Kamis, 03 April 2014

Reformasi Struktural Belum Dinikmati Petani

Kamis, 3 April 2014

JAKARTA – Reformasi struktural perekonomian yang dijalankan pemerintah dinilai tidak menyentuh kelompok petani sebagai mayoritas penduduk Indonesia atau hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat.

Akibatnya, kesenjangan pendapatan semakin melebar, begitu pula kesenjangan antarwilayah di Tanah Air.

Kondisi itu akan semakin mengkhawatirkan karena karakter wilayah, lingkungan, dan sosial masyarakat Indonesia berbeda-beda.
Pakar ekonomi, Emil Salim, mengungkapkan hal itu ketika menjadi pembicara dalam diskusi "Reformasi Struktural untuk Pertumbuhan Berkelanjutan" di Jakarta, Rabu (2/4).

"Jadi, bagaimana mau mereformasi struktural kalau kelompok terbesar tidak menikmatinya," papar dia.

Hal itu, antara lain, tecermin dari penurunan nilai tukar petani (NTP) yang merupakan kelompok masyarakat terbesar Indonesia di perdesaan, yakni dari 104,53 pada Maret 2013 menjadi 101,86 pada Maret 2014.

Emil juga mengungkapkan selain disparitas pendapatan akan melebar, bakal terjadi pula perbedaan pertumbuhan antara Indonesia barat dan timur. "Ini terjadi karena sebanyak 80 persen penduduk Indonesia berada di Jawa, Sumatra, dan Bali," jelas dia.

Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI dan Badan Pusat Statistik, pada 2013, indeks Gini Indonesia diperkirakan 0,41–0,42, sementara di awal pemerintahan reformasi pada 2004, indeks Gini masih 0,32.

Kenaikan indeks Gini mengindikasikan kesenjangan pendapatan yang makin melebar.

Emil menambahkan tidak semua kawasan bisa menerapkan konsep pembangunan seperti di Pulau Jawa dan Sumatra karena perbedaan karakter lingkungan dan sosial. Artinya, setiap daerah memiliki keunggulan berbeda yang bisa dikembangkan untuk memajukan ekonomi setempat.

Dalam konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan, menurut dia, pemerintah sebaiknya tidak hanya mengutamakan pertumbuhan. Pembangunan dari sisi sosial dan lingkungan merupakan target yang harus dicapai pemerintah.

"Jangan hanya mementingkan single track economic growth, berpaku pada gross domestic product (GDP) saja. Pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan, ketiganya itu yang mestinya bisa dicapai. Jangan sampai pertumbuhan merusak alam," papar Emil.

Sebelumnya, Bank Pembangunan Asia (ADB) mengusulkan agar Indonesia melanjutkan reformasi struktural guna mengatasi defisit transaksi berjalan dengan memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan mengalihkan pos dana tersebut untuk meningkatkan produktivitas.

Di tempat yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo, menjelaskan reformasi struktural tidak boleh ditinggalkan pemerintah dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi berkualitas dan berkesinambungan.

"Paling sulit adalah mengelola subsidi energi kita, baik BBM (bahan bakar minyak) maupun listrik dengan lebih baik. Selain itu, tentunya perbaikan infrastruktur dan sistem pangan serta perbaikan daya saing ekonomi kita," ujar Agus.

Dia menambahkan pekerjaan rumah lain yang perlu diperhatikan yakni terkait pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Dia menyoroti perlu adanya komitmen dari semua pihak, baik para eksportir dengan melepas dana valasnya maupun regulator dengan aturan yang lebih baik.

BI, dalam "Laporan Perekonomian Indonesia 2013", menyebutkan beberapa tantangan struktural yang menyelimuti ekonomi domestik berkaitan dengan permasalahan struktur pembiayaan, struktur produksi domestik, termasuk ketahanan pangan dan energi, serta dampaknya terhadap pengelolaan subsidi di APBN dan ketersediaan modal dasar pembangunan.

Berpihak pada Orang Kaya

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony A Prasetiantono, mengatakan peningkatan pertumbuhan ekonomi justru memperlihatkan ketidakmerataan karena ekonomi yang tumbuh hanya berpihak pada orang-orang kaya.

"Sebetulnya kalau kita belajar teori pembangunan semua negara akan mengalami hal yang sama, jadi begitu pertumbuhan ekonomi meningkat, yang tumbuh itu sebetulnya orang-orang kaya itu, sementara orang yang miskin tetap tumbuh, tapi tidak secepat orang kaya," jelas dia.

Berdasarkan data daftar orang terkaya di dunia yang dirilis Forbes, belum lama ini, sebanyak 19 orang Indonesia masuk di dalamnya. Kekayaan mereka setara dengan 4,3 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Tony menjelaskan peningkatan angka pertumbuhan terkadang menciptakan gap antara si kaya dan si miskin. Hal ini adalah dampak tahap pertama dari pertumbuhan ekonomi tinggi. Akan tetapi, secara perlahan, akan terjadi pemerataan, ini terjadi di semua negara.

"Kalau pertumbuhannya makin cepat dan angkanya makin tinggi nanti gap-nya akan mengecil, tapi perlu waktu," papar dia.

Menurut Tony, ketika perekonomian Indonesia tumbuh tinggi, terjadi fenomena bahwa orang miskin tetap ketinggalan perekonomiannya.

"Tapi jika perekonomian Indonesia bisa mencapai angka di atas 7 persen, kemungkinan gap antara orang kaya dan orang miskin akan menjadi kecil," jelasnya. Ant/YK/SB/WP

http://www.koran-jakarta.com/?9225-reformasi%20struktural%20belum%20dinikmati%20petani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar