Kamis, 27 November 2014

Refleksi Kedaulatan Pangan

Rabu, 26 November 2014


Dunia menyambut hari pangan sedunia (World Food Day) 16 Oktober tahun 2014 ini dengan tema “Family Farming: “Feeding the World, Caring for the Earth”.Tema ini---beririsan dengan tahun 2014 sebagai Tahun Pertanian Keluarga Internasional---diarahkan untuk mendorong peran pertanian berbasis keluarga untuk ketahanan pangan, penghapusan kelaparan dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Peta Kelaparan
Isu pangan tidak kalah krusialnya dengan isu sosio-ekonomi lainnya di dunia. Fakta statistik tentang kelaparan dan malnutrisi menggarisbawahi sejumlah kondisi darurat kemanusiaan yang mengharuskan para pemimpin politik dan seluruh kekuatan sipil global untuk menyatukan sinergi dan upaya nyata dalam memberantas isu. Betapa tidak, 800 jutaan orang atau 1 dari 9 orang di planet ini tidak memiliki akses pangan yang cukup untuk menopang kehidupan mereka secara wajar. Dari jumlah ini, Asia menempati posisi signifikan setara dua per tiga jumlah penduduk, disusul Afrika Sub-Sahara di mana 1 dari setiap 4 orang masuk dalam kategori malnutrisi. Kondisi ini mengakibatkan 3,1 juta kematian anak balita per tahun.

Kendati begitu, dunia ini masih sarat situasi paradoksal. Sedikit pemahaman reflektif kita. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menegaskan bahwa gaya hidup hedonistik manusia modern telah mengakibatkan 1,3 miliar ton makanan per tahun terbuang percuma. Terbuangnya makanan tentu tidak hanya persoalan ekonomis dan kemanusiaan semata. Dampaknya terhadap derajat kualitas lingkungan tentu tidak kalah pentingnya di sisi lain. Makanan yang terbuang identik dengan besarnya pemborosan. Dari hulu, makanan yang terbuang berarti pemborosan pupuk, pestisida dan air. Di tingkat hilir, bahan bakar lebih banyak dibakar untuk transportasi makanan. Selain itu, sampah makanan juga berarti lebih banyak emisi gas metana, 1 dari 6 unsur gas rumah kaca yang berdasarkan rezim Protokol Kyoto berkontribusi terhadap pemanasan bumikarena daya panasnya terhadap bumi 20 kali lebih besar dibandingkan CO2 (Lean, 2006).

Sepintas gambaran ini mengandung pretensi hiperbolis. Meski data tidak cukup tersedia, dalam lingkup nasional misalnya, kasus yang terjadi sejumlah kecil wilayah kita bisa menjadi rujukan. Di tengah ratusan triliun digelontorkan untuk subsidi BBM, krisis pangan di Kabupaten Yahukimo, Papua dan Kabupaten Sikka dan Lembata, NTT beberapa waktu lalu, menggugah kontemplasi kita betapa sebagai bangsa yang merdeka hampir 70 tahun masih berkutat dengan urusan perut. Patut dipertanyakan kehadiran negara dalam mengemban tugas dasarnya. Oleh karena itu, di tengah pendulum politik subsidi BBM yang terbukti telah ‘membangkrutkan’ fiskal negara, isu pangan---lingkup nasional dan global---harus masuk dalam relung terdalam politik negara. Dalam konteks ini, agenda ketahanan pangan dalam bingkai kelembagaan baru menjadi sangat relevan.

Badan Lingkungan PBB (UNEP)menunjukkan bahwa salah satu momentum ancaman deforestasi paling serius ketika terjadi booming atas beberapa komoditas tertentu di tingkat domestik dan global. Akibatnya alih fungsi hutan untuk tanaman komoditas seperti sawit, tebu dan lain-lain tidak terelakan. Dalam lingkup nasional, pembukaan lahan sawit yang mencapai hampir dua kali lipat dalam dua dekade terakhir menunjukkan situasi yang semakin mengkhawatirkan secara sosio-ekonomis dan ekologis (Kompas, 14/10). Data juga menunjukkan hampir 80 persen minyak sawit Indonesia yang mencapai 22 jutaan ton per tahun diekspor untuk tujuan yang lebih banyak untuk biodiesel. Ironis bukan! Tekanan alih fungsi lahan yang semakin masif untuk pengembangan komoditas tanaman pangan justru lebih banyak diperuntukkan untuk non-pangan. Pendek kata, tekanan berat bagi bumi yang hampir mendekati batas-batas kapasitas biofisiknya dan dalam beberapa kasus bahkan telah melebihinya lebih banyak didedikasikan untuk kepentingan gaya hidup.

Momentum Pemerintahan Baru
Momentum hari pangan sedunia tahun ini dapat menjadi pengingat kembali bagi semua pemangku kepentingan, utamanya para elit pemangku negara untuk mendorong kiprah masyarakat dalam penyediaan kebutuhan pangan berbasis pertanian keluarga. Ini tentu tidak saja dalam upaya menjamin akses dasar atas kebutuhan pangan bagi hajat hidup orang banyak tetapi juga kesinambungan daya dukung lingkungan. Argumen ini,bagaimana pun, masih dalam ujian berat meskipun secara normatif politik pembangunan nasional telah menancapkan paradigma pembangunan yang serba keberlanjutan.


Dalam konteks inilah, agenda politik unggulan pemerintahan Jokowi-JK untuk mengampu pekerjaan besar yang bernama ketahanan pangan menjadi sangat strategis dan visioner. Isu pangan nasional akan semakin melimbungkan tugas negara tidak saja karena pertumbuhan demografis, perubahan iklim tetapi juga bumi sebagai tempat penyemai bahan pangan telah mengalami tekanan berat. Bisa jadi pesan ini terkesan klise tapi kegagalan negara dalam mengelola isu ini bisa membawa implikasi katastrofik bagi generasi kita depan.

Oleh Hariyadi, Peneliti P3DI Setjen DPR-RI, Jakarta.

http://www.publicapos.com/opini/2979-refleksi-kedaulatan-pangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar