan beras biasa, yakni lebih dari Rp 12.000 per kilogram di tingkat petani.

Tri Wahono, pengurus Kelompok Tani Setia Kawan di Kota Pasuruan, Jawa Timur, mengatakan, dukungan pemerintah daerah dapat meningkatkan semangat petani untuk menerapkan pertanian berkelanjutan.

(IKI)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160826kompas/#/22/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar