Rabu, 22 Juni 2016

Kebijakan Pangan Realistis

Rabu, 22 Juni 2016

Audit BPK: Data Produksi Padi Tidak Akuntabel
Menteri Perdagangan  Thomas Trikasih Lembong (kiri) mengunjungi harian Kompas di Jakarta, Selasa (21/6). Dalam kunjungan ini, Thomas diterima Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.

Menteri Perdagangan  Thomas Trikasih Lembong (kiri) mengunjungi harian Kompas di Jakarta, Selasa (21/6). Dalam kunjungan ini, Thomas diterima Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.
KOMPAS/PRIYOMBODO

JAKARTA, KOMPAS — Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menegaskan, kebijakan pangan nasional kini lebih realistis dari yang sebelumnya sistem kuota. Yang terpenting bagaimana membangun kapasitas produksi pangan nasional agar efisien dan berdaya saing.

Hal itu diungkapkan Menteri Perdagangan, Selasa (21/6), di Jakarta saat berkunjung ke Kompas. "Membangun kapasitas produksi harus mulai dari dalam diri. Membangun kapasitas berhubungan dengan investasi," ujarnya.

Investasi tidak selalu dalam bentuk modal. Pedagang kaki lima berinvestasi dengan keringat. Ibu rumah tangga berinvestasi dengan waktu, yang lain berinvestasi dengan modal.

Thomas mengatakan, berbagai kebijakan proteksionis hanya akan membelit diri sendiri. "Kita tidak bisa impor bahan baku, barang modal, dan lain-lain sehingga industri tidak berkembang," katanya.

Masalah utama kita sekarang ada di sisi pasokan (supply side). Dengan segala bentuk larangan membuat pasokan tidak berkembang. Kebijakan larangan juga menciptakan berbagai bentuk penyimpangan.

Thomas mencontohkan, naiknya harga daging sapi tidak lepas dari kebijakan kuota impor sapi bakalan dan daging sapi pertengahan tahun sebelumnya. Juga adanya larangan swasta mengimpor daging sapi untuk pasar umum.

Dengan sistem kuota, izin impor daging sapi diberikan kepada tiga perusahaan BUMN, seperti Perum Bulog, PT Berdikari, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Dua perusahaan BUMN, yaitu Perum Bulog dan PT PPI, tidak bisa menjalankan impor dengan baik. Daging impor busuk. Hanya tinggal PT Berdikari. "Kalau hanya satu perusahaan, berpotensi terjadi penyimpangan," katanya.

Akhirnya diputuskan impor sapi dan daging sapi dibuka untuk umum. Swasta boleh mengimpor. Tidak ada lagi pembatasan kuota.

Thomas mengakui, impor akan menggerus produksi dalam negeri karena itu impor lebih diarahkan di luar barang-barang konsumtif.

Data tidak akuntabel

Dalam diskusi bertema "Kebijakan Pangan Nasional: Pengadaan Dalam Negeri Vs Impor" yang diselenggarakan Badan Pemeriksa Keuangan, Thomas mengungkapkan keyakinannya bahwa Indonesia akan mampu mewujudkan swasembada pangan seperti beras.

Dari aspek internal, sepanjang hidupnya dia belum pernah melihat ada kebijakan internal untuk mendukung pencapaian swasembada pangan seperti yang dilakukan oleh pemerintahan sekarang yang sifatnya mendasar.

Kebijakan itu di antaranya membangun 60 bendung/waduk di seluruh Indonesia. Belum lagi pembangunan jaringan irigasi dan sarana produksi pertanian. Anggaran pertanian juga meningkat besar.

Anggota IV BPK, Rizal Djalil, mengatakan, dari sisi politik dan politik anggaran, kebijakan pembangunan pertanian/pangan Indonesia sudah selesai. Apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat kampanye sudah dilakukan.

Anggaran Kementerian Pertanian naik 129 persen dari Rp 14 triliun tahun 2014 menjadi Rp 32,7 triliun. Itu di luar anggaran subsidi pupuk Rp 39 triliun.

Secara khusus BPK menyoroti soal data produksi padi yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Data produksi padi merupakan hasil perkalian luas panen dan produktivitas, yang merupakan hasil perhitungan Badan Pusat Statistik dengan Kementerian Pertanian beserta dinas pertanian di daerah.

"Ada conflict of interest dalam diri petugas KCD (kantor cabang dinas) karena di satu sisi mereka diberi target produksi, pada saat yang sama mereka menghitung luas panen," katanya.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam diskusi menyayangkan sikap yang percaya data kemiskinan dan inflasi BPS, tetapi tidak percaya data kenaikan produksi padi BPS. (MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160622kompas/#/18/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar