Kamis, 08 Mei 2014

Abaikan Pertanian, RI Bakal Sulit Bersaing di Sektor Lain

Kamis, 8 Mei 2014

Kebijakan Industri | Ironis, Kenaikan Impor Pangan Terjadi saat Anggaran Pertanian Naik

JAKARTA – Indonesia dinilai bakal sulit bersaing pada beragam sektor industri lain apabila pembangunan sektor pertanian yang menjadi basis kekuatan bangsa ini tidak diprioritaskan. Bahkan, sektor pertanian dan petani secara sistematis dilemahkan dan dimatikan sendiri oleh kejahatan kebijakan pemerintah.

Meskipun Indonesia dikenal sebagai gudang mineral dan barang tambang (minerba), sektor pertambangan juga tidak berkembang signifikan karena mayoritas bisnis minerba dikuasai asing.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mochammad Maksum Machfoedz, mengatakan walaupun Indonesia dikenal sebagai negara agraris, peran petani malah terpinggirkan. Hal itu disebabkan kebijakan politik ekonomi pangan nasional yang disetir oleh para pemburu rente.

“Coba kita lihat, kalau gagal panen sedikit saja, pemerintah buru-buru teriak impor, seolah-olah justru mensyukuri terjadinya gagal panen. Itu cerminan ulah para pemburu rente,” ungkap dia saat dihubungi, Rabu (7/5).

Seperti diketahui, dalam 20 tahun terakhir, pemerintah telah mengadopsi kebijakan pangan nasional yang sangat propasar bebas. Kebijakan tersebut berada di bawah arahan dan dikte dua lembaga keuangan internasional, yaitu Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

Beberapa bentuk kebijakan itu antara lain penghapusan dan pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditas pangan yang merupakan bahan pokok (seperti beras dan terigu), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan. Akibatnya, kenaikan harga berbagai bahan pangan dalam kenyataannya relatif tidak membawa keuntungan bagi petani.

Sebelumnya dikabarkan, pemerintah secara sistematis dinilai telah memiskinkan petani, yang selama ini merupakan tulang punggung pasokan pangan nasional. Sejumlah kebijakan pemerintah yang meminggirkan petani nasional antara lain pembukaan keran impor pangan, perburuan rente (rent seeking) pada tata niaga pangan impor, dan konversi atau perampasan lahan subur untuk pengembang properti.

Akibatnya, saat ini, di puncak piramida, bercokol pelaku agribisnis, produsen benih dan input pertanian, pertanian korporasi, pertanian kapitalistik, dan spekulan pangan, yang jumlahnya kurang dari 500.000 orang. Mereka juga mendapatkan akses dan fasilitas mewah dari pemerintah.

Adapun dasar piramida tersusun atas 26,13 juta keluarga petani kecil beranggotakan 91 juta jiwa. Puncak piramida tersebut menekan ke bawah dan menyebabkan 5,1 juta keluarga petani kecil kehilangan lahan mereka dalam 10 tahun terakhir ini dan menjadi penyusun masyarakat miskin kota. Tidak mengherankan jika kini kemiskinan justru bertambah.

Kalah Bersaing

Menurut Maksum, sebagai negara agraris, sektor pertanian seharusnya menjadi landasan dari segala industri yang hendak dibangun, bukannya malah ditinggalkan dan dibiarkan dikelola asing.

Ia mengemukakan dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa, apabila kemandirian pangan gagal diwujudkan, akan membuat martabat nasional bisa dengan seenaknya ditekan asing. “Kebergantungan pada impor pangan menandakan kita kalah bersaing,” papar Maksum.

Ironisnya, kenaikan impor pangan nasional dalam beberapa tahun terakhir hingga mencapai 12 miliar dollar AS justru dibarengi dengan kenaikan anggaran pertanian dalam APBN. Total anggaran sektor pertanian pada 2004 sebesar 10,1 triliun rupiah. Anggaran itu naik menjadi 12,6 triliun rupiah pada 2005, mencapai 49,8 triliun rupiah pada 2009, dan sekitar 71,9 triliun rupiah pada 2013, atau terjadi peningkatan 611 persen dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun.

Maksum menegaskan sudah saatnya pemerintah berpihak pada sektor pertanian. Sebab, jika pemerintahan memfokuskan pembangunan pada sektor pertanian, akan menimbulkan efek ganda yang kuat untuk menyejahterakan petani, memberantas kemiskinan, mengurangi pengangguran, hingga meningkatkan daya beli masyarakat.

“Indonesia memiliki kesempatan menjadi negara maju melalui pertanian karena dukungan alam, dukungan budaya, dan sumber daya alam,” jelas Maksum. YK/SB/WP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar