Senin, 26 Mei 2014

Ketahanan Pangan Indonesia Jauh di Bawah Singapura

Senin, 26 Mei 2014

Medan, (Analisa). Indonesia menduduki peringkat ketahanan pangan jauh di belakang Singapura dan negara-negara regional Asia Tenggara lainnya di tahun 2014. Peringkat ini disusun oleh The Economist berdasarkan tiga indikator antara lain: daya beli konsumen, ketersediaan makanan, dan kualitas dan keamanan makanan. Pihaknya mencatat sejumlah kelemahan Indonesia terutama dalam hal anggaran riset pertanian, korupsi, dan pendapatan per kapita.

Gustami Harahap, Dosen Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis Universitas Medan Area (UMA) mengatakan fakta ini miris mengingat Indonesia merupakan negara agraris, yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Meskipun demikian, ia tidak menipis kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis pangan sebab ketersediaan makanan di Tanah Air dari waktu ke waktu merosot. “Pertumbuhan penduduk kita sangat pesat, otomatis yang akan diberi makan pun melonjak, orang-orang berlomba ke kota, kemiskinan meningkat, tingkat kesuburan dan jumlah lahan kian merosot. Ini problem kemanusian terbesar di Indonesia dan dunia,” tandasnya, di sela-sela seminar API (Asosiasi Planter Indonesia), Sabtu (24/5)

Ia meyakini penyebab rendahnya peringkat Indonesia dipicu dua hal yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut berhubungan dengan para petani seperti konversi lahan, mobilisasi pekerjaan para petani, dan tanaman semusim. “Pemerintah kita tidak tegas untuk menetapkan mana lahan khusus untuk pertanian, kesadaran masyarakat pun kurang, dan tekanan hidup juga ikut memengaruhi, sehingga kondisi social ekonomi pertanian masyarakat tani berubah drastis, yang dominan salah di sini pemerintah, yang hanya bisa duduk manis kurang berpikir dan bertindak,” tegasnya.

Sementara untuk faktor eksternal, ia menguraikan, hal tersebut dipengaruhi pasar bebas, revitalisasi pertanian, dan pemanfaatan riset dan teknologi. Terkait pasar bebas, ia menjelaskan, meski itu berguna dalam meningkatkan distribusi pangan. Namun, bahayanya para petani takluk pada tekanan pasar internasional. Di samping itu, Dosen yang aktif menulis di kolom opini di berbagai media ini pun mengemukakan, pasar bebas dan revitalisasi cenderung didominasi kepentingan pihak tertentu yang paling utama yakni perusahaan besar dan pejabat-pejabat yang hanya memikirkan kepentingannya pribadi.

“Kasus impor yang menguak nama-nama politisi di negeri ini sudah jelas membuktikan di mana sumber salahnya. Tata niaga pemerintahan juga cenderung menjadi ‘rentenir’. Apa fungsi Bulog? Seharusnya mereka berfungsi menjadi lembaga penyangga harga. Sekarang, mereka menjadi pendistribusi beras miskin. Saya bingung, apa mereka sudah ganti peran? tanyanya.

Terkait dengan pemanfaatan riset dan teknologi, Konsultan API ini juga menyinggung peran Lembaga Penelitian Riset dan Teknologi (Litbang). Ketersediaan alat-alat laborotorium pendukung di berbagai univerisitas di Indonesia, katanya, jauh dari kategori memadai. Selain itu, fungsi kementerian dan dinas-dinas pertanian, perkebunan, imbuhnya, belum berdampak signifikan. “Pemerintah Indonesia suka berwacana, tapi implementasinya tidak seheboh wacana.”

Hilirisasi Pertanian

Harahap menekankan krusialnya Tanah Air untuk meningkatkan hilirisasi pertanian. Hal ini pun menurutnya tidak terlepas dari dukungan pemerintah dalam memudahkan para investor untuk terpikat mendirikan pabrik hilirisasi pertanian. “Bila pemerintah kita berpikir untuk meningkatkan pendapatan dari sektor riil, seharusnya mereka memudahkan seluruh regulasi, sehingga dunia usaha berkembang. Kalau mereka hanya berpikir berapa yang mereka dapat sektor non rill seperti pajak. Pengangguran dan kemiskinan terus meningkat,” tuturnya.

Pengamat ekonomi Kasyful Mahalli juga memiliki pandangan yang sama dengan Gustami Harahap. Salah satu yang paling ia tandaskan antara lain: perlunya pemerintah memiliki masterplan dan memikirkan masa depan para petani dan lulusan pertanian. “Kemana para lulusan IPB, kebanyakan mereka bekerja di sektor perbankan, pasar modal, dan lainnya. Ini terjadi karena pemerintah tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang memungkinkan bagi mereka. Akhirnya orang gengsi bertani,” terangnya. (dyt)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar