Sabtu, 12 April 2014

Segera Bangun Industri Pengganti Gandum

Sabtu, 12 April 2014

JAKARTA – Pemerintah mesti serius mengantisipasi kebergantungan pada impor gandum yang kian melonjak. Setelah pembatasan impor, kebijakan yang mesti dilaksanakan antara lain sejumlah agenda penumbuhan industri Modified Cassava Flour (Mocaf) dan sagu, yang sangat potensial menggantikan tepung terigu.

Alasannya, Indonesia yang kini menjadi importir gandum terbesar keempat di dunia, dalam lima tahun mendatang, diperkirakan bakal menjadi importir nomor satu, menggeser posisi Mesir. Apalagi, impor gandum yang telah berlangsung 35 tahun itu jelas-jelas menggerogoti devisa negara dan hanya melanggengkan praktik kroni-kapitalisme oleh monopolis lama.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, M Maksum, menegaskan hal itu ketika dihubungi, Jumat (11/4). Maksum menilai tanpa agenda kebijakan yang jelas dan komprehensif, pembatasan impor tepung terigu dari tiga negara eksportir mulai Mei 2014 hanya langkah diskriminatif untuk membela kepentingan kartel gandum yang selama ini mengimpor dari Amerika, Australia, Rusia, dan negara Eropa lain.

Menurut dia, kebijakan pembatasan terigu dari Turki, Sri Lanka, dan Kazakstan adalah kebijakan yang sangat aneh karena tidak ada exit strategy yang jelas dari kebergantungan negeri ini pada bahan pangan impor tersebut.

“Ini kebijakan yang aneh mengingat ini bulan-bulan krusial dalam pentas politik nasional. Apa cuma mau switch impor ke negara lain untuk dana politik? Yang pasti, kalau tujuannya ketahanan pangan, ini jelas bukan, kebijakan ini hanyalah kelatahan pangan,” tegas Maksum.

Seperti diketahui, impor gandum Indonesia diproyeksikan melejit seiring dengan tumbuhnya permintaan tepung terigu untuk industri mi dan roti. Menurut Rabobank International, dalam lima tahun mendatang, impor gandum Indonesia akan mencapai 10 juta ton.

Saat ini, Indonesia akan menjadi salah satu importir terbesar gandum di dunia. Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) menyebutkan Indonesia merupakan importir terbesar keempat pada tahun 2013–2014 dengan peningkatan impor 0,8 persen menjadi 7,2 juta ton. Pada periode itu, nilai impor per tahun mendekati 3 miliar dollar AS.

Dalam waktu yang bersamaan, Mesir akan menjadi negara importir terbesar gandum, yakni dengan volume mencapai 10,5 juta ton, kemudian disusul dengan China sebanyak 8,5 juta ton dan Brasil sebesar 7,4 juta ton.

Sebelumnya, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog), Sutarto Alimoeso, mengungkapkan selain beras, komoditas pangan seperti gandum impornya jauh lebih besar dibandingkan beras dan merugikan devisa negara yang lebih besar dibandingkan beras. Paling tidak, gandum diimpor selama 35 tahun terakhir. Sedangkan impor beras hanya 600.000 ton setahun, tetapi selalu menjadi isu besar di masyarakat.

“Dilihat dari segi kerugian akibat devisa yang keluar, berapa coba besar gandum sama beras? Tetapi gandum selama ini enggak pernah dipermasalahkan,” ungkap Sutarto.

Maksum mengingatkan Indonesia adalah pengimpor pangan yang sangat besar. Nilainya sekitar 9 miliar dollar AS, atau setara lebih dari 100 triliun rupiah, setiap tahun, dan angka ini terus membesar dari tahun ke tahun.

Solusi Sagu

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Mohammad Bintoro, beberapa waktu lalu, menyatakan sagu bisa dijadikan solusi untuk menggantikan gandum impor.

“Sagu bisa digunakan untuk menggantikan gandum impor di Tanah Air. Tidak perlu ada lagi impor terigu jika sagu sudah dimanfaatkan dengan baik,” ujar Bintoro.

Dia menjelaskan pati sagu dapat menggantikan beras dan gandum. Pati sagu itu dapat digunakan untuk roti, kue kering, biskuit, kerupuk, dan empek-empek.

Kepala Balai Besar Pascapanen Litbang Kementerian Pertanian, Rudy Tjahjohutomo, menambahkan sagu belum sepenuhnya dilirik oleh industri meskipun sagu lebih kaya serat dibandingkan gandum.

“Industri banyak yang belum tertarik mengolah sagu menjadi tepung. Makanya, masyarakat jadi kesulitan memanfaatkan sagu menjadi makanan olahan,” ujar Rudy.

Menurut Maksum, berdasarkan UU No 19/2012 tentang Pangan, ada mandat yang jelas untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Jadi, semua langkah mengurangi impor adalah langkah yang baik untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Namun, tanpa persiapan yang jelas, pembatasan impor ataupun penambahan impor hanyalah kepentingan para pemegang kartel dan pejabat pemburu rente.

“Kalau asal pembatasan, gejolak harga yang akan terjadi. Konsumen yang akan jadi korban, sementara inilah yang ditunggu-tunggu para pemegang kartel dan para spekulan,” kata dia.

Anggota Kelompok Kerja Khusus (Pokjasus) Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Gunawan, juga menilai pembatasan impor terigu mulai Mei nanti semestinya dibarengi dengan kebijakan yang jelas untuk menghentikan impor komoditas pangan yang tidak bisa dihasilkan di Indonesia itu.

Selain hanya akan melanggengkan praktik perburuan rente dari monopoli pasar komoditas pangan itu, impor terigu perlu dihentikan karena memboroskan devisa negara serta berisiko mengancam kedaulatan pangan dan ketahanan nasional.

Untuk itu, pemerintah mesti menunjukkan kebijakan tegas untuk mulai mengembangkan industri substitusi impor tepung terigu, dengan tepung berbahan dari tanaman yang bisa dibudidayakan di Tanah Air. YK/WP

http://www.koran-jakarta.com/?9865-segera%20bangun%20industri%20pengganti%20gandum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar