Selasa, 01 Oktober 2013

Memperkuat Pangan Domestik

1 Oktober 2013

Padahal, dengan kondisi seperti sekarang ini (perubahan iklim), negara-negara eksportir bisa kapan saja mengamankan cadangan pangannya sendiri dengan menutup keran ekspornya

Krisis pangan bisa mengancam Indonesia jika pemerintah gagal beraksi dan mencari solusi. Apalagi kecenderungan harga pangan dunia terus melonjak karena perubahan iklim.

Perubahan iklim telah mengakibatkan kekeringan yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2012, panduan media (media advisory) yang dikeluarkan Oxfam menyebutkan bahwa kekeringan telah melanda banyak tempat, termasuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Rusia.

AS mengalami kekeringan terparah dalam 60 tahun terakhir. Berdasarkan data bulan Juli, 88 persen wilayah AS terkena dampak kekeringan. Akibatnya, pasokan jagung dunia berada di level terendah dalam 6 tahun ini. Kekeringan juga memengaruhi 44 persen produksi peternakan dan 40 persen produksi kedelai di AS. Padahal, AS merupakan pengekspor kedelai, jagung, dan gandum terbesar dunia.
Demikian juga di Rusia, kekeringan telah menghantam seluruh wilayah Negeri Beruang Merah itu sehingga produksi gandum menurun drastis. Ekspor gandum Rusia dihentikan sementara waktu karena anomali cuaca tersebut. Akibatnya harga gandum di sejumlah bursa melonjak sampai 50persen.

Tidak berbeda jauh, kondisi Indonesia juga mengalami krisis yang sama. Kekeringan telah melanda beberapa daerah dan berpotensi menjadi bencana alam karena banyak tempat kehilangan sumber pendapatan pertanian. Jika tidak ada solusi, krisis pangan bisa mengancam Indonesia dalam waktu dekat.

Dampak kekeringan telah memengaruhi produktivitas pangan dalam negeri seperti kedelai, padi, dan jagung yang menurun secara bertahap. Padahal, kebutuhan dalam negeri akan komoditas tersebut masih sangat tinggi. Daerah-daerah yang dulu menjadi lumbung pangan nasional seperti Jawa dan Sumatra, juga sudah berubah menjadi daerah minus pangan sehingga harga di pasaran melambung.

Contoh, jumlah kebutuhan kedelai, misalnya, Indonesia tahun 2012 mencapai 2,5 juta ton, sementara produksi dalam negeri rata-rata hanya 700 ribu–800 ribu ton per tahun. Ketimpangan ini telah mendorong harga kedelai mencapai 9.000 hingga 12.000 rupiah per kilogram. Padahal, harga normal hanya berkisar 7.000 sampai 8.000 rupiah per kilogram.

Demikian juga dengan beras. Harga komoditas ini juga naik karena stok di pasaran terus berkurang. Kementan mencatat konsumsi beras Indonesia sangat tinggi, mencapai 140 kg per kapita per tahun. Padahal, negara-negara Asia lainnya tak lebih dari 90 kg per kapita per tahun. Total kebutuhan beras Indonesia menjadi sangat besar karena jumlah penduduknya lebih dari 240 juta.

Tiga Faktor

Tingginya kebutuhan pangan yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi dalam negeri merupakan perkara serius yang tidak bisa hanya diselesaikan dengan cara ad hoc dan jangka pendek seperti impor. Jantung masalah yang dihadapi Indonesia terkait perubahan iklim, penyempitan ladang pertanian, dan serbuan impor pangan.

Dalam hal perubahan iklim, misalnya, Indonesia telah mengalami perubahan musim dan penurunan luas lahan pertanian. Para petani sudah tak bisa berbuat apa-apa, kecuali terpaksa menanam tanaman di petak sawah. Mereka kini hanya berpikir cara mempertahankan posisinya yang semakin terjepit, tanpa solusi untuk meningkatkan hasil produksi pangan.

Dari sisi kebijakan, upaya pemerintah untuk menghadapi perubahan tersebut juga sudah tidak mampu melahirkan solusi jangka panjang. Sebab umumnya kebijakan pemerintah tak pernah dibarengi dengan langkah yang lebih serius. Semua kebijakan sering kali berhenti di tengah jalan karena kemauan politik pemerintah (good will) yang rendah.

Selain itu, kondisi ini juga diperparah dengan kebijakan pemerintah yang telah meliberalisasi pasar pangan. Pemerintah melucuti semua benteng pertahanan pangan dalam negeri, mulai mencabut subsidi, hingga menerima serbuan impor pangan. Di saat yang sama, pemerintah tidak melakukan langkah yang berorientasi pada penguatan pangan dalam negeri sehingga impor pangan menjadi jalan pintas untuk menutupi pasokan pangan.

Kondisi inilah yang disebut Clifford Geertz sebagai "involusi pertanian" sebab pemerintah telah mengalami keruwetan berpikir, dan tidak mampu menemukan jalan keluar. Cara berpikir pemerintah sudah tidak bersifat sentrifugal karena hanya terfokus pada impor pangan. Inilah suatu kenyataan dari proses krisis yang sangat ironi, di tengah negara yang menyebut dirinya sebagai negeri gemah ripah loh jinawi (tenteram dan makmur serta sangat subut tanahnya).

Penguatan Pangan

Dari kondisi di atas, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali harus meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, yang dapat dimulai dari kebijakan yang beroerientasi pada penguatan pangan lokal. Apalagi ini menyangkut industri yang berperan penting dalam pemenuhan gizi masyarakat. Kebijakan pemerintah harus menyangkut perbaikan terhadap beberapa faktor penyebab terus menyusutnya produksi pangan dalam negeri, seperti menurunnya luas tanam, menurunnya harga relatif pangan, dan lemahnya teknologi pangan.

Selanjutnya, pemerintah juga harus mampu mengatur tata niaga dan perdagangan komoditas pangan sebab ada indikasi pemerintah dan politisi telah terseret dalam lingkaran itu. Contohnya adalah kasus impor daging yang melibatkan orang penting partai dan kementerian terkait. Pemerintah melalui Presiden (kalau perlu), harus mampu memotong gurita pemburu rente yang telah teridikasi bermain dalam gonjang-ganjing pangan dalam negeri tersebut sebab mereka berkepentingan karena akumulasi laba yang diinginkan saja.

Upaya pemerintah ini lebih jauh juga harus mampu disinergikan dengan perubahan kebijakan yang sangat mendasar, yakni soal penghentian liberalisasi pangan sebab ini jadi malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan dalam negeri. Liberalisasi pangan, seperti kebijakan impor, telah membuat Indonesia mengalami ketergantungan. Padahal, dengan kondisi seperti sekarang ini (perubahan iklim), negara-negara eksportir bisa kapan saja mengamankan cadangan pangannya sendiri dengan menutup keran ekspornya.

Oleh karena itu, keseriusan dan komitmen yang tinggi dari pemerintah menjadi harapan satu-satunya untuk menguatkan pangan dalam negeri jika tidak ingin bangsa ini hanya menjadi bangsa pengimpor.



Oleh Abdus Sair
Penulis adalah dosen Universitas Wijaya Kususma, Surabaya


http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/130050

Tidak ada komentar:

Posting Komentar