Rabu, 29 Juli 2015

Bawang Jadi "Pemicu"

Rabu, 29 Juli 2015

Keberhasilan pemerintah menstabilkan harga bawang merah tanpa perlu impor menjelang Lebaran lalu menumbuhkan keyakinan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pentingnya pengelolaan tata niaga untuk mencapai swasembada pangan. Selama ini, ketika terjadi lonjakan harga komoditas pertanian, solusinya satu, yaitu impor. Seolah-olah tidak ada cara lain yang bisa dilakukan. Dengan impor, seakan semua persoalan sudah beres karena harga tinggi bisa ditekan saat barang impor masuk ke pasar.

Berkaca pada kasus bawang merah 2014, asumsi impor bisa menyelesaikan segala persoalan ternyata tak terbukti. Meskipun keran impor bawang merah dibuka saat itu, harga bawang merah tetap tinggi di tingkat konsumen. Dalam konteks itu, bangsa kita sudah kalah dua poin. Pertama, membuka keran impor berarti memukul harga bawang merah di tingkat petani. Kedua, impor bawang merah rupanya tidak serta-merta menurunkan harga bawang merah di tingkat konsumen. Apa yang terjadi? Petani berteriak karena harga rendah. Di sisi lain, konsumen menjerit karena harga bawang merah terlalu tinggi.

Sebagai ilustrasi, harga bawang merah tahun lalu berkisar Rp 40.000-Rp 100.000 per kilogram (kg) di tingkat konsumen. Di sisi lain, saat panen, harga bawang merah di tingkat petani terjun bebas, tembus Rp 5.000 per kg, jauh dari harga pokok produksi (HPP) yang berkisar Rp 8.000-Rp 10.000 per kg. Melihat kenyataan itu, Mentan mencurigai ada yang tidak beres dalam sistem distribusi dan pasar bawang merah. Ada upaya sistemik yang dilakukan para pedagang bawang merah untuk mengambil untung secara besar-besaran.

Produksi bawang merah nasional sekitar 1 juta ton per tahun. Dengan harga rata-rata bawang merah Rp 25.000 per kg tahun lalu, ada perputaran uang dari bisnis bawang merah mencapai Rp 25 triliun setahun. Dari total nilai perdagangan bawang merah itu, jika harga jual bawang merah di tingkat petani hanya Rp 6.000 per kg, petani hanya mendapat bagian Rp 6 triliun.

Uang Rp 6 triliun itu masih harus dipotong biaya pengolahan lahan, pembelian bibit, obat-obatan, dan tenaga kerja. Yang terjadi, 300.000 petani bawang merah bukan untung, sebaliknya merugi. Di lain sisi, 3.000 pedagang bawang merah berpesta pora dengan keuntungan Rp 19 triliun. Keuntungan itu hanya dipotong dengan biaya transportasi dan sewa kios-kios.

Mentan tidak mau hal itu terulang karena dampaknya minat masyarakat menjadi petani bawang merah turun. Jika demikian, Indonesia akan masuk perangkap sebagai negara importir bawang merah dunia. Oleh karena itu, ketika bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran lalu, harga bawang merah di tingkat petani kembali jatuh dan harga bawang merah di konsumen tinggi-padahal panen bawang merah tengah berlangsung-Mentan langsung menerapkan strategi baru.

Mentan mengajak Perum Bulog ke sentra bawang merah di Brebes, Jawa Tengah, dan meminta Bulog membeli bawang dari petani untuk modal operasi pasar (OP) dengan harga beli yang wajar dan menguntungkan petani. Langkah sederhana itu dilakukan dengan modal pembelian bawang merah Rp 3 miliar. Hasilnya, dalam waktu singkat, harga bawang merah di petani naik sekitar Rp 10.000 per kg dan di konsumen turun hingga Rp 20.000 per kg.

Yang tak kalah penting, tahun 2015, Indonesia tak lagi mengimpor bawang merah. Keberhasilan pengelolaan tata niaga bawang menjadi pemicu dan memberi kekuatan bagi Mentan melakukan strategi sama dalam pengendalian harga dan pencapaian swasembada komoditas lain, seperti beras dan jagung.

Untuk beras, pemerintah sudah mengujinya pada Maret 2015, saat impor tidak dilakukan dan harga beras bisa kembali stabil setelah naik 30 persen. Untuk jagung, Mentan menyetop impor jagung dari target kekurangan impor jagung 1,35 juta ton tahun 2015. Mungkinkah keberhasilan swasembada bawang merah melalui pengelolaan tata niaga akan diikuti oleh beras, jagung, gula, dan daging sapi? (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150729kompas/#/17/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar